Sensasi Borneo


Setelah merasakan sensasi yang ternyata biasa-biasa saja saat pertama kali naik pesawat dari Jakarta menuju Palangkaraya, juga dengan Cassa dari Palangkaraya menuju Puruk Cahu, saya benar-benar merinding–kalau tidak mau dikatakan takut–saat menaiki pesawat kecil bermesin ganda dari Puruk Cahu menuju Balikpapan.

Pesawat carteran jenis Twin Otter yang disewa oleh perusahaan pertambangan emas untuk pengangkutan karyawannya ini hanya dapat memuat 15 penumpang saja. Dengan bobot keseluruhan–termasuk barang-barang yang dibawa–maksimal 1500 kg. Lebih dari itu, maaf saja salah seorang penumpang harus dikorbankan untuk terbang di hari lain.
Baca Lebih Lanjut

BROTOSENO, PAK POLISI, DAN MEREKA


BROTOSENO, PAK POLISI, DAN MEREKA

http://sosok.kompasiana.com/2011/12/30/brotoseno-pak-polisi-dan-mereka/

 

Sesaat menunggu iqamat ashar di Masjid Shalahuddin terdengar suara panggilan dari belakang, “Mas, sehat Mas?” Belum sempat menjawab, teman saya ini berkata lagi, “Mas, kata teman saya waktu ngeliat fotonya Broto, langsung bilang kalau wajah polisi itu mirip sama Mas Riza.” Saya langsung cengengesan sambil membayangkan foto Angie lagi berdua sama Kompol Brotoseno yang sedang hangat di portal berita (29/12).

    Mirip gimana? Mirip apanya dengan teman dekat politisi Partai Demokrat itu? Jauh be-eng.Terlalu narsis kalau bilang saya lebih ganteng daripada Polisi perwira itu. Terlalu rendah diri kalau saya berkata sebaliknya. Lihat saja foto di bawah ini, masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya. Yang pasti saya bukan orang yang berada di samping Angie.

    Ingat Brotoseno jadi ingat kejadian waktu di Madinah. Waktu itu sepulang dari shalat Isya di Masjid Nabawi. Saya sendirian bergegas menuju hotel yang jaraknya tak jauh dari masjid. Kurang 100 meter dari hotel tiba-tiba saya disapa oleh dua orang ibu-ibu yang ternyata sedang tersesat. Mereka tak tahu jalan pulang ke hotel mereka. Logat yang kental mengisyaratkan mereka berasal dari daerah Jawa Timur.

    Mereka minta tolong untuk diantarkan ke hotel. Tapi sayangnya ketika saya tanya nama hotelnya mereka tak tahu. Saya minta kepada salah satu dari ibu-ibu itu untuk kembali mengingat jalan pada waktu mereka berangkat. Mereka menyerah. Ya sudah saya jalan pelan-pelan dengan mereka untuk sama-sama mencari hotel itu. Saya tak jadi pulang segera.

    Di saat itu, di saat saya sedang bertanya arah kepada orang-orang, tiba-tiba muncul sosok laki-laki separuh baya dan tampak muda, berbaju gamis warna putih dengan peci warna senada memotong pembicaraan kami. “Tersesat ya Bu? Tenang saja Bu. Ada saya. Saya antar ke maktabnya. Maktab ibu nomor berapa?”

    Kewaspadaan saya langsung jalan, ini kok orang baik banget tiba-tiba langsung menawarkan diri dan main tembak mau antar segala. Apalagi dia bilang tentang maktab, padahal sepengetahuansaya kalau istilah maktab itu adanya di Mekkah, bukan di Madinah. Kalau di Madinah jamaah haji Indonesia tidak dibagi berdasarkan maktab tetapi sektor oleh muassasah. Saya terus terang curiga dan langsung bertanya padanya tanpa tedeng aling-aling, “Tunggu dulu Pak, Bapak ini siapa?”

    “Saya petugas. Di sini saya sudah biasa nganterin orang tersesat,” jawabnya. Dia panjang lebar menjelaskan siapa dirinya dan tentu tidak lupa menyebutkan namanya. Tapi saya lupa dialog tepatnya. Bukan penjelasan itu yang membuat saya tiba-tiba langsung percaya. Dia bilang kalau dia adalah polisi, maksudnya anggota Kepolisian Republik Indonesia yang sedang berhaji. Beneran, saya langsung percaya begitu. Makanya saya memutuskan untuk menitipkan mereka kepada Pak Polisi, “Bu, saya tinggal ya Bu, Ini bapak Polisi. Bapak ini yang akan nganterin ibu ke petugas haji Indonesia.”

