TAPAKTUAN STONES UNTUK DJP BERSIH


TAPAKTUAN STONES UNTUK DJP BERSIH

 


Anggota Tapaktuan Stones dalam sebuah ekspedisi (Foto koleksi teman).

 

Pencanangan Gerakan DJP Bersih di Tangan Kita menjadikan dan menegaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memang tidak bersih di mata masyarakat. Pun, ini menyangsikan serta menyepelekan tekad dan upaya bersih yang sudah dilakukan selama ini oleh para pegawai DJP.

Inilah salah satu pernyataan yang mengemuka dari peserta sosialisasi Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-10/PJ/2014 tanggal 27 Januari 2014 tentang Pembentukan Gerakan “DJP Bersih di Tangan Kita” di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut Keputusan) pada hari Jumat, 28 Maret di Kantor Wilayah DJP Aceh.

Pernyataan tersebut wajar diajukan namun tanggapannya juga layak didengarkan. Latar belakang pencanangan Gerakan adalah karena masih maraknya sebagian oknum pegawai DJP yang tidak mau menegakkan integritasnya. Beberapa di antaranya, di bulan April 2013 ada oknum pegawai DJP yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di Stasiun Gambir, berselang hampir lima minggu kemudian dua oknum lainnya tertangkap oleh institusi yang sama di Bandara Soekarno-Hatta. Belum lagi dari tahun 2010 sampai dengan 2012 tercatat lima kasus oknum pegawai pajak yang terekspos besar-besaran oleh media.

Maka wajar kita yang sedang belajar bersih ini pun geram. Pencanangan Gerakan DJP Bersih di Tangan Kita pada tanggal 5 Juli 2013 menjadi awal pemahaman baru bahwa mereka yang tidak bersih itu sebenarnya sedikit sedangkan yang baik-baik ini banyak namun tidak bisa berbuat apa-apa karena hanya diam saja. Oleh karena itu Gerakan ini menggugah orang-orang baik agar tidak tinggal diam. Orang-orang baik ini harus terorganisasi agar bisa mengalahkan mereka yang tidak mau berubah dan sedikit tapi terorganisasi itu.

Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan kalau kebatilan yang terorganisasi akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi. Kita pun diingatkan dengan apa yang dikatakan Muhammad Natsir suatu ketika, “Anda tahu apa yang dibutuhkan kebatilan untuk menang? Kebatilan akan menang jika pendukung kebenaran hanya diam.” Napoleon Bonaparte pernah mengatakan hal yang sama, “The world suffers a lot not because of violence of bad people but of the silence of good people.

Dan Gerakan ini sesungguhnya memfasilitasi keengganan dari orang-orang baik ini ketika tidak mau secara personal melaporkan penyimpangan yang terjadi melalui sistem yang sudah ada, seperti whistle blowing system DJP. Dengan mekanisme pelaporan yang telah ditetapkan dalam Keputusan ini, maka Gerakan mengidentifikasi, mendiskusikan, dan menyepakati secara bulat dan bersama-sama—ini yang perlu digarisbawahi—adanya dugaan praktik korupsi lalu melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pada akhirnya, dengan kenyataan sebenarnya bahwa orang-orang baik ini begitu banyak di DJP maka Keputusan ini adalah sebuah negasi penyangsian dan penyepelean tekad serta upaya bersih yang telah dilakukan bersama-sama oleh kita semua. Keputusan ini benar-benar mendorong agar orang-orang baik yang mempunyai integritas dan semangat antikoruptor yang sama ini berkumpul, tidak diam saja, saling mengingatkan, saling mengawasi, dan membuat ruang untuk melakukan pelanggaran semakin tidak ada atau hilang sama sekali.

Tapaktuan Stones

Gerakan DJP Bersih di Tangan Kita dipelopori oleh peserta aktif dari Change Agent DJP, Motor Penggerak Integritas dan berbagai komunitas keagamaan seperti Dewan Kemakmuran Masjid, Oikumene, dan Pesantian. Komunitas-komunitas ini menjadi plasma gerakan sedangkan inti gerakan adalah Direktorat Kitsda dan Unit Kepatuhan Internal. Ada yang menarik ketika berbicara komunitas. Terutama pada diktum keempat dan kelima Keputusan di atas.

