8 TAHUN 7 BULAN 7 HARI


Friday, July 14, 2006 – 8 TAHUN 7 BULAN 7 HARI

8 TAHUN 7 BULAN 7 HARI

(Cuma Diary Belaka)

Hampir setahun yang lalu—tepatnya pada tanggal 19 Agustus 2005—saya menulis di Ciblog ini tentang kegembiraan saya bisa pindah dari Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Tiga ke KPP PMA Empat—yang pada akhirnya tidak jadi itu. Karena walaupun surat keputusan tentang kepindahan sudah dikeluarkan tapi secara definitif pelaksanaannya baru bisa direalisasikan pada pekan ini. Entah kenapa…?

Ya, setelah ada pergantian pejabat eselon dua dan tiga di Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jakarta Khusus rencana perpindahan itu kembali menguat apalagi telah dilakukan pelantikan pada hari Senin kemarin (10/7) kepada seluruh Account Representative (AR). Walaupun pada saat pelantikan tersebut terdapat insiden yang tidak diinginkan. Pada saat pelantikan Kepala Kanwil Jakarta Khusus menegur peserta pelantikan yang tidak mengindahkan kekhidmatan upacara tersebut. Maklum saja ada kurang lebih 350 orang berada di aula kecil KPP PMA Dua & Tiga.

Berdasarkan kesepakatan informal antara seluruh Kepala KPP di lingkungan Kanwil Jakarta Khusus, AR baru diharapkan sudah running per tanggal 17 Juli 2006 besok. So, saya benar-benar harus mempersiapkan dan membereskan segalanya, terutama seluruh pekerjaan yang memang ada jatuh temponya itu. Diharapkan AR pengganti saya tidak merasa ditimpakan dengan beban berat.

Lalu saya memberikan catatan-catatan kecil dengan kertas post it berwarna merah menyolok pada berkas-berkas yang ada di meja saya. Supaya AR-nya pun tidak bingung nantinya. Dan tak lupa dua berkas putusan pengadilan pajak yang baru saja datang segera saya selesaikan dengan membuatkan uraian penjabaran putusan pengadilan pajak serta Draft Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak melalui Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP). Tepat pada pukul tiga siang kemarin, saya sudah menyelesaikan semuanya. Terutama pula Memori Alih Tugas yang deadline-nya hari Jum’at ini.

Sekarang, hari ini, beres-beres semua barang pribadi saya. Persiapan kepindahan, coy…Perlu diketahui bahwa baru kali ini saya pindah kantor setelah 8 tahun 7 bulan 7 hari lamanya saya berada di KPP PMA Tiga. Lama juga yah…

Ya, sejak dari kampus saya memang langsung ditempatkan di kantor itu. Dalam kurun 7 tahun pula saya di sana cuma mengalami dua kali perpindahan antarseksi. Pertama, sebagai pelaksana di Seksi Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan sejak tanggal 07 Desember 1997. Lalu pada September 2001 pindah ke seksi Penagihan. Setahun setengah sebagai pelaksana di Subseksi TUPP cukup menjadi bekal untuk menjadi jurusita pajak apalagi setelah mendapat pendidikan dan pelatihan Jurusita Pajak.

Barulah pada Oktober 2004, saya dilantik menjadi AR setelah menjalani berbagai ujian. Maksud saya ini benar-benar ujian dalam arti sesungguhnya. Mulai dari mengikuti sidang skripsi agar bisa mendapat gelar kesarjanaan untuk bekal mengikuti Diklat UPKP V.

Lalu agar bisa naik pangkat di golongan III/a, saya harus mengikuti ujian UPKP V. Alhamdulillah saya lulus hanya dengan satu kali ujian. Setelah per Oktober 2003 naik pangkat dan golongan, saya diberikan kemudahan oleh Allah untuk dapat mengikuti ujian untuk menjadi AR. Lagi-lagi Allah memberikan nikmat yang tiada terkira. Saya termasuk dalam daftar AR yang ditempatkan di kantor pajak moderen. Di KPP PMA Tiga lagi. So, saya masih berkutat di kantor ini lagi. Masih menjadi makhluk penunggunya.

Satu tahun sembilan bulan saya menjadi AR di KPP PMA Tiga. Banyak suka dan duka tentunya. Sukanya, saya ditempatkan di seksi yang lumayan tidak sibuk. Tapi ini berkaitan dengan dukanya, yaitu berkutat dengan wajib pajak pertambangan emas yang selalu punya sengketa perpajakan dengan Direktorat Jenderal Pajak. Jadinya saya memang akrab sekali dengan sesuatu yang bernama putusan pengadilan pajak. Kita kalah mulu…

Lama-kelamaan berkutat di sana, saya semakin mudah memahami alur dan cara kerja SIDJP. Mungkin bisa dikatakan kalau saya familiar—untuk tidak mengatakan ahli—sekali dengan proses pencairan kelebihan pembayaran pajak via keberatan atau banding Wajib Pajak. Saya harapkan semua ini menjadi bekal berharga di kantor yang baru nanti.

Ya betul, kiranya tidak hanya bekal itu. Bekal selama 8 tahun, 7 bulan, 7 hari yang telah berlalu itulah menjadi bekal paling berharga. Bekal tentang bekerja yang baik, kedisiplinan, manajemen waktu dan pekerjaan, menghadapi orang, berbicara di depan umum, mengeluarkan pendapat, mengutamakan kejujuran, keterusterangan, dan mencari solusi.

Saya harapkan bekal itu cukup di kantor yang baru, tapi tidak berhenti di situ, saya berharap pula untuk mendapatkan bekal yang lebih baik lagi. Dari siapa saja tentunya. Dari kepala kantor yang baru, kepala seksi yang baru, teman-teman AR, pelaksana, honorer, office boy, bahkan teman-teman Satpam sekalipun. Karena satu yang saya sadari: jangan pernah melihat orangnya, tapi dengarkan apa perkataannya.

Di sana barangkali ada sejuta hikmah, kebaikan, dan keindahan akhlak yang bisa memacu saya—dan Anda Pembaca tentunya—untuk menjadi yang terbaik di mata Allah. Semoga.

Riza Almanfaluthi

dedaunan diranting cemara

Jum’at, 14 Juli 2006
sebagai pelipur sepekan tidak menulis

INI BUKAN JALAN PARA “TERORIS”


INI BUKAN JALAN PARA “TERORIS”

Saya rindu menulis. Menulis di Ciblog tentunya. Hampir dua pekan tanpa ide yang menggelayut di benak. Dan tanpa ada tarian jari di atas keyboard. Kali ini, hari ini, saya benar-benar rindu menulis. Menulis apa saja. Menulis di Ciblog tentunya.
Kemarin di kantor, setelah tiga hari lamanya saya kembali cuti untuk pulang ke kampung halaman, teman satu seksi saya yang baru saja memegang Majalah Tempo terbaru setengah berteriak berkata: “Hei, ada Riza di Majalah Tempo!” Sambil menunjuk kaver depan majalah tersebut yang bergambar foto blur seorang muda berkenggot , berbaju putih, tangannya kirinya menyibak baju di bagian dadanya. Di balik pakaian itu ada beberapa benda seperti jam weker, jalinan kabel, dan dinamit.
Tangan kanannya memegang sebuah buku tebal yang ia dekatkan ke dadanya. Ada tulisan besar-besar berwarna kuning kontras dengan background-nya yang berwarna hitam. Judulnya: CATATAN HARIAN SEORANG TERORIS. Lalu di bawahnya ada sebuah nama dari gambaran orang tersebut: Gempur alias Jabir.
Teman saya lalu bilang: “Cuma ada bedanya nih dengan Riza. Kalau di sini lebih kurusan.” Saya penasaran dengan foto itu, dan bergegas menghampiri sang teman untuk melihat dengan jelas kaver majalah itu. Saya memperhatikannya dengan seksama. “Betul sih¸amat mirip dengan saya,” pikir saya. Tapi sungguh saya bukan seorang teroris. 
Selain itu, kemarin juga, saya benar-benar ekstra kerja keras. Saya benar-benar merencanakan dengan detil seluruh kegiatan yang harus dilakukan hari itu. Dengan mencatatnya dalam buku agenda tentunya. Ada dua puluhan kegiatan. Urusan kantor dan urusan pribadi. Dan setiap satu atau dua kegiatan itu selesai saya melingkari nomornya. Ada kepuasan yang sangat saya rasakan. Ternyata enak loh kalau kita benar-benar merencanakannya terlebih dahulu semua kegiatan yang akan kita lakukan esok hari.

Jadi ingat salah satu ayat dalam Alqur’an:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Hasyr, 59:18)

