Sesaat dengan Pesona Jepang


sesaat dengan pesona Jepang

Setelah selama dua pekan dibombardir dengan Azumi, Azumi 2: Death or Love, Zaitoichi, Zaitoichi 2, maka pengelanaan saya tiba di media cetak berupa buku. Dari Tales of the Otori, Perang Pasifik, hingga Musashi. Entahlah, tiba-tiba saya tertarik untuk mengenal lebih dalam tentang budaya Jepang, tentang kekaisaran Jepang, dan tentang para shogunnya.
Saya terpesona dengan efisiennya gerakan pedang mereka yang hanya satu dua kali gerakan sudah dapat menjatuhkan lawan. Saya terpesona dengan kegigihan mereka di setiap medan peperangan di Perang Dunia II. Saya terpesona dengan adat istiadat yang amat melekat dalam diri setiap orang Jepang. Dan saya terpesona dengan kepatuhan istri seorang ronin yang selalu mengikuti dari belakang kemana suaminya pergi.
Keterpesonaan saya ini seperti keterpesonaan saya terhadap budaya cina saat saya membaca banyak cerita silat Kho Ping Ho. Dulu, dulu sekali. Saat umur saya baru belasan tahun. Saat saya masih duduk di bangku SMP. Dengan keterpesonaan itu saya membayangkan dapat pergi ke Cina hanya untuk mendapatkan ilmu kanuragan (sinkang) dan ilmu meringankan tubuh (ginkang) yang hebat. Atau berkelana dari gua-gua di seantero Cina hanya untuk mendapatkan seorang guru yang mengajarkan semua ilmu itu kepada saya. Dulu, dulu sekali.
Keterpesonaan yang sama pun terjadi ketika saya mempelajari puncak kejayaan para khilafah Islam. Keterpesonaan yang mengakibatkan saya membayangkan jika bisa kembali ke masa lampau untuk bisa ikut dalam ekspedisi Klalid bin Walid ke Yarmuk, atau ekspedisi Sa’ad bin Abi Waqqash ke Persia. Atau ekspedisi penaklukan Yerussalem oleh Salahuddin Al-Ayyubi, atau penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih. Pun keterpesonaan pada indahnya istana-istana Damaskus, Baghdad, Cordova, dan Granada.
Kembali kepada keterpesonaan saya terhadap budaya Jepang, saya sampai berpikir dengan efisiennya gerakan pedang mereka. Bahwa untuk menjatuhkan lawan tak perlu banyak gerakan dan jurus seperti apa yang diperlihatkan film-film Cina. Apakah ini merupakan inkarnasi budaya Jepang masa lalu yang tercermin dalam kehidupan masyarakat Jepang kini? Sehingga dengan keefisienan itu, kita melihat betapa maju dan moderennya Jepang saat ini setelah Perang Dunia yang menghancurluluhkan Jepang.
Namun dari empat film yang saya tonton itu, semuanya mempertontonkan kekerasan, warna merah darah, yang muncrat, yang mengalir deras dari leher, jiwa-jiwa dengan harga murah, dan sadistis. Pertanyaannya adalah inikah pula cerminan dari jiwa-jiwa masyakarat Jepang saat ini? Sakit dan sekali lagi sadis?
Pada masalah sadistis, sebenarnya bukan hal yang baru. Dan dapat dicari fakta-faktanya pada masa penjajahan Jepang di bumi Indonesia. Tak usah jauh-jauh, Kakek saya di Jatibarang, Indramayu disiksa dengan kaki yang terikat pada tali timba sumur lalu diceburkan dan ditarik kembali, demikian dilakukan berulang kali hingga beliau meninggal. Lalu hartanya pun dirampas. Fakta lainnya adalah wanita-wanita jajahan yang dijadikan sebagai geisha pemuas nafsu para prajuritnya. Dan masih banyak sadisme yang dipertontonkan Jepang tidak hanya di Indonesia tapi pada semua daerah jajahannya. Seperti di Philipina, Cina, Korea, Burma, dan lain-lainnya.
Lalu keterpesonaan apa pula hingga saya membandingkan kekaguman dengan rasa jijik atas sadisme itu? Ya, keterpesonaan yang sesaat. Sesaat karena pekan-pekan ini saya dihujani dengan budaya itu. Maka saya akan melupakannya jika saya membombardir otak saya dengan bacaan dan tontonan yang lain. Akan selalu terpesona kembali dengan yang baru.