Diktum keempat menyatakan bahwa: “Untuk selanjutnya, Gerakan dibentuk di unit-unit DJP di seluruh Indonesia dan keanggotaannya dapat diperluas dengan komunitas lainnya yang ada di DJP atau perseorangan pegawai DJP, yang memiliki integritas dan semangat anti koruptor yang sama.”

Sedangkan diktum kelima menyatakan, “Gerakan merupakan satu kesatuan hasil leburan dari berbagai komunitas atau perseorangan pegawai DJP sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga dan Keempat.

Dari dua diktum tersebut maka dapat dikatakan bahwa komunitas apa pun yang ada di DJP entah itu formal atau pun informal dapat menjadi anggota gerakan. Genjot Pajak yang merupakan komunitas Pegawai Pajak bersepeda juga bisa menjadi anggota gerakan. Begitu pula dengan DoF (DJP Own Fotobond) yaitu komunitas fotografi karyawan DJP di seluruh Indonesia. Dan tentu dengan komunitas lainnya asal punya dua parameter berikut: berintegritas dan semangat antikoruptor.

Di Tapaktuan, awal tahun 2014 ini, telah terbentuk komunitas pecinta batu pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan. Komunitas yang mencari batu-batu akik di seputaran Kabupaten Aceh Selatan dan menjadikan batu itu sebagai cincin. Banyak pegawai KPP Pratama Tapaktuan tergila-gila batu sekarang. Di waktu senggangnya mereka berkumpul, memamerkan cincin dan batu-batu yang mereka miliki, membicarakan tentang batu, menjadwalkan waktu mengasah batu, berburu bongkahan batu di alam liar Aceh dengan serangkaian ekspedisi, dan masih banyak agenda kegiatan lainnya.

Ciri khas yang menonjol dari Tapaktuan Stones—nama komunitas batu ini—adalah kebersamaan. Terbukti andil kebersamaan mereka mampu menjadi bagian penting dari pencapaian target e-Fin dan e-Filling KPP Pratama Tapaktuan. Bukankah pada diktum lain di keputusan itu menyatakan bahwa salah satu peran dari gerakan adalah membangun semangat kebersamaan pada setiap pegawai DJP? Maka Tapaktuan Stones dengan kebersamaan, integritas, semangat antikoruptor yang sama, mempunyai potensi besar menjadi plasma Gerakan DJP Bersih di Tangan Kita di wilayah Aceh. Semoga.

 

 

Riza Almanfaluthi, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan | 13 May 2014

Tulisan ini dimuat pertama kali di Situs Intranet Portal Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pajak

RIHLAH RIZA #35: CINCIN WARISAN SETAN


RIHLAH RIZA #35: CINCIN WARISAN SETAN

Kinan bertanya kepada Mbahnya, “Bapak pakai cincin apa?” Laki-laki tua yang sedang sakit itu sambil tertawa menjawab sekenanya, “Cincin warisan setan.” Ingatannya yang sudah mulai terbatas karena stroke mungkin hanya mampu mengaitkan benda itu dengan salah satu judul novel silat Wiro Sableng karangan Bastion Tito. Novel-novel yang pernah dijualnya sewaktu menjadi pedagang buku bekas.

Cincin dengan batu warna hijau dan ikatan besi yang disepuh dengan warna keemasan itu pemberian adik iparnya yang bekerja di Arab Saudi. Karena sakit, Bapak tak pernah memakainya lagi. Kemudian saya pakai beberapa bulan sewaktu bertugas sebagai petugas banding di Pengadilan Pajak. Teman satu tim saya protes. Menurutnya saya seperti om-om atau bapak-bapak kalau memakai cincin itu. Jadi semakin kelihatan tua. Di dalam benak mereka cincin itu hanya bisa dikaitkan pada satu sosok pelawak bernama: Tessy.

Sepertinya teman-teman saya se-Direktorat Keberatan dan Banding memang tak ada yang memakai cincin. Lalu saya tak memakainya lagi. Saya tak tahu apa nama batu yang menghiasi cincinnya. Bertahun-tahun kemudian, hari ini, saya tahu jenis batu itu. Batu pirus berwarna biru kehijau-hijauan. Sayang sekali, cincin itu hilang.

