WAHAI PEMERINTAH, JANGAN KORBANKAN KAMI


PEMERINTAH… JANGAN KORBANKAN KAMI

Menjelang lebaran haji tahun 2010 ini terasa sekali
oleh saya—sebagai ketua takmir—berat dalam memutuskan sesuatu.
Masalah klasik sebenarnya. Kapan puasa sunnah arafahnya dan kapan shalat Idul Adhanya. Tahun 2007 lalu yang pelaksanaannya berbeda kayaknya tidak ada masalah dan kami enteng-enteng saja melewatinya. Untuk kali ini sepertinya tidak.

Ada Jama’ah yang berpendapat hari Senin puasanya karena sudah menjadi keputusan pemerintah Arab Saudi wukuf di arafah pada hari itu. Jadi shalat Idul Adhanya hari Selasa. Jama’ah yang lain berpendapat bahwa kita kudu ikuti apa kata pemerintah. Pemerintah sudah menetapkan tanggal 10 Dzulhijjahnya pada hari Rabu sehingga Shalat Idul Adhanya jatuh pada hari itu juga dan Puasa Arafahnya pada hari sebelumnya yaitu pada hari Selasa.

Ada lagi jama’ah lain yang berpendapat bahwa kita ikuti penetapan hari raya Idul Adhanya pada hari Rabu namun puasanya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi karena puasa Arafah berpatokan pada pelaksanaan wukuf di Arafah.

Saya harus ambil keputusan karena saya pikir dari kesemua pendapat itu ada banyak ulama yang mendukungnya. Satu yang tetap menjadi pertimbangan saya adalah sesungguhnya menjaga persatuan umat Islam wajib hukumnya. Sedangkan pelaksanaan puasa Arafah dan shalat Idul Adha adalah sunnah. Tentunya mendahulukan yang wajib daripada yang sunnah itu adalah lebih utama.

Karena kebanyakan dari kita terkadang sulit dalam menentukan prioritas. Terbukti kalau shalat Idul Adha ataupun Idul Fitri banyak yang datang berbondong-bondong datang ke masjid padahal sehari-harinya tidak pernah datang sama sekali. Sepertinya shalat ‘Id adalah sebuah kewajiban sehingga kalau tidak melaksanakannya terasa kurang afdol atau gimana gitu

Begitupula dalam penentuan waktunya, perbedaannya akan menjadi pertengkaran yang berujung saling berdebat, membenci, dan timbul benih-benih perpecahan. Padahal puasa Arafah dan shalat ‘Id Qurban hukumnya sunnah belaka (maksimal adalah sunnah mu’akadah, sunnah yang amat dianjurkan). Tak perlu mengorbankan sesuatu yang wajib dengan mengunggulkan yang sunnah. Seperti contoh yang lainnya adalah lebih mementingkan shalat tahajud tapi shalat shubuhnya kesiangan ditambah tidak berjama’ah di masjid.

Dengan pertimbangan kaidah keputusan pemerintah menghapuskan perbedaan maka saya ambil keputusan melaksanakan pendapat yang ketiga. Yakni untuk melaksanakan shalat Idul Adha di Masjid Al-Ikhwan pada hari Rabu dan dipersilakan untuk melaksanakan puasa Arafah pada hari Senin.

Dengan ambil penetapan tersebut saya harap tidak ada masalah bagi yang tetap ngotot berlebaran pada hari Selasa dan tidak mau melaksanakan shalat Idul Adha pada hari Rabu, namun dirinya tetap punya peluang melaksanakan puasa Arafah pada hari Senin. Lebih mementingkan puasa daripada shalatnya dengan alasan balasan yang diberikan Allah sungguh luar biasa. Dihapuskannya dosa kita setahun kebelakang dan satu tahun ke depan. It’s ok.

Pun saya harapkan penetapan ini tidak masalah bagi jama’ah yang berpendapat shalat Idul Adha pada hari Rabu, karena kebanyakan orang juga jarang untuk mengamalkan puasa Arafah terkecuali mereka yang paham dengan agama ini dan sunnah-sunnahnya.

Pertimbangan yang lebih penting lagi bagi saya adalah seperti sedikit diuraikan di atas yakni kaidah disunnahkannya meninggalkan sesuatu yang sunnah demi menjaga persatuan. Di mana apabila terjadi pertentangan antara wajib dan sunnah, maka yang dilakukan adalah yang wajib, walaupun harus meninggalkan yang sunnah. Karena maslahat persatuan lebih besar daripada maslahat melakukan sunnah.

