WHATSAPP YANG MERAMPAS?
Tanpa disadari atau sengaja tidak menyadari kalau dunia WhatsApp mengalihkan perhatian saya. Aplikasi yang sudah diunduh lebih dari 100 juta kali itu adalah aplikasi messenger yang dapat mengirimkan teks, video, gambar, dan suara kepada teman-teman dan kontak yang ada di hp kita masing-masing. Ini juga karena saya masuk ke grupnya. Mungkin kalau tidak bergabung ke dalamnya, dunia per-whatsapp-an saya juga sepi-sepi saja.
Saya juga berpikir inilah yang mungkin menyebabkan Blackberry digilai oleh sebagian pengguna gadget di Indonesia karena semata kehebatan dari BBM-nya. Tapi BBM ini tersaingi karena kehadiran WhatsApp yang tidak mengharuskan penggunanya untuk memakai perangkat Blackberry. Lintas smartphone, lintas operator, lintas OS. Gtalk kalau saya bandingkan dengan WhatsApp juga lewat.
Saya tak berusaha detil untuk mengulas WhatsApp di sini, saya cuma mau mengatakan bahwa zaman sekarang orang sudah terhubung dengan berbagai macam cara. Tentu di sana selain kelebihan yang didapat ada pula kelemahan atau mudharat yang kudu diwaspadai oleh semua penggunanya. Layaknya pisau ada ditangan siapa. Atau seperti pisau karton dalam cerpen Motinggo Busye?
Sejak kenal grup dalam WhatsApp itu jarang sekali perjalanan pulang dalam kereta menjadi perjalanan yang membosankan. Asal handphone-nya sudah dicharge terlebih dahulu tentunya. Kalau enggak, matilah gaya sudah pasti. Untuk itu, setiap jam tiga sore handphone sudah harus dicolok kabel charger. Kalau sudah jam lima teng kurang sedikit barulah dicabut. Lumayan bisa untuk satu sampai dua jam ke depan.
Di dalam kereta, walau desak-desakkan dan sedikit panas, perhatian bisa teralihkan ke gadget. Tersenyum dan tertawa bisa muncul di saat ikutan grup WhatsApp itu. Walau harus tertawa tertahan agar tidak dilihat oleh penumpang yang lain. Apalagi kalau japri sama teman-teman di sana yang rada-rada minha. Minha itu kata teman berasal dari bahasa arab yang artinya setengah atau sebagian atau sedeng gitulah. Sebenarnya teman-teman saya tak seperti itu kok. Mereka baik-baik. Mereka tahu batas tentang bercanda dan serius. Mereka para guru. Dan sudah tentu otak mereka semua genap. Insya Allah ahli surga semua. Amin.
Kegilaan saya terhadap WhatsApp tetap ada batasnya. Dan memang harus dibatasi agar jangan merampas hidup saya. Ada waktu khusus saya yang tidak bisa diganggu gugat oleh WhatsApp. Yaitu setiap pagi saat saya naik kereta rel listrik. Ada yang harus saya kerjakan sambil berdiri yang tak bisa tergantikan olehnya. Dan Alhamdulillah masih bisa bertahan walau dering sms dan bunyi kecipak air tanda pesan WhatsApp memekik-mekik.
Dan yang kudu diperhatikan juga adalah jangan sampai hubungan kita dengan WhatsApp mengalahkan hubungan personal kita di dunia nyata. Sampai rumah ya sudah, buang itu gadget jangan dipegang terus. Kehangatan ruang grup WhatsApp tetap tak bisa mengalahkan kehangatan ruang keluarga kita. Terhadap yang mencintai kita dan kepada celoteh-celoteh riang yang memenuhi ruang itu.
Bolehlah kembali ke ruang maya itu saat mereka tidur semua tapi ingat kalau besok adalah hari yang pepat. Hari yang membutuhkan kesiapan fisik kita secara paripurna, yang tidak bisa disediakan oleh tubuh yang kekurangan tidur.
Saat menekan tombol titik setelah kata tidur di atas, saya langsung menguap. Tanda alarm kalau tubuh saya juga butuh tidur. Besok adalah hari Ahad, banyak sekali yang harus saya lakukan. Saya akhiri saja kali yah keterpesonaan saya kepada makanan baru bernama grup WhatsApp ini. Pesona yang sama saat bule-bule pertama dan berulang kali datang ke Raja Ampat.
Sebenarnya maksud saya mengungkapkan semua ini semata hanya ingin menulis. Enggak ada maksud lain. Terus terang saja, grup WhatsApp telah mengalihkan fokus saya dari menulis. Dan kalau seminggu saya tidak menulis badan saya meriang. Ada virus kegelisahan yang memenuhi pembuluh darah saya. Makanya saya paksakan menulis sekarang. Karena enggak ada tema-tema berat yang harus saya tulis, ya tentu yang ringan-ringan saja yang saya tulis. Seperti tentang WhatsApp ini.
Kalau sudah menulis kan bisa plong. Saya bisa berpikir yang lain. Saya bisa mengamati keadaan dan suasana yang berbeda. Tidak suntuk lagi. Ini sudah bagus saya bisa menulis sekali seminggu. Kalau bisa mah sehari sekali. Tetapi mungkin saya belum sampai ke taraf itu, karena setiap melakukan pergulatan ide (baca menulis) saya mengalami kelelahan setelahnya. Ah, itu cuma alasan saja kali yah. Iya memang betul cuma alasan. Jadi tidak ada alasan lagi untuk tidak menulis. Kudu menulis kapan pun, setiap saat.
Agar apa? Agar bisa dipastikan bahwa otak kita masih waras. Tidak minha. Masih bisa diajak untuk berpikir. Untuk mengamati keadaan. Dan tidak dementia atau pikun. Berbagai studi telah membuktikan, supaya kita tidak mengalami kepikunan maka menulis bisa menjadi salah satu cara pencegahannya. Menulis merupakan kegiatan yang dapat menstimulasi sel-sel saraf otak
Itu aja kali yah monolog malam ahad ini. Semoga bisa bermanfaat buat yang lain. Terutama sih untuk diri saya pribadi. Semoga besok adalah hari yang menyenangkan buat kita semua. Amin. Tabik.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
00:06 Ahad 25 November 2012
nuhun, kiiii…
LikeLike
Menulis setiap saat? hmmm…
Jazakallah pak… 🙂
LikeLike
Kudu.
LikeLike