**

Entah di Tapaktuan, entah di Banda Aceh, bertubi-tubi ajakan teman-teman untuk pergi mengunjungi toko penjual batu akik atau mulia itu tidak membuatku tak bergeming. “Ngapain coba? Buang-buang waktu aja,” pikir saya. Waktu itu ada yang lebih menarik daripada sekadar melototin batu: snorkeling atau snorkelling. Mengapung dan menyelam sambil menikmati keindahan bawah laut menjadi kesenangan baru saya di Tapaktuan untuk mengisi hari-hari sepi saya. Melototin biota laut itu sesuatu.

Pembicaraan teman-teman di mes, di warung, dan di kantor kalau kumpul ya berkisar perbatuan. Bahkan mereka bikin grup facebook bernama Tapaktuan Stones. Mereka sudah melakukan ekspedisi ke sungai Trangon mencari batu-batu untuk bisa digosok. Ini benar-benar sebuah penggalian potensi (galpot). Tapi potensi batu. Menggali pakai beliung, mencungkil pakai linggis, dan memalu pakai palu bebatuan di sepanjang pinggiran sungai.

Gali potensi bebatuan. Insya Allah penerimaan pajak tercapai. Loh kok? Apa kaitannya? Ekspedisi Trangon II (Foto koleksi Dony Abdillah)

Air bening mengalir di sungai Trangon (Foto koleksi Dony Abdillah)


Hasil pencapaian 100% lebih :melet (Foto koleksi Dony Abdillah)

Aceh memang kaya dengan jenis bebatuan. Ini bisa dikarenakan struktur pembentukan pulau Sumatera di waktu dahulu kala dan keberadaan barisan Pegunungan Leuser. Salah satunya batu Giok Beutong yang menjadi primadona batu ada di Meulaboh. Dulu pernah ada perusahaan Cina yang melakukan kegiatan pertambangan. Perizinan yang mereka dapatkan hanya sebatas izin usaha pertambangan bahan galian C. Perusahaan itu membawa batu-batu sebesar gajah keluar dari Aceh dan mengekspornya ke luar negeri.

Masyarakat tak tahu apa yang perusahaan itu gali dan dapatkan di sana. Setelah sepuluh tahun berjalan, barulah masyarakat sadar batu macam mana pula yang perusahaan Cina itu incar. Ternyata batu giok yang sangat berharga. Akhirnya pemerintah daerah terkait bersama masyarakat menutup izin dan akses pertambangan itu. Entah berapa ribu ton batu giok yang hilang dan entah berapa pajak yang seharusnya dibayar lenyap karena kecurangan ini.

Teman-teman ini tak berputus asa mengajak saya. Dan tahu betul bagaimana ‘meracuni’ orang. Mereka seperti bandar narkoba—dalam arti yang positif. Kasih satu atau dua batu secara gratis lalu kalau sudah ‘nyandu’ dan ‘sakau’ tinggal beli sendiri saja. Terbukti sukses mereka jalankan operasi itu kepada saya sebagai TO (target operasi) mereka selama ini.

Enam batu yang sudah digosok disodorkan kepada saya oleh teman jurusita Seksi Penagihan bernama Rizaldy. Ia berdasarkan surat keputusan mutasi, pindah dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan ke KPP Pratama Meulaboh. Kantor barunya dekat dengan rumahnya. Sebagai hadiah perpisahan dengan saya, Pak Rizaldy meminta saya memilih dua dari enam batu itu.

Berdasarkan advokasi dan provokasi teman-teman, saya ambil dua batu yang terbaik. Jenis batu idocrase dan pancawarna. Lalu Mas Suardjono—Kepala Seksi Ekstensifikasi—memberi saya batu Giok Beutong terbaiknya. Seminggu kemudian batu idocrase yang susah saya jelaskan warnanya ini sudah saya ikatkan dengan ikatan perak. Beberapa minggu kemudian diajak sama teman ke salah satu pengrajin batu giok di Tapaktuan. Saya pun manut. Saya beli dengan sukarela tiga buah batu dan satu liontin Giok Beutong berbentuk simbol “love”.

