KPU BERBENAH SETELAH DITERIAKI


KISRUH DPT BOM WAKTU MASA LALU

Setelah banyak yang memprotes tentang Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu legislatif (Pileg) 2009 dan dituduh bersekongkol dengan penguasa bahkan akan ada upaya gugatan kepadanya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai berbenah diri. Untuk pemilihan presiden nanti KPU akan berusaha memperbaiki DPT-nya dengan cara memberikan kesempatan seluas-luasnya bahkan semudah-mudahnya agar mereka yang berhak mengikuti pesta demokrasi dapat benar-benar ikut secara riil berpartisipasi.

Antara lain dengan melibatkan Ketua RW dan Ketua RT dalam penyusunannya. Yang semula hanya stelsel aktif, yang berarti pemilih secara aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih ke kelurahan, kini KPU berusaha pula menggunakan stelsel pasif yaitu dengan melibatkan para Ketua RT dan RW tersebut untuk mendatangi para calon pemilih yang belum terdaftar. Bentuknya adalah dengan menyebarkan formulir yang harus diisi oleh calon pemilih tersebut. Dan untuk menyukseskannya KPU akan menyosialisasikannya kepada masyarakat melalui spanduk-spanduk. Diharapkan dengan hal ini tidak lagi ada suara-suara miring terhadap DPT untuk pemilihan presiden nantinya.

Apa yang dilakukan oleh KPU perlu diapresiasi oleh semua pihak. Walaupun yang tampak di hadapan publik adalah KPU mulai bergerak setelah adanya banyak protes dari berbagai pihak. Karena jikalau tidak ada yang bersuara keras tentang hal ini KPU bisa jadi tidak akan berusaha untuk memperbaiki DPT.

Bila ini terjadi walhasil adik saya yang tinggal serumah dengan saya dan telah mempunyai kartu tanda penduduk sebagai bukti sah keberadaannya sebagai masyarakat di daerah itu dan telah mempunyai hak pilih akan tercerabut haknya dan dipaksa untuk golput sebanyak 7 kali. Karena Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Bogor—tempat kami tinggal—sebagai kepanjangan tangan dari KPU tidak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya.

Ini bisa dihitung, yaitu pada saat Pilkada Kabupaten Bogor putaran pertama dan lanjutannya adik saya tidak terdaftar di DPT. Tetangga-tetangga saya pun demikian. Pula pada saat Pileg 2009 lalu yang diberi hak untuk memilih 4 calon untuk DPR Pusat, provinsi, kabupaten, dan DPD. Atau jika masih terulang di Pilpres 2009 ia bisa dipaksa untuk tidak ikut lagi.

Jadi kisruh tentang DPT ini sebenarnya tidak hanya berlangsung di pusat saja dan pada saat Pileg 2009. Tetapi sudah menjadi bom waktu sejak diselenggarakannya pilkada-pilkada di banyak daerah—contoh DKI dan Jatim—yang momentum tumbukannya terjadi di Pileg 2009. Dan tidak meledak pada saat itu hanya karena menjadi wacana lokal yang tidak menyangkut kepentingan secara nasional dan banyak pihak. Juga tak punya nilai jual berita di banyak media.

Akhirnya saya berharap, KPU harus mengambil banyak pelajaran dari peristiwa ini. Hujatan dan cercaan menjadi pemicu untuk memperbaiki diri. Inisiatif mendatangi pemilih sebagai niat baik KPU Pusat juga harus didukung sepenuh hati oleh seluruh KPUD dan para pemegang kepentingan lainnya seperti pemerintah pusat, Departemen Dalam negeri, dan pemerintah daerah.

Satu paradigma yang harus dipatri kepada mereka yang saya sebutkan di atas tadi adalah: “Anda-anda ini selayaknya memosisikan diri sebagai pelayan rakyat, “jongos”-nya rakyat. Bukannya tuannya rakyat. Maka layanilah rakyat dengan baik.”

Saya yakin kalau posisi tuan itu ada pada Anda-anda wahai tuan-tuan, maka kisruh DPT tidak akan pernah berakhir. Maka akan dibawa kemana bangsa kita karena setiap hari dicekoki sengketa para elit politik yang memanfaatkan isu ini?

Saya berharap tidak.

