Siapakah Engkau Kiranya?


Duh,
kiranya tiada kegembiraan
selain melihat seorang sahabat bercahaya
dengan kata-kata mengalun bak buluh perindu.
Wahai saudaraku, wahai akhi…
Semoga Allah merahmati kami dengan satu Qaulan Sadiidan dan dua prajurit-Nya yang kudamba menjadi pejuang-pejuang Islam kelak dewasa nanti.
Sang mutaakhir, kuidamkan menjadi sosok-sosok cerdas dari kader Islam yang senantiasa detik demi detiknya berjuang untuk agamanya yang lurus.
Sang muhandis Yahya ‘Ayyasy kuidamkan menjadi seorang hafidz dan ‘ulama yang faqih dalam ilmunya, merendahkan diri, tidak suka berjidal namun tinggi didepan musuh-musuh Allah.
Wahai saudaraku,
kiranya nama-nama yang engkau sebutkan membuatku semakin bertambah keyakinan bahwa ukhuwah ini telah membuatku merindukan masa-masa lalu
faisal,wisnu,amran,maman,lukman,abas,anwar,agus,totok.. .
atun,yetty,titi,murdiana,sobiroh,ita,…….
tak kusebut nama yang ditebalkan karena ia tak layak dibandingkan dengan nama-nama di sisinya.
Wahai akhi, wahai saudaraku
siapa gerangan engkau yang telah membuat bambu hatiku terusik dengan suara berisik oleh angin perkataan syahdumu
ah…kiranya engkau sudi memperlihatkan wajah rembulanmu…
sekarang atau nanti?

— Previous Private Message —
Sent by : bercahaya
Sent : 16 March 2006 at 11:12am
wa ‘alaikum salaam
duh senangnya kau baca tulisanku
ingin rasanya ku belajar menulis darimu
dimanakah kau belajar?
gimana kabar keluargamu? sehat-sehat sajakah?
diriku mengenal dirimu
riza,faisal,wisnu,amran,maman,lukman,abas,anwar,agus,totok.. .
atun,yetty,ria,titi,murdiana,sobiroh,ita,…….
bukankah mereka sahabat fikrohmu
rasanya baru kemarin…
juniormupun akan sekolah dasar
ngomong-ngomong dah berapa ya putramu?
ah…

Ramadhankan Hatiku…


Alangkah sayangnya Ramadhan tersia-sia. Alangkah sayangnya Ramadhan merana ditinggalkan. Bila dunia masih saja memecut punggung engkau untuk segera meraih kenikmatannya. Hingga malamnya masih saja tak terisi dengan berdiri tarawih. Masih saja tak terisi dengan ayat-ayatnya barang satu atau dua juz. Masih saja syahwat merajalela di hati. Masih saja mulut menyemprotkan bisanya kemana-mana. Buruk sangka, hasad, dengki, riya’ dan segala macam penggelap hati masih saja dijadikan penghias diri. Duhai diri insyaflah…
Satu hiasan indah di malam-malam Ramadhan adalah tarawih. Berusahalah untuk tak ditinggalkan. Jikalau tak sempat pergi berbondong-bondong ke masjid terdekat karena sibuk di kantor, macet dalam perjalanan pulang, atau urusan lainnya, tetaplah jangan engkau tinggalkan ia karena waktu masih lapang hingga imsak.
Jikalau engkau mampu menegakkannya bersama-sama di masjid penuh barakah, maka bersiaplah engkau akan menerima banyak nilai kebaikan. Setiap langkah yang kau gerakkan menuju masjid itu akan dihitung dengan berlipat ganjaran. Setiap senyum yang engkau sunggingkan kepada saudaramu adalah sedekah yang berlipat ganjarannya. Setiap satu jabat tangan kepada saudaramu akan merontokkan dosa-dosa engkau dan saudara-saudaramu sampai engkau lepaskan kembali jabat tanganmu.
Setiap rakaat penghormatan kepada masjidmu dengan tahiyatul masjid akan dihitung dengan berlipat ganjaran. Setiap rakaat rawatibmu—yang seringnya engkau tinggalkan, akan dihitung dengan berlipat ganjaran. Setiap rakaat shalat wajibmu dengan berjama’ah akan dihitung berlipat ganda ganjarannya.Bahkan setiap rakaat tarawih dan witirmu akan dihitung berlipat ganjarannya. Pula engkau akan dapatkan siraman yang menyegarkan qolbu dari para ustadz. Hingga seperak dua perak yang engkau masukkan ke kotak amal akan dihitung berlipat ganjarannya. Bahkan bila bertekad kuat maka engkau akan dapatkan malam dinanti, malam seribu bulan. Subhanallah…
Maka kebaikan mana lagi yang akan dapat menandinginya sebagai hiasan indahmu duhai diri, duhai kawan? Itu baru satu penghias saja yakni tarawih. Masih banyak yang dapat kau jadikan penghias indahmu di sepanjang ramadhan kali ini.
Wahai diri, wahai kawan, jangan engkau sia-siakan malam-malam ramadhanmu sampai engkau merasa hatimu, dirimu telah diramadhankan oleh-Nya.

dedaunan di ranting cemara
putih
08:47 12 Oktober 2005

Ramadhanku Adalah…


Ramadhanku adalah saat di mana aku kembali mengenang masa-masa indahku di ramadhan-ramadhan yang lalu.