    Ibu-ibu itu bukannya senang karena mau ditolong sama Pak Polisi, malah ketakutan dan langsung memegang tangan saya, sambil berbisik pakai bahasa Jawa, terjemahannya begini, “Sudah Mas, saya pokoknya ikut sama kamu saja. Saya takut. Saya takut sama orang Arab.” Hehehehe, kebetulan memang Pak Polisi itu punya wajah Arab. Polisi itu pasrah saja dia dicurigain sama bangsa sendiri. Saya pikir dia jadi korban stigmatisasi yang selama ini diceritakan kepada para jamaah Haji Indonesia tentang orang Arab, yang entah dari mana sumber asal kisah itu.

    Akhirnya saya mengambil jalan tengah dengan mengikuti bapak Polisi itu ke Pos Sektor. Nanti dari sana ibu-ibu itu akan diantar ke hotel oleh petugas haji yang bertugas di sana. Sepanjang perjalanan menuju Pos, Pak Polisi geleng-geleng kepala saja mengingat sampai detik itu mereka tak benar-benar percaya sama dia. Salah satu ibu itu memegang erat ikat pinggang saya. Benar-benar ketakutan dan was-was kalau-kalau saya meninggalkan mereka. Padahal saya tak henti-hentinya juga meminta supaya ibu-ibu itu percaya sama Pak Polisi.

“Kenapa Ibu kok percayanya sama saya, padahal ibu enggak kenal saya?” tanya saya. “Sampeyan kan pakai batik, wislah pokoke aku percaya,” jawabnya. Kebetulan memang pada saat itu saya memakai batik seragam jamaah haji Indonesia. Ibu yang satunya lagi tercecer di belakang sambil mencari-cari wajah dari banyak orang yang sedang lalu lalang. Mungkin ada yang dikenal. Tapi ia gagal, sampai Pak Polisi itu sedikit jengkel dan setengah berteriak, “Sudah Ibu, percaya saja sama saya!”

    Menuju hotel tempat pos sektor itu berada, saya sempatkan berbincang-bincang dengan Pak Polisi. Ternyata ia seorang ajun komisaris polisi (waktu itu dia bilangnya kapten) yang sedang bertugas di daerah Kalimantan. Jabatannya saya lupa, antara kasatserse atau kasat intel. Dan memang betul, ini yang ia yang sadari, kalau ia punya garis keturunan Arab Tanah abang.

Obrolan kami terputus karena kami sudah sampai di depan hotel tempat pos sektor itu berada. Lobi hotel penuh dengan orang Turki. Kami naik ke mezanin hotel dan benar di sana ada bendera Indonesia dan spanduk tanda pos sektor. Yang jauh melegakan adalah tampak pula seorang petugas haji yang sedang jaga di sana. Kata Pak Polisi yang mengantar kami, petugas haji itu juga seorang polisi.

Mengetahui mereka telah diantar ke pos sektor dan ketemu sama petugas haji yang memakai baju biru, ibu-ibu mengucapkan terima kasih dan minta maaf sama Pak Polisi karena telah curiga berat.

Kemudian sudah saatnya Pak Polisi itu pergi dan meninggalkan kami. Selanjutnya petugas haji itu yang akan mengantar ibu-ibu itu ke hotel mereka yang ternyata dekat dengan pos sektor. Anehnya lagi, ketika saya mau meninggalkan mereka, mereka tetap bersikeras supaya saya tetap menemani mereka hingga ke hotel. Aduhai, mereka juga masih tak percaya sama Pak Petugas Haji.

Tidak sampai 100 meter dari pos sektor, kami telah tiba. Barulah terlihat wajah mereka dihiasi senyuman. Ada kelegaan yang tampak. Saya turut senang juga. Sebelum berpisah, saya minta izin memfoto mereka sambil berpesan, “ingat-ingat jalan, ta iye.”

*Ibu Siah dan Ibu Ramiah di depan hotel (26/11).

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

    00.19 30 Desember 2011

Tags: kalimantan, akp, brotoseno, angie, angelina sondakh, masjid shalahuddin, madinah, kompol, haji

 

PNS, CPNS, DAN MALINDA DEE


PNS, CPNS, DAN MALINDA DEE

 

Dua kali mengetes kejujuran para kondektur Metromini 640 Jurusan Tanah Abang Pasar Minggu, hasilnya kurang memuaskan. Caranya? Diam-diam saya membayari ongkos Metromini teman satu instansi saya, walau tidak kenal. Saya memberi uang 4000 perak kepada kondektur untuk ongkos angkut saya dan teman yang ada di depan. Saya tunjuk dari belakang seorang perempuan berjilbab. Saya yakini betul kondektur itu untuk tidak menagih lagi ongkos padanya.

