
Sejak awal menikah sampai hari ini, kalau saya hitung-hitung, empat kali kami berutang.
Pertama, saat saya membeli rumah setelah menikah. Menurut saya, rumah itu penting sekali dimiliki karena rumah akan menjadi fondasi masa depan dan tempat pulang. Bapak saya pernah mengatakan, “Barang yang wajib kamu beli setelah menikah adalah rumah.”
Mulai tahun 2000, saya mencicil rumah di Citayam dengan cicilan sebesar Rp270 ribuan yang dibayar flat setiap bulan selama 15 tahun. Di tahun 2013, sebelum saya dinas ke Tapaktuan, Aceh Selatan, saya percepat pelunasannya.
Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang
Kedua, pada saat saya membangun tanjakan ke dalam rumah supaya motor bisa masuk. Maklum, lantai rumah lebih tinggi daripada jalan depan rumah. Saya meminjam kepada koperasi kantor sebesar Rp3 juta. Ketiga, pada saat saya membeli mobil dengan uang muka yang besar dan masa mencicil selama dua tahun.
Terakhir, di tahun 2011, pada saat Bapak saya kena serangan strok dan lama dirawat di rumah sakit. Karena membutuhkan dana yang besar sampai puluhan juta rupiah, tidak ada tabungan, dan tidak ada asuransi seperti BPJS waktu itu, saya kembali meminjam kepada koperasi yang bekerja sama dengan bank syariah. Pembayarannya dicicil selama lebih dari setahun.
Setelah itu tidak ada lagi utang dan cicilan lain, sampai sekarang. Kalau dihitung-hitung lebih dari 12 tahun sudah kami tak punya utang.
Kami sebisa mungkin tidak berutang. Sebisa mungkin kami membeli barang dengan tunai, walaupun diimingi-imingi kemudahan dan fasilitas lain untuk mengambil kredit. Kalau kami tidak punya uang untuk membeli barang yang kami butuhkan, kami tidak memaksakan diri. Kami tunda membeli atau kami tidak ambil.
Berutang itu boleh dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Bisa juga hukumnya jadi haram kalau berniat untuk tidak melunasi utang. Kami tak berutang karena kami tidak mau hidup dibayang-bayangi dengan kecemasan. Apalagi kita hidup di tengah gempuran kemudahan aplikasi pinjol dan bunga ringan. Buat banyak orang, itu godaan yang tidak bisa ditampik.
Baca juga: Puluhan Testimoni Buku Sindrom Kursi Belakang
Apakah tidak berutang itu karena kita sudah punya banyak uang? Tidak. Ini bukan soal banyaknya uang atau tidak. Namun, ini perihal manajemen keuangan yang tak terkelola dengan baik, fokus pada keinginan—bukan kebutuhan, serta ketidakmampuan menunda kesenangan.
Hidup bebas utang itu membuat kita memiliki kendali penuh atas keuangan yang kita punya, walaupun Robert T. Kiyosaki mengatakan lain. Dalam bukunya yang berjudul Second Chance, Kiyosaki menyebut, hidup tanpa utang itu saran finansial yang tidak pintar. Menurutnya, utang terbagi dua: utang baik dan utang buruk. Utang baik akan membuat Anda makin kaya, utang buruk akan membuat Anda keblangsak.
Namun, saya pada akhirnya sampai di titik sebuah ikhtisar: hidup tanpa utang itu menenangkan dan membahagiakan. Tidak dikejar penagih utang dan tidak cemas memikirkan cicilan.
Sekadar info di ujung tulisan ini. Soal menunda kesenangan dan bahagia itu sebagiannya sudah saya tulis di buku Sindrom Kursi Belakang: Resah dan Bahagia Itu Dipergilirkan. Buku ringan yang layak untuk menemani akhir pekan Anda. Apalagi kalau Anda tak memiliki utang ….
Intan nian, hidup Anda.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
4 Mei 2024
Gambar dari ngopibareng.id
Memesan buku Sindrom Kursi Belakang dan Kita Bisa Menulis di tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.