Riza Almanfaluthi

18 April 2009

Dimuat di www.inilah.com

FALATEHAN


FALATEHAN

Ada lagi perbincangan menarik antara kyai dan santrinya. Tidak lagi tentang wanita idaman si Santri. Tapi, kini si Santri mulai memperbincangkan hal lainnya. Tentang sebuah sejarah masa lalu yang masih suram bagi dirinya.
Dan perbincangan itu tidak dilakukan di waktu ba’da subuh seperti dulu saat pagi masih bermandikan cahaya. Mereka berbincang-bincang saat mereka rehat di saung di tengah sawah setelah berlumpur-lumpur ria membersihkan tanaman padi dari rumput-rumput liar yang mengganggu.
Santri : Ki, kemarin dalam sebuah diskusi, seorang teman masih saja percaya bahwa sesungguhnya Fatahillah yang menakhlukkan Sunda Kelapa adalah Sunan Gunung Jati itu sendiri. Padahal dari sejarah yang saya baca dan juga dari film yang saya tonton dulu, Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang berbeda. Mohon penjelasannya Ki?
Kyai : Kok tanyanya ke saya?
Santri : Ah, saya tahu Kyai sangat paham betul tentang sejarah ini. Di lemari buku Kyai saya lihat banyak sekali buku-buku sejarah. Apalagi kalau tidak salah Kyai juga keturunan Elang Cirebon.
Kyai : Kalau sudah tahu ada buku-buku sejarah di sana, mengapa tidak kau baca buku itu sendiri?
Santri : He…he…he…saya lagi malas baca Kyai. Tinggal mendengarkan saja dari Kyai kan enak.
Kyai : Jang…jang…Santri model kayak kamu inilah yang biasanya enggak akan eksis nanti setelah keluar dari pesantren. Dan hanya menjadi korban dari imperialisme dan kolonialisme gaya baru. Inginnya serba instan, cepat, dan ending oriented. Proses terabaikan.
Santri : Iya Kyai, saya kan sudah mengaku. Tapi cobalah Kyai sempatkan berbagi kepada saya tentang itu. Bisa kan Kyai?
Kyai : Tapi untuk kali ini saja. Lain kali kau bisa membacanya langsung. Tak perlu bertanya kepada saya lagi. Kecuali memang ada hal-hal yang tidak kau mengerti atau pertanyaan yang diawali “mengapa”.
Santri : Insya Allah Kyai.
Kyai : Seringkali orang menyamakan Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Padahal keduanya merupakan orang yang berbeda. Namun masih mempunyai kekerabatan dari hasil perkawinan. Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah, Penguasa Cirebon dan Banten. Syarif Hidayatullah sendiri adalah cucu Raja Pajajaran yang amat berkuasa pada masanya yaitu Prabu Siliwangi. Awalnya dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirlah Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara.
Setelah meninggalnya ibu mereka, Raden Walangsungsang dan adik perempuannya belajar agama Islam kepada Syaikh Datu Kahfi di Gunung Ngamparan Jati. Mereka diperintahkan gurunya untuk pergi haji ke Mekkah setelah tiga tahun belajar bersamanya.
Santri : Hebat juga, anak-anak dari Prabu Siliwangi memilih keluar dari keraton dan memilih Islam sebagai petunjuk hidupnya.
Kyai : Ohya tentu, karena pada saat itu Islam menjadi tamaddun yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa di dunia. Walaupun Andalusia baru jatuh, tetapi muncul kekhalifahan baru yang masih membuat peradaban Islam masih tetap bercahaya cemerlang, yaitu Kekhalifahan Utsmani.
Santri : Ngomong-ngomong tamaddun itu apa?
Kyai : Peradaban. Lanjut. Jadi seperti zaman sekarang, kalau sudah disebut nama Amerika kita langsung membayangkannya sebagai negara paling modern, maju, kaya, dan pusat ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan saat itu, Islam menjadi sesuatu yang diperbincangkan di banyak tempat. Apalagi dengan para pedagang Muslim yang mengembara ke berbagai tempat di belahan dunia lainnya untuk berniaga sekaligus membawa misi Islam.
Juga Mekkah dan Madinah walaupun tidak lagi menjadi sebuah pusat kekuasaan politik Islam sejak Khalifaturrasyidin terakhir, tetapi sebagai pusat kesempurnaan rukun Islam dan napak tilas sirah nabawiyyah maka kedua tempat itu adalah sesuatu tempat yang harus mereka kunjungi sebagai muallaf yang bersemangat dalam berislam. Sebagaimana kota-kota Islam terkenal lainnya seperti Kairo, Damaskus, Baghdad, dan Istanbul. Wajar kedua anak Prabu Siliwangi ini pun pergi ke tanah Arab.
Santri : Terus bagaimana Kyai?
Kyai : Setelah menunaikan haji Raden Walangsungsang kembali ke tanah Jawa dan menjadi juru labuhan di Pasambangan, yang masih merupakan kekuasaan Pajajaran. Pasambangan kemudian berkembang menjadi Cirebon, dan Raden Walangsungsang memperoleh gelar Pangeran Cakrabuana.
Sedangkan Nyai Lara Santang dilamar oleh bangsawan Arab dari Bani Hasyim, yaitu Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah). Dan melahirkan anak yang ia beri nama Syarif Hidayatullah. Setelah dewasa Syarif memilih berdakwah ke Jawa daripada menetap di tanah Arab. Lalu ia pergi ke Cirebon menemui pamannya. Setelah pamannya wafat, Syarif menggantikan kedudukan pamannya dan berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan dan dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Santri : Wah, Sunan Gunung Jati keturunan Suku Quraisy juga ya Ki?
Kyai : Dari silsilahnya demikian. Lalu setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam dan lepas dari pengaruh Pajajaran, ia meluaskan pengaruhnya kepada kerajaan-kerajaan yang belum mengenal Islam seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Dan ini didukung oleh Demak.
Berhubung pada saat itu Demak sedang berkonfrontasi dengan Portugis, dan Pajajaran bersekutu dengan Portugis dalam penguasaan perdagangan rempah-rempah, juga dikarenakan Banten—yang merupakan wilayah Pajajaran—merupakan pelabuhan yang strategis dan ramai yang dikunjungi oleh para pedagang dari dalam dan luar negeri, maka menarik minat Demak untuk menguasai Banten.
Diutuslah panglima perang Kerajaan Demak sekaligus menantunya sendiri yaitu Fatahillah untuk menyerbu Banten. Sebelum ke Banten, Fatahillah mampir ke Cirebon ke rumah mertuanya.
Pasukan Demak dan Cirebon bergabung di bawah pimpinan Sunan Gunung Jati , Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang menuju Banten. Di sana, anaknya Sunan Gunung Jati bernama Maulana Hasanuddin yang menjabat sebagai bupati juga melakukan pemberontakan kepada penguasa Pajajaran, sehingga mereka tidak menemui kesulitan untuk merebut Banten.
Di Banten, Sunan Gunung Jati meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di Banten pada tahun 1525 atau 1526. Ketika ia pulang ke Cirebon, Banten diserahkan kepada kembali anaknya Maulana Hasanuddin. Di tahun 1527 itulah atas prakarsa Sunan Gunung Jati penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan. Dipimpin juga oleh Fatahillah.
Santri : Panjang benar nih Kyai menerangkan. Sebenarnya bagi Demak Sunan Gunung Jati itu pengaruhnya seberapa besar sih?
Kyai : Oh tentu pengaruhnya besar sekali. Menurut Babad setempat yaitu Babad Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720, Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari Wali Songo. Tentang ini kamu pasti sudah tahu Jang. Ia sangat dihormati oleh raja-raja lain di Jawa karena kepemimpinan dan keilmuannya sehingga sering disebut pula sebagai Raja Pandita. Ia pun adalah salah satu pembuat soko guru Masjid Demak, selain Sunan Ampel, Kalijaga, dan Bonang. Sekarang kamu sudah mengerti belum?
Santri : Alhamdulillah, Ki. Saya jadi paham kaitan antara Fatahillah dengan Sunan Gunung Jati. Mereka bukan orang yang sama.
Kyai : Tapi jangan salah loh, beberapa tahun yang lalu koran nasional sekaliber Republika pernah menulis bahwa Fatahillah itu adalah Sunan Gunung Jati. Argumentasinya adalah bahwa Sunan Gunung Jati punya banyak nama di antaranya adalah Muhammad Nurudin, Syekh Nurullah, Sayyid Kamil, Bulqiyah, Syekh Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, Makdum Jati. Sedang menurut babad-babad (cerita), nama asli Sunan Gunung Jati sangatlah panjang, yaitu Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil, Maulana Syekh Makdum Rahmatullah. Jadi bisa jadi bahwa Fatahillah itu adalah Falatehan, dan Falatehan itu adalah Sunan Gunung Jati.
Tapi kalau saya baca dari tulisan itu amatlah lemah. Karena sisi historisnya digambarkan dengan alur yang loncat-loncat dan tidak bisa dimengerti. Jadi saya lebih memilih bahwa mereka bukanlah orang yang sama.
Santri : Kenapa nama Fatahillah juga disebut sebagai Falatehan, Ki?
Kyai : Salah seorang orientalis Barat yang terkenal bernama Dr BJO Schrieke, mengatakan bahwa dari hasil penyelidikannya nama Falatehan itu mungkin berasal dari perkataan Arab: Fatahillah. Kayaknya sudah cukup saya menerangkan ini kepada kamu. Kamu tinggal baca referensi yang lain.
Santri : Insya Allah tadi sudah cukup. Nanti kalau saya belum puas tentang sejarah Cirebon dan Banten saya akan baca di perpustakaannya Kyai. Boleh ‘kan Kyai?
Kyai : Boleh-boleh saja Jang. Tapi ingat, jangan melirik-lirik si Ai yah…
Santri : Lah dulu Kyai yang menawarkan. Saya boleh dong mengenal lebih dekat?
Kyai : Ah, inget aja kamu ya Jang. Ah pokoknya jangan nyerempet-nyerempet. Luruskan niat mau belajar. Bukan untuk yang lain.
Siang pun masih terik dengan matahari yang membakar. Sawah sudah mulai menyapa mereka agar menuntaskan pekerjaannya hingga senja kan jelang.
***
Maraji’:
1. http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=146425&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=185
2. Sejarah Emas Muslim Indonesia, Sabili, No.9 Tahun X 2003;
3. Ensiklopedi Islam, Jilid 1 dan 5, Cetakan Keenam, PT Ictiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 31 Juli 2007