dedaunan di ranting cemara
di antara ala kadarnya saja
10:35 16 September 2005

Lontar dari Kadipaten Depok


lontar dari Kadipaten Depok

:buat Mapatih Gajahmada

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang tuan yang bukanlah tuan
kalaulah belum tahlukkan negeri Sunda
satu negeri yang akan membuat tuan
akhiri sumpah palapamu
memulai nikmatnya dunia tidak sebatas mutih

Mapatih, haturkan hamba berkidung
tentang sebuah kidung Sundayana
melarut dalam berlonta-lontar Negarakertagama
yang belum sempat terbaca olehTuan
kerana Prapanca membuat titiknya
saat tuan telah tiada kekal

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang Diah Pitaloka Citaresmi puteri Sri Maharaja
yang datang membawa bangga ke hadapanmu tuan
tanpa ribuan pedang, tombak, perisai,
bahkan genderang tambur

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang tuan yang bukanlah tuan kalaulah tuan
bersikeras cantiknya adalah hadiah
dan tetaplah hadiah
jikalau ia bukan hadiah
maka pastilah pinangan buat Tuannya Tuan

Mapatih haturkan hamba bercerita
tentang jikalau ia bukan hadiah
maka tak ada Bubat yang memerah darah
maka tak ada Maharaja yang berkalang tanah
maka tak ada Diah yang berkeris di dada

Mapatih haturkan hamba bercerita
tentang kepedihan hati
Tuannya Tuan Sri Rajasanagara
merenggut selendang cantik tak bertuan lagi
hingga akhir hayat memendamnya di Tayung, Brebek,
tempat hamba memungut nafas pertama hamba

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang dendam yang turun temurun
hingga hamba tak sanggup menegakkan muka
di tatar sunda yang telah tuan curangi
yang telah tuan kangkangi

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang membawa bala dari tuan
tentang hamba adalah putera
para piningit Sitinggil Binaturata
bahkan sebelumnya:Singhasari dan Kadiri

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang menjadi tumbal keserakahan tuan
hingga hamba terbalut kain jijik
dari mata-mata penerus tatar Sunda
hingga hamba tak layak untuk menjadi Adipati mereka

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang selalu bertanya
seberapa menyakitkan perbuatan tuan
hingga sampai merasuk dalam
pada alam bawah sadar mereka
hingga menggendam pada banyak anak pinak
bahwa hamba adalah bagian Tuan
bagian pusaka jaya masa lalu

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang selalu bertanya
dapatkah hamba menyalahkan tuan
karena hamba mengalami ketidakadilan
yang pernah menimpa mereka 648 tahun lampau

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang kini tak layak dan tak sepatutnya
menyilih angkaramu kerana hamba
adalah milik Sang Maha Pemilik jiwa Tuan
maka hamba pun sudah sepatutnya berjuang
dengan sepenuh tenaga hamba
layaknya mereka menghadapi Tuan

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang memastikan kisah
tak ada maharaja berkalang tanah
tak ada diah berkeris di dada
tak ada selendang beramis cempaka
kerana tahta sebenarnya bukanlah begitu rupa
hakikinya adalah ia berdiri tegak
di atas keadilan yang nyata

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang bahwa ini adalah sekadar kepedihan hati hamba
bahwa hamba menulis di lontar terakhir ini
semoga Tuan sempat membaca
di sela-sela kesibukan tuan
di sana

dari hamba:
Bhre Noermahmudi
Depok, Minggu Legi 03 Rejeb 1938

dedaunan di ranting cemara
di antara istighosah Kubro—bukan Qubro
22:08 Ahad, 07 Agustus 2005