    Kondektur melewati teman saya walau ia sudah menyodorkan uangnya. Dan ketika sudah sampai ke tujuan dan ia hendak turun, teman saya itu kembali menyerahkan uang dua ribuannya kepada kondektur. Kondektur itu melihat dulu ke arah saya, karena dia tahu saya mengawasinya, ia cuma bilang “sudah dibayari sama yang di belakang.” Teman saya bingung siapa lagi yang bayari dia. Saya pura-pura melihat ke arah lain. Apa coba yang terjadi kalau saya tidak memelototi kondektur itu?

    Hari yang lain juga sama. Untuk ini saya serahkan uang enam ribu rupiah kepada kondektur buat dua orang teman saya yang ada di depan, tentu tanpa sepengetahuan mereka. Kondektur melewati mereka. Namun karena dua teman saya itu tak tahu ada yang membayari mereka maka pada saat turun mereka tetap menyerahkan uangnya kepada kondektur. Kondektur itu menerimanya walau tahu mereka sudah dibayari saya. Seharusnya kondektur itu bilang, “ada yang bayarin.” Apa susahnya?

    Dua orang kondektur itu bagi saya masih diragukan kejujurannya. Tapi eksperimen saya masih sumir karena mengambil sampel yang cuma sedikit. Yang membanggakan adalah teman-teman saya dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini, integritas mereka teruji sudah. Merasa belum bayar, mereka tidak langsung menyimpan uangnya kembali ke saku, memanfaatkan kesempatan lupanya kondektur untuk mengirit dua ribu perak, tetapi membiarkan uang itu tetap dipegang di tangannya dan akan diserahkannya pada saat turun nanti.

    Akan ada yang berpikir begini bahwa mereka—teman-teman saya ini—belum teruji karena cuma disodorkan kesempatan “menilap” uang recehan yang tidak bernilai itu. Kalau uang milyaran di depan mata, siapa tak akan mau? Sebenarnya jawabannya mudah. Kalau yang kecil saja tidak bisa ditolak bagaimana mungkin akan menolak yang bernilai besar? Semua itu dimulai dari hal-hal yang kecil. Hari itu saya bangga mempunyai teman seperti mereka.

Di kesempatan lain, ada teman yang pernah menjadi calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah Kalimantan namun meninggalkan kesempatan besar untuk menjadi PNS itu hanya karena banyak hal yang bertentangan dengan idealismenya. Saya ingin menceritakannya sepintas.

Seperti kita ketahui bersama, begitu banyak orang terpikat untuk menjadi PNS, oleh karenanya saat lowongan penerimaan PNS dibuka, ribuan orang turut serta berbondong-bondong untuk mendaftarkan diri. Bagi yang tak mau capek dan ingin hasil yang instan, segala cara bisa dipakai. Mulai dari menggunakan jalur koneksi, dukun, sampai sogok menyogok. Seringkali pada akhirnya mereka hanya menjadi korban penipuan saja.

    Tak masalah jika dari hasil seleksi itu yang diterima adalah mereka yang benar-benar berkualitas. Masalahnya adalah jika mereka yang tak mau capek dan memakai segala cara itu ternyata ikut diterima juga. Lalu akan jadi birokrat seperti apa mereka? Pun, apakah mereka yang diterima dengan cara yang benar dijamin akan menjadi seorang birokrat yang mampu memegang idealismenya? Tentu ini tergantung antara lain dari budaya yang ada di tempat kerjanya, keteladanan para seniornya, dan komitmen para pemangku kepentingan utama untuk menjalankan good corporate governance.

    Ceritanya, teman saya ini diterima sebagai CPNS dengan cara yang jujur dan langsung ditempatkan di salah satu dinas di sana ketika lulus. Hanya empat bulan dia bertahan dengan suasana yang penuh ujian terhadap integritasnya. Mulai dari disuruh me-markup laporan pertanggungjawaban, lembur dan rapat fiktif, menerima uang tidak jelas sebesar 50 ribu sampai 100 ribu rupiah sehari, atau sekadar dicatut namanya pada kegiatan tertentu lalu ia tinggal menikmati hasilnya. Ia protes atas semua itu.