SILAKAN TINGGALKAN BOLIVIA


Monday, May 8, 2006 – SILAKAN TINGGALKAN BOLIVIA

Bismillaahirrohmaanirrohiim

SILAKAN TINGGALKAN BOLIVIA…!

Setelah saya cukup mengakui keberanian Kuba menghadapi dan mengejek dominasi Amerika Serikat (AS) dengan menawarkan kekuatan medisnya yang terkenal di jagat raya untuk melakukan operasi mata terhadap rakyat miskin AS. Juga memutuskan ketergantungannya terhadap sektor pariwisata—suatu sektor yang rawan dan sensitif dengan isu keamanan dunia, juga sektor yang antikemandirian.
Pun setelah saya cukup mengangkat jempol terhadap Iran atas kemandiriannya dengan memajukan sektor perindustriannya berupa produksi besar-besaran mobil nasionalnya. Keberaniannya menentang barat dan PBB yang menolak Iran untuk mempunyai program nuklirnya sendiri. Dan juga gebrakan ekonominya yang mampu untuk mengurangi tingkat kemiskinan absolut di negara itu sehingga pemukiman kumuh dan peminta-minta sulitlah dijumpai di jalanan Teheran.
Kini, kembali saya mengakui keberanian untuk mandiri dari salah satu negara di Amerika Selatan ini, BOLIVIA. Negara yang berbatasan dengan Paraguay dan Argentina di sebelah selatan, Brazil di timur dan utara, serta Peru dan Chili di barat ini melalui presidennya mengeluarkan aturan baru untuk menasionalisasi sumber daya minyak dan gas (migas) yang kini banyak dikelola perusahaan asing.
Jelas aturan baru ini sangat-sangat tidak berpihak dan mengancam investor asing yang telah banyak menanamkan modal di negara yang memiliki cadangan gas terbesar kedua di Amerika Latin setelah Venezuela. Tapi Evo Morales—sang presiden terpilih—menyatakan dengan tegas bahwa upaya ini dilakukan demi mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi negaranya, demi kemakmuran agar Bolivia terlepas dari julukan sebagai negara termiskin di Amerika Selatan.
Morales—sebagaimana diberitakan Republika (03/05) mengatakan: ”Kami memulainya dengan nasionalisasi migas. Besok kami akan menambahnya dengan pertambangan, kehutanan dan semua sumber alam yang telah diperjuangkan nenek moyang kami.”
Dan Presiden dari negara yang 70% penduduknya miskin ini memberikan waktu sekitar 180 hari sejak tanggal 01 Mei 2006 kepada para investor asing untuk membuat kontrak bisnis baru dengan pemerintah Bolivia.
Jika tidak, sebagaimana ancamannya yang ia katakan kepada para investor asing—di antaranya Repsol Spanyol, Petrobras Brazil, BP Inggris, British Gas, ExxonMobil, Total Prancis: ”Silakan tinggalkan Bolivia.” (Republika, 05/05).
Untuk suksesnya menasionalisasi itu Morales memerintahkan Tentara Bolivia mengambil alih 56 ladang migas yang ada di negaranya dan meminta kepada rakyatnya bersama-sama membantu pemerintah mewaspadai sabotase yang akan menggagalkan upaya nasionalistik ini.
Morales belajar dari pengalaman dan keberhasilan dua negara latin lainnya yakni Ekuador dan Venezuela yang berani memperbaharui kontrak bisnis dengan negara asing. Bahkan, Venezuela menerapkan pajak yang tinggi untuk para eksportir minyaknya.
Langkah itu diharapkan bagi negara yang berpenduduk 8,8 juta jiwa ini (perkiraan 2005) adalah akan mendorong ekonomi dan menciptakan pekerjaan baru. Otomatis pengurangan keuntungan yang diperoleh negara asing akan meningkatkan pendapatan negara itu. Pendapatan tahun 2007 dari produksi gas diharapkan sebesar 780 juta dolar AS, sangat tinggi dibandingkan dengan tahun 2005 yang hanya sebesar 460 juta dolar AS.
Luar biasa. Negara yang luasnya hanya sepersepuluh luas Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya cuma 1.098.580 km persegi saja dan dengan sumber kekayaan alam yang masih kalah jauh di bandingkan Indonesia, berani melakukan sesuatu yang anti ”pasar” (baca kapitalisme) atau antitrend menarik investor yang biasa dilakukan dari negara miskin identitas dan harga diri.
Sungguh lain sekali dengan apa yang dilakukan Indonesia yang tak berani merevisi sedikitpun ’kitab suci kapitalis’ berupa kontrak karya. Atau lemahnya Indonesia dalam kasus Freeport, Blok Cepu, BUMN, dan dalam berbagai kasus pertambangan emas, perak, dan batubara yang berada di kawasan hutan lindung.
Yang paling anyar adalah pada kasus rencana revisi undang-undang ketenagakerjaan sebagai salah satu paket ekonomi terbaru untuk menarik investor asing. Lagi-lagi di saat nasionalisme dan harga diri bangsa tidak dijadikan prioritas, masyarakat pun menjadi korban. Hatta dibungkus dengan janji-janji pemberian kepastian hukum dan kesejahteraan buruh.
Mampukah pemerintah melakukan negosiasi ulang dengan Freeport atau buyback saham-saham Indosat yang ternyata diketahui tidak ada pasal yang memudahkan pemerintah untuk melakukan itu dalam perjanjian kontrak?
Atau mampukah pemerintah untuk tidak takut dengan ancaman yang selalu dilontarkan asing dengan arbitrase internasionalnya atau forum WTC-nya. Bahkan dengan ancaman tidak akan diberikan paket pinjaman lanjutan oleh World Bank
Saya jawab: ”pesimis.” Di kala banyak dari kita yang selalu mengatakan ”Makan saja nasionalisme itu?”. Di kala banyak dari kita para alumni sekolah-sekolah barat itu masih saja mengagung-agungkan gelar MBA., MSc., PhD. atau gelar akademis lainnya tanpa kerja nyata, dan masih memikirkan enaknya untuk duduk di kursi empuk jabatan.
Saya masih tetap pesimis di kala masih banyak dari kita memandang dengan sebelah mata kepada sekelompok orang yang menyeru memboikot produk-produk kapitalisme dan imperalisme. Bahkan mencibir mereka sebagai sekelompok orang yang terlalu emosional, pencinta heroisme masa lalu, tak bernalar, kolot, dan anti pasar.
Jika masih banyak sebagian dari kita gemetar ketakutan dengan tindakan balasan negara-negara besar yang akan memboikot Indonesia di segala bidang dan takut untuk berkurang makannya sebanyak tiga kali sehari, padahal masih banyak di antara saudara-saudara mereka yang tetap bersyukur dengan makan dua kali, sekali sehari atau tidak makan apa-apa dalam seharinya.
Saya masih tetap pesimis entah sampai kapan. Jika Bolivia saja bisa, kenapa Indonesia tidak. Jika Iran saja bisa kenapa Indonesia tidak. Jika Kuba saja bisa kenapa Indonesia tidak.
Tapi, sungguh saya masih percaya bahwa Indonesia dengan segudang kekayaannya melebih tiga negara tersebut sebenarnya mampu untuk berbuat seperti mereka yang melepaskan diri dari ketergantungan asing dan tidak menjadikan dirinya budak-budak kapitalisme dan imperialisme moderen.
Kalaulah kita kembali membaca sejarah masa lalu, sungguh Indonesia dengan beraninya sanggup menantang dunia dengan keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Monetary Fund (IMF), International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD) di tahun 1966. Yang menurut Soekarno badan-badan itu hanya diperalat oleh manipulasi politik
negara-negara imperialis.
Soekarno meyakini bahwa negara dan bangsa Indonesia dengan
bersenjatakan Panca Sila, Manipol dan Tri Sakti Tavip akan dapat
menjalankan politik Berdikari dengan konsekuen dan dengan itu akan
mencapai dunia baru yang penuh dengan keadilan, kemakmuran dan
kesentausaan. (Penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1966).
Tentunya kita lebih yakin daripada Soekarno bahwa Indonesia bersenjatakan iman yang menghunjam di dada, berbeliung amal nyata untuk masyarakat mampu untuk menjalankan politik kemandirian itu.
Apalagi ditambah dengan keyakinan pada ayat Allah:
27. Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. [AlFathiir 35]
28. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [AlFathiir 35]
Maka sudah selayaknya bangsa Indonesia ini memiliki pemimpin yang benar-benar takut hanya pada Allah SWT. Tidak takut pada para thaghut besar ataupun thaghut kecil. Tidak takut pada negara asing. Yang berani berdiri gagah penuh izzah (kemuliaan) diri sebagai bangsa sederajat dan tidak seperti kerbau yang dicocok hidungnya menuruti perintah sang majikan pemberi dana.
Bangsa Indonesia perlu pemimpin yang tidak takut akan hinaan dan cercaan. Tidak takut untuk tidak terpilih lagi pada periode pemilihan mendatang, karena memandang jabatan adalah amanah bukan kebanggaan sehingga waktu dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kemakmuran bangsa.
Bangsa ini perlu pemimpin yang tidak takut kelaparan dan berani berkata lantang selantang seruan pemimpin Palestina kepada para penjajah dan pemboikotnya:
”Rakyat Palestina tak akan meninggalkan pemerintahnya meskipun ditekan dan diblokade. Kami akan tetap bertahan meskipun hanya dengan memakan garam dan buah zaitun. Keteguhan kami tak akan goyah karena kami setia terhadap prinsip-prinsip rakyat.” (Kompas, 16/04)
Dan saya yakin sebenarnya pemimpin kita adalah para pemberani yang akan berteriak lantang penuh jumawa kepada asing bila ada rakyat yang berdiri berbaris mendukung di belakang para pemimpin kita.
Namun rakyat yang dipimpin pun sudah sepantasnya menuntut keteladanan dari para pemimpin sehingga diharapkan dengan keteladanan itu rakyat akan bersama-sama membantu pemimpinnya dengan ikhlas dan dengan pengorbanan yang tak akan dapat dihargai oleh siapapun, sebagaimana rakyat Iran, Kuba, Venezuela, dan Bolivia mendukung para pemimpinnya.
Subhanallah…sungguh kita merindukan pemimpin bangsa ini selayaknya kita merindukan kepemimpinan dua Umar: Umar bin Khaththab atau Umar bin Abdulaziz. Entah kapan…?

