SUNDEL BOLONG TAMPAK BELAKANG


SUNDEL BOLONG TAMPAK BELAKANG

Menyeramkan? Tidak juga. Ceritanya begini. Di kantor baru tempat saya bekerja seringkali menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) atau bahasa bulenya sekarang in house training(IHT) buat para pegawainya yang sebagian besar adalah para Penelaah Keberatan (PK).

Tujuannya sudah barang tentu untuk meningkatkan—saya hapus kata “upgrade” karena dalam Bahasa Indonesia sudah ada kata yang tepat untuk menggantikannya—kapasitas keilmuan para PK yang sehari-hari berkutat dengan permasalahan sengketa Wajib Pajak.

Mulai dari memproses permohonan keberatan, mempertahankan argumentasi dan koreksi pemeriksa pajak di Pengadilan Pajak, mengevaluasi putusan banding, mengirimkan Peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan lain-lain. Tentunya ini butuh ilmu yang bervariasi dan tidak sedikit.

Dan tampak betul IHT ini digarap dengan serius. Tidak main-main. Tampak ada komitmen dari para pimpinan untuk menjadikan para pegawainya tidak jumud (mandek, bahasa Arab) dalam berilmu. Oleh karenanya dalam menghadirkan pembicaranya pun tidak main-main. Mereka yang betul-betul menguasai bidangnya. Bisa dari internal dan eksternal Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Para pimpinan pun mewajibkan seluruh pegawainya untuk mengikuti pelaksanaan IHT ini secara rutin. Diselenggarakan di setiap hari Jum’at dan dimulai pada pukul 08.00 pagi sampai menjelang jum’atan. Jum’at memang bagi kami adalah hari besar. Hari kebersamaan. Dan hari libur. Karena para PK yang setiap harinya di Pengadilan Pajak tidak ada jadwal sidang di hari itu.

Kebetulan pula selain IHT, para pegawai baru—termasuk saya di dalamnya—diikutkan juga dalam diklat lain yang dinamakan OJT, on the job training. OJT ini hampir sama dengan IHT. Bedanya adalah kalau IHT diisi dengan materi-materi baru terkini di luar keilmuan dasar yang harus dimiliki oleh para PK, sedangkan di OJT ini adalah benar-benar ditujukan agar para PK memahami betul tugas pokok dan fungsinya.

IHT diselenggarakan di sebuah ruangan besar dalam bentuk kuliah umum. Sedangkan OJT diselenggarakan secara klasikal. Pelaksanaannya dua mingguan selama enam bulan setiap hari Jum’at mulai jam 2 siang sampai dengan selesai.

Saya ini ngapain gitu yah panjang lebar kayak gini, cerita seramnya mana dong? Sabar. Enggak seram kok. Bener…

Kebetulan sekali Jum’at (19/11) kemarin, setelah IHT transfer pricing di paginya, siangnya langsung lanjut OJT tentang prosedur permohonan dan penyelesaian keberatan. Sambil menunggu pembicaranya datang atau ketika sesi diskusi berpanjang-panjang itu tiba, saya membuat coret-coretan. Hasilnya seperti dibawah ini:

    

Saya gambar apa saja yang terlintas di pikiran. Apa yang tampak di depan mata. Ada kotak kue. Minuman dalam kemasan. Gumpalan kertas. Naruto atau temannya? Pengennya gambar Naruto tapi yang jadi malah temannya. Moderator setengah jadi. Gambar telapak tangan setengah jadi pula. Juga sundel bolong tampak belakang dan depan. Enggak seram bukan? He…he…he…

    Memang cuma gambar dan saya tidak berniat cerita seram seperti di film-film itu. Biasanya apa yang mau digambar bila jenuh menerjang? Apa saja. Dan saya bisanya hanya ini. Tapi tidak ah…Terkadang kalau lagi melow, puisi menjadi kelindan setiap nafas.

    Ngomong-ngomong saya cuma intermezo saja Pembaca. Kerana hasrat menulis sudah memuncak. Pun ada yang ingin membuncah di kepala karena sundel bolong itu. Kalau sudah tertuliskan, saya bisa menulis dan berpikir yang lain. He…he…he…

    Maaf dari saya.

    ***

Tags: direktorat jenderal pajak, djp, sundel bolong, kuntilanak, sundel bolong tampak depan, sundel bolong tampak belakang, rupa sundel bolong, naruto, moderator, iht, ojt, in house training, on the job training, penelaah keberatan, pengadilan pajak, sengketa pajak, wajib pajak, malam jum’at, malam jum’at kliwon.

