APAKAH TRANSAKSI DI BULAN MARET 2010 BOLEH DIBUATKAN FAKTUR PAJAK DI BULAN APRIL 2010?


APAKAH TRANSAKSI DI BULAN MARET 2010 BOLEH DIBUATKAN FAKTUR PAJAK DI BULAN APRIL 2010?

Pembaca sekalian dengan adanya penerapan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terbaru, teman saya juga ada yang bertanya kepada saya mengenai transaksi yang dibuat pada bulan Maret 2010. Bagaimana dengan perlakuannya apakah masih menggunakan undang-undang lama atau harus memakai yang baru?

Karena konsekuensinya ketika memakai Undang-undang PPN yang baru maka faktur pajak atas transaksi yang terjadi di bulan Maret 2010 harus dibuat di bulan Maret 2010 semuanya dan tidak boleh dibuat sampai paling lambat akhir April 2010.

Terbukti pelanggan perusahaan teman saya itu menolak faktur pajaknya karena atas transaksi bulan Maret 2010 ia buat faktur pajaknya di bulan April 2010. Takut kalau pelanggan teman saya itu ketika diperiksa oleh Pemeriksa Pajak akan dikoreksi karena dianggap sebagai faktur pajak cacat dan tidak dianggap sebagai kredit pajak.

Oleh karena itu teman saya meminta penjelasan kepada saya apakah atas transaksi bulan Maret 2010 masih bisa diterbitkan faktur pajak pada Bulan April 2010?

Oke, karena dia bertanya kepada saya, maka saya jawab pertanyaannya.

Bahwa Undang-undang PPN yang lama seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, antara lain mengatur:

Pasal 13 ayat (4) Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Aturan di bawahnya juga seperti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar, antara lain mengatur:

Pasal 2 ayat (1) Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat :

  1. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
  2. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
  3. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
  5. pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Sedangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, antara lain mengatur :

  1. Pasal 13 ayat (1a), bahwa Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
    1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
    2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
    3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
    4. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

  2. Pasal II, bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.

Maka berdasarkan ketentuan di atas saya menyimpulkan bahwa dikarenakan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010 maka sepanjang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terjadi pada bulan Maret 2010, Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:

  1. pada akhir bulan April 2010 dalam hal pembayaran diterima setelah bulan April 2010;
  2. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan April.

Tak selayaknya pelanggan perusahaan teman saya itu menolak faktur pajak ini. Pemeriksa Pajak juga tidak sebego yang mereka kira. Mereka juga baca aturan ini. Tapi kekhawatiran ini patut dimaklumi juga agar tidak menjadi masalah dikemudian hari.

Semoga bermanfaat artikel ini.

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

02.31 01 Mei 2010

citayam dinihari masih panas juga

tulisan ini didekasikan untuk teman saya dimaksud juga untuk masyarakat perpajakan indonesia

Pajak, PPN, UU PPN baru, UU PPN Lama, UU no.8 tahun 1983, uu PPN no.42 tahun 2009, uu ppnno. 18 tahun 2000, faktur pajak standard, faktur pajak standar, faktur pajak ppn, pajak masukan, pajak kelauran, pemeriksa pajak, auditor pajak, masa transisi, per.13/pj/2010, spt masa ppn, pajak pertambahan nilai,

FAKTUR PAJAK STANDARD MASIH BISA DIPAKAI?


APAKAH FAKTUR PAJAK YANG MASIH MENCANTUMKAN KATA STANDARD MASIH BISA DIPAKAI?

Bulan Maret dan April 2010 ini saya sering sekali ditanya oleh Wajib Pajak berkenaan dengan penerapan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terbaru yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 /PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.

Dengan ketentuan tersebut tidak ada lagi pembagian faktur pajak menjadi faktur pajak standard dan faktur pajak sederhana. Masalahnya—seperti yang sering diungkapkan oleh Wajib Pajak—adalah ketentuan tersebut tidak mengakomodir masa transisi buat Wajib Pajak agar dengan mudah menerapkan ketentuan tersebut.