Maraji’:
– Republika 03/05/2006
– Republika 05/05/2006
– Kompas 16/04/2006
– Wikipedia: Bolivia
– Ensiklopedi Keluarga A-Z
– Peta Dunia: National Geographic

dedaunan di ranting cemara
Ba’da Kedubes Panas Menyengat
20:32 07 Mei 2006

DEMOKRASI BERMUKA DUA


DEMOKRASI BERMUKA DUA vis a vis SYURA

Dunia kini telah melihat secara nyata betapa harga dari sebuah demokrasi di bayar mahal dengan kehancuran peradaban dan hilangnya ribuan nyawa akibat perang yang dipaksakan Amerika Serikat (AS) kepada Irak sebagai suatu bangsa dan pemerintahan yang sah.
Dunia pun menjadi mafhum bahwa AS yang mengklaim diri sebagai bangsa dan negeri kampiun demokrasi dan HAM ternyata memaknai sebuah demokrasi sebagai kedok belaka dari wajah buruk berupa kepentingan nasionalnya. Ralph L Boyce—mantan duta besar AS untuk Indonesia—pun mengakui perang ini semata-mata berdasarkan national interest Amerika (Sabili X/2003). Hatta mengingkari makna demokrasi itu dengan tetap mengabaikan PBB sebagai pemegang otoritas dan suara terbanyak masyarakat dunia sampai tetap memaksakan bentuk ekstrim dari ademokrasi berupa kekerasan (perang) sebagai jalan keluar. Padahal Henry B Mayo dan Robert A Dahl selalu menyatakan bahwa nilai demokrasi yang asasi dan asali adalah meminimalisir penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan segala sesuatu (Moch Eksan, 2003).
Dengan demokrasi yang dilandaskan pada kepentingan nasionalnya dan dipaksakan kepada Irak sebagai bagian dari masyarakat dunia yang berdaulat, maka AS—yang menurut Collin Powell juga disebut sebagai old-democration—pun memunculkan suatu ambigu, yakni AS tetap menginginkan proses demokrasi diterapkan dengan baik di Irak tetapi di lain sisi AS membiarkan sistem monarki dan otokrasi berjalan dengan semestinya di sebagian negara di Timur Tengah, serta membiarkan kekejaman yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Ambigu demokrasi AS berdasarkan catatan sejarah diterapkan dengan memakai standar ganda, semisal FIS sebagai representasi partai Muslim di Aljazair yang memenangkan pemilu dibatalkan begitu saja kemenangannya oleh rezim militer di sana, dilarang, serta dibubarkan sebagai sebuah partai. Amerika diam saja tidak berbuat apapun karena ada dua hal yakni tak ada kepentingan di sana dan pemenang pemilu tersebut berlabel Islam.
Tidak ada yang aneh di sini karena R James Woosley—mantan Direktur CIA di era Clinton dan sebagai salah satu pengaju proposal penyerangan AS ke Irak—menegaskan demikian, bahwa kalau ada di AS sendiri partai Islam dan memenangkan pemilu hari ini, maka esoknya pemilu harus diulang kembali (Republika, 8 April 2003).
Hal paling sarkas dan berusaha untuk dipahami sebagai suatu kewajaran tampak di sebuah lembaga besar bernama PBB, dengan adanya hak veto yang dipakai oleh lima negara pemenang PD II (AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina) di Dewan Keamanan. Suara mayoritas tidak akan keluar menjadi suatu keputusan bulat dan politis kalau ada hak veto yang dikeluarkan oleh satu saja negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB tersebut. Dalam hal ini AS sering memveto resolusi yang merugikan Israel sebagai sekutu terdekatnya.
Dengan penerapan demokrasi yang ambigu tersebut maka Paul Trenon menyatakan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang ideal untuk mengusahakan kesejahteraan. Di dalamnya penuh kebohongan yang menyeret negara-negara yang tidak punya akar tradisi demokrasi pada kesenjangan hidup.
Maka wajar pula timbul pemikiran dari sebagian Muslim yang menolak sistem demokrasi ini dengan argumen bahwa demokrasi adalah mabda’ (prinsip) impor dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, karena ia ditegakkan pada keputusan suara terbanyak dan dianggap sebagai kebenaran di dalam menegakkan pemerintahan, memperlakukan urusan, dan menguatkan salah satu perkara yang diperselisihkan. Jadi jumlah suara dalam demokrasi menjadi hukum dan rujukan. Maka apa pun pendapat atau gagasan yang mendapatkan dukungan suara terbanyak secara mutlak maupun secara terikat pada suatu waktu, pendapat atau pemikiran itulah yang harus dilaksanakan, meskipun salah atau batil.
Sebelumnya perlu ditegaskan di sini bahwa Islam adalah agama yang syumul sehingga tidak ada suatu sistem hidup yang tidak di atur dalam Islam. Dalam hal penyelesaian masalah-masalah sosial, politik, dan pemerintahan maka Islam menjadikan Syura sebagai suatu prinsip utama. Al-Qur’an menguraikannya dalam Al-Baqoroh:233, Asy-Syu’ara:38, dan Ali ‘Imron: 159. Syura atau permusyawaratan adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. (Ensiklopedi Islam 5: 19).
Al-Qurthubi, seorang mufasir yang menukil dari Ibnu Atiyah, menulis: “Musyawarah adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barangsiapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengn ahli ilmu dan agama (ulama) haruslah ia dipecat”. (Ensiklopedi Islam 5: 19).
Namun mengenai bentuk pelaksanaan Syura, tidak ada nas yang menjelaskannya. Nabi SAW yang telah melembagakan dan membudayakan syura karena ia gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya, tidak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Karena itu bentuk pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.
Namun di sini perlu ditegaskan bahwa objek dari syura’ adalah selain dari ketetapan-ketetapan syari’at yang sudah kongkrit dan dasar-dasar agama serta hal-hal yang sudah diketahui secara pasti. Sehingga dengan ini syura pun memerlukan suara terbanyak dalam memutuskan masalah-masalah ijtihadiyah yang memungkinkan timbulnya banyak pendapat dan pemikiran, dan memang manusia dikondisikan berbeda-beda pandangan dalam hal ini.