    Ia yang sudah diajarkan tentang nilai idealisme dan menyampaikan kebenaran walau pahit sejak kecil, merasa menjadi PNS bukan dunianya lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya, keluar dari menjadi Calon PNS. Dengan meninggalkan kesempatan untuk menjadi PNS, gaji Rp3,5 juta waktu itu dan akan bertambah besar, serta mendapatkan jaminan pensiun kelak. Dan ia bersedia untuk membayar Rp10 juta untuk pengunduran dirinya. Sekarang ia hanya menjadi seorang guru SDIT saja. Mendengar ceritanya, hari itu saya bangga mempunyai teman sepertinya.

    Dua cerita ini menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan saya sendiri pada saat diskusi di dalam bus yang membawa kami pulang dari Pengadilan Pajak. Masih adakah orang jujur untuk melanjutkan reformasi birokrasi yang dirasa berjalan lambat ini dan karena adanya peristiwa-peristiwa yang mencederai semangat reformasi itu? Faktanya ada. Masih banyak orang jujur. Tidak hanya di DJP, di luar DJP juga tidaklah sedikit.

Begitu pula potensi korupsi dan orang-orang yang tidak jujur tidak hanya ada pada instansi pemerintah, tetapi juga pada instansi swasta yang profesional dan kredibel, seperti Citibank misalnya. Sebagaimana sudah diketahui kalau Citibank ini adalah bank terkenal, mendunia, disebut juga sebagai universitas perbankan, mempunyai kultur kerja yang baku, nilai-nilai yang sudah inheren, sistem perbankan yang canggih dan modern. Tetapi sebutan itu tak berdaya di hadapan seorang Malinda Dee yang disangka telah membobol lebih dari Rp17 milyar selama 3 tahun.

Malinda diuntungkan karena tempatnya bekerja. Dia tidak langsung disebut sebagai seorang koruptor ketika menyelewengkan uang nasabah, cuma penggelap. Beda dengan teman-teman saya di atas jika tidak melakukan perbuatan tidak jujur itu. Stigma koruptor langsung melekat. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring disebutkan pelaku yang menyelewengkan uang Negara atau perusahaan adalah koruptor.

Jarang pengamat yang menyalahkan sistem perbankkannya yang bobrok, semuanya mengarah pada niat dan kesempatan terbuka yang dimanfaatkan oleh Malinda. Tidaklah sama dengan yang diterima institusi pemerintahan seperti DJP yang berusaha untuk menjadikan sistem pelayanannya diterima masyarakat dengan baik. Seberapa bagusnya sistem tersebut, selain orang yang disalahkan maka sistemnya pun menjadi ajang terbuka untuk dihujat. Inilah risiko ketika reformasi birokrasi dimulai dari sebuah awal yang buruk berupa stigma masa lalu: birokrasi korup.

Pada akhirnya teman-teman saya di atas, PNS dan CPNS itu, terbukti lebih bersahajanya daripada Malinda Dee ketika kesempatan itu terbuka di depan mata.

 

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

4.32 04 april 2011

 

Tags: citibank, kejahatan perbankan, integritas, jujur, kalimantan, kbbi, Malinda dee

Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2011/04/05/pns-cpns-dan-malinda-dee/

 

 

Twin Otter (Sensasi Borneo)


28.12.2005 – Twin Otter (Sensasi Borneo)

