PESAN-PESAN PENDEK


PESAN-PESAN PENDEK

Pesan pendek muncul di layar telepon genggam made in China saya. Dari seorang perempuan yang saya kenal. Mantan financial manager sebuah perusahaan yang memproduksi pembalut wanita pasca melahirkan. Perusahaannya masih saya awasi dan layani sampai saat ini. Karena saya adalah account representative (AR) mereka di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Empat.

“Masalah GT kok jadi ruwet ya Pak, rasanya sy pgn teriak protes krn sy termasuk yg selalu mendapat perlakuan baik dan fair dari petugas pajak, AR yg sgt membantu dan sy tdk pernah menyuap pemeriksa dan semua urusan pajak clear, kan tdk bisa semua disamain dgn GT ya Pak, nah yg ok2 aja kok ngga ngomong ya” (01 April 2010, pesan diterima 06.59)

Pesan di atas apa adanya saya tulis di sini. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi satu huruf pun kecuali tanda kutip sebagai penanda saja.

Saya jawab pesannya sekaligus meminta padanya untuk membuat surat pembaca yang dikirim ke media. Sebagai bahan pembanding dan penyeimbang tentunya.

Selanjutnya ia mengirimkan pesan lagi.

“Iya tuh dia Pak sy mau kirim ke dirjen pajak dan menkeu aja pak, terjadinya korupsi juga bisa krn kesempatan dari pihak wp seperti sy dulu kok pak, mrk jg dpt bagian, yg bilang sy munak dulu di PIER juga banyak tp buktinya banyak fiscus yg profesional, berarti kan jg tergantung wp nya pak, kalau pajak mrk beres, yg mmg terhutang dibayarkan tdk ada apa2, kok skg mrk mlh menghujat kan aneh, maaf smsnya panjang nih, selamat bekerja Pak, have a great day”

Dua pesan pendek itu menentramkan kami. Ya, karena pesan itu saya sampaikan juga ke teman-teman AR yang lain. Ada Wajib Pajak yang mengapresiasi upaya kami selama ini. Bukannya ingin kebaikan kami diungkit-ungkit dan ingin dipuji sehingga mabuk pujian bahkan sampai gila pujian. Tapi terkadang memang apresiasi Wajib Pajak pada saat-saat tertentu bisa mengangkat moral kami sebagai petugas pajak.

Terakhir, ia mengirimkan pesan ini, “sudah diprint nih, dikirim ke kompas ya pak.”

Terserahlah Bu…Btw, kita mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas usaha tersebut.

***

Cukup sampai di sini. Saya tidak bisa melanjutkan lagi.

GT = Gayus Tambunan.

PIER = Pasuruan Industrial Estate Rembang, nama suatu komplek industri di Pasuruan, akronim.

Fiscus = Aparatur Pajak.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

TAK SEMUA BEJAT


TAK SEMUA BEJAT

(dimuat di opini detik.com)

di sini

Awalnya saya tidak berusaha mau tahu tentang kasus yang menimpa Gayus Tambunan. Tentang pemberitaannya di media pun selalu saya lewatkan untuk dibaca. Apalagi saya jarang untuk melihat televisi. Biasanya kalau pun ada tema tentang Gayus dalam sebuah ruang diskusi tentang makelar kasus pajak ini saya langsung memindahkan salurannya. Tak peduli. Titik.

Karena bagi saya, kelakuan oknum selalu tidak merepresentasikan keseluruhan anggota organisasi. Yang penting saya tidak berbuat, tetap pada jalur yang benar, menjunjung tinggi kode etik, memegang teguh integritas, maka apapun celaan bahkan pujian sekalipun tak menggoyahkan niat saya untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan bersama-sama mencapai tujuan organisasi.

Tapi, Jum’at (26/3) malam saya ditelepon oleh saudara di kampung. Berondongan pertanyaan mengular keluar dari pengeras suara telepon genggam. Siapa itu Gayus? Kenal tidak dengan Gayus? Adik kelasnya saja punya uang milyaran, apalagi kakak kelasnya. Golongan IIIa saja sudah segitu, apalagi pejabatnya.

Saudara saya menanyakan demikian tentu karena kegundahan melihat ketidakberesan ini. Wajar. Tapi ini membuat saya termenung dan tidak bisa tidur. Akhirnya berita tentang Gayus pada banyak koran hari itu saya baca. Layar televisi saya buka lebar-lebar. Di mana-mana ada Gayus. Dari malam sampai paginya lagi.

Mulai dari artis cantik, pengacara klimis, facebooker, pemerhati kepolisian yang lebih garang daripada Densus 88, sampai ketua asosiasi yang katanya fokus mengurusi perpajakan Indonesia tetapi masih saja salah dengan menyebut ada jabatan kepala subseksi di atas Gayus dan bahkan berani menuduh aliran uangnya sampai Menteri Keuangan, semua ikut berbicara. Dan jatuh pada sebuah kesimpulan yang sama: tak bisa membedakan oknum dan tidaknya. Generalisasi yang semena-mena.

Modernisasi DJP

Reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah dirintis sejak tahun 2000. Kemudian sejak tahun 2002 DJP mendirikan kantor pelayanan pajak (KPP) modern dengan adanya KPP Wajib Pajak Besar. Lalu berlanjut memodernisasikan KPP di seluruh Indonesia secara bertahap hingga selesai pada tahun 2008.

