Merencanakan Liburan ke Semarang: Seperti Engkau, Waktu adalah Permata


Lawang Sewu di Malam Hari. (Foto: http://www.instagram.com/pr.putra/)

Berulang kali ajakan istri untuk datang ke Bandungan, Semarang saya abaikan. Bukan soal apa, melainkan waktu yang perlu diatur ulang agar sesuai dengan kelonggaran yang ada. Akhir bulan ini perbincangan seperti ini tak bisa ditampik lagi.

“Memang harus ke sana?” tanya saya.

“Sudah lama tidak ke sana,” katanya.

“Bagusnya apa?”

“Adem.”

Baca Lebih Lanjut.

Krupuk Mlarat


Krupuk Mlarat

    

Kalau pulang kampung maka yang saya cari adalah krupuk mlarat. Lebaran kali ini, pas silaturahim ke rumah bibi, selain masakan khas lebarannya ternyata ia telah menyediakan krupuk kesukaan saya itu. Krupuk yang digoreng di atas pasir panas dan harganya murah itu menjadi pelengkap hidangan yang pas.

 

 

Riza Almanfaluthi

09.28 06 September 2011

Diikutkan di Share Stories Indosat

http://ads2.kompas.com/indosatsenyum/share_detail.php?idartikel=190

Di like aja… J

Gambar diambil dari sini.

ASLI DERMAYU


Saat akan kembali ke Jakarta, Ibu bersikeras membawakan kami oleh-oleh untuk dibagikan ke tetangga-tetangga kami. Sebenarnya bukannya tidak suka kami dibawakan semua itu tapi karena bawaan kami sudah banyak dan khawatir ribet di sepanjang perjalanan dengan kereta api pada saat puncak arus balik Sabtu kemarin.
Tapi karena Ummu Haqi juga tidak keberatan untuk menerimanya—dan tentu pula membawanya—maka otomatis jadi juga saya membawa satu kardus oleh-oleh khas Indramayu; buah mangga asli Indramayu dari daerah sentranya Desa Segeran. Tapi pada akhirnya tetap saya yang membawa beban itu berupa tiga tas pakaian dan satu kardus. Berat euy…
Ngomong-ngomong tentang buah mangga ini, mungkin ini satu-satunya yang bisa saya banggakan dari Indramayu selain pandangan negatif tentang daerah di pantura ini. Tentang kawin cerainya-lah, tentang wisata plusnya (Anda tahu sendiri lah…), tentang kemiskinannya dan lain-lainnya. Walaupun saya tidak suka mangga dan tidak punya pohonnya di kampung sana tapi saya bilang kepada setiap orang yang saya beri: “ini benar-benar asli dari Indramayu loh…”
Soalnya statemen ini perlu untuk meyakinkan bahwa buah yang kami bawa ini beda banget dengan buah mangga berlabel “Indramayu” yang dijual di pinggir jalanan Jakarta atau yang diasongkan di kereta rel listrik Jakarta-Bogor. Rasanyalah—ini bukan kata saya tapi kata Ummu Haqi—yang membedakannya. Dan katanya pula yang membuat beda adalah karena pohon mangga itu ditanam di Indramayu—dekat pantai dan tanahnya bergaram, soalnya walaupun bibitnya asli dari Indramayu juga tapi kalau tidak ditanam di Indramayu, rasanya akan beda pula. Tidak senikmat dan selezat aslinya.
Anda mau merasakan nikmatnya? Kalau Anda bepergian di sekitar Pantura sempatkan mampir di Jatibarang karena di sepanjang jalan ada warung-warung yang menjajakan beragam jenis buah mangga—bapang, susu, golek, apel, arummanis, dll. Kalau punya waktu lebih maka kunjungilah desa Segeran yang letaknya sekitar 15 km arah timur Jatibarang menuju Karangampel, karena di sana Anda akan melihat betapa di setiap rumah penduduk desa terlihat pohon mangga yang berbuah banyak sampai menjuntai-juntai ke tanah. Uih…menyenangkan sekali untuk dilihat dan dinikmati tentunya.
Allohuta’ala a’lamu bishshowab.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08:06 30 Oktober 2006