Alhambra: Kenangan Sebuah Peradaban


20.7.2005 – ALHAMBRA: KENANGAN SEBUAH PERADABAN
Merahnya Alhambra, nama yang menggelitik. Tergerak dengan nama itu saya coba membuka berbagai rujukan antara lain Ensiklopedi Islam Jilid I terbitan PT Ichtiar Baru Van Houve (1999:107).
Ternyata diketahui bahwa Alhambra adalah sebuah istana dan benteng yang merupakan bangunan monumental paling indah dari peninggalan arsitektur Islam di kota Granada, Spanyol Selatan, dan salah satu bukti historis dari ketinggian peradaban dan kesenian Islam.
Dalam buku itu disebutkan bahwa nama Alhambra berasal dari kata Arab hamra, bentuk jamak dari ahmar (merah). Menurut suatu pendapat, istana itu disebut Alhambra karena tanah tempat berdirinya berwarna merah. Adapula yang berpendapat, istana itu dinamai demikian karena dindingnya terbuat dari batu merah. Pendapat lain lagi menyatakan, nama itu diambil dari al-Ahmar, nama pendirinya.
Saya buka kembali rujukan lain yakni buku yang berjudul Sejarah Kesenian Islam Jilid I terbitan PT Bulan Bintang (1978:226) yang ditulis oleh C. Israr ternyata isinya hampir sama dengan yang ada di ensiklopedi tersebut. “Jangan-jangan rujukan ensiklopedi tersebut adalah buku ini”, pikir saya.
Saya buka Ensiklopedi Islam jilid V yang ada halaman bibliografinya, ternyata benar rujukan ensiklopedi ini ternyata buku tulisan C Israr dengan tahun terbitan yang sama dengan buku yang saya punyai. Akhirnya saya berpikir lagi, “ensiklopedi yang gagah dan mahal itu ternyata dibangun oleh berpuluh-puluh literature yang mungkin saja kecil, sudah kumal, dan lapuk—saya membeli buku tersebut dalam sebuah perburuan buku-buku bekas di Senen, hanya dengan harga Rp7.500,00 saja di tahun 2001.
Saking luas dan indahnya Alhambra dibangun secara bertahap selama lebih dari 100 tahun pada abad ke-14 dan ke-15. Konstruksi pertama dibangun oleh Sultan Muhammad bin Al Ahmar I (1257-1323), keluarga Bani al-Ahmar atau Bani NAsr yang masih keturunan Sa’id bin Ubadah salah seorang sahabat Rosululloh SAW dari suku Khajraj di Madinah. Kemudian bangunan itu diperluas oleh sultan-sultan sesudahnya. (Ensiklopedi Islam I, 1999:107).
Saya beralih ke ensiklopedi lain yakni Ensiklopedi Keluarga terbitan PT Cipta Mitra Sanadi tahun 1991 di halaman 24 disebutkan tentang pendirian Alhambra yang berbeda dari ensikolepedi pertama tadi. Kalu disini disebutkan Alhambra didirikan penguasa-penguasa Islam Granada pada abad ke-13 dan ke-14.
Alhambra dilukiskan sebagai perbentengan yang megah, tetapi didalamnya seperti istana bidadari yang luas, dengan halaman yang indah, pancuran dan tiang-tiang yang ramping-ramping, hiasan halus pada dinding dan langit-langit, pepeohonan dan bunga-bungaan. Banyak bagian istana asli yang sudah lenyap kini, tetapi beberapa bangunan yang paling terkenal seperti Istana Singa, tidak berubah banyak dari rancangan asli arsitek Islam dahulu.
Di buku lain yang ditulis oleh A. Hasjmy yaitu Sejarah Kebudayaan Islam terbitan PT Bulan BIntang tahun 1995 pada halaman 205 disebutkan Alhambra adalah “kota” yang termasyhur di kota Granada yang sampai sekarang masih ada dan menjadi objeknya kaum turis. Kota ini dibangun oleh Ibnu Ahmad pada pertengahan abad ke-8 Hijriah di atas tanah seluas 35 hektar. Di sini terlihat perbedaan luasnya, kalau dilihat di Ensiklopedi Islam maka istana atau benteng ini hanya dibangun pada tanah yang seluas 14 hektar saja. Allohua’lam.
Sedangkan pada buku yang ditulis oleh Joesoef Sou’yb berjudul Sejarah Daulat Umayyah di Cordova Jilid II terbitan PT Bulan Bintang tahun 1977 di halaman 14 ditulis:
“bahwa Emir Abdurrahman I di Andalusia membangun istana yang megah dan masjid agung yang terkenal di Cordova itu, yaitu Masjid Alhambra. IA mengeluarkan pembiayaan yang sedemikian besarnya bagi pembangunan masjid agung itu, yang belum sempat selesai pada saat dia wafat, tetapi diselesaikan kemudian oleh puteranya Emir Hisyam I (788-796M).
