LEIDEN! Kepemimpinan Yang Menginspirasi


 

COVER LEIDEN - DUTA MEDIA TAMA

Ini bukan soal kota dan universitas tertua di Belanda yang bernama Leiden. Juga bukan membicarakan subjek. Melainkan soal predikat dalam bahasa belanda, leiden, yang berarti memimpin. Pekerjaan seorang pemimpin. Salah satu kriterianya ada dalam cerita ini.

Satu persamaan antara logo Bonek Persebaya Surabaya dan LA Mania Persela Lamongan adalah keduanya memakai wajah suporter yang sama. Bedanya logo Bonek Persebaya memakai ikat kepala sedangkan LA Mania tergambar dengan blangkon. Menariknya, kedua logo ini terinspirasi dari sosok yang sama. Pemuda gagah berani bernama Kadet Soewoko.

Pada 9 Maret 1949, tujuh orang menghadang segerombolan Belanda bersenjata lengkap.  Soewoko dengan  segelintir pasukannya tak pernah gentar menghadapi mereka. Serangan gencar dilancarkan menyebabkan banyak serdadu Belanda terjengkang.  Tapi keadaan berbalik. Belanda mengepung. Sampai Soewoko akhirnya tertembak dan terluka parah.

Baca Lebih Lanjut.

THAGHUT ITU KECIL!!!


THAGHUT ITU KECIL!!!

Sebenarnya kisah ini sudah pernah saya baca, dulu, dulu sekali. Kisah tentang detik-detik menjelang digantungnya Sayyid Quthb. Dan pagi ini saya menemukannya kembali artikel tersebut saat saya sedang berselancar di dunia maya. Kali ini kesan yang saya tangkap begitu berbeda. Ada bening-bening kaca di mata saat membacanya lagi. Apatah lagi saat membaca apa yang diucapkan oleh Sayyid Quthb ketika ia menolak penawaran pengampunan dari rezim Mesir yang berkuasa saat itu.

Berikut saya kutip sebagian kisah itu.

Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengagumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, untuk tetap tsabat dan shabr, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di Surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para Shahabat. Tausiyah ini kemudian diakhiri dengan pekikan, “ALLAHU AKBAR WA LILLAHIL HAMD!” Aku tergetar mendengarnya.

Di saat yang genting itu, kami mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar pelaksanaan eksekusi ditunda.

Perwira tinggi itu mendekati Sayyid Qutb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka. Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku Sayyid, aku datang bersegera menghadap Anda, dengan membawa kabar gembira dan pengampunan dari Presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis satu kalimat saja sehingga Anda dan seluruh teman-teman Anda akan diampuni”.

Perwira itu tidak membuang-buang waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah pulpen, lalu berkata, “Tulislah Saudaraku, satu kalimat saja… Aku bersalah dan aku minta maaf…” (Hal serupa pernah terjadi ketika Ustadz Sayyid Qutb dipenjara, lalu datanglah saudarinya Aminah Qutb sembari membawa pesan dari rejim thowaghit Mesir, meminta agar Sayyid Qutb sekedar mengajukan permohonan maaf secara tertulis kepada Presiden Jamal Abdul Naser, maka ia akan diampuni. Sayyid Qutb mengucapkan kata-katanya yang terkenal, “Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rejim thowaghit…”.

Sayyid Qutb menatap perwira itu dengan matanya yang bening. Satu senyum tersungging di bibirnya. Lalu dengan sangat berwibawa Beliau berkata, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan Akhirat yang abadi”.

Perwira itu berkata, dengan nada suara bergetar karena rasa sedih yang mencekam, “Tetapi Sayyid, itu artinya kematian…” Ustadz Sayyid Qutb berkata tenang, “Selamat datang kematian di Jalan Allah… Sungguh Allah Maha Besar!” *)

***

Ada yang selalu saya ingat dari sosok ayah saya saat bercerita tentang orang-orang besar. Ia selalu hafal kalimat-kalimat terkenal yang pernah diucapkan dari para tokoh itu, entah nasional atau dunia, dan ia mengucapkannya secara atraktif di hadapan kami para anak-anaknya sewaktu masih kecil. Itu amat mengesankan bagi saya. Yang sering ia ulang-ulang adalah ucapannya presiden pertama RI, IR. Soekarno. Sampai sekarang pun saya masih ingat walaupun tidak hafal perkataan tersebut. Yaitu tentang bagaimana nenek moyang kita yang berusaha mengusir penjajah Belanda dari tanah air Indonesia dengan mengucurkan keringat dan darah mereka.