Sesungguhnya logika dan syara’, dan fakta mengisyaratkan bahwa harus ada sesuatu yang dipandang kuat. Sedangkan yang dipandang kuat pada waktu terjadi perbedaan pendapat ialah yang mendapatkan suara dan dukungan terbanyak, karena hasil pemikiran dua orang itu lebih dekat kepada kebenaran daripada hasil pemikiran seorang, dan dalam suatu hadits dikatakan: “ Sesungguhnya setan itu bersama yang seorang, sedangkan terhadap dua orang dia lebih jauh “(HR Turmudzi dalam al-Fitan, Hadits Hasan Sahih Gharib).
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa yang harus dikuatkan adalah yang benar—meskipun tidak ada seorang pun yang mendukungnya—dan yang salah harus ditolak meskipun mendapat dukungan 99% suara maka pendapat ini hanya berlaku untuk hal-hal yang sudah dinashkan secara syara’ secara sah dan sharih yang tidak dapat dipertentangkan serta diperselisihkan lagi meski yang demikian sedikit jumlahnya. Maka menurut Yusuf al-Qaradhawi untuk hal ini diterapkanlah pernyataan:
“Jama’ah itu ialah yang sesuai dengn kebenaran, meskipun Anda hanya seorang diri.
Adapun masalah-masalah Ijtihadiyah yang tidak ada nashnya, atau ada nashnya tetapi mengandung banyak kemungkinan penafsiran, atau terdapat nash lain yang menentangnya—yang kekuatannya sama dengan nash itu atau lebih kuat, sedangkan untuk menguatkan salah satu tidak ada—maka pengambilan suara merupakan jalan pemecahan yang sudah dikenal manusia dan diterima oleh para cendekiawan yang di antaranya adalah kaum muslim. Juga tidak terdapat larangan syara’ bahkan terdapat nash-nash dan yurisprudensi yang mendukungnya (Yusuf Al-Qaradhawi, 1995:937).
Maka dalam lapangan syura, hal yang sudah qath’I dan pasti menjadi suatu hal yang mutlak tidak bisa dimusyawarahkan, sehingga tidak ada pemungutan suara sekalipun di sini. Sehingga syura tanpa pemungutan suara atau dengannya dalam masalah ijtihadiyah itu Insya Alloh tidak ada kebathilan yang keluarnya. (Untuk lebih jelasnya baca buku karangan Dr. Yusuf Al-Qaradhawy: Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2 hal 915-941, dan Fiqih Daulah dalam Perspektif Alqur’an dan Sunnah hal 181-205).
Sehingga kaitannya dengan demokrasi pada saat ini, pada dasarnya Islam telah mengatur sedemikian rupa masalah ini dengan suatu sistem yang bernama Syura. Di mana sistem tersebut meletakkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai patokan utama dan sumber hukum yang tertinggi. Sehingga demokrasi dalam Islam adalah demokrasi yang berlandaskan 2 wasi’at tersebut. Sebagaimana diuraikan Ustadz Abbas al-Aqqad dalam kitab yang berjudul ad-Dimuqrathiyyah al-Islamiyyah (demokrasi Islam).
Sehingga bagi mereka yang mengecam Islam tidak mempunyai akar demokrasi, sesungguhnya semuanya telah di atur secara lengkap dan sempurna dalam Islam dengan Syura. Dan sesungguhnya siapa saja dari jama’ah Islam yang menganggap bahwa demokrasi merupakan bagian dari kekufuran atau kemungkaran maka sesungguhnya bisa saja kita katakan bahwa Syura Islam serupa dengan ruh demokrasi atau substansi demokrasi serupa dengan ruh Syura Islam.
Yusuf al_Qaradhawi pun mengatakan Substansi demokrasi adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka (Yusuf Al-Qaradhawi, 1997: 184). Inilah substansi yang hakiki dari demokrasi, seperti pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan mayoritas, multipartai politik, hak minoritas yang bertentangan kebebasan pers, dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan dan lainnya. Apakah demokrasi dengan substansi yang disebutkan di atas tadi bertentangan dengan Islam?
Tentu saja mereka tidak mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Dan kita akan melihat bahwa justru ini berasal dari Islam, Islam menolak seseorang menjadi Imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang makmum di belakangnya. Di dalam hadits disebutkan, “Tiga golongan yang shalatnya tidak bisa naik di atas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal…” lalu beliau menyebutkan yang pertama di antaranya, “Seseorang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya. (diriwayatkan Ibnu Majah).
Jika dalam shalat saja urusannya seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai urusan kehidupan yang lain dan politik? Tentu Islam telah mengaturnya sedemikian rupa.
Dan perlu ditegaskan di sini bahwa demokrasi yang diterapkan oleh AS itulah yang perlu dilawan, karena sesungguhnya demokrasi bermuka dua bukanlah demokrasi sesungguhnya. Dan bagi mereka yang menuhankan demokrasi sebagai satu-satunya jalan pemecah krisis kemanusiaan lebih spesifik lagi krisis multidimensional di Indonesia, ingatlah sesungguhnya demokrasi tanpa syura hanya akan menjerumuskan kita lebih dalam lagi ke jurang krisis itu.
Saya kembali ingat tanggapan Rizal Malarangeng di medio Nopember pada salah satu talk show tentang sekelompok orang yang menurutnya menggunakan dalih agama untuk melakukan aksi ‘terorisme’ di Bali, tambahnya lagi: tidak ada tempat dan kesempatan bagi Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi dkk di alam demokrasi ini, dan demokrasi harus melawan orang-orang seperti mereka. Kini beranikah ia untuk mengatakan bahwa demokrasi pun harus bersama-sama melawan AS dan tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada AS untuk menggunakan jalan kekerasan? Tidak, berarti ia pun bermuka dua, karena ia tidak berani sedikitpun untuk menyetujui langkah-langkah pemboikotan produk AS bahkan sampai berani mengatakan bahwa langkah tersebut emosional dan sia-sia, sekarang mana langkah perlawanannya…? Tidak ada karena ia bukan siapa-siapa, karena ia hanya seorang ‘doktor’ lulusan AS, ia hanya peneliti di CSIS, dan ia hanya seorang Islam Liberal.
Sekarang saatnya bagi kita umat Islam untuk melawan demokrasi AS dengan syuro. Sekecil apapun perlawanan itu Insya Alloh akan bernilai. Itu saja. Yang benar datangnya dari Alloh semata, dan yang salah datang dari pribadi saya sendiri. Allohu’alam.