Dr. Abdul Karim Zaidan menukil dari An-Nadawi yang mengilustrasikan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad saw dalam penerapan kaidah ini. Beliau tidak mengubah bangunan Ka’bah, karena dengan membiarkannya seperti yang sudah ada dapat menjaga persatuan.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud tidak sependapat dengan Utsman bin Affan yang melaksanakan shalat dalam perjalanan secara sempurna (itmam). Tetapi ditengah perjalanan Ibnu Mas’ud ra melaksanakan shalat itmam dan menjadi makmum di belakang Utsman ra. Ketika ditanya tentang perbuatannya itu, Ibnu Mas’ud ra berkata, “perselisihan itu buruk.”

Memaksakan shalat Idul Adha pada hari Selasa di tengah pemahaman masyarakat yang mayoritas Nahdliyin dikhawatirkan timbulnya fitnah bagi umat. Yaitu fitnah terjadinya perpecahan. Jika memang dipastikan tidak ada fitnah, maka dipersilakan saja untuk untuk melaksanakan shalat Idul Adha pada hari Selasa. Anda yakin maka silakan pakai kaidah ini: keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan (alyaqiinu laa yazuulu bisysyakki). Dan pada kondisi yang saya alami di sini saya masih ragu.

Jalan dakwah masih panjang. Tujuan jangka pendek tak bisa mengorbankan tujuan jangka panjang. Perlu menghitung kekuatan dan risiko yang timbul. Selagi tetap memaksakan pendapat kita yang menurut kita paling rajih tetapi dengan membuat masyarakat kita lari sedangkan di sana masih terbuka peluang adanya pilihan lain yang syar’i, maka tujuan dakwah yang hendak dicapai akan menjadi semakin panjang lagi. Lalu mengapa kita memaksakan diri?

“Insya Allah tahun depan kita pikirkan kembali,” kata saya kepada para jama’ah yang menginginkan shalat Idul Adhanya pada hari Selasa.

By the way, inilah resiko menjadi rakyat kebanyakan. “Dan resiko memiliki pemimpin yang tidak mengerti agama,” kata seorang ustadz, ahad pagi ini. Ditambah dengan ulama yang takut pada penguasa sehingga tidak menyampaikan sesuatu yang benar kepada pemimpinnya. Karena ditengarai sesungguhnya pemimpin tertinggi di republik ini orangnya terbuka dan mau mendengarkan. Tapi sayangnya kurang tegas.

Saya berharap bahwa kengototan pemerintah untuk tetap berlebaran pada hari Rabu bukan didasari karena tidak mau mengubah hari libur, nasionalisme yang sempit, pemikiran sekuler yang hinggap di tubuh kementerian yang mengurusi agama di republik ini, yang ujungnya tidak mau sehaluan dengan orang-orang yang menurut mereka berpemahaman transnasional, atau tak mau mengubah protokoler yang sudah disiapkan para pembantu pemimpin itu. Namun semata-mata karena pertimbangan fikih yang matang.

Singapura yang sekuler dan mayoritas nonIslam saja mau menggeser hari liburnya di hari Selasa lalu mengapa kita yang mayoritas tidak bisa?

Saya berharap pula di tahun-tahun mendatang tidak terjadi perbedaan lagi. Karena yang repot kita-kita di bawah ini. Setiap tahun berdebat lagi. Setiap tahun memberikan penjelasan lagi. Bila tidak ditangani dengan baik khawatirnya umat menjadi bercerai-berai. Pemerintah tak perlu mengorbankan kita lagi untuk hal ini.

Katanya satu atau dua tahun ke depan pemerintah mengusahakan untuk dapat menyamakan cara penghitungan penentuan tanggal hari raya antarormas Islam. Syukurlah kalau begitu.

“Oleh karenanya pilihlah pemimpin yang mengerti agama dan isilah parlemen dengan orang-orang yang tak sekadar KTP-nya Islam,” tambah ustadz kami menutup pengajian shubuh ini. Betul juga sih kata ustadz itu, pemimpin yang mengerti agama akan dengan mudah fleksibel dan juga tegas dalam berprinsip. Orang-orang yang mengerti agama dalam parlemen pun akan bisa saling nasehat menasehati dalam kebaikan kepada pemerintah. Pastinya produk undang-undang yang dihasilkan selalu membela kepentingan umat. Insya Allah.

Wallohua’lam bishshowab. Hanya Allah yang Mahacerdas lagi Maha Mengetahui.

 

Maraji’:

100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari, Dr. Abdul karim Zindan, Penerjemah: Muhyiddin Mas Rida, Lc., Penerbit Pustaka al-Kautsar, Cet. I, Februari 2008

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

07.48 12 November 2010

Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari


 

Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari

Judul Buku Terjemahan                                : Al-Wajiz; 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari

Judul Buku Asli                                  : Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah

Penulis                 : Abdul Karim Zaidan, Dr.