Kali ini pun kiranya aku bergerak untuk mencontoh ayah saya. Ada kalimat yang amat mengharukan dan menggugah saya sehingga hampir-hampir saja saya menangis di depan komputer. “Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rejim thowaghit…”

Sungguh inilah natijah (buah) dari syahadatain, yang menolak setiap thoghut yang ingin menjadi setara dengan Pencipta dirinya. Inilah realisasi dari keimanan yang amat kuat hingga mampu merasakan dan mengatakan bahwa kehidupan dunia tidaklah sebanding dengan kehidupan akhirat yang abadi.

Bila saya ada dalam posisinya, bisa jadi saya akan mengiyakannya, mengaku bersalah, meminta maaf, serta langsung menandatangani surat itu sebelum sang pembawa surat selesai mengucapkan kalimatnya. Tentunya dengan alasan karena saya belum menikmati seluruh kehidupan dunia ini. Na’udzubillah.

Sungguh mudah mengucapkan dan mengajarkan materi-materi tarbiyah tentang Syahadatain dan Ma’rifatullah, tapi teramat berat dalam merealisasikannya karena di sana ada musuh abadi yang senantiasa mengintai dan menghalangi-halangi, setan dan hawa nafsu.

Bagi saya Syaikh Asysyahid Sayyid Quthb adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mampu merealisasikan nilai-nilai tarbiyah islamiyah dalam sebenar-benarnya kehidupannya. Maka dari akhir orang yang seperti itu mengapa masih banyak orang menghinakannya sedang ia terbukti mampu untuk menjual kehidupan dunianya dengan kehidupan akhiratnya sedang orang-orang yang berbicara sinis tentangnya belumlah teruji dengan pahit manisnya jihad fi sabilillah melawan thagut.

Sungguh ia akan dikenang dengan pemikirannya dan semangat jihadnya yang tak pernah mati. Bahkan orang sekelas Gamal AbdulNasser, Yusuf Kalla dan Hendropriyono pun tak akan mampu mematikannya. Ia mati tapi sesungguhnya ia tetaplah hidup.

Sungguh tidak ada jihad sebelum iman.

Allah Maha Besar! Thaghut itu kecil!

***

*) Kutipan kisah diambil dari sebuah situs internet.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