SUATU SAAT SAYA AKAN MENGGIGIT KAMU


Berbulan-bulan sudah saya tidak pernah mencicipi kue ini. Ada sih kue sejenis ini: serabi solo. Kalau yang ini juga saya doyan dan sering makan di Kalibata sini. Tapi saya ingin yang klasik, yang konvensional. Kue serabi yang biasa saja itu loh. Yang sering saya jumpai di kampung halaman di setiap ahad pagi sehabis jogging.
Ada yang berwarna putih dan ada pula yang berwarna merah. Kalau yang putih tentu rasanya asin biasa atau gurih. Tapi yang merah tentunya manis karena ditambah dengan gula merah cair oleh bibik-bibik penjual kue serabi. Dan sedapnya….tanpa di tambah-tambah dengan cairan gula lainnya seperti kue serabi yang ada di Bandung atau Jakarta.
Waktu pulang ke Semarang kemarin (ini kemarinnya orang Jawa yah…) saya mencari-cari kue ini. Hasilnya nihil. Tidak barang sebiji pun yang bisa saya jumpai. Padahal saya sedang kangen-kangennya sama itu tuh barang. Uh…
Tapi, akhirnya Allah mempertemukan juga dengan kue itu. Tiga hari lalu, di rute baru yang saya tempuh dalam perjalanan menuju kantor, di dekat perlintasan kereta api Pasar Minggu menuju Condet, di ujung gang ada ibu muda penjual kue itu sedang asyik membakar serabi dalam gerabah hitamnya. Tapi karena saya sedang diburu oleh waktu untuk segera meletakkan jempol kiri ini di finger print maka saya tidak berhenti untuk mencicipi salah satu warisan kuliner nenek moyang kita itu. Tetapi saya sudah mengincarnya. ”Suatu saat saya akan menggigit kamu,”tekadku. 
Nah, hari ini, Jum’at, tanggal satu bulan September tahun dua ribu enam, saya kembali melewati jalan itu dan berhenti sejenak untuk membelinya. Tapi saya ingat saya cuma membawa satu lembar I Gusti Ngurah Rai dan dua lembar Pattimura. ”Wah, duit recehnya tidak ada lagi, padahal saya mau membeli banyak, setidaknya buat teman-teman di kantor,”pikir saya.
”Bu, harganya berapa?”
”Seribu dua, mas.”
“ Ya, sudah saya beli empat.”
“Empat ribu mas…?” tanyanya.
“Nggak Bu, saya cuma punya receh dua ribu, jadi empat biji saja.”
Dengan sigapnya ia memilihkan buat saya serabi yang masih panas dan terlihat bersih. Tapi saya memintanya untuk mengambilkan yang bagian bawahnya menghitam, agar terasa khas sangit-sangit terbakarnya.
Empat kue sudah berada di kantong plastik dan bertengger di stang bagian kiri motor yang sudah hampir mendekati kantor. Kini, sambil menulis ini, saya menggigit kue ini pelan-pelan, merasakan gruihnya (tidak lezat-lezat amat sih). Tapi yang pasti saya merasakan sensasi luar biasa, yaitu sensasi terpenuhinya rasa kangen saya terhadap kue kuno yang satu ini. Alhamdulillah, yang mana IA telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menikmati kue ini.
Ngomong-ngomong masalah kenikmatan serabi, yang cuma kenikmatan kampung, dan cuma kenikmatan semu dunia maka kenikmatan mana lagi yang sempurna selain kenikmatan yang Allah persembahkan kepada orang-orang bertakwa.
Pasnya lagi hari ini saya sering mengulang-ulang beberapa ayat di surat Al-Insaan ayat 41 s.d. 44

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata air-mata air
Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka ingini.
(Dikatakan kepada mereka): ”makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa ayang telah kamu kerjakan”.
Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Subhanallah…
Setelah beberapa ayat itu, Allah menggambarkan tentang keadaan bagi orang-orang yang mendustakanNya di dunia.
”…Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa.”
”Kecelakaanlah yang besar bagi orang-orang yang mendustakan.”

