NAPOLEON SETELAH WATERLOO
Liburan panjang lebaran telah usai. Besok senin sudah mulai bekerja lagi. Perasaan malas kembali muncul, “coba saja kalau liburannya lebih lama, duh enaknya”. Apalagi setelah perjalanan mudik dan balik yang tentunya melelahkan sehingga butuh penyegaran dan pemulihan fisik supaya memulai bekerjanya lebih enak. Lagi-lagi hanya alasan pembenaran untuk sebuah kemalasan.
Sebuah pesan pendek masuk meningkahi keluhan itu. “Ayolah. Tetap semangat. Jangan begitu. Coba lihat sekitar kita yang bekerja dengan mengeluarkan peluh tapi hasilnya tak seberapa. Lihat tukang jual kerang rebus, tukang sol sepatu, penjual sarung remote tv yang lewat depan rumah. Kita? Cukup duduk di ruangan ber-ac, tunggu jam 5, dapat gaji gede di awal bulan. Syukuri dan jalani saja.”
Pesan yang menyadarkan nurani tentang pentingnya rasa syukur dan optimisme dalam hidup. Hidup itu apapun yang terjadi memang harus dijalani. Baik dan buruknya, nyaman dan menderitanya. Tinggal men-setting tool yang ada dalam otak kita pada mode sabar. Tapi tunggu dulu, gaji gede?
Wah, langsung alarm satuan ukur materialistis kita berbunyi. Dengan mulai membayangkan penghasilan yang didapat oleh karyawan BI, anggota DPR, pegawai pemerintahan daerah kaya (padahal mereka sendiri juga iri kepada para pegawai Kementerian Keuangan) dan lainnya. Naluri manusia yang sangat alamiah saat dihadapkan pada harta. Senantiasa mendongak ke atas dan jarang melihat ke bawah. Yang terakhir biasanya dilakukan kalau habis mendengar taushiyah dari ustadz di televisi. Jama`aaaaaaaaah oh jamaaaaaah.
Seringkali kita merasa kurang daripada yang lain kalau soal beginian. Atau merasa hidupnya paling miskin dan menderita. Makan sepiring berdua. Tidur beralaskan koran di pinggir jalan dan beratapkan langit.
Sedangkan banyak sekali orang yang merasa kita adalah orang yang lebih daripada diri mereka sendiri. “Mas, enak yah sekarang. Sudah punya istri, anak-anak, rumah, motor, mobil, sudah sekolah tinggi, status punya, kerja di pajak, gaji pastinya gede,” seorang teman jomblo mengomentari saya. Mendengar itu saya cuma bilang padanya, “makanya cepetan nikah.” Karena bagi saya jalan untuk membuka semuanya adalah dengan menikah. Sebab itu saya menikah di usia muda.
Ya, ternyata kita memiliki banyak sekali anugerah. Soal motor, mobil, dan rumah yang masih kredit serta letaknya tidak di pusat kota bahkan jauh, puluhan hingga ratusan kilometer dari tempat bekerja kita itu soal lain. Begitupula dengan SK PNS yang masih menginap di bank, asuransi kesehatan yang belum menggaransi seluruh anggota keluarga, atau tidak punya agenda liburan bulanan bahkan ke luar negeri, itupun soal lain.
Dan itu baru sebatas yang terlihat secara zahir oleh orang lain. Ada anugerah yang tak terlihat, yang hanya dirasa oleh kita, pasangan kita atau anggota keluarga kita lainnya berupa ketenteraman dan keberkahan atas harta dan rumah tangga kita. Keluarga sehat. Anak-anak tumbuh kuat dan cerdas. Punya tetangga samping kiri, kanan, depan, dan belakang yang peduli terhadap kita dan baik-baik. Pembantu rumah tangga yang loyal, amanah, dan sangat membantu serta membuat kita tenang untuk beraktivitas di luar rumah.
Atau teman-teman kantor yang selalu mendukung kita dan apalagi kalau setiap urusan kantor senantiasa dimudahkan untuk diselesaikan dan dicari solusi atas setiap permasalahannya. Atau punya atasan yang baik dan memahami kita, itu juga sebuah anugerah yang luar biasa. Atau seringkali kita diberikan kemudahan untuk menaruh jari di finger print tanpa sedetik pun terlambat di setiap paginya—walau untuk itu ada banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Komputer yang enggak pernah hang atau kena bahkan tidak merasa diserang virus. Pensil, serutan, penghapus, pulpen, dan alat tulis yang selalu tersedia. Kertas continuous form, kertas ukuran kuarto dan folio, printer dan tinta refill-nya yang selalu ada setiap saat.
Telepon dan mesin faksmili yang siap untuk digunakan. Jaringan internet yang bisa diakses dengan mudah. Satpam dan office boy yang tak pernah pasang muka cemberut untuk kita. Kursi kerja yang bisa digoyang dan digeser dengan mudah dan tak pernah membuat kita jatuh saat mendudukinya. Coba, nikmat manalagi yang hendak diingkari?
Kalau sudah memikirkan ini, saya tidak bisa untuk meminta dan menuntut orang lain bersikap sama dengan saya, bahkan seringkali ini mengharuskan saya untuk berkaca pada diri sendiri. Saya jadi malu, ternyata banyak sekali yang tak sesuai dengan apa yang saya ucap dan tulis. Betapa banyak keluhan dan rasa ketidaksyukuran yang ada. Walau tidak sempat atau sedikit terucapkan dengan lisan, namun banyak terlintas dalam benak dan tercetus dalam hati.
Tentang angan-angan liar berapa banyak harta dan kekuasaan (baca: penempatan) yang bisa diraih lagi. Tentang keluhan terhadap kondisi rumah dan kantor. Tentang aktivitas dan kerja yang seringkali dengan embel-embel ataupun pamrih, ucapan yang dihias dengan ambisi, dan merasa mulia dengan jabatan dan kekayaan yang serba tanggung ini. Padahal dua terakhir ini pun sudah pasti tak bisa menyelamatkan diri saya saat di ujung nafas nanti. Saya jadi teringat Al Walid Ibn Abdul Malik, penguasa Damaskus, penguasa sebagian belahan dunia, pemuncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah, di saat sekaratnya yang berucap, “hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku. Mana hartaku? Mana kekuasaanku?”
Itu baru sebatas keluhan, yang paling parah adalah jika tidak berhenti sampai di situ, tetapi hingga direalisasikan dengan ibadah yang sedikit. Duh, Gusti. Padahal Pemilik seluruh harta kekayaan di langit dan bumi telah menjamin rezeki buat saya jika saya mampu untuk melakukan tiga hal ini: meminta padaNya, ibadah yang benar dan banyak, dan bersyukur. Memikirkan semua itu saya seperti menjadi Napoleon setelah Waterloo.
Syawal ini saya mau berubah ke arah yang lebih baik lagi. Semoga.
***
Riza Almanfaluthi
Penelaah Keberatan
Direktorat Keberatan dan Banding
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
–dimuat di Majalah Berita Pajak Edisi September-Oktober 2011
Gambar berasal dari sini.