08:47 30 Juli 2009

setelah sekian lama tidak menulis

AKU BUKANLAH JUFAT DAN GHULLAT SAYYID QUTHB


AKU BUKANLAH JUFAT DAN GHULLAT SAYYID QUTHB

Buku kecil itu terjejer rapih di alas yang digelar oleh pedagang di trotoar seberang jalan Kedutaan Besar (kedubes) Amerika Serikat (AS). Beberapa saat kemudian buku seharga lima ribu perak kini telah berpindah tangan. Dan siap untuk saya baca. Sempat kulirik beberapa aparat kepolisian mengambil buku itu. Entah mereka cuma melihat-lihat saja atau membelinya karena segera kutinggalkan tempat itu untuk mencari posisi yang strategis menanti kedatangan rombongan besar pendemo yang sedang bergerak dari Bunderan Hotel Indonesia menuju kedubes.
Hari itu massa dari Partai Keadilan Sejahtera mengadakan demo besar-besaran sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan bangsa Palestina menghadapi aksi boikot Amerika Serikat dan sekutunya yang menyetop bantuan dananya. Slogan yang dikumandangkan Organisasi Konferensi Islam One Man One Dollar, To Save Palestina menjadi tema sentral dalam kegiatan akbar ini.
Kali ini, saya bersama rombongan kecil dari Bogor, menyempatkan diri untuk berpartisipasi sebagai wujud kecil dari ukhuwah lintas bangsa dan negara. Karena terlambat berangkat, kami putuskan untuk langsung menuju kedubes AS. Dari informasi yang diperoleh tempat itu menjadi titik terakhir dari aksi ini.
Belumlah begitu ramai ketika kami sampai di sana. Namun banyak aparat kepolisian yang sudah berjaga-jaga di sekitar kedubes. Dan sudah dipastikan banyak pula pedagang yang menggelar beraneka ragam macam barang dagangan. Mulai dari sekadar minuman penghilang haus dan dahaga hingga pernak-pernik, aksesoris, jilbab, dan pakaian.
Sembari menunggu itulah saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat keramaian kecil di sekitar. Sampai akhirnya saya menemukan buku kecil itu, lalu menjadi barang kedua yang saya beli setelah sebuah kaset muhasabah jadul berjudul Rihlatulillah.
Buku saku berkaver hitam ini berjudul Manhaj Harakah & Dakwah Menurut Sayyid Quthb. Judul dalam bahasa aslinya adalah Manhaj Sayyid Quthb Fid Da’wah. Ditulis oleh Jamaluddin Syabib—ia memperoleh gelar tertinggi dengan nilai Cum Laude pada perguruan Tinggi Dakwah Islamiyyah Madinnah Al Munawarrah Saudi Arabia. Dan diterjemahkan oleh Aminudin Khozin, alumni Pondok Moderen Gontor, Ponorogo dan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Buku yang pertama kali diterbitkan oleh Pilar Press di tahun 2001 ini menarik perhatian saya karena di dalamnya dijelaskan apa dan bagaimana manhaj dakwah Islam menurut Sayyid Quthb, dasar-dasar, keutamaan, pilar-pilar, dan dampak-dampak manhajnya baik dalam pergumulan pemikiran keislaman dan dalam dunia dakwah islamiyyah. Pelan-pelan saya baca buku itu dan berusaha untuk memahami apa yang ingin disampaikan oleh Sayyid Quthb dengan manhaj dakwahnya itu.
Baru pertama kali saya memiliki buku yang benar-benar dari awal sampai akhir memuat buah pikirannya. Di rumah tidak ada satu pun buku yang saya miliki membahas tentang Sayyid Quthb. Kalaupun ada itu pun hanya memuat sebagian kecil tentang pemikirannya, biografinya, dan kisah-kisah di penjara yang dialaminya.
Hatta buku sekaliber Ma’alim fith-thariq dan sefenomenal Fii Dzilaalil-Qur’an yang ditulis oleh Sayyid Quthb—keduanya bisa dikatakan sebagai buku referensi utama bagi para aktivis pergerakan—sampai detik ini pun belum saya punyai.
Walaupun ada keinginan kuat untuk membelinya pada saat terjemahan Fii Dzilaalil-Qur’an ini pertama kali muncul, namun tidak sampai menggerakkan hati saya untuk membeli dan memilikinya. Bahkan di saat Wakil Presiden Republik ini pernah memerintahkan aparatnya untuk meneliti buku-buku yang ditulis oleh Sayyid Quthb—karena menurut dia menjadi pemicu pemikiran radikal para pengebom Bali dan Kedubes Australia—tidak membuat saya tergugah untuk mendalami lebih lanjut apa yang disebarkan oleh Sayyid Quthb melalui buah pemikirannya itu.
Yang saya kenal darinya pun sebatas riwayat hidupnya belaka. Sebagai seorang pemikir kedua setelah Hasan AlBanna pada jama’ah pergerakan terbesar di Mesir yakni Ikhwanul Muslimin. Sebagai seorang yang dituduh membuat makar oleh Jamal Abdun Nashir—seorang yang diterima oleh Ikhwanul Muslimin sebagai bagian dari jama’ah kemudian membelot hingga sampai pada tindakan menawan, menyiksa, membantai, dan menggantung para anggota jama’ah ini.
Sayyid Quthb yang saya tahu pun hanya sekadar sesosok ringkih yang dibawa ke tiang gantungan sebelum terbit fajar hari Senin, 29 Agustus 1966. Namun walaupun jasadnya telah menjadi tanah namun pemikirannya tetap hidup hingga kini dan menyebar ke belahan dunia lain. Membuatnya sebagai ikon penentangan terhadap ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan. Dan bersamaan dengan itu pula dijadikan sansak caci maki pada dirinya dari segolongan lain yang dialamatkan juga kepada jama’ah yang membesarkannya.
Saya anggap hal itu sebagai suatu kewajaran. Hatta seorang Nabi Besar Muhammad saw sebagai penghulu dari umat ini pun tidak lepas dari orang-orang yang mencintainya dengan sepenuh kasih sayang dan orang-orang yang menghinanya sewaktu ia masih hidup hingga 14 abad kemudian setelah kematiannya—yang terbaru adalah karikatur penghinaan dirinya yang dimuat oleh media Denmark. Jadi biasa sajalah.