Kemarin juga, dalam sebuah forum diskusi, ada pula yang mengomentari avatar dan signature saya. Katanya: “avatarnya kok bikin merinding, suka perang yah”. Ya, avatar saya adalah penggambaran wajah dari seorang bersurban ala Afghanistan. Bertampang Arab. Dan tentunya dengan janggut lebat yang menjuntai ke bawah. Seram euy… Teman-teman di SJPhone pun sudah menjuluki avatar ini dengan penggambaran diri seorang Osama bin Laden.
Tidak hanya itu, signature saya pun amat lekat dengan dunia peperangan. Untuk yang satu ini adalah foto tiga orang prajurit yang sedang tiarap dengan senjatanya masing-masing di medan Perang Dunia I.
Kalau memang merindingnya hanya karena avatar saya yang mirip-mirip dengan penggambaran sosok-sosok Taliban dan musuh Amerika Serikat (AS), bagi saya ini tidak jadi masalah. Tapi kalau sudah termakan stereotip musuh-musuh Islam maka saya tidak terima. Mengapa seseorang Yahudi dibolehkan menyimpan dan memelihara janggut untuk mengamalkan kepercayaannya, tetapi bila seorang Muslim berbuat demikian, dia dianggap ekstrim, pengganas, fundamentalis, dan teroris. Sungguh, sungguh amat diskriminatif.
Lalu kalau ditanya tentang suka atau tidaknya peperangan. Jelas saya sebagai manusia biasa tidak suka peperangan. Saya orang yang cinta damai bung…Tetapi pula, jikalau Islam sudah memerintahkan untuk memerangi musuh, maka mau tidak mau dan sudah menjadi kewajiban entah fardhu ‘ain atau kifayah untuk maju berperang dan berjihad di jalan Allah.
Jika kita ikhlas maka kematian kita tidak akan pernah ada ruginya. Pahala besar bagi orang-orang yang berperang di jalan Allah yakni masuk surga tanpa dihisab. Subhanallah. Dan sungguh, sebagaimana semboyan yang selalu digelorakan dalam dakwah ini: Allah tujuan kami. Muhammad teladan kami. Alqur’an petunjuk kami. Jihad jalan kami. Kematian Syahid adalah cita-cita kami. Maka bagaimana saya akan menjadikan kematian syahid itu bukan menjadi cita-cita saya?
Gempur alias Jabir menulis dalam catatan hariannya sebagaimana diungkap oleh Tempo: “Sesungguhnya perjalanan jihad penuh dengan onak dan duri, dibayangi rasa takut, kelaparan, dan hilangnya nyawa…”. Kalaupun benar Jabir menulisnya saya menyetujuinya 100% untuk pernyataan yang ia tulis tersebut.
Tapi ada perbedaan mendasar antara saya dengan Jabir pada jalan jihad yang ditempuh yakni tidaklah seperti yang ia yakini dengan menebarkan ledakan di mana-mana (kalaulah ini benar ia yang melakukannya).
Kali ini jihad saya adalah menebarkan kebaikan kepada semua orang. Agar saya bisa mendapatkan persiapan untuk bekal di akhirat nanti. Bagaimana saya bisa mengembangkan multilevel kebaikan itu dengan mencari downline kebaikan sebanyak mungkin. Itu saja untuk saat ini.
Tapi bila suatu saat jalan jihad melawan thogut besar dan kecil, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan itu sudah terbentang di depan mata dan ada perintah untuk melawannya maka saya harus siap. Tapi ada pertanyaan besar selanjutnya, “apakah saya akan menjadi orang yang dipilih oleh Allah untuk itu?” Jangan-jangan saya malah akan tergantikan dengan umat yang lain karena tidak sanggup dan tidak amanah untuk memikul beban dakwah itu? Allohua’alam. Tapi setidaknya saya selalu punya cita-cita, niat, dan azzam untuk berjihad dan syahid di jalan Allah. Sungguh ini bukan jalan para “teroris” (tuduhan basi dari musuh-musuh Islam).
Insya Allah tekad itu selalu ada di dada karena Allah.
Kiranya saya cukupkan sampai di sini tulisan ini. Kiranya pula kerinduan akan menulis, menulis di Ciblog tentunya, sudah terpuaskan. Pula karena jam setengah sepuluh pagi ini saya harus pergi melakukan kunjungan kepada Wajib Pajak yang akan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ini jihad pula bukan? Melakukan sebuah tugas Negara?.
Salam ukhuwah dari saya kepada antum semua pecinta kebenaran.

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Lantai Satu Kalibata
09:23 13 Juni 2006

IKHWAN KEGATELAN


IKHWAN KEGATELAN
(radd asysyubuhat)

Tak disangka ihkwan ini punya hubungan dekat dengan seorang penulis cerpen bernama pena Afifah Afra Amatullah. Istrinya mempunyai saudara kandung yang menikah dengan kakaknya penulis ini.
Karena saya telah membaca salah satu kumpulan cerpennya yang sudah dibukukan berjudul Genderuwo Terpasung maka saya pun meminta kepada sang ikhwan untuk memberikan nomor telepon seluler penulis muda itu.
Tapi apa coba sangkaannya kepada saya—walaupun ini diutarakan dengan nada bergurau, “akhi, ente mau cari istri kedua yah?”.
Yah, persangkaan yang salah telak. Dan ini tidak berhenti di situ saja. Ketika kemarin sore saya kembali meminta nomor telepon salah seorang akhwat yang sudah berkecimpung lama di forum diskusi ada pernyataan lagi yang muncul dari teman saya ini.
“Ck…ck…ck…Akhi, di sini sedang ditimpa musibah, ente telepon-teleponan sama akhwat. Nanti saya akan beri tahu nomornya via hape istrimu, yo…” suara jawa medoknya terdengar.
Salah telak yang kedua kalinya. Baru ia mengerti setelah saya beritahu bahwa sang akhwat ini sudah menikah ahad kemarin. So, saya cuma mau mengucapkan selamat dan sebuah doa: Barakallahu laka….
Dari dua kejadian ini saya berpikir kembali dengan semua sangkaannya itu. Memang saya ikhwan kegatelan apa? Sehingga selalu ada tuduhan-tuduhan itu ketika saya menanyakan sesuatu tentang lawan jenis. Apalagi dengan tuduhan meningkatkan status kejantanan seorang pria dengan beristri lebih dari satu.
Bagi yang pertama hanya untuk menyampaikan pujian dan kekaguman saya terhadap tulisannya itu. Saya pikir ini adalah untuk menunaikan salah satu haknya. Itu saja. Dan pada kenyataannya sampai tulisan ini dibuat pun tidak ada satu pesan pendek yang saya kirim. Atau berusaha mencoba dial nomornya. Tidak. Tidak sesekalipun.
Untuk yang kedua, jelas saya tidak bisa datang ke sana. Karena selain saya pun mendapatkan informasinya terlambat, lokasi yang jauh sekali (ini sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan utama), belum bisa memberikan apa-apa sebagai hadiah pernikahan, dan terpenting adalah banyaknya agenda yang harus saya jalani akhir pekan kemarin, maka sudah selayaknya saya cuma bisa memberikan ucapan saja. So what getu loh…
Saya hanya ingin meniru apa yang dilakukan Hasan AlBanna yang sanggup menyentuh sisi-sisi terdalam dan paling sensitif dari seseorang yakni hatinya. Yang sanggup mengingat nama dan mengenal al-akh cuma karena ia menandatangani kartu keanggotaan jama’ahnya. Al-akh itu pun terkejut dan tersentuh hatinya ketika Hasan AlBanna yang baru pertama kali berkunjung ke daerahnya itu sanggup mengenalnya dari ribuan anggota jama’ah lainnya.
Maka hati adalah pintu untuk masuknya hidayah dan cahaya kebenaran. Hati adalah gerbang penentu penerimaan seseorang terhadap dirinya. Hati adalah segumpal buhul dari silaturahim. Maka dengan sentuhan hati dakwah ini menyebar ke segala penjuru mata angin.
Saya sungguh belumlah sanggup meniru apa yang Rasulullah saw sering lakukan dengan memberikan hadiah kepada banyak orang dan menjadikan ini sebagai sunnah buat ummatnya. Atau meniru apa yang dilakukan Hasan AlBanna dengan gampangnya ia mengingat nama orang, yang sebaliknya bagi saya seringkali mudah dilupakan.
Maka hanya ini yang bisa saya lakukan. Dan itu pun tidak hanya untuk makhluk bernama wanita, perempuan, akhwat, gadis, ibu-ibu, nenek-nenek atau apapun sebutan yang biasa engkau sandingkan. Tidak. Karena saya tahu dan engkau tidak tahu apa yang saya lakukan setiap hari.
Maka hanya ini yang bisa saya lakukan dengan menelepon ketika ia telah bertambah umurnya, menjenguk ketika ia sakit atau mendapatkan anugerah berupa sang penerus kehidupan, memberikan hadiah, mengirimkan surat, bersilaturahim tanpa direncanakan dan diberitahukan terlebih dahulu kepadanya. Atau bila ada rezeki berlebih maka menyisihkan sebagian rezeki itu untuknya. Dan masih banyak cara lain untuk menyentuh sensitivitas hati seseorang.
Insya Allah dengan ini, engkau akan menjadi terpercaya dimatanya. Memudahkan engkau menjadi mata air yang akan mengalirkan air kebaikan kepadanya. Engkau akan dikenang bukan untuk dipuji atau dikultuskan, tapi dikenang untuk dicontoh. Contoh dari prototype penuh kebaikan.
Sungguh, keutaman ada pada kebaikan walaupun kecil tapi dilakukan dengan istimroriyah, kontinyu, berkelanjutan. Niscaya unta merah pun engkau akan dapatkan. Insya Allah.
So, kiranya: julukan ikhwan kegatelan semoga tidak ada pada diri saya. Kalau iya, semoga masih ada obatnya di apotik. 🙂