Ini adalah reformasi birokrasi jilid I yang bercirikan adanya restrukturisasi organisasi di tubuh DJP, pelayanan yang berorientasi kepada Wajib Pajak, pemberian remunerasi yang tinggi buat pegawainya, penegakan disiplin, pengembangan dan penguatan budaya antikorupsi dengan adanya kode etik.

Semuanya butuh pengorbanan. Semuanya tertatih-tatih mewujudkan niat baik ini. Karena menyadari perubahan adalah sebuah keniscayaan. Yang tidak mau berubah siap-siap saja untuk terlindas zaman.

Pelan-pelan kepercayaan masyarakat tumbuh pada DJP. Para pelaku bisnis pun mengakui adanya perubahan yang tidak main-main. Walaupun di sana-sini masih banyak kekurangan hingga ada saja pegawai DJP yang dipidana dalam kasus penggelapan pajak, tapi diyakini itu hanyalah sebuah proses seleksi dan cuma batu kerikil yang tidak akan menghalangi jalannya mesin perubahan itu. Masyarakat masih menerima.

Sebagian kecil rekam jejak perubahan itu terekam dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh DJP dan diluncurkan pada saat hari ulang tahun keuangan di bulan Oktober 2009, buku Berbagi Kisah dan Harapan: Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak. Buku ini menceritakan tentang upaya keras dari para pegawai pajak sebelum dan setelah modernisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Mulai dari yang berkejaran dengan waktu demi sebuah mesin absensi, komitmen pada penghasilan yang halal hingga tak sanggup untuk menjenguk anaknya yang sakit karena tak punya uang untuk membeli tiket pesawat terbang, sampai yang menolak dengan tegas semua pemberian Wajib Pajak.

Buku yang bagus dan menjadi bekal untuk menjalani reformasi birokrasi jilid 2. Tapi sebuah ironi, tak lama kemudian kasus Gayus muncul. Ini seperti menuangkan tinta hitam di atas selembar kain putih. Seperti membuat upaya keras modernisasi yang dijalankan DJP itu menjadi tidak berguna lagi. Seperti debu yang diterbangkan angin.

Kepercayaan masyarakat mulai sedikit menurun. Ditambah dengan blow-up yang terus menerus terhadap kasus Gayus hingga politisasinya oleh sebuah televisi yang ditengarai pemiliknya sedang dibidik oleh DJP dalam kasus lain.

Tak Semua Bejat

Celaan yang bertubi-tubi seharusnya tak menyurutkan semangat modernisasi. Pertunjukkan tetap harus jalan. Tak semua pegawai bejat. Karena saya yakin masih banyak pegawai pajak yang jujur-jujur dan mempunyai integritas tinggi. Masih banyak pegawai pajak yang masih ngontrak dan belum punya mobil—kalau memang ukuran kekayaan adalah rumah dan mobil sebagaimana pengacara klimis itu bilang.

Padahal kalau mereka tahu, sebagian orang pajak sekarang memiliki semuanya itu dengan cara kredit bertahun-tahun. Dan remunerasi yang tinggi memungkinkan mereka untuk dapat memiliki kebutuhan dasar itu agar tidak tergoda dengan hal lainnya.

Membangun Kepercayaan

Nasi sudah menjadi bubur. Tak perlu menangisi susu yang telah tumpah. Saatnya saya dan DJP kembali berbenah diri. Mengakui ada salah satu pegawainya yang salah adalah sebuah kejujuran. Orang sekelas Akio Toyoda saja mampu berkata jujur bahwa memang produk Toyotanya ada yang bermasalah. Akhirnya konsumen memberikan apresiasi yang besar kepadanya. Penjualan Toyota hanya turun 9% jauh dari perkiraan pengamat di Amerika Serikat yang memperkirakan sampai 50%.

Account Representative dan Seksi Pelayanan KPP sebagai ujung tombak yang berhadapan dengan Wajib Pajak adalah garda terdepan untuk dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat.

Sekecil laporan ataupun aduan dari masyarakat harus dengan serius untuk ditindaklanjuti. Karena tak ada asap kalau tak ada api. Saya ingat pepatah cina yang ditulis oleh teman saya di dinding Facebook-nya. Ini terekam kuat dalam benak saya. “Bermula dari paku yang lepas dari tapal kuda. Tapal kuda pun lepas. Kuda tak bisa lari. Pesan tak tersampaikan. Pasukan pun kalah.” Jangan biarkan hal yang kecil menjadi besar.

Kemudian dicari format internalisasi kode etik yang tidak sekadar menjadi ritual tahunan dan seremonial belaka. Pemberian reward yang pasti dan tidak termakan inflasi serta pemberian hukuman yang tegas dan seadil-adilnya adalah salah satu jalan lain agar kasus ini tidak terjadi lagi.

Semoga setelah ini, masyarakat kembali dengan tenang dapat menikmati pembangunan dari uang rakyat yang dikumpulkan para petugas pajak.

Maraji’: Apa Kabar Indonesia Malam. TV One, Jum’at, 26 Maret 2010

Riza Almanfaluthi

PNS DJP

Golongan IIIb dua tahun enam bulan rumah masih bocor

dedaunan di ranting cemara

4:23 29 Maret 2010