Maraji’:
1. Al-qur’anul Kariim;
2. Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, Yusuf Al-Qaradhawy, Pustaka Al-Kautsar, 1997
3. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2, Yusuf Al-Qaradhawy, Gema Insani Press, 1995;
4. Ensiklopedi Islam 5, PT Icktiar Baru van Hoeve, 1997;
5. Memilih Partai Islam: Visi, Misi, dan Persepsi, Gema Insani Press, 1998;
6. Ensiklopedi Keluarga A-Z, PT Cipta Mitra Sanadi, 1991;
7. Sabili 19/X/2003;
8. Sabili 20/X/2003;
9. Republika 8 April 2003;
10. Kompas 1 April 2003.

DEMOKRASI BERMUKA DUA vis a vis SYURA

Dunia kini telah melihat secara nyata betapa harga dari sebuah demokrasi di bayar mahal dengan kehancuran peradaban dan hilangnya ribuan nyawa akibat perang yang dipaksakan Amerika Serikat (AS) kepada Irak sebagai suatu bangsa dan pemerintahan yang sah.
Dunia pun menjadi mafhum bahwa AS yang mengklaim diri sebagai bangsa dan negeri kampiun demokrasi dan HAM ternyata memaknai sebuah demokrasi sebagai kedok belaka dari wajah buruk berupa kepentingan nasionalnya. Ralph L Boyce—duta besar AS untuk Indonesia—pun mengakui perang ini semata-mata berdasarkan national interest Amerika (Sabili X/2003). Hatta mengingkari makna demokrasi itu dengan tetap mengabaikan PBB sebagai pemegang otoritas dan suara terbanyak masyarakat dunia sampai tetap memaksakan bentuk ekstrim dari ademokrasi berupa kekerasan (perang) sebagai jalan keluar. Padahal Henry B Mayo dan Robert A Dahl selalu menyatakan bahwa nilai demokrasi yang asasi dan asali adalah meminimalisir penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan segala sesuatu (Moch Eksan, 2003).
Dengan demokrasi yang dilandaskan pada kepentingan nasionalnya dan dipaksakan kepada Irak sebagai bagian dari masyarakat dunia yang berdaulat, maka AS—yang menurut Collin Powell juga disebut sebagai old-democration—pun memunculkan suatu ambigu, yakni AS tetap menginginkan proses demokrasi diterapkan dengan baik di Irak tetapi di lain sisi AS membiarkan sistem monarki dan otokrasi berjalan dengan semestinya di sebagian negara di Timur Tengah, serta membiarkan kekejaman yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Ambigu demokrasi AS berdasarkan catatan sejarah diterapkan dengan memakai standar ganda, semisal FIS sebagai representasi partai Muslim di Aljazair yang memenangkan pemilu dibatalkan begitu saja kemenangannya oleh rezim militer di sana, dilarang, serta dibubarkan sebagai sebuah partai. Amerika diam saja tidak berbuat apapun karena ada dua hal yakni tak ada kepentingan di sana dan pemenang pemilu tersebut berlabel Islam.
Tidak ada yang aneh di sini karena R James Woosley—mantan Direktur CIA di era Clinton dan sebagai salah satu pengaju proposal penyerangan AS ke Irak—menegaskan demikian, bahwa kalau ada di AS sendiri partai Islam dan memenangkan pemilu hari ini, maka esoknya pemilu harus diulang kembali (Republika, 8 April 2003).
Hal paling sarkas dan berusaha untuk dipahami sebagai suatu kewajaran tampak di sebuah lembaga besar bernama PBB, dengan adanya hak veto yang dipakai oleh lima negara pemenang PD II (AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina) di Dewan Keamanan. Suara mayoritas tidak akan keluar menjadi suatu keputusan bulat dan politis kalau ada hak veto yang dikeluarkan oleh satu saja negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB tersebut. Dalam hal ini AS sering memveto resolusi yang merugikan Israel sebagai sekutu terdekatnya.
Dengan penerapan demokrasi yang ambigu tersebut maka Paul Trenon menyatakan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang ideal untuk mengusahakan kesejahteraan. Di dalamnya penuh kebohongan yang menyeret negara-negara yang tidak punya akar tradisi demokrasi pada kesenjangan hidup.
Maka wajar pula timbul pemikiran dari sebagian Muslim yang menolak sistem demokrasi ini dengan argumen bahwa demokrasi adalah mabda’ (prinsip) impor dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, karena ia ditegakkan pada keputusan suara terbanyak dan dianggap sebagai kebenaran di dalam menegakkan pemerintahan, memperlakukan urusan, dan menguatkan salah satu perkara yang diperselisihkan. Jadi jumlah suara dalam demokrasi menjadi hukum dan rujukan. Maka apa pun pendapat atau gagasan yang mendapatkan dukungan suara terbanyak secara mutlak maupun secara terikat pada suatu waktu, pendapat atau pemikiran itulah yang harus dilaksanakan, meskipun salah atau batil.
Sebelumnya perlu ditegaskan di sini bahwa Islam adalah agama yang syumul sehingga tidak ada suatu sistem hidup yang tidak di atur dalam Islam. Dalam hal penyelesaian masalah-masalah sosial, politik, dan pemerintahan maka Islam menjadikan Syura sebagai suatu prinsip utama. Al-Qur’an menguraikannya dalam Al-Baqoroh:233, Asy-Syu’ara:38, dan Ali ‘Imron: 159. Syura atau permusyawaratan adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. (Ensiklopedi Islam 5: 19).
Al-Qurthubi, seorang mufasir yang menukil dari Ibnu Atiyah, menulis: “Musyawarah adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barangsiapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengn ahli ilmu dan agama (ulama) haruslah ia dipecat”. (Ensiklopedi Islam 5: 19).
Namun mengenai bentuk pelaksanaan Syura, tidak ada nas yang menjelaskannya. Nabi SAW yang telah melembagakan dan membudayakan syura karena ia gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya, tidak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Karena itu bentuk pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.
Namun di sini perlu ditegaskan bahwa objek dari syura’ adalah selain dari ketetapan-ketetapan syari’at yang sudah kongkrit dan dasar-dasar agama serta hal-hal yang sudah diketahui secara pasti. Sehingga dengan ini syura pun memerlukan suara terbanyak dalam memutuskan masalah-masalah ijtihadiyah yang memungkinkan timbulnya banyak pendapat dan pemikiran, dan memang manusia dikondisikan berbeda-beda pandangan dalam hal ini.