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
10:35 31 Mei 2006

AKU BUKANLAH JUFAT DAN GHULLAT SAYYID QUTHB


AKU BUKANLAH JUFAT DAN GHULLAT SAYYID QUTHB

Buku kecil itu terjejer rapih di alas yang digelar oleh pedagang di trotoar seberang jalan Kedutaan Besar (kedubes) Amerika Serikat (AS). Beberapa saat kemudian buku seharga lima ribu perak kini telah berpindah tangan. Dan siap untuk saya baca. Sempat kulirik beberapa aparat kepolisian mengambil buku itu. Entah mereka cuma melihat-lihat saja atau membelinya karena segera kutinggalkan tempat itu untuk mencari posisi yang strategis menanti kedatangan rombongan besar pendemo yang sedang bergerak dari Bunderan Hotel Indonesia menuju kedubes.
Hari itu massa dari Partai Keadilan Sejahtera mengadakan demo besar-besaran sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan bangsa Palestina menghadapi aksi boikot Amerika Serikat dan sekutunya yang menyetop bantuan dananya. Slogan yang dikumandangkan Organisasi Konferensi Islam One Man One Dollar, To Save Palestina menjadi tema sentral dalam kegiatan akbar ini.
Kali ini, saya bersama rombongan kecil dari Bogor, menyempatkan diri untuk berpartisipasi sebagai wujud kecil dari ukhuwah lintas bangsa dan negara. Karena terlambat berangkat, kami putuskan untuk langsung menuju kedubes AS. Dari informasi yang diperoleh tempat itu menjadi titik terakhir dari aksi ini.
Belumlah begitu ramai ketika kami sampai di sana. Namun banyak aparat kepolisian yang sudah berjaga-jaga di sekitar kedubes. Dan sudah dipastikan banyak pula pedagang yang menggelar beraneka ragam macam barang dagangan. Mulai dari sekadar minuman penghilang haus dan dahaga hingga pernak-pernik, aksesoris, jilbab, dan pakaian.
Sembari menunggu itulah saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat keramaian kecil di sekitar. Sampai akhirnya saya menemukan buku kecil itu, lalu menjadi barang kedua yang saya beli setelah sebuah kaset muhasabah jadul berjudul Rihlatulillah.
Buku saku berkaver hitam ini berjudul Manhaj Harakah & Dakwah Menurut Sayyid Quthb. Judul dalam bahasa aslinya adalah Manhaj Sayyid Quthb Fid Da’wah. Ditulis oleh Jamaluddin Syabib—ia memperoleh gelar tertinggi dengan nilai Cum Laude pada perguruan Tinggi Dakwah Islamiyyah Madinnah Al Munawarrah Saudi Arabia. Dan diterjemahkan oleh Aminudin Khozin, alumni Pondok Moderen Gontor, Ponorogo dan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Buku yang pertama kali diterbitkan oleh Pilar Press di tahun 2001 ini menarik perhatian saya karena di dalamnya dijelaskan apa dan bagaimana manhaj dakwah Islam menurut Sayyid Quthb, dasar-dasar, keutamaan, pilar-pilar, dan dampak-dampak manhajnya baik dalam pergumulan pemikiran keislaman dan dalam dunia dakwah islamiyyah. Pelan-pelan saya baca buku itu dan berusaha untuk memahami apa yang ingin disampaikan oleh Sayyid Quthb dengan manhaj dakwahnya itu.
Baru pertama kali saya memiliki buku yang benar-benar dari awal sampai akhir memuat buah pikirannya. Di rumah tidak ada satu pun buku yang saya miliki membahas tentang Sayyid Quthb. Kalaupun ada itu pun hanya memuat sebagian kecil tentang pemikirannya, biografinya, dan kisah-kisah di penjara yang dialaminya.
Hatta buku sekaliber Ma’alim fith-thariq dan sefenomenal Fii Dzilaalil-Qur’an yang ditulis oleh Sayyid Quthb—keduanya bisa dikatakan sebagai buku referensi utama bagi para aktivis pergerakan—sampai detik ini pun belum saya punyai.
Walaupun ada keinginan kuat untuk membelinya pada saat terjemahan Fii Dzilaalil-Qur’an ini pertama kali muncul, namun tidak sampai menggerakkan hati saya untuk membeli dan memilikinya. Bahkan di saat Wakil Presiden Republik ini pernah memerintahkan aparatnya untuk meneliti buku-buku yang ditulis oleh Sayyid Quthb—karena menurut dia menjadi pemicu pemikiran radikal para pengebom Bali dan Kedubes Australia—tidak membuat saya tergugah untuk mendalami lebih lanjut apa yang disebarkan oleh Sayyid Quthb melalui buah pemikirannya itu.
Yang saya kenal darinya pun sebatas riwayat hidupnya belaka. Sebagai seorang pemikir kedua setelah Hasan AlBanna pada jama’ah pergerakan terbesar di Mesir yakni Ikhwanul Muslimin. Sebagai seorang yang dituduh membuat makar oleh Jamal Abdun Nashir—seorang yang diterima oleh Ikhwanul Muslimin sebagai bagian dari jama’ah kemudian membelot hingga sampai pada tindakan menawan, menyiksa, membantai, dan menggantung para anggota jama’ah ini.
Sayyid Quthb yang saya tahu pun hanya sekadar sesosok ringkih yang dibawa ke tiang gantungan sebelum terbit fajar hari Senin, 29 Agustus 1966. Namun walaupun jasadnya telah menjadi tanah namun pemikirannya tetap hidup hingga kini dan menyebar ke belahan dunia lain. Membuatnya sebagai ikon penentangan terhadap ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan. Dan bersamaan dengan itu pula dijadikan sansak caci maki pada dirinya dari segolongan lain yang dialamatkan juga kepada jama’ah yang membesarkannya.
Saya anggap hal itu sebagai suatu kewajaran. Hatta seorang Nabi Besar Muhammad saw sebagai penghulu dari umat ini pun tidak lepas dari orang-orang yang mencintainya dengan sepenuh kasih sayang dan orang-orang yang menghinanya sewaktu ia masih hidup hingga 14 abad kemudian setelah kematiannya—yang terbaru adalah karikatur penghinaan dirinya yang dimuat oleh media Denmark. Jadi biasa sajalah.
Sampai suatu hari saya menemukan sebuah situs di internet, yang secara detail membahas tentang bagaimana supaya ummat ini kembali kepada aqidah yang lurus sesuai dengan pemahaman ahlussunah wal jama’ah. Tapi dalam situs tersebut juga terdapat banyak perkataan caci maki dan membid’ahkan pada banyak nama. Bahkan yang mencolok—karena diletakkan di halaman depan—mereka membuat sebuah artikel yang khusus memuat kesalahan-kesalahan dari Sayyid Quthb. “Apa pula ini?” pertanyaan itu menggantung sampai akhirnya saya menyelesaikan bacaan itu.
Saya merenung, dan saya baru teringat bahwa saya mempunyai sebuah buku yang membahas tentang hal ini. Buku yang ditulis oleh Jasim Muhalhil dan saya beli di tahun 1997 ini berjudul Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan. Memberikan penjelasan detil terhadap tuduhan-tuduhan yang ditudingkan kepada Jama’ah Ikhwanul Muslimin dan khususnya kepada Sayyid Quthb.
Buku lain dengan tema yang hampir sama pun telah saya punyai di tahun 2003. Kali ini ditulis oleh penulis lokal bernama Farid Nu’man. Buku ini berjudul Al Ikhwanul Muslimun Anugerah Allah yang Terzalimi: Sebuah koreksi Bijak dan Tuntas atas Tuduhan, Fitnah, dan Celaan tak Pantas Terhadap Manhaj dan Tokoh-tokohnya.
Setelah saya baca dua buku tersebut, semua itu ternyata tuduhan-tuduhan lawas dan bukan sesuatu yang baru. Yang memang sudah berkembang sejak dulu dan tidak bermulai dari sini. Mulai tuduhan ia dianggap sebagai seorang Mu’tazilah, Wihdatul Wujud, Asy’ariyyah, mengafirkan kaum muslimin, mencela Mu’awiyyah. ‘Amr bin ‘Ash, dan ‘Utsman bin ‘Affan, serta masih banyak lagi tuduhan yang lainnya.
Walaupun tidak membacanya dengan pelan-pelan dan teliti, saya merasakan cukup dengan segala jawaban yang diberikan dalam kedua buku itu. Tapi sudah membuat kepenasaran saya terobati. Sampai akhirnya…
Pada suatu hari saya bergabung dan terlibat dalam suatu forum diskusi di sebuah situs intranet di kantor kami yang tersebar di pelosok negeri ini. Dan saya terkejut. Baru kali inilah dalam seumur hidup saya, saya menemukan sebuah komunitas yang menjadi penyalur dan corong suara dari situs internet yang telah saya jelaskan di awal—karena sebelumnya dalam kehidupan kampus dan keseharian saya di masyarakat tidak pernah menjumpai dan bergaul secara langsung dengan mereka.
Keterkejutan saya adalah dengan kegarangan mereka dalam tuduhan, hinaan, dan celaan yang dilontarkan kepada siapa saja yang tidak sepaham dan tidak sependapat dengan pandangan mereka dan para masyaikh mereka dalam keberislaman. Apalagi pandangan mereka terhadap jama’ah pergerakan, Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Yusuf Qaradhawy. Bisa dikatakan setiap hari tidak ada yang terlewatkan dengan caci maki terhadapnya.
Tentunya saya sebagai newbie (pendatang baru) dalam forum tersebut dan melihat terlalu berlebihannya mereka saya merasa terpanggil untuk membalas setiap tuduhan dan celaan itu. Akhirnya saya pun terlibat dalam pertarungan argumen dengan mereka.
Berhari-hari saya ikut serta dalam perdebatan itu. Hingga saya menemukan kesadaran adanya kesia-siaan, kekerasan hati, berhentinya amal, jumud dalam tsaqofah, pengenalan lebih dalam dan pemahaman terhadap karakter mereka. Bahkan bisa dikatakan lengkap. Runut sedari awal mereka eksis bermula di gurun Nejd.
Setelah itu saya cukup diam. Berusaha meredam hawa nafsu dalam setiap perkataan. Karena terhadap mereka tetaplah ada hak-hak yang wajib ditunaikan oleh saya sebagai saudara dalam aqidah yang kokoh ini.
Bahkan dengan diamnya saya ini, membuat tekad saya bertambah untuk membeli buku Ma’alim Fith-Thoriq atau pun Fii Dzilaalil-Qur’an. Dan memberikan sebuah kesempatan emas kepada saya membaca lebih teliti dan mempelajari lebih lanjut tokoh Ikhwanul Muslimin yang paling dibenci oleh mereka, Sayyid Quthb.
Biografinya saya baca kembali pelan-pelan di suatu malam. Perjalanan hidupnya yang ditulis dalam buku: Mereka yang Telah Pergi (ditulis oleh Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil) menurut saya belumlah memuaskan rasa keingintahuan saya terhadap dirinya. Namun mampu membuat mata dan hati ini berbening kaca dan mengharu biru. Apalagi di sana ada visualisasi dirinya dengan didampingi dua pengawal menuju tiang gantungan. Saya berhenti cukup lama di halaman tersebut, merenungi detik-detik mendebarkan yang akan memisahkan dunia yang telah membuatnya terzalimi dengan pertemuannya kepada Sang Pemilik Jiwanya.
Ada ketegaran dan kemuliaan diri dalam tubuh tua dan kurusnya. Tali gantungan pun dengan Izin Allah tak mampu membelenggu dan mengubur pemikirannya bersama jasadnya di dalam tanah sedalam-dalamnya. Bahkan akhlak dan izzah-nya di tiang gantungan itu mampu menjadi jalan turunnya hidayah Allah bagi dua algojo yang mengeksekusinya. Subhanallah…Semoga engkau menjadi syahid, ya akhi…
Sebuah syair yang dibuatnya di balik jeruji penjara berjudul akhi menggema di dunia Arab hingga penyair Arab ternama dari Yordania dan Irak membuat syair balasannya. Begitu pula malam itu, setelah membacanya saya pun membuat syair sebagai balasannya:
Memoar Agustus 1966
Saudaraku,
pada baju penjara dan kopiah putih lusuh
yang kau pakai pada hari itu
pada tubuh kurus
yang menopang seonggok jiwa lurusmu
pada setiap langkah tegar
yang kau gerakkan dari kakimu
menuju tiang gantungan
di apit dua algojo
dengan tali besar menghias di leher
lalu jenak batas memisahkan
sungguh
ada jejak tertinggal bagi dunia
bagi manusia
untuk bernaung di bawah KalamNya.
***