Sampai suatu hari saya menemukan sebuah situs di internet, yang secara detail membahas tentang bagaimana supaya ummat ini kembali kepada aqidah yang lurus sesuai dengan pemahaman ahlussunah wal jama’ah. Tapi dalam situs tersebut juga terdapat banyak perkataan caci maki dan membid’ahkan pada banyak nama. Bahkan yang mencolok—karena diletakkan di halaman depan—mereka membuat sebuah artikel yang khusus memuat kesalahan-kesalahan dari Sayyid Quthb. “Apa pula ini?” pertanyaan itu menggantung sampai akhirnya saya menyelesaikan bacaan itu.
Saya merenung, dan saya baru teringat bahwa saya mempunyai sebuah buku yang membahas tentang hal ini. Buku yang ditulis oleh Jasim Muhalhil dan saya beli di tahun 1997 ini berjudul Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan. Memberikan penjelasan detil terhadap tuduhan-tuduhan yang ditudingkan kepada Jama’ah Ikhwanul Muslimin dan khususnya kepada Sayyid Quthb.
Buku lain dengan tema yang hampir sama pun telah saya punyai di tahun 2003. Kali ini ditulis oleh penulis lokal bernama Farid Nu’man. Buku ini berjudul Al Ikhwanul Muslimun Anugerah Allah yang Terzalimi: Sebuah koreksi Bijak dan Tuntas atas Tuduhan, Fitnah, dan Celaan tak Pantas Terhadap Manhaj dan Tokoh-tokohnya.
Setelah saya baca dua buku tersebut, semua itu ternyata tuduhan-tuduhan lawas dan bukan sesuatu yang baru. Yang memang sudah berkembang sejak dulu dan tidak bermulai dari sini. Mulai tuduhan ia dianggap sebagai seorang Mu’tazilah, Wihdatul Wujud, Asy’ariyyah, mengafirkan kaum muslimin, mencela Mu’awiyyah. ‘Amr bin ‘Ash, dan ‘Utsman bin ‘Affan, serta masih banyak lagi tuduhan yang lainnya.
Walaupun tidak membacanya dengan pelan-pelan dan teliti, saya merasakan cukup dengan segala jawaban yang diberikan dalam kedua buku itu. Tapi sudah membuat kepenasaran saya terobati. Sampai akhirnya…
Pada suatu hari saya bergabung dan terlibat dalam suatu forum diskusi di sebuah situs intranet di kantor kami yang tersebar di pelosok negeri ini. Dan saya terkejut. Baru kali inilah dalam seumur hidup saya, saya menemukan sebuah komunitas yang menjadi penyalur dan corong suara dari situs internet yang telah saya jelaskan di awal—karena sebelumnya dalam kehidupan kampus dan keseharian saya di masyarakat tidak pernah menjumpai dan bergaul secara langsung dengan mereka.
Keterkejutan saya adalah dengan kegarangan mereka dalam tuduhan, hinaan, dan celaan yang dilontarkan kepada siapa saja yang tidak sepaham dan tidak sependapat dengan pandangan mereka dan para masyaikh mereka dalam keberislaman. Apalagi pandangan mereka terhadap jama’ah pergerakan, Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Yusuf Qaradhawy. Bisa dikatakan setiap hari tidak ada yang terlewatkan dengan caci maki terhadapnya.
Tentunya saya sebagai newbie (pendatang baru) dalam forum tersebut dan melihat terlalu berlebihannya mereka saya merasa terpanggil untuk membalas setiap tuduhan dan celaan itu. Akhirnya saya pun terlibat dalam pertarungan argumen dengan mereka.
Berhari-hari saya ikut serta dalam perdebatan itu. Hingga saya menemukan kesadaran adanya kesia-siaan, kekerasan hati, berhentinya amal, jumud dalam tsaqofah, pengenalan lebih dalam dan pemahaman terhadap karakter mereka. Bahkan bisa dikatakan lengkap. Runut sedari awal mereka eksis bermula di gurun Nejd.
Setelah itu saya cukup diam. Berusaha meredam hawa nafsu dalam setiap perkataan. Karena terhadap mereka tetaplah ada hak-hak yang wajib ditunaikan oleh saya sebagai saudara dalam aqidah yang kokoh ini.
Bahkan dengan diamnya saya ini, membuat tekad saya bertambah untuk membeli buku Ma’alim Fith-Thoriq atau pun Fii Dzilaalil-Qur’an. Dan memberikan sebuah kesempatan emas kepada saya membaca lebih teliti dan mempelajari lebih lanjut tokoh Ikhwanul Muslimin yang paling dibenci oleh mereka, Sayyid Quthb.
Biografinya saya baca kembali pelan-pelan di suatu malam. Perjalanan hidupnya yang ditulis dalam buku: Mereka yang Telah Pergi (ditulis oleh Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil) menurut saya belumlah memuaskan rasa keingintahuan saya terhadap dirinya. Namun mampu membuat mata dan hati ini berbening kaca dan mengharu biru. Apalagi di sana ada visualisasi dirinya dengan didampingi dua pengawal menuju tiang gantungan. Saya berhenti cukup lama di halaman tersebut, merenungi detik-detik mendebarkan yang akan memisahkan dunia yang telah membuatnya terzalimi dengan pertemuannya kepada Sang Pemilik Jiwanya.
Ada ketegaran dan kemuliaan diri dalam tubuh tua dan kurusnya. Tali gantungan pun dengan Izin Allah tak mampu membelenggu dan mengubur pemikirannya bersama jasadnya di dalam tanah sedalam-dalamnya. Bahkan akhlak dan izzah-nya di tiang gantungan itu mampu menjadi jalan turunnya hidayah Allah bagi dua algojo yang mengeksekusinya. Subhanallah…Semoga engkau menjadi syahid, ya akhi…
Sebuah syair yang dibuatnya di balik jeruji penjara berjudul akhi menggema di dunia Arab hingga penyair Arab ternama dari Yordania dan Irak membuat syair balasannya. Begitu pula malam itu, setelah membacanya saya pun membuat syair sebagai balasannya:
Memoar Agustus 1966
Saudaraku,
pada baju penjara dan kopiah putih lusuh
yang kau pakai pada hari itu
pada tubuh kurus
yang menopang seonggok jiwa lurusmu
pada setiap langkah tegar
yang kau gerakkan dari kakimu
menuju tiang gantungan
di apit dua algojo
dengan tali besar menghias di leher
lalu jenak batas memisahkan
sungguh
ada jejak tertinggal bagi dunia
bagi manusia
untuk bernaung di bawah KalamNya.
***