Sesungguhnya logika dan syara’, dan fakta mengisyaratkan bahwa harus ada sesuatu yang dipandang kuat. Sedangkan yang dipandang kuat pada waktu terjadi perbedaan pendapat ialah yang mendapatkan suara dan dukungan terbanyak, karena hasil pemikiran dua orang itu lebih dekat kepada kebenaran daripada hasil pemikiran seorang, dan dalam suatu hadits dikatakan: “ Sesungguhnya setan itu bersama yang seorang, sedangkan terhadap dua orang dia lebih jauh “(HR Turmudzi dalam al-Fitan, Hadits Hasan Sahih Gharib).
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa yang harus dikuatkan adalah yang benar—meskipun tidak ada seorang pun yang mendukungnya—dan yang salah harus ditolak meskipun mendapat dukungan 99% suara maka pendapat ini hanya berlaku untuk hal-hal yang sudah dinashkan secara syara’ secara sah dan sharih yang tidak dapat dipertentangkan serta diperselisihkan lagi meski yang demikian sedikit jumlahnya. Maka menurut Yusuf al-Qaradhawi untuk hal ini diterapkanlah pernyataan:
“Jama’ah itu ialah yang sesuai dengan kebenaran, meskipun Anda hanya seorang diri.
Adapun masalah-masalah Ijtihadiyah yang tidak ada nashnya, atau ada nashnya tetapi mengandung banyak kemungkinan penafsiran, atau terdapat nash lain yang menentangnya—yang kekuatannya sama dengan nash itu atau lebih kuat, sedangkan untuk menguatkan salah satu tidak ada—maka pengambilan suara merupakan jalan pemecahan yang sudah dikenal manusia dan diterima oleh para cendekiawan yang di antaranya adalah kaum muslim. Juga tidak terdapat larangan syara’ bahkan terdapat nash-nash dan yurisprudensi yang mendukungnya (Yusuf Al-Qaradhawi, 1995:937).
Maka dalam lapangan syura, hal yang sudah qath’I dan pasti menjadi suatu hal yang mutlak tidak bisa dimusyawarahkan, sehingga tidak ada pemungutan suara sekalipun di sini. Sehingga syura tanpa pemungutan suara atau dengannya dalam masalah ijtihadiyah itu Insya Alloh tidak ada kebathilan yang keluarnya. (Untuk lebih jelasnya baca buku karangan Dr. Yusuf Al-Qaradhawy: Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2 hal 915-941, dan Fiqih Daulah dalam Perspektif Alqur’an dan Sunnah hal 181-205).
Sehingga kaitannya dengan demokrasi pada saat ini, pada dasarnya Islam telah mengatur sedemikian rupa masalah ini dengan suatu sistem yang bernama Syura. Di mana sistem tersebut meletakkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai patokan utama dan sumber hukum yang tertinggi. Sehingga demokrasi dalam Islam adalah demokrasi yang berlandaskan 2 wasi’at tersebut. Sebagaimana diuraikan Ustadz Abbas al-Aqqad dalam kitab yang berjudul ad-Dimuqrathiyyah al-Islamiyyah (demokrasi Islam).
Sehingga bagi mereka yang mengecam Islam tidak mempunyai akar demokrasi, sesungguhnya semuanya telah di atur secara lengkap dan sempurna dalam Islam dengan Syura. Dan sesungguhnya siapa saja dari jama’ah Islam yang menganggap bahwa demokrasi merupakan bagian dari kekufuran atau kemungkaran maka sesungguhnya bisa saja kita katakan bahwa Syura Islam serupa dengan ruh demokrasi atau substansi demokrasi serupa dengan ruh Syura Islam.
Yusuf al_Qaradhawi pun mengatakan Substansi demokrasi adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka (Yusuf Al-Qaradhawi, 1997: 184). Inilah substansi yang hakiki dari demokrasi, seperti pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan mayoritas, multipartai politik, hak minoritas yang bertentangan kebebasan pers, dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan dan lainnya. Apakah demokrasi dengan substansi yang disebutkan di atas tadi bertentangan dengan Islam?
Tentu saja mereka tidak mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Dan kita akan melihat bahwa justru ini berasal dari Islam, Islam menolak seseorang menjadi Imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang makmum di belakangnya. Di dalam hadits disebutkan, “Tiga golongan yang shalatnya tidak bisa naik di atas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal…” lalu beliau menyebutkan yang pertama di antaranya, “Seseorang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya. (diriwayatkan Ibnu Majah).
Jika dalam shalat saja urusannya seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai urusan kehidupan yang lain dan politik? Tentu Islam telah mengaturnya sedemikian rupa.
Dan perlu ditegaskan di sini bahwa demokrasi yang diterapkan oleh AS itulah yang perlu dilawan, karena sesungguhnya demokrasi bermuka dua bukanlah demokrasi sesungguhnya. Dan bagi mereka yang menuhankan demokrasi sebagai satu-satunya jalan pemecah krisis kemanusiaan lebih spesifik lagi krisis multidimensional di Indonesia, ingatlah sesungguhnya demokrasi tanpa syura hanya akan menjerumuskan kita lebih dalam lagi ke jurang krisis itu.
Saya kembali ingat tanggapan Rizal Malarangeng di medio Nopember pada salah satu talk show tentang sekelompok orang yang menurutnya menggunakan dalih agama untuk melakukan aksi ‘terorisme’ di Bali, tambahnya lagi: tidak ada tempat dan kesempatan bagi Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi dkk di alam demokrasi ini, dan demokrasi harus melawan orang-orang seperti mereka. Kini beranikah ia untuk mengatakan bahwa demokrasi pun harus bersama-sama melawan AS dan tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada AS untuk menggunakan jalan kekerasan? Tidak, berarti ia pun bermuka dua, karena ia tidak berani sedikitpun untuk menyetujui langkah-langkah pemboikotan produk AS bahkan sampai berani mengatakan bahwa langkah tersebut emosional dan sia-sia, sekarang mana langkah perlawanannya…? Tidak ada karena ia bukan siapa-siapa, karena ia hanya seorang ‘doktor’ lulusan AS, ia hanya peneliti di CSIS, dan ia hanya seorang Islam Liberal.
Sekarang saatnya bagi kita umat Islam untuk melawan demokrasi AS dengan syuro. Sekecil apapun perlawanan itu Insya Alloh akan bernilai. Itu saja. Yang benar datangnya dari Alloh semata, dan yang salah datang dari pribadi saya sendiri. Allohu’alam.