Bang Rahmadi Kuncoro—Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I—lalu memberi saya sebuah batu mulia aquamarine warna hijau. Lalu saya juga ikut patungan membeli batu Lumut Sungai Dareh, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Seperti diketahui daerah itu menjadi terkenal setelah Presiden Amerika Serikat Barack Obama memasang cincin berbatu lumut Sungai Dareh di jari manis tangan kanannya. Kemudian saya pun mau saja ikut ekspedisi kedua Grup Tapaktuan Stones ke sungai Trangon. Tidak lama setelah itu, saya pun membeli batu zamrud dengan ikatan cincin perak untuk saya pasang di jari manis tangan kiri saya.

Semuanya menjadi serta merta. Sekarang mata saya selalu otomatis memindai tangan orang. Entah di televisi atau foto atau bertemu langsung. Apakah dia memakai cincin atau tidak? Cincinnya dihiasi dengan batu atau tidak? Batunya dari jenis batu akik atau batu mulia? Kalau dari batu akik maka batu akik jenis apa? Kalau batu mulia apakah itu zamrud, rubi, safir atau seperti apa? Kalau ke teman sendiri, pemindaian itu dilakukan dengan meminta cincinnya dicopot dari jemarinya untuk saya lihat dengan teliti kecermelangan batu dan detil ikatannya.

Semuanya menjadi serta merta. Saya jadi tahu macam-macam jenis batu walaupun masih sedikit pengetahuannya. Jadi tahu bagaimana batu itu disebut indah atau tidak. Jadi bertambah perhatian—walau masih sedikit—kepada teman facebook yang memamerkan batu jualan mereka. Pun ke tempat lapak batu dan cincin untuk sekadar melihat-lihat menjadi antusiasme baru. Maka saya baru sadar atas sesuatu yang dulu saya pertanyakan. Mengapa setiap lapak batu kaki lima selalu dikerumuni banyak orang? Ternyata batu akik dan batu mulia itu mempunyai pasar dan penggemarnya sendiri.

Antusiasme baru itu hampir sama dengan berkunjung ke toko buku. Tetapi tidak harus sampai berjam-jam. Secukupnya saja. Karena saya sadar, saya jangan sampai kena “sawan batu”. Istilah yang menunjuk kepada kegilaan terhadap batu. Seseorang bisa dikatakan mengalami penyakit gila nomor ke sekian ini jika ia sudah tidak memakai logika sehatnya dengan membeli batu mahal tanpa kecermatan dan kehati-hatian. Tentunya sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Dan yang paling penting, memakai cincin itu bisa diniatkan untuk ibadah. Bukankah memakai cincin itu sunnah Rasulullah saw? Niatkan memakai cincin sebagai bentuk kecintaan kita kepada Baginda Rasulullah saw. Entah dengan ikatan perak atau besi. Entah di jari tangan kanan atau pun di jari tangan kiri. Entah batu dari negeri Habasyah atau bukan.

Bisa berpahala dengan beberapa prasyarat tentunya. Pertama, ikatannya bukan emas, karena laki-laki diharamkan memakai cincin emas. Kedua, tidak diniatkan untuk pamer-pamer. Ketiga, tidak menimbulkan kesombongan. “Nih, gue punya zamrud. Ente punya ape? Halah cuma akik ini.” Satu titik kesombongan di hati sudah membuat kita tidak bisa mencium bau surga dalam jarak lima ratus tahun perjalanan. Sedangkan satu hari di akhirat sana sama seperti seribu tahun di bumi.

Keempat, ini yang teramat penting, jangan sampai memakai cincin menjadi jalan tergadaikannya akidah kita. Cincin itu bukan sarang makhluk gaib atau apa pun namanya. Apalagi menganggap bahwa cincin itu menjadi jalan terkabulkannya semua hasil kerja dan keinginan kita atau biasa disebut sebagai cincin bertuah. Makanya saya heran ketika ditanya berapa mahar cincin itu? Mahar? Mahar apaan? Ternyata saya baru tahu sebuah batu bisa bernilai tinggi jika ada “khadam”nya. Harga tinggi bukan untuk sebentuk cincin itu melainkan sebagai mahar untuk apa yang ada di dalamnya. Tapi sungguh kita tekor bandar kalau berlaku syirik dalam memakai cincin. Apalagi cincin warisan setan. Semoga kita dilindungi dari hal yang demikian.

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak…” (QS. Al Hadid 20)

Semuanya menjadi serta merta.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

13 Mei 2015

Judul dari novel jadul cerita silat zaman dahulu kala karangan Bastion Tito: Wiro Sableng.