Tapi saya menyadari sesungguhnya ia adalah manusia biasa, tak luput dari kelalaian dan kesalahan. Dan sebagaimana kaidah yang berlaku umum orang baik adalah orang yg kebaikannya jauh lebih banyak dari kesalahannya. Sungguh ia adalah orang yang baik. Tak pantaslah ia dicaci maki dan di hina dengan serendah-rendahnya dan sejelek-jeleknya julukan.
Cukuplah saya mengambil apa yang dikutip oleh Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil dari Dr. Ahmad Abdul Hamid Ghurab: “ Kita tidak mengatakan Sayyid Quthb orang maksum. Begitu juga ulama dan da’i lain. Setiap orang perkataannya boleh diambil atau ditolak kecuali Nabi saw yang maksum. Kita tidak mengultuskan Asy-Syahid Sayyid Quthb, tapi semata-mata memuliakan dan memenuhi hak-haknya. Kita tidak boleh mendiskreditkan dan menghujatnya. Alangkah celakanya umat yang tidak tahu hak-hak ulama yang berjuang dan syuhada yang telah berjihad. Allah berfirman tentang mereka, “dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (Muhammad:4)”.
Atau seperti yang dikatakan oleh Jasim Muhalhil: “Selain itu kami ingin menegaskan kepada kaum jufat (penghujat) bahwa serendah-rendah apapun Anda mencela Sayyid dan karya-karyanya, semua itu tidak akan mengubah kedudukan beliau yang telah terlanjur istimewa di dada mayoritas umat. Tidak akan ada yang mengingkari beliau kecuali orang-orang yang buta mata hatinya.”
Lebih lanjut ia mengatakan: “Adapun bagi kaum ghullat (pemuja) Sayyid, setinggi apapun Anda menyanjung-nyanjung Sayyid bahkan hingga ke langit tujuh tidaklah mengubah kedudukan Anda dan tidak pula membuat orang lupa terhadap kekeliruan Asy-Syahid Sayyid Quthb seperti apa yang telah diteliti para muhaqqiq. Itulah manhaj yang seimbang dalam menilai kekeliruan dan kebaikan manusia, yaitu manhaj wasathiyah (pertengahan). Semoga Allah Swt mengampuni dosa Sayyid Quthb dan memberikan petunjuk bagi kita yang hidup untuk selalu berada dalam jalan yang haq dan ridha-Nya.”
***
Belumlah sampai setengah saya membaca buku kecil itu, tiba-tiba terdengar suara dan derap dari kejauhan. Rupanya rombongan besar pendemo itu mulai mendekat. Hati saya tergetar mendengar takbir dikumandangkan, melihat panji-panji berkibar dan barisan coklat rapi dan gagah dari para kepanduan yang berada di depan. Hal sama dirasakan oleh seorang polisi yang sedang berbicara melalui handy talky dengan temannya di ujung: “Saya merinding melihat ini.”
Mereka semakin mendekat, mendekat, dan mendekat. Saya pun lalu berteriak: Allohuakbar!!! One Man One Dollar, To Save Palestina…!

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:49 15 Mei 2006

My Brothers and My Sisters: I Love You All


Wednesday, April 19, 2006 – Brothers & Sisters: I Love You All

My Brothers and My Sisters: I Love You All

Tepat dengan keriangan dua buah hati yang menyambut saya sepulang kantor, terdengar sayup-sayup dari kamar terdepan rumah kami sebuah nasyid yang sangat familiar di telinga saya dua tahun belakangan ini.
Alunan nasyid itu keluar dari sebuah speaker komputer rumah yang sepertinya sedari tadi dinyalakan oleh anak sulung kami: Haqi.
“Haqi, …siapa yang menyalakan nasyid ini, sayang…?” langsung saja saya bertanya. Tidak ada jawaban, cuma isyarat dengan jempol yang ditunjukkan pada dadanya.
”Memang kenapa setel nasyid ini…?” tanyaku lebih lanjut.
”Soalnya enak lagunya,” jawab dia cengengesan. Weks…, anak kecil kayak gini sudah punya apresiasi pada nasyid seperti ini.
Terus terang saja saya kurang menyukai nasyid, walaupun sering juga dulu saya membeli kaset nasyid hanya untuk mendengar sepintas lalu. Apalagi zaman sekarang banyak jenis nasyid yang sudah sangat susah dibedakan dengan lagu-lagu ruhani lainnya. (seperti qasidahan, gambus, apalagi dengan salam min ba’id-nya, dan sebagainya).
Tapi entah kenapa, saya sepakat dengan penilaian anak yang baru menginjak enam tahun ini. Lirik syairnya menggugah urat-urat keindahan kata pada diri saya. Membongkar gudang ingatan pada banyak teman di timur, di utara, di barat, ataupun di selatan, dan pada empat penjuru arah mata angin yang tersisa.
Dan hal ini bertepatan pula dengan hati saya yang lagi melow banget gitu loh pada banyak teman saya sedari kemarin. Maka saya kontak mereka, di kebayoran baru dua, kantor pusat, di pulau seberang sana, di parkiran motor, atau di tempat lainnya. Masih saja belum menuntaskan kerinduan ini. Di tambah lagi dengan nasyid yang mengalun sendu, lengkap sudah ke-melow-an ini.
Doa Perpisahan judul nasyid itu. Disenandungkan oleh Brothers salah satu grup nasyid negeri jiran. Ada kata-kata indah di sana: menitikkan ukhuwah yang sejati, kan kuutuskan salam ingatanku dalam doa kudusku sepanjang waktu, senyuman yang tersirat di bibirmu menjadi ingatan setiap waktu. Subhanallah…
Lalu saya membaca bukunya Abbas As-Siisiy, dan mengetahui hal ini:
“Dari Anas ra.bahwa ada seorang laki-laki berada di dekat rasulullah saw., lalu ada seorang laki-laki lain lewat di depannya. Orang (yang berada di dekat Rasulullah) itu berkata, “Ya Rasul, sungguh saya mencintai orang itu.” Rasulullah bertanya, “Apakah kamu sudah memberitahunya?” Ia berkata, “Belum.” Rasulullah bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Kemudian ia mendekati orang itu dan berkata, “Sungguh aku mencintaimu karena Allah swt.” Laki-laki itu menjawab, “Mudah-mudahan Allah—yang karena-Nya engkau mencintai aku—mencintamu.” (Era Intermedia, 03/2005)
Maka di saat ini, agar Allah mencintai saya, saya akan menyatakan kepada Anda semua dan khususnya ikhwatifillah yang teringat di benak saya atas kenangan-kenangan masa lalu di perjuangan kampus dan setelahnya, bahwa aku mencintai kalian karena Allah swt.
Sungguh ikhwatifillah—mengutip Abbas As-Siisiy pula—persaudaraan karena Allah adalah curahan perasaan, berjuang untuk membantu saudaranya demi peningkatan potensi diri secara bersama-sama, dengan tarbiyah dan takwiniyah, ”penyemaian biji”, ”pencabutan rumput”, dorongan semangat dan hasrat, penyebaran dakwah melalui persaudaraan yang tulus, ibadah yang khusyuk, serta kontinuitas dalam menyampaikan dakwah dengan cara yang baik. (p 212).
Ikhwatifillah, maka dengarkanlah betapa banyak syair duniawi yang berkata demikian:
-kenapa harus bertemu jika akhirnya berpisah-
-kau yang memulai kau yang mengakhiri-
-kau yang berjanji kau yang mengingkari-
(halaah, dangdut banget).
Tapi ada bedanya ikhwatifillah, bahwa di dalam setiap keberpisahan kita yang dibatasi dengan ruang dan waktu, ada doa diantaranya, sebagai penghubungnya, sebagai jalinannya.
Maka tiada hati yang tersakiti, tiada dukun yang bertindak, tiada seutas tali menghias di leher atau pisau belati yang tertancap di dada dan membelah nadi di tangan seperti kebanyakan para penikmat cinta negeri ala Romeo dan Juliet, Sampek dan Engtay, Qais dan Laila, Mark Antony dan Cleopatra, atau cinta lokal seperti Kamajaya dan Kamaratih, Baridin dan Titin pada sandiwara Kemat Jaran Guyang.
Lalu Ikhwatifillah, seperti pada bait-bait terakhir syair doa perpisahan itu, maka saya berharap kalian mengenang saya dalam doa kalian, agar Allah senantiasa meridhoi persahabatan dan perpisahan ini. Dan semoga pula kita adalah termasuk ke dalam golongan orang-orang dengan muka berseri-seri, tertawa, dan bergembira ria pada hari saat tiupan sangkakala kedua terdengar memekakkan telinga, tidak dengan muka yang tertutup debu dan ditutup lagi oleh kegelapan (semoga Allah melindungi kita dari hal yang demikian).
Ikhwatifillah, sekali lagi: ”saya mencintai kalian karena Allah ta’ala”.
Ikhwatifillah, sila untuk menikmati syair yang saya nikmati tadi malam.

Doa Perpisahan
By Brothers

Pertemuan kita di suatu hari
Menitikkan ukhuwah yang sejati
Bersyukurku ke hadirat Ilahi
Di atas jalinan yang suci
Namun kini perpisahan yang terjadi
Dukaan yg menimpa diri ini
Bersama lagi atas suratan
Kutetap pergi jua

Kan kuutuskan salam ingatanku
dalam doa kudusku sepanjang waktu
Ya Allah bantulah hamba-Mu
Mencari hidayah dari pada-mu
Dalam mendirikan kesabaranku
Ya Allah tabahkan hati hamba-Mu
di atas perpisahan ini

[Teman, betapa pilunya hati ini
Menghadapi perpisahan ini
Pahit manis perjuangan
Telah kita rasa bersama
Semoga Allah meridhoi
Persahabatan dan perpisahan ini
Teruskan perjuangan]

Kan kuutus kan salam ingatanku
Dalam doa qudusku sepanjang waktu
Ya Allah bantulah hambamu
Senyuman yang tersirat di bibirmu
Menjadi ingatan setiap waktu
Tanda kemesraan bersimpul padu
Kenangku di dalam doamu
Semoga Tuhan berkatimu
***

Untuk yang saya sebut namanya di sini:
Mas Eko (Ketum UMMP 1994),
Mas Emil Fadli Sulthan (pengantar saya mengenal Qaulan Sadiida),
Mas Rudi Hartaseptiadi dan Mbak Farrah (baru teringat kemarin dari kang Awe),
Mas Trisna (yang mengenalkan saya pertama kali pada jama’ah ini),
Mas Anang dan Mas Anang Anggarjito yang satunya lagi.
Lukman Bisri Hidayat, Ramli, Ujang Sobari, Bambang Najmuddin, Agus, Faisal Alami (foto kita berdua memang sedang lucu-lucunya), Totok dan kembarannya, Wisnu, Yulianto (masih jadi jurusita?), Sofa, Supriyatno yang di Mataram, Abbas Hs, Rino Siwi, Duet Siti Nur’aini dan Siti Shobiroh, Murdiana, Alkhayatun Widiastuti, Ita (afwan saya lupa nama kepanjangannya), Anandanov, juga Fardi Parawansa di Palangkaraya.
Saksikanlah: ”saya mencintai kalian karena Allah ta’ala.”
Dan juga kepada yang belum saya sebutkan namanya satu persatu dan telah menorehkan, memahat, dan merelief banyak bahkan berjuta kebaikan di hati saya: ”saya mencintai kalian karena Allah ta’ala.”