Masya Allah…
Ah, pagi ini serabi saya memberikan sedikit penyadaran bahkan banyak, untuk selalu sadar bahwa ada kehidupan setelah kematian kita.

Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08.29 01 September 2006

Saatnya Mencicipi Panganan Khas


Hari ini, Saatnya Mencicipi Panganan Khas

Jakarta kembali pada aktivitas semula seperti hari-hari biasanya. Macet dan padatnya jalanan menjadi menu utama disetiap waktunya. Pertama karena hari ini adalah hari dimana para pekerja kembali memulai aktivitasnya setelah cuti lebaran dan yang kedua hari ini juga adalah hari kembalinya para siswa sekolah untuk memulai aktivitas belajarnya setelah liburan panjang lebaran.
Maka, pada hari ini pula seperti di kantor saya ini terlihat ramai dan semarak, berlawanan dengan hari kerja sebelumnya yang pada Jum’at lalu masih terlihat sepi. Banyak yang mengakhiri cutinya dan memulai aktivitasnya pada Senin ini dengan tidak lupa membawa oleh-oleh dari kampung halamannya masing-masing.
Ini yang membuat istimewa, kita bisa mencicipi berbagai macam panganan khas dalam waktu yang bersamaan. Ada yang khas dari Lampung berupa krupuk kemplang, kripik pisang, dan dodol durian atau panganan khas parahyangan dodol Garut, pisang bolen Kartika Sari. Wingko Babat, Bandeng Presto, Lumpia dari Semarang. Brem dari Madiun dan masih banyak yang lainnya dari berbagai macam daerah. Dan lidah ini dimanjakan oleh nikmatnya berbagai macam daya tarik khusus makanan tersebut.
Ada yang menarik di sini. Ini merupakan kesempatan bagi daerah untuk mengenalkan kembali hasil budayanya berupa makanan khasnya masing-masing yang justru melestarikan kekhasannya, setelah selama dua dekade ini bertahan dari gempuran makanan-makanan instan dan fastfood ala barat.
Karena momen lebaran menjadi momen para putra daerah yang bekerja di kota untuk kembali ke daerah asal untuk bersilaturahim, maka pada saatnya mereka kembali ke kota mereka akan menjadi agen-agen budaya daerahnya masing-masing. Peluang inilah yang harus dimanfaatkan oleh pengusaha dan pemerintah daerah setempat menjadi upaya pemaksimalan potensi ekonomi yang ada.
Seberapa besar nilai budaya yang bisa diselamatkan, seberapa tinggi potensi ekonomi yang timbul, dan seberapa banyak jumlah orang dientaskan dari pengangguran sudah tentu menjadi efek positif dari pelestarian nilai-nilai budaya panganan khas itu. Itu akan menjadi bahan pemikiran kita sebagai putra daerah—jika Anda adalah benar-benar berasal dari daerah.
Maka, hari inilah kesempatan Anda untuk turut melestarikan nilai-nilai budaya bangsa itu dengan mencicipi semua panganan khas tersebut, tentu jika Anda tidak malu untuk pergi bersilaturahim dari satu seksi ke seksi lainnya. Singkirkan rasa malu itu karena janganlah ada rasa malu untuk berbuat kebaikan dengan silaturahim, sedangkan urusan Anda ternyata bisa mencicipi pangan khas, itu adalah benar-benar berkah dan hasil dari silaturahim Anda selain akan mendapatkan pula umur yang panjang. Hari ini para pegawai seksi lain pun akan mafhum dengan kedatangan Anda entah kalau Anda datang selain pada hari ini.
Berkeliling dan cicipilah semua itu.

dedaunan di ranting cemara
tidak berhenti di titik 100
09:27 14 Nopember 2004