Saat aku kecil, di sebuah kota kecamatan di Indramayu, ramadhanku adalah saat di mana aku bisa makan sepuasnya kue yang diperebutkan bersama teman-temanku setelah sholat tarawih yang dibagikan oleh pengurus musholla. Setelah itu Ramadhanku adalah saat aku asyik menikmati “krupuk sambel” atau bakso yang sengaja dibeli oleh ibuku. Makan rajungan, nasi jamblang dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ramadhanku di saat pagi adalah saat aku jalan-jalan setelah sholat dan kuliah shubuhnya yang aku lalui dengan enak tertidur di masjid. Jalan-jalan bersama sambil bermain detektif-detektifan layaknya lima sekawan yang sedang terkenal di masa itu. Dan sambil hiking, susuri pinggiran sungai cimanuk sampai menyeberangi “jembatan abang” bekas peninggalan belanda yang rusak parah dengan ketinggian kurang lebih 25 meter di atas permukaan kali Cimanuk. Hampir saja terjatuh tapi Alhamdulillah selamat juga.

Ramadhanku di saat siang adalah saat aku banyak membaca komik di tempat persewaan. Dan sore hari menjelang maghrib adalah saat yang paling mendebarkan hati sambil memutar “tuning” gelombang radio mencari stasiun mana yang lebih cepat mengumandangkan adzan.

Ramadhanku di saat SMP adalah ramadhan yang hampir penuh dengan aktivitas mendengarkan radio di saat siang hari sambil menunggu kalau-kalau ada dari teman-temanku menitipkan salam buatku dari kartupos yang dibaca oleh penyiar Radio Cinderella, dan diselingi dengan banyak lagu yang dilantunkan oleh penyanyi-penyanyi negeri jiran yang saat itu dipastikan menguasai blantika musik pop Indonesia, mulai dari Ami Search, Swing, dan lain sebagainya (ingat suci dalam debu? tayamum dong).

Ramadhanku di saat aku SMA, di sudut desa di barat Cirebon, adalah ramadhanku yang agak berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Karena sekolahku terletak jauh dari rumahku—kurang lebih tiga puluh kilometer—aku tinggal bersama pamanku yang keras dalam menjagaku. Aku diharuskan ikut tahsin dan tahfidz setiap harinya dengan berguru pada anaknya yang hafal Alqur’an 30 juz. Jadi ramadhanku saat itu adalah ramadhanku yang sorenya aku harus mengikuti tasmi’ satu juz oleh saudara sepupuku itu sampai menjelang buka.

Dan malamnya adalah saatnya tarawih di musholla yang hanya diterangi lampu bohlam 10 watt saja, lagi dengan Imam yang membaca satu juz selesai dengan terburu-buru. Sesekali aku bercanda di tengah sholat sambil injak-injakan kaki dan dorong-dorongan dengan teman-temanku, Masya Alloh. Ohya, saat itu Merry Andani dan Jeffry Bule amat terkenal. Ada Dinding Pemisah, Amayadori, Mas Joko dan lain-lain.

Ramadhanku di Jurangmangu, Tangerang, adalah ramadhan di kampus yang amat dan sangat berbeza (dengan huruf z: bahasa malaysia). Kutemukan sesuatu yang lain. Saat ramadhan dengan paradigma tentang Islam yang sangat baru bagiku. Saat itulah aku sangat menikmati ayat-ayat yang dibacakan oleh sang imam. Saat itulah aku tahu tentang ukhuwah, Qiyamullail bermakna, banyaknya hafalan, godhul bashor, Jihad Palestina, ifthor dengan nasi kotakan gratis dari masjid kampus, Al-Matrud, Nada Murni, The Zikr, Najmuddin, zuhud, itsar, ikhlas, dan yang tak tersentuh, tak terlihat, tak terbayangkan: The Akhwat.

Ramadhanku di Jurangmangu adalah saat aku pertama melihat sosok lekat dan erat di hati:
– Ustadz Musyaffa Lc: tilawah dalam kesendirian di sebuah musholla;
– Ustadz Sudarman, Lc: sosok pendekar: pendek tapi kekar, saat itu rumahnya masih rumah petak kontrakan;
– Ustadz Imam Agus Lc: Almarhum, sakit dan meninggal dalam sebuah bus malam dalam perjalanan pulang kampung;
– Ustadz Jazuli Zuwaini, Lc: yang pernah sakit typhus karena terlalu sering naik vespa tanpa pelindung dada;
– Ustadz Ainur Rafiq, Lc: Almarhum, semoga Alloh meridhoinya, sosok tinggi dengan wajah teduh, ahli tifan;
– Ustadz Daud Rosyid: jenggotnya yang lebat dan berwibawa;
– Ustadz Salim Segaf Al-Jufri;
– Ustadz Muzammil Yusuf, dan lain sebagainya.
Kini sebagian dari mereka menjadi sosok-sosok yang membuatku haru ketika melihat mereka mengambil suara dalam pertarungan perebutan kursi Ketua DPR di senayan dulu.