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
semoga bukan basa-basi belaka
masih dengan brothers yang terus di rewind.
21:54 18 April 2006

Tujuh Tahun Berpacaran


Tujuh tahun sudah mereka berpacaran. Banyak kisah sedih, banyak kisah gembira membungkusnya. Di setiap hari, di setiap pekan, di setiap bulan, hingga di setiap tahun yang mereka lalui, selalu berusaha untuk bisa memahami diri masing-masing.
Tentunya selalu ada konflik mengiringi, dan di lain pihak ada pula solusi sebagai klimaksnya. Seperti seorang teman mereka selalu katakan: “setiap hari adalah waktu untuk bisa memahami”.
Dari kesepahaman yang dipilin pelan-pelan di setiap detiknya, selalu ada keinginan membentuk jalinan tambang yang kuat. Hingga akhirnya ada saja keberkahan yang diberikan Allah muncul di dalamnya.
Mulai dari hanya sekadar memiliki rumah yang dicicil hingga lima belas tahun. Pemberian kipas angin, televisi bekas, rak plastik, kompor, talenan, magic jar dari banyak kawan yang bersimpati kepada mereka. Lalu perlahan-lahan memiliki alat transportasi yang membuat mereka sedikit berhemat dan dapat lebih mobil ke sana kemari.
Ditambah dengan lahirnya dua prajurit yang mengisi hari-hari mereka dengan keriangan. Lalu dengan sedikit tabungan merenovasi rumah agar bisa menambah kamar tidur untuk anak-anak mereka.
Dan begitu banyak rezeki lainnya yang tak pernah sempat mereka bayangkan sebelumnya. Tak sempat terlintas seumur hidup mereka. Tak berani mereka impikan karena bagaikan pungguk merindukan bulan. Tapi Allah selalu membuka jalan. Dan mereka berkesimpulan inilah berkah yang Allah berikan kepada mereka selama tujuh tahun pacaran, tentunya setelah menikah.
Ya, karena mereka malah tidak mengenal satu sama lain sebelum ikatan sah itu terjalin. Karena mereka lebih menginginkan proses ta’aruf (pengenalan) dan tafahum (pemahaman) berjalan setelah sahnya hubungan mereka secara agama dan negara, maka mereka rela untuk tidak mengenal terlebih dahulu. Biarlah waktu yang akan membuktikan proses ta’aruf dan tafahum itu.
Dan waktu pun terus berputar, tak pernah berhenti, kejam dan dingin. Tiba-tiba kemarin angka tujuh terjerembab di hadapan mereka. Memelas dan meminta kepada mereka untuk mengevaluasi diri. Kiranya ini adalah waktu tepat untuk kembali mengilas balik perjalanan mereka.
Lebih dari tujuh tahun lalu. Di saat krisis moneter melanda negeri indah ini, dengan azzam yang tak terkira dan tak terbendung oleh manusia di muka bumi pada saat itu, lelaki muda yang baru setahun setengah lulus dari kampus tercintanya ini, melangkahkan kaki dan mengetuk pintu rumah sang murabbi hanya untuk mengatakan: “Insya Allah, saya siap.”
Setelah itu, sepucuk amplop putih tidak terlalu tebal telah berpindah tangan. Dan menjadi pemikirannya di sepanjang perjalanan pulangnya, di pinggiran jendela Kopaja 613. Ia sudah memahami apa yang ada di dalamnya. Gambaran diri seseorang yang kelak akan memenuhi hari-harinya di masa mendatang.
Tapi ia tak mengetahui siapa. Dari sedikit informasi yang diberikan sang murabbi, ia hanya mengetahui di mana ia bekerja. Lalu tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, sosok wajah yang baru dikenalnya dalam sebuah kepanitiaan yang belum lama dibentuk. ”Ia kah…?” Sejuta tanya menggelayut di benak.
Ini adalah sebuah konsekuensi. Kesiapannya yang telah ia katakan belum lama telah membentuk sebuah dinding tebal yang tak mudah untuk diruntuhkan. Yang mudah dan sulitnya harus ia bebankan di pundaknya sendiri.
Sudah dua hari ia tak menyentuh amplop putih yang ia taruh di laci meja kantornya. Ia memasrahkan pada Allah apa yang akan ditunjukkanNya kepada dirinya. Hanya harap yang terbaik yang diberikan kepadanya, sambil mengingat dialognya dulu.
”Kriterianya apa?”tanya sang murabbi.
”Terserah antum, Ustadz. Bekerja atau tidak, bukan masalah. Lebih tua atau muda, bukan masalah. Kaya atau miskin, bukan masalah. Sekalipun janda itu pun bukan masalah bagi saya. Saya menyerahkan sepenuhnya kepada Ustadz, Insya Allah, siapapun yang antum tawarkan ini akan menjadi yang pertama dan terakhir. Sehingga tidak perlu mengulang proses semuanya dari awal,”jawab lelaki itu panjang, bernas.
Lalu hari ketiga, setelah dhuha yang cerah, saatnya ia menguatkan hati untuk membuka amplop putih itu. Bismillah. Secarik kertas dengan satu lembar pasfoto hitam putih ukuran 4 x 6 telah di genggaman tangannya.
Ternyata bukan yang pernah terlintas dalam pikirannya. Tidak pernah ia kenal. Dan ia pun baru tahu namanya saat itu walaupun perempuan ini adalah adik kelasnya juga. Yang paling mengejutkan bagi dirinya adalah perempuan ini pun menjadi ketua keputrian dalam acara forum silaturahim itu.
Maka ajang rapat final menjadi saat tepat untuk melihat calon pendamping dari dekat. Secukupnya tentu. Lelaki ini pun yakin sang perempuan belum mengetahui bahwa data dirinya ada padanya.
Lalu acara yang diselenggarakan di daerah pegunungan tersebut pun lagi-lagi menjadi saat tepat bagi lelaki muda ini untuk melihat perempuan itu lagi. Tentunya dengan mencuri-curi pandang.
”Ah, inikah yang Allah tunjukkan untukku…?”tanyanya dalam hati.
Lalu setelah acara itu selesai, tanpa menunggu lebih lama lagi lelaki ini langsung meneruskan perjalanan menuju tempat sang murabbi, hanya untuk mengatakan: ”Insya Allah, ya.”
Lagi, di sepanjang perjalanan pulang dengan Kopaja 613, semuanya menjadi bahan perenungannya. Jatidirinya telah ia serahkan kepada sang murabbi untuk diteruskan kepada perempuan itu dengan foto berwarna seukuran kartu pos. Lelaki dalam foto itu bersetelan jas dan dasi pemberian saat menjadi anggota kepanitian wisuda, tentunya dengan senyum sedikit yang tersungging di wajah.
Kini bola ada di tangan perempuan itu yang akan memutuskan menerimanya atau tidak.Dan ia akan sabar menunggu. Entah sampai kapan. Ia cuma berharap akan adanya sebuah kepastian di genggaman tangannya, agar bisa melanjutkan proses selanjutnya perkenalan atau melihat jatidiri orang lain lagi.
Dua minggu setelah itu, tepatnya pada pergantian tahun, kabar kepastian itu datang pada lelaki muda itu.
”Bagaimana ustadz?”
”Insya Allah tidak menolak.”
”Alhamdulillah, lalu kapan kita akan ta’aruf, ustadz?”
”Tidak usah, langsung saja tanya, kapan antum bisa pergi ke orang tuanya untuk menentukan tanggal khitbah dan akadnya.”
Lelaki ini memaklumi tidak ada proses ta’aruf dengan perempuan itu dikarenakan perempuan ini binaan dari istri ustadz itu sendiri. Berarti sudah tahu betul tentang perilakunya. Pun ini agar prosesnya tidak bertele-tele sesuai keinginan lelaki muda itu sendiri.
Akhirnya satu bulan kemudian dengan seorang sahabat terdekatnya, lelaki itu memberanikan diri pergi bersilaturahim dengan keluarga pihak perempuan. Dengan niat baik agar tidak ada zinah hati di antara mereka, maka lelaki itu meminta agar proses khitbah bisa dipercepat.
Satu bulan berikutnya setelah kedatangan pertamanya, maka lelaki itu kembali dengan rombongan kecilnya untuk mengkhitbah sang perempuan. Tanggal pelaksanaan akad nikah pun ditentukan satu bulan setelah khitbah ini.
Suatu waktu yang diluar harapan sang lelaki. Tidak perlu berlama-lama dan cuma mengucapkan akad di depan penghulu, itu sudah lebih dari cukup. Namun pihak keluarga perempuan memandang lain, bahwa ini adalah kesempatan pertama menikahkan anak perempuannya, maka sudah selayaknya ada suatu walimatul ’urusy.
Akhirnya, tiba saat itu, saat di mana sesuatu yang haram menjadi halal, sesuatu yang dilarang menjadi diperbolehkan, sesuatu yang penuh shubhat menjadi ladang amalan sunnah. Walimatul ’urusy yang menjadi puncak penantian selama kurang lebih empat bulan lamanya terlaksana dengan lancar, tentu dengan syarat bahwa ada pemisahan antara tamu pria dan wanita, tidak ada kemubadziran, mengundang tanpa membedakan status seseorang, dan semua ini membuat mata-mata itu memandang heran kepada pasangan baru tersebut.
Sejak saat itulah, proses pacaran itu dimulai untuk bisa saling memahami, mengerti, dan mencintai apa adanya karena Allah ta’ala. Di sana ada tarik ulur, mengalah, diam, marah, sedih, negosiasi, proses komunikasi verbal, bahasa tarbawi dan dakwah, bahkan ssst…dengan bahasa cinta.
Tentu ada saja riak gelombang yang mengguncang perahu yang berlabuh di dermaga. Kadang besar, kadang kecil, membuat perahu itu semakin berkeyakinan ini adalah bentuk ujian untuk bisa menuju kesempurnaan bahkan paripurna dari suatu pemahaman. Lelaki itu cuma bisa berharap agar Allah menguatkan dirinya untuk dapat melindungi dirinya dan perempuan yang telah menjadi istrinya itu dari panasnya siksa api neraka.
Dan waktu pun terus berputar, tak pernah berhenti, kejam dan dingin. Tiba-tiba kemarin angka tujuh terjerembab di hadapan mereka. Memelas dan meminta kepada mereka untuk mengevaluasi diri. Kiranya ini adalah waktu tepat untuk kembali mengilas balik perjalanan mereka.
Ah, lelaki itu masih saja membuka album pernikahannya. Memandang sosok-sosok yang telah membantu mereka agar proses itu cepat selesai, tetap pada koridor Islami, dengan doa, kerja keras tak mengenal lelah, dan jauh dari keluarga. Sungguh tiada balasan yang lebih baik daripada balasan yang Allah berikan kepada mereka.
Senja itu sama seperti senja tujuh tahun lalu, yang masih saja menguning dengan matahari yang membulat. Tiba-tiba anginnya menelusup sejuk melalui sela-sela jendela, membuai, dan menyadarkan masih ada kenangan yang tersisa di antara selaput otaknya yang sudah mulai kehilangan sebagian memorinya. Ah tidak, tidak hilang untuk memori tentang sebagian dari mereka.
Senja itu masih sama seperti senja tujuh tahun lalu…
****

Lelaki yang kini sudah tidak muda lagi itu dan tentunya kini sudah dengan dua prajurit kecilnya, menitipkan salam kepada saya untuk kawan-kawan seperjuangannya yang telah membantu banyak di waktu tujuh tahun lalu itu.
Kepada akh Lukman Bisri Hidayat: sang pendamping setia dan sang saksi, akh Ujang Sobari, akh Ramli, akh Bambang (munsyid Najmuddin), akh Binhadi (MC berbahasa Jawa) akh Henjang, akh Anang Anggarjito, semoga Allah merekatkan ukhuwah dan mengumpulkannya kembali kelak di surga-Nya.
Sang Perempuan menitipkan salam kepada saya untuk kawan-kawannya pula: yakni untuk ukht Ira Melati (seseorang yang sempat terlintas di benak lelaki muda itudan menduga data di amplolp itu adalah data dirinya), Kwatri, Dini, Tari, Azimah Rahayu (yang tak sempat untuk menjadi ketua panitia), Mela, Fitri, Mbak Erna, dan lain sebagainya.
Kata kedua pasangan itu kepada saya, ”maaf untuk yang belum disebut namanya, sesungguhnya Allah Mahamengetahui, dan Mahapembalaskebajikan.”