Kesalahan kecil di awal buku ini adalah menjelaskan bahwa Alhambra terletak di Cordova, sedangkan pada halaman 64 buku itu di bawah foto yang melukiskan keindahan salah satu bangunan Alhambra dijelaskan Alhambra adalah bangunan termasyhur di Granada. Jadi memang Alhambra terlerak di Granada bukan di Cordova walaupun sama-sama terletak di selatan Andalusia.
Inilah ruangan-ruangan yang ada di Alhambra:
1. Sala De Los Reyes : Ruangan Al-Hukmy;
2. Rouda : Taman Bunga;
3. Sala De Los Abencerrayes : Ruangan Abi Siraj;
4. Patio De Los Leones : Taman Singa;
5. Sala De Los Dos Hermanas : Ruangan Ukhtain (Ruangan Dua Perempuan Bersaudara);
6. Mirador De Lindaraja : Ruangan Bas-Sufra’;
7. Jardin De Lindaraja : Taman As-Sufra’;
8. Torre : Menara;
9. Sala De Las Camas : Ruangan Istirahat;
10. Patio De Los Cireeses : Taman;
11. Sala De Los Banos : Ruangan Bersinar;
12. Patia De La Alberca : Kolom AlBirkah;
13. Sala De Barca : Ruangan Berkah (ingat tentang kesebelasan Barcelona…?)
14. Sala De Comares : Ruangan Duta;
15. Oratorio : Mesjid;
16. Torre : Menara.
Itulah Alhambra yang indahnya tiada tara, sampai oleh Victor Hugo—pujangga barat yang terbesar itu membayangkan keindahannya dalam sebuah sajak (Israr,1978: 226):
Alhambra oo Alhambra
Hanya mungkin dalam mimpi
Atau istana mambang dan peri
Yang telah menjelma
Bila purnama raya
Memandikanmu dengan cahaya
Gemerlapan berkejaran
Riak air berdesiran
Bisik hati akan bergema
Oo alangkah indahnya
Pangeran India menulis Alhambra dengan hanya sebuah kalimat pendek:
Andaikata firdaus ada di dunia
Maka firdaus itu ialah Alhambra
Sesungguhnya kalau diceritakan satu persatu mengenai keindahan dan kemewahan Alhambra, sudah tentu akan memerlukan halaman yang banyak karena masing-masing bangunan yang ada di sana mempunyai keindahan, kemewahan, dan sejarah yang berlain-lainan.
Itulah Alhambra, yang pada tahun 1492 jatuh ke tangan umat Kristen dan menjadi istana Kristen, pada saat Ferdinan dan Isabella memaksakan kepada setiap pemeluk agama Islam di sana, baik pun Muslim pribumi maupun Muslim non pribumi, supaya memeluk agama Kristen atau angkat kaki dengan pakaian di tubuh saja. Begitupun juga terhadap seluruh orang Yahudi.
Ingat tentang inkuisisi? Peristiwa pembakaran ribuan muslim yang tetap bertahan dengan akidahnya.
Biasanya pada bagian terrakhir tentang Alhambra, tentang Andalusia ini, saya pertama-tama harus menguatkan hati ini karena tidak tega untuk membaca keruntuhan sebuah peradaban. Karena di setiap keruntuhan itu selalu ada darah ribuan muslim terbantai, di aniaya, diperkosa dan lain sebagainya. PAhit dan memilukan bagi seorang muslim Tetapi dari “guru yang bengis tapi baik” itu yakni pengalaman sejarah itu, banyak butir pelajaran bisa dipungut.
Oh…ya saya teringat sebuah artikel yang saya sudah lupa dapatkan darimana. Ketika salah seorang wisatawan di Indonesia datang mengunjungi Alhambra, petugas di sana langsung berterus terang bahwa dirinya masih tetap muslim dan sudah turun temurun. Dia langsung bercerita karena percaya bahwa Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Dan ia sampai saat ini, untuk melakukan sholat di Alhambra masih tetap harus sembunyi-sembunyi. Ia pun masih menyembunyikan identitas keislamannya.
Subhanalloh….di setitik debu peninggalan peradaban, ada mutiara yang selalu menyinarkan kilaunya.
Itulah Alhambra, sekelumit….
Jadi apakah Alhambra yang sudah merah haruskah dijelaskan merahnya yang sudah merah. Merahnya Alhambra ….merahnya merah…..(sebuah buku sastra yang pernah saya baca waktu SMP dulu).
Allohuta’ala a’lamu bishshowab.
dedaunan di ranting cemara
dalam waktu yang mulai menusuk
20 Juli 2005