Setelah merasakan sensasi yang ternyata biasa-biasa saja saat pertama kali naik pesawat dari Jakarta menuju Palangkaraya, juga dengan Cassa dari Palangkaraya menuju Puruk Cahu, saya benar-benar merinding–kalau tidak mau dikatakan takut–saat menaiki pesawat kecil bermesin ganda dari Puruk Cahu menuju Balikpapan.
Pesawat carteran jenis Twin Otter yang disewa oleh perusahaan pertambangan emas untuk pengangkutan karyawannya ini hanya dapat memuat 15 penumpang saja. Dengan bobot keseluruhan–termasuk barang-barang yang dibawa–maksimal 1500 kg. Lebih dari itu, maaf saja salah seorang penumpang harus dikorbankan untuk terbang di hari lain.
Makanya untuk memastikan penerbangan ini aman, setiap penumpang harus melalui alat ukur berupa timbangan, sehingga bisa diketahui berapa berat dirinya dan barang bawaannya. Biasanya bule asing yang bawaannya berat-berat, selain juga postur tubuhnya yang di luar ukuran normal penduduk lokal. Seringkali diatur dalam satu pesawat khusus untuk bule saja, ini bukan masalah rasial tapi karena ukuran orang dan barangnya yang berlebih itu.
Suara mesin pesawatnya berisik sekali sehingga setiap penumpang diberikan sepasang gabus kecil untuk menutup telinga saat pertama kali memasuki kabin pesawat. Suaranya akan bertambah keras ketika akan memulai lepas landas. Nah, disinilah kengerian itu berawal.
Saya persis duduk di dekat jendela, sehingga benar-benar merasakan kengerian saat melihat mesin terbang ini semakin melayang tinggi, tinggi, dan tinggi menjauhi permukaan tanah. Saya benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diri saya bila pesawat kecil ini jatuh karena gagal saat lepas landas. Sepengetahuan saya saat-saat yang paling kritis dalam penerbangan adalah saat pesawat akan lepas landas dan mendarat.
Namun kengerian itu berangsur-angsur hilang ketika pesawat mulai stabil dan terbang di ketinggian tertentu. Saya menengok ke belakang untuk melihat penumpang yang lain. Persis di belakang saya, John Morgan–seorang manager pertambangan–sedang asyik merem melek mendengarkan musik yang diperdengarkan dari peranti digital melalui earphone-nya.
Penumpang lainnya sudah menikmati mimpinya dengan kepala yang terayun-ayun naik turun. Maklum kursi penumpangnya benar-benar hanya sebatas setengah punggung saja, sehingga tidak memungkinkan untuk menyandarkan kepala, kecuali bagi yang duduk di dekat jendela bisa menaruh kepalanya di dinding pesawat. dan Jarak antara kursi benar-benar sempit, sehingga kebanyakan para penumpang susah untuk meluruskan kaki saat terasa kesemutan. Untung perjalanan ini tidak lama hanya berkisar satu jam lima menit saja.
Hiburan satu-satunya di dalam kabin adalah penumpang dapat melihat apa yang dilakukan oleh pilot dan co-pilotnya ketika mengawaki pesawat ini. Aksi yang amat menarik untuk dilihat saat mereka mengoperasikan panel-panel, alat pengukur ketinggian, layar yang memunculkan peta daerah di bawah, dan begitu banyak tombol-tombol lainnya. Setidaknya ini dapat mengusir kebosanan yang mulai hinggap.
Namun ada yang lebih menarik lagi. Di ketinggian 1000 kaki dari permukaan laut, saya benar-benar mendapatkan sensasi Borneo. Mulai dari hutannya, sungainya yang lebar dan berkelak-kelok bagaikan anakonda, dan jalan daratnya yang panjang dan kecoklatan. Sudah pasti selain sensasi keindahan yang dirasakan, saya rasakan pula miris di hati melihat hutan kalimantan benar-benar hampir habis. Apa yang digembar-gemborkan LSM tentang kerusakan hutan benar-benar nyata, bahwa segala bentuk penebangan entah resmi atau ilegal telah membuat paru-paru dunia ini compang camping. Ditambah lagi segala bentuk penambangan liar yang membuat cekungan besar coklat dan tandus tanpa reboisasi. Duh…
Saat mendekati Balikpapan malah tambah parah, cekungan-cekungan besar itu bercampur baur dengan rumah penduduk lokal ditambah gunungan-gunungan hitam didekatnya. Dan ini semua menambah pekatnya aliran sungai dan laut di sekitarnya. Emas hitam bagi mereka memang betul-betul berharga apalagi di saat harganya begitu tinggi. di pasaran internasional.
Tiba-tiba mata ini sudah mulai lelah melihat ke bawah. Kantuk pun semakin memberatkan kepala. Namun di saat saya memulai bermimpi, terasa sekali pergerakan pesawat ini bermanuver untuk mendarat. Seiring dengan perubahan tekanan udara di kabin yang membuat telinga sebelah kiri saya sakit sekali. Ohoi…Sepinggan sudah mulai menyambut kami dengan landasannya basah oleh air hujan yang baru saja mulai turun.
Twin Otter ini mulai menjejakkan dua rodanya ke tanah dan membuang kemudinya menuju hanggar yang berisi deretan pesawat carteran. Sudah saatnya saya meninggalkannya dan menuju mobil bandara yang menjemput dan mengantar kami ke bangunan utama bandara. Saya bersyukur kepada Allah karena masih bisa menjejakkan kaki ini ke tanah, dan setidaknya ada pula kenangan yang terselip bersama Twin Otter ini, bahwa Borneo memang perlu diselamatkan. Itu saja.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Sepinggan basah
14:34 23 Desember 2005
riza.almanfaluthi@pajak.go.id

http://10.9.4.215/blog/dedaunan