Jika malam masih meracau dengan kesunyiannya,
maka terlelaplah engkau segera, karena dunia belumlah kiamat.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
13:14 02 April 2005

Cintanya Tak Semurni Bensinku


20.02.2006 – Cintanya Tak Semurni Bensinku (Kado buat Hizbiyoon)

Berbeda dengan debat yang dilakukan di alam nyata, debat di dunia maya membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menyelesaikan suatu tema diskusi. Karena di sana komunikasi yang terjadi antara penyampai dan penerima informasi tergantung dari kualitas jejaring masing-masing peserta diskusi juga perlu digarisbawahi bahwa dalam komunikasi tersebut tidak disertai dengan bahasa tubuh.

Maka terbentanglah jurang di antara mereka, sehingga dengan adanya gap itu kesalahpahaman seringkali terjadi bahkan berujung dengan caci maki, walaupun sudah dibantu dengan visualisasi bahasa tubuh (wajah) melalui ikon Smiley, yang terkadang ternyata digunakan untuk menutupi maksud hati yang sebenarnya.

Maka saya yang merasa jago debat, pandai bersilat tangan (maaf di sini saya tidak memakai lidah karena sama sekali tidak digunakan) dan tidak memakai hati memanfaatkan benar untuk bisa menjatuhkan lawan diskusi, apalagi didukung dengan teman seperjuangan yang satu ide.

Bila perlu celaan dan hinaan harus disampaikan agar benar-benar lawan diskusi dibuat tidak berkutik. Dengan alasan pembenaran bahwa Rasulullah pun seringkali mencela orang-orang jahil. Bahkan tidak hanya lawan diskusi yang perlu dicela, hatta ulama lokal, ulama asal Mesir yang kini tinggal di Doha Qatar dan berkaliber dunia serta telah diakui kapasitas ilmu dan amalnya pun tak luput dari celaan saya hingga sampai pada penyetaraannya sebagai ulama Syaitan. Tak lupa bukunya pun wajib dibakar.

Tanpa disadari (atau memang sadar dengan sesadar-sadarnya) dengan pelabelan itu telah melanggar batasan yang dipegang oleh saya sendiri (tentu juga oleh lawan diskusi saya) untuk tidak mengafirkan sesama muslim. Karena tidak dapat disangsikan lagi dan semua tahu manalagi selain makhluk durhaka bernama syaitan yang berjuluk sebagai penghulu kekafiran. Namun batasan itu tak perlu jika memang saya menganggap ulama tersebut telah keluar dari Islam. Dan saya tak perlu minta maaf.

Selain itu di suatu waktu jika saya telah kehabisan kata-kata yang harus disampaikan kepada lawan diskusi yang menurut anggapan saya mereka masih ngeyel terhadap puluhan hujjah, maka tak dapat disangsikan segala cara dan upaya ditempuh untuk mengambil puluhan sumber hujjah sebagai penguat.

Bahkan jika tidak ada hujjah dalam bentuk softcopy, kalau perlu semalaman saya tidak tidur untuk menyalinnya ke dalam program pengolah kata. Yah, biasanya sholat malam terlewatkan, bahkan shubuh pun kesiangan, tapi ’Alhamdulillah’ di kantor belum ada finger print sehingga kesiangan pun tidak apa-apa, dan yang penting tak ada potongan gaji.

Setelah sampai di kantor, kiranya saya tak perlu memikirkan kerja dululah. Kan ada yang lebih penting lagi yakni menyampaikan kebenaran, amar ma’ruf nahy munkar, sampaikanlah satu ayat walaupun pahit, apalagi untuk melawan para ahlul bid’ah dan hizby yang setiap harinya mereka menulis dan menyebarkan pemikirannya di ” partisipasi”, dan tak pernah memberikan kesempatan kepada saya untuk membanting hujjah mereka yang ringkih seperti sarang laba-laba. Apa karena ada penyensoran?

Tapi tak apalah, saya masih punya kesempatan untuk melawan pemikiran mereka di forum diskusi. Perlu diketahui lawan saya banyak sekali, selain hizby, ada juga dari tahriry, tablighy, dan surury.

Untunglah suasana kantor mendukung sekali karena saya ada di seksi nonteknis jadi lumayan tidak banyak pekerjaan. Bahkan kalaupun berada di seksi teknis pun saya harus berjuang untuk menyisihkan waktu agar perjuangan ini tetap berlanjut.

Andaikan tak ada waktu pun maka saya tetap harus mementingkan perjuangan memberantas kemungkaran yang disebarkan para hizbiyun dan jahiliyun itu. Iya sih, kadang-kadang saya seharian tak pernah menyentuh pekerjaan karena asyik banget melihat mereka kabakaran jenggot dan jilbabnya.

Ada satu tuh akhwat dari mereka kalau kebakaran jilbabnya, nesu-nesu tak karuan. Bahkan menantang untuk datang ke daerahnya. Emang saya cowok apaan. Cowok panggilan? Saya tak peduli. Cintanya tak semurni bensinku. Loh kok nggak nyambung…

Ohya, sebenarnya gampang sekali mematahkan argumen mereka, karena mereka sama sekali tidak mempunyai dalil dan hujjahnya. Jika mereka nyerocos tanpa referensi gampang saja tanyakan kepada mereka: ”mana dalilnya?”. Biasanya mereka langsung terdiam begitu rupa.

Atau dengan menampilkan copy paste-an saya yang bisa berlembar-lembar halaman, mereka langsung keok. Padahal copy paste-an saya ini juga terkadang tidak sempat saya baca seluruhnya tapi saya sih sangat, sangat, sangat tsiqoh sekali kepada ustadz-ustadz dan ulama-ulama saya karena mereka adalah para ahli hadits dan anti hizbiyun. Ohya, saya juga heran mereka kok tak pernah menghujat ulama saya, ”ah pasti karena mereka tidak mempunyai celah untuk menghujat atau karena mereka takut hujjah mereka dibanting atau takut karena Allah? Ah sabodolah.

Tapi ada juga dari mereka yang seringkali mempunyai argumentasi yang kuat bahkan mantap, dan tidak bisa dijawab oleh saya ataupun teman-teman pendukung saya.. Menghadapi hizby seperti ini gampang bilang saja mereka jahil, dasar khawarij, tutup mulutmu, atau sedikit-dikit dengan makian mantap seperti ”embahmu…”.

Walaupun demikian mereka tetap bergeming, ini yang membuatku marah, dongkol, serta sakit hati. Bahkan setiap saat saya selalu memikirkan perkataan mereka. Lagi istirahat, lagi sholat, mau tidur, mau makan, ataupun dalam perjalanan pulang. Dan memikirkan balasan apa yang setimpal untuk mereka. Saya tak peduli mereka sakit hati atau tidak. Jadi memang sakit hati harus dibayar dengan sakit hati pula.

Tapi ada yang bilang dari para hizbiyun itu, ”awas loh penyakit hati.” Ah, saya bilang saja kepada mereka: ”sok menjaga hati lu”. Eh, ngomong-ngomong masalah hati kemarin saya mendapat tugas dari kantor pusat untuk mengikuti diklat manajemen qolbu di pesantren Daruttauhid pimpinan Aa Gym itu. Padahal Aa Gym itu kan sudah diberi raport merah oleh ustadz kami.

Ikut tidak yah…? Ah, ikut sajalah, inikan tugas kantor, nanti kalau tidak ikut saya akan di black list untuk tidak mengikuti diklat apapun. Yang rugi saya juga dong. Ohya, raport merahnya perlu saya sampaikan enggak yah kepada Aa Gym. Ini juga untuk kebaikan dia sendiri agar tidak terjerumus terlalu lama dalam kebid’ahan. Kalau dia tidak terima, ya sudah tugas saya selesai.

Ah, saya sudah capek nih, pokoknya saya memang jago debat, pandai bersilat tangan, tak perlu memakai hati. Kalau mereka tak puas dengan hujjah saya, saya siap menerima tantangan mereka, ini nih nomor telepon genggam saya 0817-6969-xxx.

Telepon itu saya buka 24 jam setiap harinya, tujuh hari dalam seminggu. Kalau perlu kopi darat juga boleh, ingat saya juga pandai bersilat lidah. Saya pun akan bawa kitab-kitab rujukan, tidak hanya terjemahan, asli Arab gundul juga akan saya bawa. Ini pasti akan membuat mereka gentar dan berkeringat dingin. Tenang saja saya akan membawa termomoter untuk mengukur suhu keringatnya benar-benar telah mencapai titik terendah.

Ah, saya sudah capek nih, pokoknya saya memang jago debat, pandai bersilat tangan, tak perlu memakai hati. Apa? Saya anti ukhuwah? Heii, hizby. Lebih baik saya menjadi pendosa daripada menjadi ahlul bid’ah seperti kalian.

Ah, sudah. Pokoknya saya memang jago debat, pandai bersilat tangan, tak perlu memakai hati.

****

Teettttttttttt…tettt…!!! Suara rentetan klakson kendaraan di belakang mengagetkan saya yang kiranya sedang berada di dekat pintu lintasan kereta api. Pintu itu sudah terbuka setelah hampir tiada mau membuka karena memberikan kesempatan lewat terlebih dahulu kepada enam kereta rel listrik Jakarta Bogor.

Melihat forum diskusi di ANTAHBERANTAHnet seharian tadi membuat saya melamun begitu panjangnya. Memikirkan si jago dan ahli debat yang menganggap saya ahlul bid’ah dan hizbiyyun yang tak pantas untuk mencium wanginya surga.