Pada akhirnya banyak Wajib Pajak komplain dan bertanya pada saya masih dapatkah faktur pajak yang lama dipakai? Karena mereka beralasan bahwa cetakan faktur pajak yang lama itu masih banyak. Apalagi buat Wajib Pajak yang dalam penerbitan faktur pajaknya memakai sistem dan terintegrasi dengan sistem keuangan lainnya, sehingga untuk melakukan perbaikannya butuh waktu dan dana yang tidak sedikit.

Jadi mereka bertanya apakah pencantuman kata standard dalam faktur pajak tersebut
akan menyebabkan faktur pajak cacat?

Bagi saya faktur pajak itu tidak cacat dan tidak masalah, walaupun dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-13/PJ/2010 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur pajak, bentuk faktur pajaknya hanya tertulis dengan judul “FAKTUR PAJAK” tidak ada kata standardnya.

Mengapa menurut saya itu tidak mengapa? Oke saya uraikan sedikit dasr hukumnya sebagai berikut:

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, antara lain mengatur :

  1. Pasal 13 ayat (1), bahwa Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
  2. Pasal 13 ayat (5), bahwa Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
    1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
    2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
    3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
    4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
    5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
    6. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
    7. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
  3. Pasal 13 ayat (8), bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Peraturan yang dibawahnya yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 /PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, antara lain mengatur:

  1. Pasal 6 ayat (1), bahwa bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai;
  2. Pasal 7, bahwa Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dan pengisiannya sesuai dengan tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Jadi saya bertitik tolak pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan di atas bahwa bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.

Lalu bagaimana kalau faktur pajak yang masih ada tulisan standardnya tersebut digunakan untuk transaksi dengan Wajib Pajak yang tidak ada NPWP atau alamatnya? Jadi sepertinya terlihat tidak sesuai dengan standardisasinya. Bagi saya tak mengapa pula, karena yang menentukan standard dan tidaknya adalah Pengusaha Kena Pajaknya sendiri. Yang terpenting adalah transaksi dengan Wajib Pajak yang tidak punya NPWP atau alamatnya tidak jelas itu sudah dibuatkan faktur pajak dan telah dinomori.


Jadi berdasarkan ketentuan di atas sepanjang pengisian pada Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN diatas, maka Faktur Pajak tersebut adalah Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan dan tidak dianggap sebagai Faktur Pajak cacat.

Masalahnya adalah Pengusaha Kena Pajak siap tidak untuk menerima penolakan dari kliennya karena khawatir faktur pajaknya itu tidak dapat dikreditkan. Mereka biasanya bersikeras untuk meminta Pengusaha Kena Pajak untuk menghilangkan kata standardnya. Dan biasanya Pengusaha Kena Pajak juga akan mengikuti keinginan kliennya daripada duit tidak masuk…iya enggak.

Penolakan itu terjadi karena klien takut ketika diperiksa oleh pemeriksa pajak untuk mendapatkan restitusi pajaknya akan mendapatkan persepsi yang berbeda dari pemeriksa pajak itu. Nah daripada ngotot-ngototan dengan mereka lebih baik klien cari amannya saja. Terkecuali klien mendapatkan surat penegasan dari Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak bahwa faktur pajak yang mencantumkan kata standard masih diperbolehkan untuk dipakai.

Menurut pemikiran saya, Wajib Pajak yang mempersengketakan masalah ini di Pengadilan Pajak akan dimenangkan juga oleh Majelis Hakim, yang penting duit PPNnya sudah masuk ke kas negara. Biasanya begitu.

Jadi, terserah kepada Anda wahai Pengusaha Kena Pajak untuk masih tetap memakai faktur pajak yang ada kata standardnya atau tidak. Keputusan ada di tangan Anda.

***

Catatan penting: Apa yang ditulis di atas adalah merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan pendapat atau keputusan instansi DJP tempat saya bekerja.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09:55 22 April 2010