Ramadhanku di Kalibata adalah saat-saat sendiri dan sepi, karena teman kosku sering sakit dan selalu pulang ke rumahnya, (kumaha atuh kang Ujang?) Ramadhan yang berbukanya hanya dengan krupuk dan lauk seadanya, kadang makan enak di kantor. Pula ramadhanku adalah saat-saat mencari sembako dengan harga murah sampai menjelang sahur untuk kegiatan baksos di keesokan harinya, sambil menancapkan panji-panji “Keadilan”. Ramadhanku saat itu adalah saat-saat terindah di Cilember (Forum Cilember masih adakah?). Masih dengan semangat membara ala fresh graduate adik-adik kelas. Dan tidak lupa, ramadhanku adalah saat membuka biodatanya.

Ramadhanku di awal 2000 adalah ramadhanku menanti sang penerus cita-cita, dan asyik masyuk dalam 10 hari terakhir di Al-Hikmah, Bangka.

Dan kini ramadhanku adalah ramadhan yang penuh hadiah: kemenangan yang Alloh berikan kepada saudara-saudaraku. Tentang tiga buah kemenangan yakni: 1. kemenangan da’wah dalam pemilu legislatif kemarin; 2. kemenangan da’wah dalam pemilu presiden tahap dua; 3. kemenangan da’wah dalam meraih kursi Ketua MPR (nasru minnallohu only, kata Ustadz Muzammil).

Ya, itulah ramadhanku. Tak sekadar mengenang masa lalu saja, pada akhirnya ada a big question mark, dua puluh delapan ramadhan berlalu, apakah predikat “itu” telah ada pada diriku? Allohua’lam. Aku harap sih iya. Aku tidak mau menjadi orang merugi, tentu pula kau.

*)hanya sekadar episode kecil ramadhan
Dedaunan di ranting cemara
Ba’da tarawih dan shubuh.
dulu sekali 2004
edited 2005

Hah…Haqi Rangking 2?


Sebenarnya saya ingin menulis tentang tema ini sejak di akhir Juni 2005 yang lalu. Namun entahlah “ngeh”nya baru saat ini, setelah hampir tiga bulan lamanya terpendam dalam pikiran dan hanya dijadikan daftar tema yang harus ditulis dalam file computer saya. Ada apa sih di akhir Juni 2005?
Oh ya, perkenalkan terlebih dahulu anak saya yang pertama ini. Namanya Maulvi Izhharulhaq Almanfaluthi. Panggil saja ia Haqi. Tahun ini umurnya genap lima tahun. Sekarang ia naik ke kelas B di TKIT Adilla. Kelas A baru saja selesai di pertengahan Juni 2005 yang lalu. Dan seperti biasa di setiap akhir tahun ajaran diadakan acara perpisahan kelas B yang akan masuk SD dan acara pentas seni serta pemberian hadiah.
Haqi begitu bersemangat sekali mempersiapkan diri untuk ikut serta menyumbangkan diri bersama teman-temannya dalam acara itu. Mulai dari nyanyi-nyanyian, tari-tarian, dan pembacaan hafalan doa, surat, ataupun hadits.
Nah, pada saat acara itulah—yang tidak dapat saya hadiri, saya mendapatkan sesuatu yang mengejutkan. Apa coba? Haqi ranking dua. Hah…!
“Yang benar?” tanyaku memastikan.
“Swear…”kata Qoulan Syadiida di ujung sana.
“Wah hebat dong, Bagaimana ceritanya kok dia bisa?”
“Entar di rumah saja ceritanya.”
“Oke, deh.” Sambil sedikit kecewa karena hari itu aku harus kuliah dan ini berarti sampai rumah nanti berkisar pukul setengah sepuluh malam. Sebelum telepon di tutup, ia memberitahu pula bahwa di acara itu Haqi mendapatkan banyak hadiah. Syukurlah…Tapi mengapa saya terkejut dengan berita itu?
Saya mungkin adalah termasuk ke dalam golongan suami yang menyerahkan segala urusan rumah tangga dan pendidikan anak pada istri. Dan suami “pure” mencari nafkah semata. Apalagi bekerja di belantara kota Jakarta, di mana setiap pagi sebelum matahari terbit sudah harus berangkat, dan pulang setelah matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat. Sedangkan setiba di rumah, kelelahan becampur baur dengan peluh yang membasahi tubuh. Sehingga sisa waktu dipergunakan untuk langsung beristirahat. Jadi, sepertinya tidak ada waktu untuk sekadar menanyakan kegiatan sekolah anak.
Sedangkan hari Sabtu dan Minggu, adalah waktunya saya memulihkan diri dengan istirahat penuh, sehingga perasaan malaslah yang mendominasi kalau diajak bepergian ke Depok ataupun Jakarta untuk sekadar piknik atau mencari jajanan bersama keluarga.
Sehingga saya benar-benar tidak memerhatikan apa yang dilakukan Haqi di sekolahnya. Sesekali memang bersama-sama mengerjakan PR, tapi kebanyakan bersama umminya. Mewarnai? Jarang juga. Mengisi buku penghubung, apalagi. Oh ya, saya cuma membawakan majalah anak-anak dua mingguan untuknya. Itu saja. Kata umminya, Haqi susah sekali untuk diajak belajar dan ia sering sekali bermain bersama teman-temannya. Ah biarlah, saya pikir masa TK-nya Haqi adalah masa bermain-mainnya, baru kalau sudah di SD, saya turun tangan untuk berlaku ketat dalam memantaunya.
Tapi berita itu memang mengejutkan saya. Haqi yang jarang belajar. Haqi yang hobinya malah bermain, dan saya yang sama sekali kurang memerdulikan dan memerhatikan belajarnya, saya yang asyik dengan dunianya sendiri. Kok bisa, Haqi rangking dua.
Ya, betul Haqi rangking dua. Dan parameter yang saya tentukan dalam penentuan rangking yakni dengan prosentase yang besar hanya dalam belajar adalah salah. Ternyata setelah mendapatkan informasi dari guru pembimbingnya diketahui bahwa Haqi mempunyai prestasi non belajarnya yang menonjol daripada yang anak lain yakni keberanian, mempunyai emotional quotion yang baik, dan inisiatif. Walaupun prestasi belajarnya seperti hafalan dan membaca yang bagus. Wow…Haqi yang underestimate di mata saya dan saya anggap biasa-biasa saja, ternyata mempunyai kemampuan—yang menurut saya—luar biasa pada umurnya. Haqi, Abi minta maaf yah…
Ternyata kini saya paham. Saya memahami bagaimana perasaan seorang ayah terhadap keberhasilan anaknya. Saya membayangkan dulu ayah saya pun akan merasa seperti ini saat saya memenangkan perlombaan MTQ, membaca puisi, juara di kelas, ataupun saat saya dapat masuk ke STAN Prodip dan lulus di tahun 1997. Inilah perasaan seorang ayah. Inilah perasaan orang tua pada anaknya.
Saya hanya berharap, tidak hanya dengan kebanggaan itu Haqi akan tumbuh. Saya berharap Haqi tumbuh dengan kecerdasannya, keberaniannya, emosionalnya dengan apa adanya. Tidak dipaksakan dan tentu dengan sedikit arahan dari saya. Hingga ia menempuhi jalan yang benar.
Saya berharap Haqi tumbuh pula dengan kemampuan yang disunnahkan oleh Rosulullah kepada para orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan tiga hal keahlian yakni berenang, berkuda, dan memanah. Saya berharap Haqi akan tumbuh dengan itu sehingga menjadi pejuang-pejuang Islam yang handal dan kuat. Dengan kejujuran seperti Abu Bakar Asshidiq, ketegasan seperti Umar bin Khaththab, kelembutan seperti Utsman bin ‘Affan, kecerdasan seperti Ali bin Abi Tholib, keberanian seperti Khalid bin Walid, kewaraan seperti Umar bin Abdul Aziz, hingga dengan ketasawufan seperti Hasan Albanna. Itu saja.
Kini, saya katakan pada Haqi, Abi bangga padamu nak, dan maafkan Abi dengan banyaknya harap ini. Abi pun tetap mencintaimu apa adanya.