Tapi saya menyadari sesungguhnya ia adalah manusia biasa, tak luput dari kelalaian dan kesalahan. Dan sebagaimana kaidah yang berlaku umum orang baik adalah orang yg kebaikannya jauh lebih banyak dari kesalahannya. Sungguh ia adalah orang yang baik. Tak pantaslah ia dicaci maki dan di hina dengan serendah-rendahnya dan sejelek-jeleknya julukan.
Cukuplah saya mengambil apa yang dikutip oleh Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil dari Dr. Ahmad Abdul Hamid Ghurab: “ Kita tidak mengatakan Sayyid Quthb orang maksum. Begitu juga ulama dan da’i lain. Setiap orang perkataannya boleh diambil atau ditolak kecuali Nabi saw yang maksum. Kita tidak mengultuskan Asy-Syahid Sayyid Quthb, tapi semata-mata memuliakan dan memenuhi hak-haknya. Kita tidak boleh mendiskreditkan dan menghujatnya. Alangkah celakanya umat yang tidak tahu hak-hak ulama yang berjuang dan syuhada yang telah berjihad. Allah berfirman tentang mereka, “dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (Muhammad:4)”.
Atau seperti yang dikatakan oleh Jasim Muhalhil: “Selain itu kami ingin menegaskan kepada kaum jufat (penghujat) bahwa serendah-rendah apapun Anda mencela Sayyid dan karya-karyanya, semua itu tidak akan mengubah kedudukan beliau yang telah terlanjur istimewa di dada mayoritas umat. Tidak akan ada yang mengingkari beliau kecuali orang-orang yang buta mata hatinya.”
Lebih lanjut ia mengatakan: “Adapun bagi kaum ghullat (pemuja) Sayyid, setinggi apapun Anda menyanjung-nyanjung Sayyid bahkan hingga ke langit tujuh tidaklah mengubah kedudukan Anda dan tidak pula membuat orang lupa terhadap kekeliruan Asy-Syahid Sayyid Quthb seperti apa yang telah diteliti para muhaqqiq. Itulah manhaj yang seimbang dalam menilai kekeliruan dan kebaikan manusia, yaitu manhaj wasathiyah (pertengahan). Semoga Allah Swt mengampuni dosa Sayyid Quthb dan memberikan petunjuk bagi kita yang hidup untuk selalu berada dalam jalan yang haq dan ridha-Nya.”
***
Belumlah sampai setengah saya membaca buku kecil itu, tiba-tiba terdengar suara dan derap dari kejauhan. Rupanya rombongan besar pendemo itu mulai mendekat. Hati saya tergetar mendengar takbir dikumandangkan, melihat panji-panji berkibar dan barisan coklat rapi dan gagah dari para kepanduan yang berada di depan. Hal sama dirasakan oleh seorang polisi yang sedang berbicara melalui handy talky dengan temannya di ujung: “Saya merinding melihat ini.”
Mereka semakin mendekat, mendekat, dan mendekat. Saya pun lalu berteriak: Allohuakbar!!! One Man One Dollar, To Save Palestina…!