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09.48 20 November 2010

tabik buat semua IHT dan OJT itu

KUNTILANAK BERAMBUT PANJANG


Pukul 02.40 dinihari ini saya memaksakan diri untuk bangun. Sudah waktunya untuk meminta pemenuhan segala hajat kepada Sang Pemilik Bumi dan Langit. Setelah ke kamar mandi sebentar, mengambil wudhu, dan berpakaian sepantasnya saya mengambil sajadah lalu menggelarnya di ruang tamu. Biasanya saya sholat di kamar tengah yang biasa kosong, namun karena banyaknya mainan si bungsu yang masih belum dibereskan saya terpaksa pindah.
Di ruang utama yang tidak berkursi tamu, gelap, dan cuma menyisakan cahaya dari dapur ini saya memulai rakaat pertama. Allahu Akbar. Doa iftitah dan surat Al-fatihah pelan-pelan saya lafalkan. Lalu dilanjutkan dengan surat An-Naazi’aat.
”Wannaazi’aati ghorqoo”
”Wannaasyithooti Nasythoo”
Pelan-pelan saya berusaha keras untuk menikmati setiap ayat yang dilafalkan. Di saat menuju kekhusyu’an itulah—tepatnya di ayat ”faidzaajaa atiththammatul kubraa”—melalui sudut mata saya melihat bayangan hitam muncul dari dapur, seperti sosok perempuan bergerak pelan-pelan, terhuyung-huyung.
”Deg…ya Allah siapa nih,” pikir saya sambil tetap melanjutkan bacaan surat. Tapi kok bayangan hitam mendekat ke arah saya. Konsentrasi saya sudah pecah. Pikiran buruk saya sudah hinggap di kepala. ”jangan-jangan jin nih,” pikir saya. Entah kenapa saya bisa berpikiran ke arah sana.
Saya sebenarnya sudah berpikiran bahwa itu pasti khadimat saya yang memang sudah bangun dan menuju kamar mandi yang berada dekat dengan kamar tamu. Tapi kok tidak biasanya ia bangun pada jam-jam seperti ini. Dan kali ini ia pun tidak menuju ke kamar mandi. Sekali lagi dengan pelan-pelan, terhuyung-huyung, bayangan itu mendekat ke arah saya. Selangkah demi selangkah ia mendekat, mendekat, mendekat.
Masih tetap dengan melafalkan surat, saya bimbang untuk melakukan apa. Menengok untuk menuntaskan kepenarasaran saya hingga saya benar-benar dihadapkan pada dugaan saya di awal, sosok jin, atau tetap melanjutkan sholat saya dan menganggap bayangan itu adalah khadimat saya sendiri. Kepenasaran saya ternyata yang mendominasi.
Sekitar dua langkah sebelum bayangan itu mendekat ke arah saya, akhirnya saya memutuskan untuk menengok ke sebelah kanan seperti orang yang sedang mengakhiri sholat—tapi masih dengan melanjutkan bacaan surat.
”….Astaghfirullahal ’adzim.” Herannya setelah melihat bayangan itu saya langsung meluruskan posisi kepala saya dan tetap dengan bacaan yang terlafalkan dari mulut saya. Melanjutkan sholat. Tapi saya pikir sholat saya sudah batal dan konsentrasi saya sudah pecah. Saya putuskan untuk mengulang dari awal rakaat saya yang baru satu itu. 
Teman-teman, coba tebak apa bayangan hitam yang saya lihat tadi? WEKS…! Bukan jin, bukan kuntilanak, dan bukan siapa-siapa. Dia hanya khadimat saya yang ternyata cuma ingin melihat jam yang ada di ruangan tamu.
Setelah itu saya cuma bisa tersenyum geli. Inilah kalau memori tentang Suketi—Kuntilanak yang diperankan Suzanna—masih melekat erat di benak. Tapi ya gimana lagi suasana sudah sangat mendukung sekali untuk menghadirkan sosok itu. Lampu tengah dimatikan, gelap. Muncul dari balik tirai yang membatasi dapur dengan ruang tamu. Bayangan hitam itu bertambah gelap karena menghalangi sumber cahaya dari dapur. Dengan rambut tergerai yang tidak diikat dengan karet pengikat rambut, beringsut pelan-pelan. Lengkap sudah penampakan sosok itu.
”Dasar nih, puasa-puasa masih saja memikirkan Suketi. ”
Akhirnya saya meneruskan sholat di kamar tengah. Itu pun setelah saya membereskan terlebih dahulu mainan yang berserakan. Di belakang, saat ini, sudah terdengar gemerisik sang khadimat mempersiapkan makanan sahur kami.
***
Paginya saya bercerita kepada istri saya, dia cuma bisa ngakak….membayangkan mimik saya di saat menoleh dengan masih melafalkan bacaan An-Nazi’aat.

*
Omong-omong tentang makhluk seperti itu di rumah kami, ada cerita, bapak saya menyangka saya sedang tidur di samping adik saya di kamar depan. Padahal saat itu saya tidak tidur di sana. Khadimat saya pun bercerita saat tidur sepertinya ia merasakan mukanya ditongkrongin oleh wanita tanpa wajah. Tapi Alhamdulillah saya tidak pernah melihat apapun. Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
09:27 11 Oktober 2006