dedaunan di ranting cemara
di jelang keberangkatan ke Stasiun Jatinegara
13:07 17 September 2005

Rehat Sejenak


16.09.2005 – Rehat Sejenak…

Sudah saatnya saya rehat, setelah hampir enam bulan lamanya tidak cuti. Sudah saatnya saya berhenti sejenak *) untuk melepas lelah, walaupun selama seminggu ini pekerjaan sudah tidak ada lagi di meja saya. Sudah saatnya saya menghirup nafas kelegaan setelah selama berminggu-minggu lamanya dihujani putusan pengadilan pajak yang kesemuanya itu dimenangkan oleh Wajib Pajak.
Maka tiada yang dapat saya ucapkan kepada kawan selain permohonan maaf jika selama ini ada kata dan perbuatan yang sengaja atau tidak sengaja telah menggores hati dengan rasa sakit. Telah membuat hari-hari kawan semakin bertambah ‘manyun’ dan menggelap laksana awan mendung di puncak sana. Dan telah membuat banyak mata tidak segera terpejam saat malam telah larut kerana–sekali lagi–ada hati yang tergores. Itu pun jika…
Maka, sudilah saya untuk menjura seribu kali untuk permintaan maaf tiada terkira. Kiranya saya berharap dengan rehat itu, saya mendapatkan kembali semangat untuk bekerja (beramal), bekerja (beramal), dan bekerja (beramal). Mendapatkan kembali semangat untuk menulis, menulis, dan menulis lagi serta berbagi, berbagi, dan berbagi apa saja kepada kawan. Bukan kesedihan dan lara (karena itu cukup buat saya saja) yang terbagi, tapi kegembiraan, kebahagiaan, dan suka ria.
Seperti apa yang disunnahkah oleh Rasulullah, untuk selalu berwasiat jika seorang muslim melakukan perjalanan, maka saya pun berwasiat untuk diri saya sendiri khususnya dan kepada kawan semua: “Yuk, kita sama-sama melakukan kebaikan, sedikit apa pun kebaikan itu. Karena kebaikan selalu membersihkan, mencerahkan, dan membuat bening di hati.” Terpenting pula, semuanya karena Allah Ta’ala.
Terakhir, izinkan saya berkata-kata:

Jikalau kebahagiaan itu bisa dibeli
maka aku akan membelinya dengan gunungan harta,
tapi banyaknya harta
tak mampu aku membeli kebahagiaan itu,
kerana kebahagiaan bukanlah kebahagiaan jasmani semata
tapi kebahagiaan batin pun menjadi suatu kemestian.
maka keseimbangan arruh, al’aql, aljasad menjadi sebuah kunci
tuk meraih kebahagiaan hakiki.

Wassalaamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh.

dedaunan di ranting cemara
untuk rehat sejenak di antara 19 hingga 26 September 2005
15:47 16 September 2005

*) mengutip judul buku terbaru Bayu Gawtama

Rinduku Untukmu


Rinduku Untukmu…
(Episode Tasikmalaya)

Hujan masih saja merintih menghitung genting di luar sana. Tak peduli pada malam yang kian tenggelam dalam selimut halimun. Tak peduli pada diriku yang memandang kegelapan di balik jendela kamar. Tak peduli padaku yang melanglangkan ingatan-ingatan pada masa-masa lalu.
Tak peduli padaku yang tiba-tiba teringat Zatoichi tercenung saat hujan tiba di rumah Bibi Oume. Memandang dan merenungi hujan itu, mengingat pertempuran melawan delapan orang yang dengan mudahnya semuanya ia tebas. Membuat tanah becek semakin becek dengan darah.
Tidak, tidak, saat ini, saat hujan ini, aku lebih merindui Tasikmalaya. Merindui sudut-sudut salah satu desanya. Merindui dinginnya malam. Merindui subuh yang semakin menggigit. Merindui cahaya matahari pagi. Merindui kicau burung. Merindui gemericik air pancuran. Merindui kokohnya saung di lebak. Merindui dua rakaat dhuhanya. Merindui dzikirnya. Merindui perjalanan pulang di pematang sawah. Merindui ikan-ikan di kolam belakang. Merindui kepulan uap nasi. Merindui sambal terasinya. Merindui duh…Gusti, saat ini aku merindui Tasikmalaya. Merindui sudut-sudut salah satu desanya.
Salah satu desa itu adalah Margalaksana di wilayah Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Desa yang menjadi tempat pelarian paman-pamanku waktu tahun 60-an, sewaktu gerakan PKI mendapat tempat di republic ini. Sebagai ketua gerakan dan aktivis kepemudaan Nahdhotul ‘Ulama Ketanggungan, Brebes , beliau bersama adik-adiknya menjadi sasaran empuk untuk diintimidasi bahkan bila perlu dibantai. Maka untuk sementara, menunggu arah angin berubah, mereka hijrah ke sana. Namun hijrah itu tidak sementara, keempat paman itu memperistri gadis, beranak pinak, dan bermata pencaharian di sana hingga kini.
Jadilah di sana tempat aku menghabiskan masa liburan sekolah yang panjang. Dan terakhir adalah sepuluh tahun yang lampau. Saat aku masih menjadi mahasiswa Program Diploma Keuangan Spesialisasi Perpajakan. Liburan panjang itu tiba. Kini saatnya aku pulang kampung—setelah berjuang habis-habisan dengan ujian-ujian sulit—seperti kebiasaan teman-teman kampus yang pada pertengahan tahun berritual untuk mengosongkan kampus, kecuali para mahasiswa yang menjadi panita penyambutan mahasiswa baru.
Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku, kiranya aku sempatkan beberapa hari terlebih dahulu di Tasikmalaya baru setelah itu pulang ke Jatibarang, Indramayu. Maka bersiap-siaplah aku berpetualang.
Dari kampus ba’da sholat Jum’at, aku pun melaju dengan angkutan umum menuju stasiun Senen untuk mengejar Kereta Ekonomi Galuh jurusan Tasikmalaya – Banjar. Ini pengalaman pertama bagiku ke Tasimalaya dengan menggunakan jasa kereta api.
Kereta ekonomi yang seharusnya berangkat jam tiga sore, molor satu jam lebih dari jadwal semula. Kereta berangkat meninggalkan stasiun dengan tidak banyak penumpang yang memenuhi gerbong. Sehingga aku dapat meluruskan kaki ke kursi depanku yang kosong. Sambil membaca buku yang aku bawa, sesekali aku melihat ke luar jendela, melihat senja yang mulai turun dan meninggalkan jejak-jejak jingganya.
Adzan maghrib mulai berkumandang saat memasuki daerah Purwakarta yang berkelok-kelok. Aku sangat menikmati sayup-sayupnya yang keluar dari bukit-bukit nun jauh di sana. Oh Rabb, aku merindui sayup ini.
Tiba-tiba ketika aku sedang berasyik masyuk, ada seruan kepada seluruh penumpang untuk diharapkan menuju ke gerbong depan karena gerbong yang saya naiki dan masih ada lima gerbong lainnya di belakang tidak berpenerangan. Sehingga dikhawatirkan terjadi kerawanan, oleh karena itu kondektur kereta menyarankan demikian. Aku pun menurutinya dan mencari tempat duduk yang masih ada di gerbong yang terang benderang itu.
Bandung pun terlewati begitu saja, tanpa aku sadari karena terlelap oleh kantuk yang menyerangku. Namun ada yang eksotik dengan stasiun di antara bandung dan Tasikmalaya, yang kereta ini sempat untuk berhenti lama di sana, sayangnya aku lupa stasiun itu.
Dengan bangunan peninggalan zaman Belanda, kubah tinggi di atas selasarnya, dan hanya diterangi lampu bohlam yang temaram benar-benar membuatku terasa bukan berada di zaman moderen, namun seperti berada di masa-masa kemerdekaan. Tinggal aku menuliskan merdeka atau mati! di tembok stasiun maka lengkap sudah flashback ini. Benar-benar aku tertegun cukup lama. Rasa melankolisku kembali bangkit mengenang masa-masa perjuangan dulu. Duh Gusti aku merinduinya.
Tasikmalaya sudah di depan mata. Perjalanan memakan waktu kurang lebih tujuh jam. Jarum pendek jam di statiun sudah mengarah ke angka sebelas. Aku mencari mushola untuk menunaikan sholat jamakku, namun pintu mushola sudah terkunci rapat dan gelap. Akhirnya aku putuskan untuk sholat di luar stasiun.
Pada saat keluar dari stasiun itu aku baru tersadar bahwa ternyata angkutan kota sudah tidak beroperasi lagi pada jam-jam seperti ini. Maka dengan berbekal petunjuk dari orang-orang sekitar stasiun aku melangkahkan kaki ke Masjid Raya Tasikmalaya. Sengaja aku tidak naik ojek supaya bisa irit maklum aku masih mahasiswa.
Perjalanan menuju masjid raya terasa jauh, namun aku bertekad untuk ke sana dengan harapan aku bisa istirahat dan tidur di sana, dan dengan semakin semakin mendekati pusat kota aku kiranya mendapatkan angkutan yang mungkin saja masih beroperasi.
Masjid Raya setali tiga uang dengan mushola yang ada di stasiun. Terkunci rapat, tidak ada satu dari banyak pintu yang sudi membuka sedikit untuk aku. Aku pun sholat di teras masjid. Niat aku untuk beristirahat dan tidur hingga pagi terpaksa aku batalkan, karena aku tidak kuat menahan dingin angin malam di teras berlantai marmer itu. Oh ya, waktu itu aku tidak punya jaket lho.
Angkutan kota benar-benar nihil. Setelah bertanya kesana kemari, aku mendapatkan keterangan bahwa angkot baru ada pukul lima pagi. Wah, tidur dimana aku. Dan terminal pun masih sangat jauh dari masjid. Akhirnya ada seorang tukang ojek yang masih berbelas kasihan denganku. Ia bersedia mengantarkanku ke terminal hanya dengan setengah ongkos perjalanan.
Kepada tukang ojek itu aku menghaturkan banyak terimakasih saat aku telah sampai di Terminal. Di sana aku hanya menjumpai mobil angkutan yang cuma beberapa. Lagi-lagi aku mengalami keterkejutan angkutan pedesaan yang menuju Salawu baru akan datang dan berangkat jam dua nanti. Terpaksa aku mencari kenyamanan di sebelah Tukang Ulen Bakar. Aku hanya bisa memandangi saja, tak bisa menikmati makanan yang termasuk favoritku itu. Maka aku terduduk meringkuk, merapatkan tangan ke lututku, menahan dingin dan lapar selama satu jam lebih.
Penderitaanku berakhir saat angkutan pedesaan itu tiba dan langsung terisi penuh oleh banyak penumpang. Kulepaskan lelah dan penatku dengan tidur selama kurang lebih satu jam perjalanan menuju Margalaksana.
Akhirnya sampai juga di rumah “uwak”ku yang persis di pinggir jalan besar Garut Tasikmalaya. Aku menghirup udara sepertiga malam terakhir dalam-dalam dan kehembuskan sekuat-kuatnya. Lega rasanya.
Tapi dikejauhan tiga orang sepertinya bergegas menuju ke arahku. Aku tidak pedulikan mereka, aku pikir mereka adalah para peronda kampung. Segera saja aku masuk ke halaman rumah, dan mengetuk pintu. Lima menit lamanya aku mengetuk sampai beberapa saat kemudian pintu itu pun terbuka. Di seberang jalan, kulihat tiga orang itu masih memandangi aku.
******
Sarapan yang menggugah selera bersama keluarga uwak. Nikmat sekali, ceria, ramai dengan gurauan. Dari situlah aku mendengar bahwa aku sempat dicurigai sebagai salah satu anggota komplotan maling oleh para peronda kampung. Tapi semuanya bisa dijelaskan oleh uwakku waktu ia sholat shubuh di masjid. Aku tersenyum saja. Ah teganya mereka menuduh aku yang sedang kelaparan pula.
******
Sungguh kawan, aku masih tentang perjalanan itu. Masih aku merindui semuanya itu. Merindui dhuha di lebak itu. Hingga terinspirasi semua itu, aku buat puisi ini:

matahari dhuha merambati waktu
ketika sinarnya menghangatkan
pucuk-pucuk dedaunan
menggiring hati ke kehampaan
yang meradangkan diri
menunggu berlalunya kala yang amat pelan berlari

sungai bening mencumbui tanah
ketika riaknya membasahi
akar-akar pepohonan
melautkan hati ke kehilangan
yang membakarkan diri
menunggu berlalunya kala yang amat pelan berlari

burung kecil menghiasi langit
ketika kicaunya meramaikan
putih-putih awan
menerbangkan hati ke ketinggian
yang menyesakkan diri
menunggu berlalunya kala yang amat pelan berlari

rokaat pendek mengukir sajadah
ketika dzikirnya membisikkan
rongga-rongga dada
mengkhusukkan hati ke kesucian
yang membersihkan diri
menunggu berlalunya kala yang amat pelan berlari

matahari ashar mengguliri sore
ketika lelahnya menguliti
pori-pori tubuh
mencabikkan hati ke kemeranaan
yang menyakiti diri
menunggu berlalunya kala yang amat pelan berlari

aku lelah
menunggu berlalunya kala yang amat pelan berlari itu
karena senin masih jauh
di ufuk…

****
Aku menikmati liburan itu di sana. Menyusuri pematang sawah, jalan-jalan lengang, memancing ikan, ngaliwet di gunung, berselimut tebal saat malam, hingga rokaat-rokaat di sepertiga malam terakhir. Duh, indah nian rasanya. Duh, gelegaknya rindu ini. Duh….
Kawan, kapan aku bisa kembali ke sana, atau memutar kembali waktu yang telah berjalan?
Kini aku sedang merindui Tasikmalaya dan sudut-sudut desanya.