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:49 15 Mei 2006

MEMOAR AGUSTUS 1966


Wednesday, May 10, 2006 – MEMOAR AGUSTUS 1966

Memoar Agustus 1966

Saudaraku,
pada baju penjara dan kopiah putih lusuh
yang kau pakai pada hari itu
pada tubuh kurus
yang menopang seonggok jiwa lurusmu
pada setiap langkah tegar
yang kau gerakkan dari kakimu
menuju tiang gantungan
di apit dua algojo
dengan tali besar menghias di leher
lalu jenak batas memisahkan
sungguh
ada jejak tertinggal bagi dunia
bagi manusia
untuk bernaung di bawah KalamNya.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
20:19 09 Mei 2006

***
Syair di atas adalah balasan sebuah puisi di bawah ini yang ditulis seorang al-akh. Pula sekadar memuliakan dan memenuhi hak-hak seorang ulama yang berjuang dan syuhada yang telah berjihad.

Akhi

Saudaraku engkau merdeka, meski berada di balik jeruji penjara
Saudaraku, engkau merdeka meski diborgol dan dibelenggu
Bila engkau pada Allah berpegang teguh
Maka tipu daya musuh tidak membahayakanmu
Wahai saudaraku, pasukan kegelapan akan binasa
Dan fajar baru akan menyingsing di alam semesta
Lepaskan kerinduan jiwamu
Engkau akan melihat fajar dari jauh telah bersinar
Saudaraku, engkau jangan jenuh berjuang
Engkau lemparkan senjata dari kedua pundakmu
Siapakah yang akan mengobati luka-luka para korban
Dan meninggikan kembali panji-panji jihad?
((Asy-Syahid Sayyid Quthb)
[maraji: mereka yang telah pergi]