Memikirkan mereka dan apa yang dilakukannya malah menguras energi saya untuk beramal. Menguras energi saya untuk memikirkan para tetangga yang setiap malamnya masih bertanya-tanya makan apa besok harinya. Menguras energi saya untuk menghidupkan sholat berjamaah di masjid yang sudah lima tahun lamanya tak kunjung selesai dibangun.

Memikirkan mereka menguras energi saya untuk mendidik dan mempersiapkan generasi rabbani dengan tali ukhuwah yang kuat, yang di malamnya bagaikan rahib dan di siangnya bagaikan singa mengaum membela Islam dari segala rongrongan. Yang dari mulut mereka tak terluncur celaan dan hinaan melainkan penggugah dan penyejuk hati, penyegar pemikiran dan pecerahan menuju ridhonya Allah.

Memikirkan mereka menghalangi diri saya untuk selalu bermuhasabah menghitung dosa-dosa yang menggunung. Malah membuat hati saya yang sudah kotor semakin kotor memikirkan membalas cacian mereka.

Memikirkan mereka menambah penyakit hati dengan adanya kesombongan jikalau sukses menjatuhkan mereka para ahli debat itu. Membuat kebenaran yang sudah tampak di depan mata semakin buram karena tak mau mengalah dan kesombongan.

Alhamdulillah ternyata saya tidak jago debat. Saya tidak pandai mengolah kata. Saya tidak lincah mencela. Saya gagap untuk menyakiti banyak hati. Saya tak bisa membandingkan ilmu dan amalku dengan milik para ulama yang telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk perjuangan Islam, bahkan untuk menyamakan mereka dengan para syetan.

Biarkan saya akhiri jenak-jenak kata dengan nasehat yang diucapkan Ibnu Taimiyah kepada muridnya, Ibnul Qayyim:

Akhi Da’iyah:

Jangan jadikan hatimu mudah dihanyutkan syubhat, seperti bunga karang di tepi laut yang kian ternoda manakala diterpa gelombang air. Jadilah bak cermin yang tetap kokoh. Berbagai isu dan tuduhan hanya lewat di hadapannya, dan tidak menetap padanya. Cermin menolak semua itu dengan kekokohannya. Bila tidak demikian, bila hatimu mengharap semua syubhat yang melewatinya, niscaya ia akan menjadi sarang segala tuduhan dan isu yang tak jelas.

Ketahuilah, di antara kaidah syari’at dan hikmah menyebutkan, bahwa siapa yang banyak dan besar kebaikannya, dan telah menanam pengaruh nyata dalam Islam, mungkin saja melakukan kekeliruan yang bisa jadi tidak dilakukan orang selainnya. Orang seperti itu dapat dimaafkan. Maaf yang tidak diberikan pada selainnya. Sesungguhnya kema’syiatan itu adalah kotoran, dan air bila mencapai dua kulah, tidak membawa kekotoran.

(Jasim Muhalhil, 1418 H)

Allohua’lam bishshowab.

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

ba’da maghrib dingin

19:03 19 Pebruari 2006

http://10.9.4.215/blog/dedaunan

riza.almanfaluthi@pajak.go.id

Antara Umar dan Khalid


20.02.2006 – Antara Umar dan Khalid

Saya tertarik dengan apa yang diungkapkan Saudari saya ini pada tulisannya yang berjudul ”Ketika Saya Berkuasa”. Tepatnya pada paragraf sebagai berikut:

Khalid ketika menjadi gubernur Armenia terpeleset lebih banyak menggunakan uang demi kekuasaannya daripada untuk rakyatnya. Yang akhirnya membuat Umar bin Khattab gregetan sehingga menarik kembali Khalid ke Madinah.

Tapi..itu bukan berarti Umar menghinakan Khalid..tapi beliau menyelamatkan Khalid dari ketergelinciran godaan dunia. Buktinya ketika Khalid meninggal..Umar menangis dan mengatakan penyesalannya tidak sempat mengembalikan kedudukan Khalid di tempat yang semestinya.

Kalimat ”terpeleset lebih banyak menggunakan uang demi kekuasaannya daripada untuk rakyatnya” mengguncang kotak memori saya. Dan betulkah pada saat itu beliau sudah menjadi gubernur Armenia? Dari buku yang pernah saya baca sahabat yang berjuluk Pedang Allah ini tidak demikian kiranya. Sehingga dengan kepenasaran ini kembali saya bongkar-bongkar buku sejarah lama.

Dari beberapa referensi tersebut, hanya satu yang benar-benar detil menceritakan tentang pemecatan panglima Khalid bin Walid oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra yakni di buku yang ditulis oleh Muhammad Husin Haekal yang berjudul Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu (penerbit Litera AntarNusa, 2002).

Sebelumnya saya tidak akan menceritakan siapa sahabat Khalid bin Walid ini karena sudah banyak kitab dan tulisan yang menulis biografi beliau. Dan saya pun tidak akan menyalin tulisan pada buku di atas karena akan membutuhkan banyak halaman untuk hanya menginformasikan tentang peristiwa pemecatan ini.

Setelah saya membacanya perlahan-perlahan, saya sedikit banyak kembali mendapatkan gambarannya yang sempat terlupa. Berikut gambarannya secara ringkas:

Pada saat Baitulmukaddas atau Yerusalem telah ditakhlukkan, para panglima perang kembali menuju tugasnya masing-masing untuk mengatur adminsitrasi pemerintahan wilayahnya masing-masing. Abu Ubaidah menuju Hims, Yazid bin Abi Sufyan tinggal di Damsyik, dan Khalid bin Walid menuju Kinnasrin (Bukan Armenia).

Namun kembali ada pemberontakan di utara Syams, pasukan muslimin pun kembali dikirim dan berhasil meredakannya. Tidak berhenti di situ mereka kembali bergerak terus ke arah utara menuju Armenia. Dan Khalid bin Walid dikirim ke Armenia untuk menanamkan rasa gentar dalam hati musuh. Dalam ekspedisi itulah Khalid bin Walid membebaskan banyak tempat dan memperoleh rampasan perang yang sangat banyak.

Sesudah itu ia kembali ke Kinnasrin dengan membawa ghanimah. Dan mendengar kedatangannya yang membawa harta benda itu banyak sekali orang dari sana- sini meminta bantuan berupa hadiah dan Khalid pun cukup bermurah hati kepada mereka. Salah satunya kepada Al-Asy’as bin Qais sebesar sepuluh ribu dirham. Inilah pokok permasalahannya.

Berita itu didengarnya oleh Umar Ra, dan ia marah besar karena sebelumnya ia mendengar sebelumnya tentang kabar Khalid yang menggosok badannya dengan khamar saat di Armenia. Khalid menjawab bahwa pada saat itu tidak ada bahan pembersih selain khamar.

Dalam masalah harta yang diberikan kepada Ibnu Qais ini, Umar ra menulis surat kepada Abu Ubdaidah supaya memanggil Khalid dan mengikatkannya dengan serban serta melepaskan topi kebesarannya sampai terungkap pemberiannya kepada Ibnu Qais: dari hartanya sendiri atau dari harta rampasan perang yang seharusnya disimpan untuk kaum dhuafa Muhajirin.

Sebenarnya kekhawatiran umar selain itu adalah pesona Khalid yang terlalu kuat di hampir sebagian besar prajurit sehingga dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalam puncak kesombongan dan kezaliman serta timbulnya pengkultusan diri Khalid.

Khalid pun datang, kemudian kurir yang diutus Khalifah bertanya kepadanya sampai tiga kali yang tidak dijawab oleh Khalid. Bilal pun mengambil topi dan merangkul kedua tangan Khalid ke belakang punggungnya dan mengikat dengan serbannya sambil bertanya: “Bagaimana? Dari harta Anda atau dari harta perolehan perang?”

Khalid terdiam dan Bilal pun mendesaknya, pada akhirnya Khalid berbicara bahwa harta yang diberikan kepada Ibnu Qais itu adalah harta pribadinya. Khalid bertanya-tanya kenapa Umar memperlakukannya seperti ini. Sehingga Khalid memutuskan untuk pergi menemui Umar di Madinah. Padahal tanpa sepengetahuan Khalid bahwa dirinya telah dipecat oleh Umar namun belum diberitahukan Abu Ubaidah karena kehalusan budi pekertinya yang tidak mau menyakiti hati sang Pedang Allah ini.

Sebelum maksudnya pergi ke madinah terlaksana, telah tiba terlebih dahulu surat dari Khalifah tentang pemanggilannya, baru saat itulah ia tahu bahwa dirinya dipecat oleh Khalifah. Ia kemudian memberitahukan kepada pasukannya tentang hal ini dan berpidato tanpa menjelek-jelekkan sedikitpun tentang Umar.

Setelah tiba di Madinah, di depan Umar ia menjelaskan darimana kekayaan itu. “Dari barang rampasan perang dan dari saham-saham. Yang selebihnya dari enam puluh ribu itu untuk Anda.” Umar menaksir barang-barang Khalid senilai delapan puluh ribu dirham, disisakan buat dia enam puluh ribu dan yang dua puluh selebihnya diambilnya dan dimasukkan ke dalam baitulmal.

Setelah itu Khalifah mengumumkan ke seluruh kota tentang pemecatan Khalid: “Saya tidak memecat Khalid karena benci atau karena pengkhiatan. Tetapi karena orang sudah terpesona, saya khawatir orang hanya akan percaya kepadanya dan hanya akan berkorban untuk dia. Maka saya ingin mereka tahu bahwa Allah Maha Pencipta dan supaya mereka tidak menjadi sasaran fitnah.”

Demikianlah kisah Khalid yang digambarkan melalui tiga puluh halaman di buku tersebut, alangkah lebih fahamnya jikalau pembaca membacanya langsung daripada membaca ringkasan saya ini yang bisa saja menjadi bias terhadap sikap Umar dan Khalid, karena pada senyatanya banyak juga yang berbeda penyikapan terhadap peristiwa itu berdasarkan kefanatikan mereka terhadap Umar atau Khalid.

Namun seperti yang diungkap oleh Haekal semoga Allah memberi rahmat kepada Khalid dan Umar, karena keduanya merupakan dua kekuatan yang paling tangguh. Semenanjung Arab terbuka luas bagi kedua kekuatan yang tadinya terpencil.

Dapat ditarik kesimpulan di sini bahwa Khalid pada saat itu bukanlah dalam keadaan menjabat sebagai Gubernur di Armenia melainkan Administrator di Kinnasrin (sebuah distrik di Damsyik—sekarang Damaskus). Namun benar Khalid mempunyai kaitan dengan Armenia karena pernah melakukan ekspedisi ke sana.