****

dedaunan di ranting cemara
di antara rindu untukmu
16:47 10 September 2005

Kemana Pajak Penerangan Jalan Kami?


Sabtu pagi, sebagian warga RT 011 RW 017 Komplek Puri Bojong Lestari melakukan kerja bakti. Pada umumnya, kerja bakti adalah sarana warga masyarakat untuk bersilaturahim antarpenghuni komplek, membangun serta memelihara sarana-sarana umum. Namun kerja bakti kali ini termasuk yang tidak biasanya, yakni mencabuti lampu-lampu penerangan yang ada di tiang di sepanjang jalan RT kami. Ada apa gerangan?
Ya, RW kami mendapat surat resmi dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menertibkan sendiri sambungan-sambungan liar termasuk lampu-lampu penerangan di sepanjang jalan komplek kami, karena PLN menganggap bahwa pemasangan lampu-lampu penerangan itu adalah ilegal. Apabila tidak ditertibkan segera maka PLN akan terpaksa menertibkannya sendiri dan membawa semua peralatan-peralatan penerangan jalan itu.
Maka bersegeralah kami membereskannya agar lampu-lampu serta aksesorisnya dapat kami amankan. Karena bila tidak, maka peristiwa dua tahun lalu yang menimpa tetangga komplek kami akan terulang. Lampu-lampu hasil patungan dan swadaya masyarakat sendiri diambil paksa oleh PLN.
Masyarakat pun resah, bahwa lampu-lampu penerangan itu bukan untuk kepentingan pribadi tapi kepentingan masyakarat pada umumnya. Agar jalan-jalan di komplek kami tidak gelap dan terang benderang, pencuri pun akan berpikir ulang untuk bertindak. Juga yang paling tidak dimengerti oleh kami sebagai masyarakat kenapa lampu-lampu penerangan itu perlu ditertibkan sedangkan pada setiap bulannya mereka wajib membayar Pajak Penerangan Jalan sebesar 3% dari total beban yang dibayarkan. Kemana dan untuk apa uang kami sebagai pembayar pajak.
Pajak Penerangan Jalan termasuk pajak daerah. Tentu karena ini namanya pajak maka harus ditentukan oleh undang-undang. Untuk pajak daerah maka daerahlah yang menentukan seberapa besar prosentase tarif pemungutan tersebut dengan peraturan daerah (perda) yang disetujui oleh para wakil rakyat yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Besaran 3% itu dipungut oleh Pemerintah Daerah (Pemda) melalui PLN dalam setiap bulannya dari masyarakat pelanggan PLN. Pemda setelah mendapat pajak tersebut mulai menghitung seberapa besar rupiah yang harus diserahkan kepada PLN berdasarkan jumlah lampu-lampu penerangan yang terdaftar dalam catatan Pemda.
Pada titik inilah terjadi permasalahan, PLN merasa bahwa rupiah yang diterima tidak sebanding dengan jumlah beban yang dikeluarkan untuk lampu-lampu penerangan jalan itu. Sedangkan Pemda ngotot, besaran itu sesuai dengan jumlah penerangan yang ada dalam catatan Pemda. Maka untuk mengurangi kebocoran beban dilakukanlah upaya PLN untuk menertibkan semuanya dengan melakukan aksi pencabutan lampu-lampu penerangan jalan yang tidak terdaftar di Pemda.
Pertanyaannya adalah digunakan untuk apa saja uang hasil pajak itu oleh Pemda. Uang pajak itu seharusnya digunakan untuk pemeliharaan lampu-lampu jalanan serta penambahan titik-titik penerangan. Sehingga di kemudian hari semua jalanan di wilayah itu sudah mempunyai cukup penerangan. Disinilah sering terjadi penyalahgunaan, uang itu kebanyakan digunakan dan dialihkan untuk pengeluaran-pengeluaran Pemda yang tidak berkaitan dengan penerangan jalan. Jadi PPJ digunakan oleh Pemda hanya sebagai alat budjeter, pengumpul uang yang targetnya selalu dinaikkan dari tahun ke tahun. Sedangkan target penambahan titik lampu diabaikan oleh Pemda.
Masyarakat yang menunggu apa yang akan diperbuat oleh Pemda dengan uang PPJ itu hanya termangu begitu saja. Seperti menunggu Godot yang tiada kunjung tiba. Akhirnya daripada akan menimbulkan kerawanan lingkungan akibat tiadanya penerangan jalan, masyarakat pun berswadaya untuk melakukannya secara mandiri. Lampu-lampu dan peralatan pokok penerangan jalan mereka beli sendiri. Mereka melakukan pemasangan sendiri. Dan mengambil dayanya langsung dari tiang-tiang PLN.
Di sini Pemda harusnya merasa berterimakasih bahwa sebagian tugasnya telah dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat. Dan seharusnya pula Pemda membalas kebaikan masyarakat dengan melakukan pendaftaran agar titik-titik itu menjadi legal serta membayar beban itu secara proporsional kepada PLN. Sehingga masing-masing tidak ada yang dirugikan.
Maka apa yang terjadi bila Pemda tidak tanggap, masyarakat akan mulai skeptis terhadap Pemda dan kinerja para anggota dewan yang terhormat. Pula terhadap PLN, akan timbul persepsi dari masyarakat tentang keberadaan PLN yang hanya bisanya merazia masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedangkan kepada pelanggan kelas atas terutama pabrik-pabrik berdaya tinggi PLN—yang masyarakat pun mafhum tentang sering terjadinya pencurian listrik oleh mereka, begitu mudahnya tergoda dengan iming-iming uang.
Diperlukan suatu win-win solution di sini. Masyarakat melakukan aduan kepada Kepala Desa/Kelurahan masing-masing tentang hal ini, karena ini pun menyangkut pada system keamanan desa. Aduan juga harusnya diperdengarkan kepada wakil rakyat kita supaya mereka bisa mendengar dan menekan terhadap kinerja Pemda. Sehingga Pemda bersegera melakukan pelegalisasian.
Juga diperlukan sikap bijak dari PLN yakni dengan memberikan kesempatan kepada warga untuk mencabut sendiri sambungan liar itu dengan tetap membiarkan lampu-lampu tetap terpasang di tempatnya walaupun tiada aliran listrik sampai telah dilegalkan. Kebijakan ini dilakukan agar warga pun tidak usah repot-repot mencabuti lampu-lampu itu—dengan tangga konvensional, dan memasangnya kembali jika permasalahan ini selesai. PLN tak perlu menyita lampu-lampu itu agar tidak memberatkan warga serta Pemda, karena jika lampu itu disita, Pemda akan mengeluarkan dana lagi untuk membelinya. Sedangkan alangkah baiknya jika dana itu digunakan untuk penambahan titik-titik baru.
Semuanya perlu waktu, tapi seyogyanya Pemda bersegera karena pada dasarnya mereka adalah pelayan umat.