Maraji’:
1. Al-qur’anul Kariim;
2. Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, Yusuf Al-Qaradhawy, Pustaka Al-Kautsar, 1997;
3. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2, Yusuf Al-Qaradhawy, Gema Insani Press, 1995;
4. Ensiklopedi Islam 5, PT Icktiar Baru van Hoeve, 1997;
5. Memilih Partai Islam: Visi, Misi, dan Persepsi, Gema Insani Press, 1998;
6. Ensiklopedi Keluarga A-Z, PT Cipta Mitra Sanadi, 1991;
7. Sabili 19/X/2003;
8. Sabili 20/X/2003;
9. Republika 8 April 2003;
10. Kompas 1 April 2003.

dedaunan di ranting cemara
di antara dua tahun lampau
2003

Lontar dari Kadipaten Depok


lontar dari Kadipaten Depok

:buat Mapatih Gajahmada

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang tuan yang bukanlah tuan
kalaulah belum tahlukkan negeri Sunda
satu negeri yang akan membuat tuan
akhiri sumpah palapamu
memulai nikmatnya dunia tidak sebatas mutih

Mapatih, haturkan hamba berkidung
tentang sebuah kidung Sundayana
melarut dalam berlonta-lontar Negarakertagama
yang belum sempat terbaca olehTuan
kerana Prapanca membuat titiknya
saat tuan telah tiada kekal

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang Diah Pitaloka Citaresmi puteri Sri Maharaja
yang datang membawa bangga ke hadapanmu tuan
tanpa ribuan pedang, tombak, perisai,
bahkan genderang tambur

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang tuan yang bukanlah tuan kalaulah tuan
bersikeras cantiknya adalah hadiah
dan tetaplah hadiah
jikalau ia bukan hadiah
maka pastilah pinangan buat Tuannya Tuan

Mapatih haturkan hamba bercerita
tentang jikalau ia bukan hadiah
maka tak ada Bubat yang memerah darah
maka tak ada Maharaja yang berkalang tanah
maka tak ada Diah yang berkeris di dada

Mapatih haturkan hamba bercerita
tentang kepedihan hati
Tuannya Tuan Sri Rajasanagara
merenggut selendang cantik tak bertuan lagi
hingga akhir hayat memendamnya di Tayung, Brebek,
tempat hamba memungut nafas pertama hamba

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang dendam yang turun temurun
hingga hamba tak sanggup menegakkan muka
di tatar sunda yang telah tuan curangi
yang telah tuan kangkangi

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang membawa bala dari tuan
tentang hamba adalah putera
para piningit Sitinggil Binaturata
bahkan sebelumnya:Singhasari dan Kadiri

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang menjadi tumbal keserakahan tuan
hingga hamba terbalut kain jijik
dari mata-mata penerus tatar Sunda
hingga hamba tak layak untuk menjadi Adipati mereka

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang selalu bertanya
seberapa menyakitkan perbuatan tuan
hingga sampai merasuk dalam
pada alam bawah sadar mereka
hingga menggendam pada banyak anak pinak
bahwa hamba adalah bagian Tuan
bagian pusaka jaya masa lalu

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang selalu bertanya
dapatkah hamba menyalahkan tuan
karena hamba mengalami ketidakadilan
yang pernah menimpa mereka 648 tahun lampau

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang kini tak layak dan tak sepatutnya
menyilih angkaramu kerana hamba
adalah milik Sang Maha Pemilik jiwa Tuan
maka hamba pun sudah sepatutnya berjuang
dengan sepenuh tenaga hamba
layaknya mereka menghadapi Tuan

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang memastikan kisah
tak ada maharaja berkalang tanah
tak ada diah berkeris di dada
tak ada selendang beramis cempaka
kerana tahta sebenarnya bukanlah begitu rupa
hakikinya adalah ia berdiri tegak
di atas keadilan yang nyata

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang bahwa ini adalah sekadar kepedihan hati hamba
bahwa hamba menulis di lontar terakhir ini
semoga Tuan sempat membaca
di sela-sela kesibukan tuan
di sana

dari hamba:
Bhre Noermahmudi
Depok, Minggu Legi 03 Rejeb 1938

dedaunan di ranting cemara
di antara istighosah Kubro—bukan Qubro
22:08 Ahad, 07 Agustus 2005