TAK MAU SEKELAS ARWAH GOYANG KARAWANG


TAK MAU SEKELAS ARWAH GOYANG KARAWANG

 

Dalam Islam sastra harus dibatasi. Tak bisa bilang sastra untuk sastra. Atau berpijak pada kebebasannya semata. Bahkan seperti yang Albert Camus katakan bahwa sastra tak boleh memihak siapapun.

Sastra—dalam Islam—harus memegang teguh apa yang diperbolehkan dan tidak dalam nilai-nilai yang terkandungnya. Semua muncul dari ajaran wahyu dan fitrah insani. Ini yang menjadi ukuran. Bacaan yang memancing syahwat dan tulisan yang menggedor nilai-nilai keimanan sudah jelas dilarang untuk diciptakan. Dalam puisi pun demikian.

Siang tadi, saya membuat puisi yang sekarang berjudul agar tak ada namanya. Draf awal berbeda sekali
dengan yang sekarang sudah jadi. Saya tulis di atas kertas draf itu seperti ini:

Rabb, bisukan aku agar tak ada namanya yang tersebut dalam igauanku.

Rabb, tulikan aku agar tak ada suaranya yang terdengar dalam telingaku.

Rabb, butakan aku agar tak ada rupanya yang tergambar dalam ratusan mimpiku.

Rabb, ambil pikiranku agar tak ada ruang yang ada untuk mengenangnya.

Aha…saya tinggal mengetikkannya di layar komputer. Tapi jari-jari tak mampu untuk melakukannya. Apa sebab? Nurani saya menentangnya dan dengan sekuat tenaga menghentikan apa yang akan dilakukan oleh jari-jari saya. Karena? Bait-bait itu adalah bait-bait do’a. Mengapa mendoakan keburukan untuk diri saya?

Akhirnya saya corat-coret kembali kertas putih itu. Dan kembali mengulang dari awal untuk membuatnya namun tetap dalam tema besar yang sama: tak sempat untuk memikirkan yang lain. Loh, itu kan cuma kata-kata yang bisa jadi pembacanya sendiri punya penafsiran lain. Bukankah Anda sendiri yang bilang bahwa pengarang itu telah mati?

Ya betul, saya tetap konsisten dengan pernyataan itu. Tetapi saya tak ingin penafsiran itu muncul sekalipun dalam benak para pembaca. Bahkan apalagi kalau sudah benar bahwa itu yang dimaksudkan oleh pengarangnya sendiri sebagai sebuah do’a. Maka dalam Islam tak sembarangan untuk membuat nama buat putra dan putri mereka. Karena nama adalah do’a.

Inilah yang membuat saya berpikir, sebebas-bebasnya saya berekspresi tetap ada nilai yang membatasi. Tak bisa tak. Kalau memang mengaku sebagai orang yang beriman. Mungkin ini akan berbenturan dengan proses kreatifitas yang selalu saya pegang dalam menulis, terutama bagi mereka yang berniat untuk bisa menulis yaitu menulis tanpa beban dan seliar mungkin.

Ya tanpa beban dan seliar mungkin. Itu yang selalu katakan. Semua berawal menulis dengan menggunakan otak kanan, tetapi nanti setelah selesai barulah pakai otak kiri. Dan nilai-nilai Islam inilah yang menjadi batasan saat kita menggunakan otak kiri dalam mengedit dan memperbaiki tulisan yang kita buat seliar mungkin itu.

Oleh karenanya sampai sekarang saya belum mampu untuk menyelesaikan cerita pendek “Beranak Dalam Kubur” hasil proses menulis cepat dan seliar mungkin selama 30 menit pada saat workshop menulis yang diselenggarakan oleh BP School of Writing dan DJP. Karena ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Untuk apa dan mau dibawa kemana? Adakah hikmahnya?

Kalau tidak dapat menjawab pertanyaan semacam itu bisa jadi cerpen tersebut hanya sekelas film Arwah Goyang Karawang. Oh…tidak bisa. Saya tak mau.

Jadi Pak..Bu…, semua itu ada batasnya.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

malam ahad malam pendek

11.42 26 Februari 2011

diunggah pertama kali di: http://bahasa.kompasiana.com/2011/02/27/tak-mau-sekelas-arwah-goyang-karawang/

tags: arwah goyang karawang, BP School of Writing, DJP, Beranak Dalam Kubur, albert camus, puisi

PIKIRAN ADALAH MUSUH


PIKIRAN ADALAH MUSUH

 

Tulisan membuat seseorang mampu untuk melebihi masa hidupnya dan mampu membuat pintu untuk melampaui ruang lingkupnya. Tulisan menjadi sesuatu yang tidak ada kata pensiunnya buat penulisnya.

Itulah salah satu yang dikemukakan oleh Zaim Uchrowi dalam Pelatihan Aktif Menulis, Kreatif, dan Inspiratif yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) di Hotel Twin Plaza, Jakarta, Kamis (2/12).

Zaim melanjutkan bahwa untuk menjadi penulis sejati maka ia harus hati-hati dengan pikirannya, karena terkadang pikiran adalah musuh bagi penulis sendiri. Penulis sering terjajah dengan pikirannya. Seharusnya penulis harus mampu untuk mengendalikannya. Maka seringkali mengajar tentang kepenulisan di dunia akademisi akan lebih sulit daripada yang lainnya karena hilangnya spontanitas dan mereka benar-benar hidup di dunia pikiran.

Oleh karenanya, lanjut Zaim, untuk tidak terjajah oleh pikiran, penulis harus mampu menggunakan mata, mata, dan matanya. Memosisikan matanya seperti kamera yang mampu untuk merekam segalanya. Dengan mata itulah ia mengamati dan memdeskripsikan apa yang ia lihat. Dan tulisan yang baik adalah tulisan yang bisa mendeskripsikan sesuatu dengan jelas.

Untuk memperkuat mata itu, dalam menulis pun perlu menggunakan bahasa atau kata-kata sehari-hari. Hindari jebakan akademik. Karena dunia akademik kita amat sangat diwarnai dengan feodalisme, kekakuan, dan formalistik. Di luar negeri, karya akademik dari dunia ilmiah mampu mendekatkan diri dengan tulisan-tulisan populer lainnya.

Zaim mencontohkannya dengan tulisan anak-anak yang mampu berkata jujur dan polos. “Kita lihat tulisan anak-anak itu. Jelas strukturnya, subjek, predikat, objek, dan keterangan.Pendek-pendek. Namun dengan bertambahnya usia mereka, ilmu mereka, pendidikan mereka, tulisannya semakin panjang, dan membingungkan. Menjadi sulit dimengerti. Hingga muncul anggapan tulisan yang ilmiah itu adalah tulisan yang sulit dipahami.”

“Akan sangat baik pula untuk menambahkan latar belakang wilayah lokalnya masing-masing dalam tulisan itu agar penuh dengan warna,” lanjut Zaim mengakhiri.

Pelatihan yang diisi instruktur dari Balai Pustaka School of Writing dan dibuat untuk
para kontributor Buku Berbagi Kisah dan Harapan (Berkah) Direktorat Jenderal Pajak ini, menurut rencana akan diselenggarakan selama tiga hari.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

memandang pagi Jakarta dari lantai 10

04.44 03 Desember 2010