Penerjemah       : Muhyidin Mas Rida Lc.

Penerbit              : Pustaka Al-Kautsar, Jakarta

Cetakan               : Pertama, Februari 2008

Tebal                     : xxxii + 280 hlm

·         Seseorang yang tidak mampu membayar utang, diberi tangguh sampai mampu melunasi utangnya;

·         Seseorang dalam keadaan sangat kelaparan, kemudian dia memakan makanan orang lain, maka dia harus mengganti seharga makanan tersebut;

·         Sesuatu yang haram diterima, juga haram diberikan;

·         Tidak boleh membuat bangunan yang dapat merugikan orang lain;

·         Seseorang yang merasa dirugikan, tidak boleh membalas dengan merugikan orang lain, tetapi harus lapor ke pengadilan;

·         Diperbolehkan membunuh para pemberontak;

·         Tidak boleh menutup toko yang baru karena kehadirannya dianggap merugikan toko yang lama.

(kaver depan)

***

                Mengikuti berbagai forum diskusi dan kajian tentang fikih maka kita akan sering mendapati para peserta diskusi, mentor, guru menyebutkan kaedah-kaedah fikih. Semisal kaedah bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang serupa, mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan, keadaan darurat memperbolehkan melakukan yang dilarang,  atau kaedah suatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya adalah wajib dan masih banyak lagi contoh kaedah yang lainnya.

                Bagi yang ingin memahami lebih lanjut tentang berbagai kaedah ini biasanya harus merujuk pada kitab-kitab fikih yang terkenal. Terkadang yang dibahas hanya beberapa kaedah saja. Kebanyakan pula referensi tersebut tersedia dalam bahasa Arab. Ini tentu menyulitkan bagi mereka yang tidak mengerti bahasa itu. Maka buku terjemahan yang diterbitkan baru-baru saja ini, tentunya sangat membantu sekali bagi Anda, para penuntut ilmu ataupun siapapun yang ingin mendalami kajian kaedah fikih dalam kehidupan sehari-hari. Dan Anda tidak perlu membacanya dari awal sampai tuntas untuk mengetahui dengan segera kaedah yang diperlukan. Anda cukup dengan mencari di daftar isinya, lalu menuju halaman yang dituju, dibaca, dan dipahami. Anda dapat membaca buku ini dari kaedah mana saja. Praktis sekali.

                Penulis buku ini mengumpulkan sebanyak seratus kaedah fikih –yang tersebar dari berbagai kitab para ulama—yang bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan suatu hukum. Kaedah fikih ini—sebagaimana disebutkan dalam pengantar penerbit—merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat nash-nash Al-Qur’an maupun hadits menggariskan hukum secara global, sementara permasalahan hukum dari waktu ke waktu semakin komplek dan semakin banyak, sehingga diperlukan metode dalam pengambilan hukum tersebut.

                Buku ini diawali dengan memberikan pengertian apa itu definisi kaedah secara bahasa serta perbedaan antara kaedah fikih dan hukum fikih itu sendiri. Yang menarik lagi dalam buku ini adalah di setiap kaedah yang dibahas diberikan makna,  dalil-dalil, cabang, pengecualian kaedah, serta contoh-contohnya. Ini tentunya lebih memudahkan dan memberikan penjelasan yang menyeluruh bagi para pembacanya.

                Bagi saya, kehadiran buku ini benar-benar merupakan taufik Allah yang diberikan-Nya kepada saya. Betapa tidak, dua atau tiga minggu sebelum saya membeli buku ini saya kesulitan dalam mencari kaedah-kaedah fikih yang diperlukan untuk memahami timbulnya suatu perkara dalam hukum fikih, baik di internet ataupun dalam buku-buku fikih yang saya miliki. Dan akhirnya Allah memudahkan saya dengan menemukan buku ini di suatu pameran buku Islam yang baru saja berakhir hari ini (9/03).

                Walaupun diakui sendiri oleh penulisnya bahwa kumpulan kaedah ini merupakan kumpulan catatan singkat yang berisi penjelasan sebagian kaedah fikih dalam syariat Islam dan belum ditulis secara luas serta komprehensif, setidaknya bagi dunia perbukuan Indonesia  merupakan penambahan harta karun referensi Islam yang amat berharga. Pun bagi saya dan Anda tentunya keberadaan buku ini memperdalam samudra perbendaharaan tsaqofah (wawasan) serta menuntaskan dahaga intelektualitas kita. Semoga.

Riza Almanfaluthi

Tengah malam, 00.01 WIB 10 Maret 2008

dedaunan di ranting cemara

https://dirantingcemara.wordpress.com