Akhirnya selesai juga kerja bakti ini pada pukul 11.00 WIB. Semua lampu-lampu penerangan jalan kecuali lampu pos ronda telah dicabuti dan disimpan. Maka bersiaplah kami untuk menyambut nanti malam dengan gulitanya lingkungan kami. Saya berpikir tugas seksi keamanan di lingkungan kami akan bertambah berat. Mereka harus menambah kesiagaan dan kewaspadaannya. Tentu sudah selayaknya warga yang lain turut membantu dengan—lagi-lagi swadaya—memasang lampu lima watt atau lebih di pinggir jalan rumah masing-masing. Jika tidak, siap-siap saja menikmati kegelapan itu, entah sampai kapan.

dedaunan di ranting cemara
di antara peluh 14:08 03 September 2005

Akhirnya Saya Pindah


19.08.2005 – akhirnya saya pindah ke KPP PMA Empat (fenomenal)

Setelah hampir delapan tahun lamanya sejak tahun 1997, maka akhirnya mitos saya sebagai Makhluk Penunggu dan orang kuat KPP PMA Tiga runtuh juga. Dulu malah ada yang bilang, ” Kamu nantinya jangan-jangan jadi Korlak, jadi Kasi, jadi Kakap di sini juga lo.” setelah melihat bahwa saya selalu lolos dari mutasi. “Keenakan amat”, pikir saya.
Waktu tahun 2002, saya termasuk yang kecewa karena tidak diikutkan dalam rombongan mutasi. Teman-teman saya satu angkatan yang ada di KPP PMA Tiga pindah semua terkecuali empat orang yang didalamnya termasuk saya. Kecewa karena saya tidak mendapatkan pengalaman baru.
Sekarang anehnya, saya kok, seperti tidak mau dipindah ya…? Tapi apa boleh buat, pengumuman mutasi ini akan membuat saya mendapatkan pelajaran berharga di kantor baru. Mungkin…
Dan terus terang, pengumuman ini merupakan pengumuman fenomenal, tidak terduga, tanpa isu, hening sesunyi malam pekat. Tidak seperti dulu-dulu. yang ramai dan ditunggu-tunggu. Bagus lah…
Saya hanya berharap ini merupakan suratan terbaik yang diberikan Allah kepada saya. Saya berharap ini pertanda bahwa saya didekatkan dengan masjid Sholahuddin yang kadang tertinggal oleh saya. Saya berharap Allah memberikan kehidupan, suasana, romantika yang lebih baik lagi. Ya Allah, kabulkan doa saya.
Itu saja dulu, oh ya saya belum kabarkan berita ini kepada Qoulan Syadiida, kali ini petuah-petuah indah apa lagi yang akan terpancar darinya. Sungguh darinya saya banyak mendapatkan pencerahan…Apalagi dari dua pasang mata disisinya yang selalu membuatku bahagia.
Indahnya siang ini…
dedaunan di ranting cemara
di antara gemericik suara keterkejutan
13:52 19 Agustus 2005