Hiroshima dan Sandal di Teras Masjid


 

Da ist nichts zu machen.”

Itu sebuah kalimat dalam bahasa Jerman yang diungkapkan oleh penduduk Hiroshima kepada Pastur Wilhelm Kleinsorge saat bom atom dijatuhkan dari atas awan dan meledak di udara pada 6 Agustus 1945, pukul 08.15.

Artinya adalah tidak ada yang bisa dilakukan. Ya, setelah penduduk melihat kilatan cahaya, dalam sekejap gelombang kejut datang dengan dahsyat meluluhlantakkan kota itu. Awan jamur menjulang tinggi tepat di atas episentrum ledakan.

Kayu-kayu tiang telepon dari pohon Crypomeria japonica yang memiliki titik karbon 240 derajat Celcius dan berjarak 4000 meter dari pusat ledakan telah menjadi arang.

Permukaan atap tanah liat abu-abu yang memiliki titik leleh 1.300 derajat Celcius telah hancur pada jarak 548 meter dari pusat ledakan. Mika yang memiliki titik leleh pada 900 derajat Celcius meleleh di atas nisan makam yang terbuat dari granit dan berjarak 347 meter dari pusat ledakan.

Ilmuwan Jepang menghitung panas di pusat ledakan berkisar 6000 derajat Celcius. Statistik Jepang menghitung lebih dari 100.000 orang tewas. Puluhan ribu lainnya terluka. Sebanyak 63 ribu dari 90 ribu bangunan yang ada hancur.

Tiga hari kemudian, tepat pada 9 Agustus 1945, Nagasaki menjadi korban berikutnya. Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945.

Buku berjudul Hiroshima Ketika Bom Dijatuhkan menggambarkan suasana Hiroshima pascaledakan. Penulisnya seorang wartawan bernama John Hersey. Ia pemenang Penghargaan Pulitzer pada 1945 atas novelnya yang berjudul A Bell for Adano.

Hersey meliput selama tiga minggu di kota Hiroshima. Mewawancarai banyak penyintas dan menjadikan enam di antaranya sebagai tokoh utama dalam liputannya.

Mereka adalah Nona Toshiko Sasaki, seorang juru tulis di sebuah perusahaan; Dokter Masazaku Fujii, pemilik rumah sakit swasta; Nyonya Hatsuyo Nakamura, seorang penjahit berstatus janda dengan tiga orang anak; Pastur Wilhelm Kleinsorge asal Jerman; Dokter Terufumi Sasaki, dokter bedah muda; dan Pendeta Kiyoshi Tanimoto, pendeta Gereja Metodis Hiroshima.

Liputan Hersey ini ditulis dengan gaya fiksi dan pertama kali dimuat di The New Yorker pada Agustus 1946. Oleh panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia, naskah liputannya didapuk sebagai naskah terbaik jurnalisme Amerika abad ke-20. Hasil liputannya ini juga dijadikan sebagai rujukan pelatihan gaya jurnalisme bernarasi sastra.

Karena ditulis dalam bentuk penceritaan, pantas buku ini jadi enak dibaca. Saya tidak butuh waktu lama membaca buku yang diterbitkan pada 2008 dan berjumlah 162 halaman ini.

Sayangnya Hiroshima buat saya sekadar berhenti pada frasa enak dibaca. Buku ini tidak sampai menyentuh pada sebuah kesadaran bahwa perang itu kejam dan Jepang adalah korban. Semangat fasisme Jepang sendiri tidak bisa dimungkiri menjadi sumber kekejaman Jepang di wilayah pendudukan seperti Tiongkok, Korea, dan Indonesia.

Barangkali ungkapan yang tepat setelah paragraf di atas dan sebagai penutup tulisan adalah sama dengan yang diungkapkan oleh Masazaku Fujii kepada Pastur Kleinsorge itu: “Da ist nichts zu machen.” Tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Namun, ternyata saya mau menceritakan hal lainnya kepada Anda para pembaca.

Sudah beberapa pekan ini, setiap habis salat berjemaah di masjid, saya menemukan posisi sandal saya di teras sudah menghadap ke luar masjid. Jadi saya tinggal pakai saja dan tidak perlu membalikkan badan. Ternyata tidak hanya sandal saya, semua sandal jemaah di sisi utara masjid pun demikian.

Wah, saya sangat berterima kasih sekali kepada orang yang telah melakukannya. Saya pun berpikir, orang yang merapikan sandal ini adalah orang yang pertama kali keluar masjid. Jadi setelah imam salam, ia langsung ke luar masjid lalu membereskan sandal itu.  Saya tidak mengetahui siapa orangnya.

Namun, di suatu malam ketika saya menjadi jemaah masbuk dan tidak ada rombongan orang lagi yang memasuki masjid, saya melihat di teras masjid ada orang yang tengah membereskan dan menata sandal-sandal tersebut.

Oh, ternyata dialah orangnya yang selama ini membereskan sandal-sandal yang awalnya berantakan itu.

“Pak…” sapa saya kepadanya sebelum masuk ke dalam masjid.

Ia adalah orang yang saya kenal betul. Dulu ia pengurus masjid di kompleks kami.  Kemudian karena suatu dan lain hal ia sudah tidak menjadi bagian dari kepengurusan masjid. Walaupun demikian, itu tidak menghentikannya berbuat kebaikan. Di mana saja dan dalam posisi apa pun, ia masih tetap beramal. Bahkan dengan amalan yang kecil, ringan, tersembunyi dan tidak diketahui oleh orang lain.

“Tidak ada lagi yang bisa dilakukan” menjadi kalimat yang tak berlaku buat dirinya. Masih banyak yang bisa dilakukannya. Sampai akhir hidup.

Betul sekali.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
25 Oktober 2021

 

2 thoughts on “Hiroshima dan Sandal di Teras Masjid

Leave a reply to agung pambudi Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.