Terhadap masalah penggunaan hartanya Khalid telah menjelaskan terhadap Umar seperti telah disebutkan di atas yakni dengan menggunakan uang dari bagian rampasan perangnya (ghanimah) dan memberikannya kepada Asy’as bin Qais adalah dalam rangka memberikan penghargaan kepada seorang amir—pemimpin Kindah dan orang yang telah menghadapi cobaan berat dalam hal membebaskan Irak dan Syam. Berapa seringnya orang seperti Asy’as dan orang semacam dia terjun dalam beberapa peristiwa dan berjuang mati-matian menghadapi bahaya (h338).

Demikian sedikit apa yang saya temukan di buku tersebut. Mungkin ada referensi lain yang lebih baik lagi dan dapat dipertanggungjawabkan. Sesungguhnya kebenaran datangnya dari Allah semata. Dan Allahlah Mahatahu segalanya.

Maraji’ cuma satu (terjemahan lagi):

Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu; Muhammad Husin Haekal, Litera AntarNusa, 2002

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

20:21 17 Pebruari 2006

Prajurit di atas Kuda Trengginas


14.02.2006 – Prajurit di atas Kuda Trengginas

Peluang menyebarkan kebaikan selalu ada kapan saja, di mana saja, dan bisa dilakukan oleh siapa saja yang menginginkan dirinya menjadi prajurit-prajurit kebenaran demi tegaknya panji-panji Islam dimuka bumi ini. Mereka hanya meyakini bahwa Allah lah tujuannya, Muhammad teladannya, Alqur’an hukumnya, Jihad jalannya, syahid cita-cita tertingginya.

Mereka rela berpeluh debu, berkeringat darah, berhias sayatan pedang. Mereka berbaris rapih dengan kuda-kuda trengginas yang siap berlari kencang dengan terengah-engah di padang pertempuran melawan para perintang sejatinya. Karena hakikinya pertempuran itu adalah pertempuran abadi dengan akhir berupa kibaran kebenaran.

Ada seuntai tanya menggelayut dalam benak, ”engkaukah prajurit-prajurit itu?”. Dengan shalat hanya sekadar penunai kewajiban. Dengan dzikir hanya pemanis mulut. Dengan doa kering tanpa ruh. Dengan malam-malam tetap berselimut tebal. Dengan subuh yang telah menjadi peneman mentari.

Dengan harta dan kemewahan tanpa pembersih. Dengan senyum yang sulit tersungging. Dengan mata penuh kerinduan birahi tak halal. Dengan amarah menjadi desahan nafas. Dengan lisan penuh tuba menoreh luka. Dengan dengki pewarna hati. Dengan haji hanya sebagai pelengkap nama. Dengan kekuasaan penuh tangan-tangan terzalimi meminta ampun. Ada seuntai tanya menggelayut dalam benak, ”engkaukah prajurit-prajurit itu?”.

Jika tidak, akan menjadi apa diri ini sedangkan engkau kelak akan berkeluh kesah: ”Oh nikmatnya menjadi binatang kerana tak ada yang perlu dipertanggungjawabkan di mahkamah yang paling agung di mahsyar sana.”

Tiada kata terlambat jika sadari bahwa nafasmu belumlah satu-satu. Kakimu masih kuat untuk dilangkahkan. Tanganmu ringan selalu di atas. Mulut masih bisa digerakkan seimbang. Dan mata lengkap tiada tara nikmatnya.

Maka sekecil kebaikan yang engkau lakukan adalah mulanya kuncup yang akan bermekaran. Mulanya tetesan air untuk menjadi gelombang. Mulanya pisau tumpul untuk menjadi pedang tajam mengilat. Mulanya prajurit kecil tak bernama untuk menjadi jenderal gagah tawadlu’.

Maka tekadkan diri mulai desah nafas yang engkau hembuskan saat ini untuk tetap menjadi penyebar kebaikan hatta sebesar dzarrah. Karena sekecil apapun kebaikan yang engkau berikan kepada yang lain ia akan memantulkan kembali kebaikan itu kepadamu.

”Siapa saja yang pertama memberi contoh prilaku yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikitpun….” (HR Muslim)

Maka peluang itu telah ada dihadapanmu, di halaman ini, di forum diskusi ini, engkau telah menjadi satu dari sekian para prajurit kebenaran. Yang selalu mengisinya dengan nasihat dan yang selalu memberi sesuatu yang berguna.

Maka tak masalah jika engkau sekadar berkomentar asalkan ia adalah kebaikan. Jika engkau sekadar menyapa asalkan ia adalah kebaikan. Jika engkau sekadar menulis asalkan ia adalah kebaikan. Jika engkau sekadar menyalin asalkan ia adalah kebaikan. Jika engkau sekadar melampirkan asalkan ia adalah kebaikan.

Maka tak terhitungnya pahala yang engkau akan dapatkan dengan memberi AlQur’an Digital, Shollu pengingat waktu sholat, Alquran Ms Word, kumpulan fatwa ulama sholih, murattal merdu para ustadz, nasyid penyemangat ruh, ebook ilmu Islam, kabar gembira dari tanah jihad, artikel pencerahan, antivirus, dan lainnya.

Maka seberapa pahala yang engkau akan dapatkan jika engkau menjadi penyebar kebaikan. Pahala itu akan mengalir dari banyak orang yang telah engkau beri kebaikan. Bahkan dari orang lain yang telah diberikan kebaikan dari orang pertama yang engkau beri kebaikan itu, hingga seterusnya. Maka seberapa lama pahala itu akan mengalir kepadamu hatta engkau telah menjadi penunggu kubur kerana ilmu bermanfaat yang engkau sebarkan.

Sebaliknya…
”…Dan siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan mendapatkan dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikitpun. (HR Muslim).

Cacian, makian, hasutan, kesia-siaan, pornografi, dan penentanganmu pada alHaq yang engkau sebarkan kepada orang lain, sudah sepantasnya gunungan dosa menjadi pemberat pada timbangan sebelah kirimu, tak ada yang bisa merubahnya kecuali dengan rahmat TuhanMu. Itupun kalau engkau pantas menerimanya.

Tak berpanjang lebar, akankah engkau menjadi salah satu prajurit kecil pengusung dan pembawa kemasalahatan pada yang lain atau sebaliknya? Terserah padamu neraca itu berat ke kanan atau sebaliknya? Atau terserah padamu, kitab itu diserahkan padamu dari sebelah kanan atau dari arah belakangmu sembari dilempar?

Kalau engkau pilih yang pertama, sebaik-baiknya tempat adalah untukmu. Jika yang engkau pilih adalah yang terakhir maka tak perlu engkau hidup saat ini juga (aku berlindung pada Mu ya Allah dari semua ini).
Kini peluang itu ada dihadapanmu. Kini pilihan itu ada ditanganmu…

###dialog antara aku dan aku
sebuah introspeksi diri

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
teh manis terhidang di meja
21:52 13 Pebruari 2006

Doa Keselamatan Buat Bush dan Blair


16.01.2006 – Doa Keselamatan Buat Bush dan Blair

Dalam sebuah diskusi tentang perang teluk kedua, seorang peserta pada akhirnya berkesimpulan dan menyeru untuk bersama-sama mendoakan kebaikan dan keselamatan dunia akhirat buat dua pentolan penggagas perang teluk pertama dan kedua itu. Diskusi berakhir geger dan membuat kemarahan sebagian yang lain, karena ini menyangkut kezaliman dua rahwana tersebut terhadap dunia Islam.
Dari diskusi tersebut saya mencoba untuk merunut kembali pada sejarah masa lalu, Rosululloh SAW dirundung kesedihan saat paman yang sangat dicintainya, Abu Thalib (penyembah berhala) meninggal dunia. Di tengah suasana duka beliau memohon kepada Alloh SWT agar mengampuni segala dosa dan kesalahannya. Tapi Alloh SWT menegurnya, bahwa dalam persoalan agama ada batasan-batasan toleransi yang tidak boleh dilampaui.

Melalui firman-Nya beliau diingatkan untuk tidak mendo’akan orang yang tidak seiman, “sama sekali tidak layak bagi Nabi dan orang-orang beriman memohonkan ampun untuk orang-orang musyrik, sekalipun mereka itu keluarga dekatnya setelah jelas kepada mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahim” (Q.S. At-Taubah: 113)

Berbicara tentang masalah do’a mungkin ada orang yang mempersoalkan jika Nabi Muhammad SAW dan orang-orang mukmin tidak boleh mendo’akan orang-orang musyrik, lalu bagaimana dengan Nabi Ibrahim As. Yang berdo’a untuk ayahandanya yang kafir, sebagaimana digambarkan dalam Qur’an: “Dan ampunilah bapakku karena sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang sesat.” (Q.S. Asyu‘ara: 86).

Para ahli tafsir menyebutkan bahwa do’a Nabi Ibrahim ini esensinya ialah meminta kepada Alloh SWT agar ayahandanya ini diberikan hidayah dan petunjuk supaya menjadi orang beriman. Bahkan menurut Imam Qatadah, setelah jelas bagi Ibrahim bahwa ayahandanya adalah musuh Alloh, Ibrahim berlepas diri darinya.

Q.S. At-taubah, 114 berbunyi sbb: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Alloh) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Alloh, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”

Jelasnya, berdo’a untuk orang-orang musyrik agar mereka diberi kesehatan, keselamatan, kebahagiaan, kebaikan, dan sebagainya tidak diperbolehkan. Hal itu bukanlah bentuk dari toleransi. Mendo’akan mereka berarti mengakui dan membenarkan eksistensi kekafiran mereka.

Maka sungguh tidak pantas bagi mereka yang mengaku dirinya beriman mendo’akan Bush dan Tony Blair untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat setelah tampak jelas di hadapan kita dan masyarakat dunia lainnya permusuhannya terhadap Islam, kesombongan mereka yang layaknya Fir’aun dan Hamam, dan kebencian mereka. Serta aksi mereka yang telah mencabut ribuan nyawa dengan perang yang mereka lancarkan.

Tapi bagi para penganut teologi inklusif-nya Ulil Absar Abdilla, dalam hal mendoakan kebaikan terhadap mereka hal ini sah-sah saja, dengan anggapan bahwa tidak ada istilah kafir dan musyrik karena semua agama di dunia adalah benar. Jalan boleh beda-beda namun tetap satu tujuan yakni penyembahan kepada Tuhan Sang Maha Transenden. Jadi menurut mereka Bush dan Blair bukan orang musyrik, mereka juga penganut agama kebenaran. Sah-sah saja mendoakan kebaikan untuk mereka. Begitukah…? Sesungguhnya mereka telah dibutakan mata dan hatinya dalam melihat kebenaran. Allohua’lam.

Maraji’: 1. Alqur’anul Karim, 2. Sabili, 9/X/2003
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
dipublikasikan di tahun 2003
diedit kembali 13:59 14 Januari 2006