Novel Imperia


14.7.2005 – resensi NOVEL BARU Akmal: IMPERIA dan Penaklukan Yerusalem

Tentang resensinya Bang Ekky terhadap Imperia-nya Bang Akmal, setidaknya saya sedikit banyak dapat memahami betapa ensiklopedisnya bang Akmal. Ini dapat dilihat dalam paragraph:
“Tetapi, semangat eksplorasi ensiklopedis ini ternyata juga menjadi
bumerang. Akibatnya, cerita menjadi tidak intens dan tidak fokus, di
beberapa tempat. Dan ini yang membedakannya dengan gaya Brown.”
Eksplorasi ensiklopedis ini juga pernah ditanggapi oleh Bang Herry Nurdi dalam resensinya:
“Cerita terakhir, tentang kesaktian Akmal Nasery Basral nampak ketika terjadi diskusi diruang maya milis Forum Lingkar Pena tentang film Kingdom of Heaven. Film yang berkisah tentang Sultan Saladin, King of Lepre, Balian of Ibelin, Tiberias dan berbagai tokoh lain dalam sejarah Perang Salib. Beberapa anggota milis berdebat tentang jalan cerita dan pemerannya. Tentang fiksi dan fakta, tentang eksis atau maya. Dan di antara perdebatan itu, Akmal muncul dengan postingan yang panjang menjelaskan sekian fakta tentang beberapa tokoh, lengkap dengan sejarahnya, asal kotanya, bahkan nama-nama kecil mereka dan nasib mereka setelah peristiwa yang digarap Ridley Scott dalam film itu.”
So, Bang Ekky dan Bang Herri Nurdi tahu persis mengenai Bang Akmal. Ini yang diharapkan bagi para pembaca (saya) dalam membaca resensi kedua abang ini, bahwa peresensi menulis dari kedalaman pengetahuannya dan memahami betul terhadap objek (imperia) juga subjeknya (bank Akmal).
Dalam membaca karya dua peresesensi ini setidaknya saya tidak alami sedikit gangguan. Beda ketika saya membaca sebuah ulasan Film Kingdom of Heaven di Majalah Tempo di halaman 151-152 kolom 6 paragraf 2 edisi 16-22 Mei 2005.
Entah ini sudah diulas (di sadari) oleh Bank Akmal (selaku wartawan Tempo) dalam membaca resensi film itu atau saya juga enggak tahu kalau sudah ada yang mengirim sedikit kritik atas ulasan tersebut dari pembaca Majalah Tempo yang lain—saya sudah mengirim email ke redaksi Majalah Tempo untuk sedikit bercerita tentang paragraph tersebut namun email saya balik lagi dengan “alert” yang berbunyi email undeliverable, mungkin email server di kantor kami yang sedang ngadat.
***
Senin itu Majalah Tempo baru milik teman sudah tergeletak dengan manisnya di meja saya. Setelah sedikit membaca berita utama saya tergerak untuk membaca ulasan film itu yang judul tulisannya adalah “Yang ‘Kudus’ ..yang Berdarah”.
Saya terbentur di halaman, kolom dan paragraph tersebut. Memori saya langsung bergerak memutar sedikit ruang ‘ensiklopedi’ kecil di kepala saya. Apa isi dari paragraph itu, setidaknya saya penggal pada bagian intinya:
“….dan seperti Abu Bakar yang menaklukkan Yerusalem pada 637, atau di dunia Islam Arab lain kala itu, ia mengijinkan warga Yahudi untuk melakukan pekerjaan apa saja, mulai dokter sampai pegawai…”.
Nah di sinilah letaknya yakni pada Abu Bakar yang menaklukkan Yerusalem pada 637.
Dapat saya ungkapkan di sini adalah bahwa yang menaklukkan Yerusalem pada era awal pemerintahan Islam Pasca kematian Rosululloh Muhammad SAW adalah sahabat Umar bin Khaththab ra bukan sahabat Abu Bakar (Ashshidiq) ra. Itupun terjadi pada tahun 638 M bukan di tahun 637 M.
Yang pertama ingin saya komentari adalah tahun terlebih dahulu, namun dalam masalah tahun hal ini masih bisa diperdebatkan karena menyangkut adanya konversi dari hijriah ke tahun masehi. Karena dalam berbagai referensi yang saya baca menunjukkan tahun-tahun yang berbeda, berkisar 636 dan 638 M.
Perbedaan tahun penaklukkan itu dapat diungkapkan di sinisebagai berikut:
1. Ensiklopedia Tematis DUNIA ISLAM jilid 2 (ensiklopedi ini pas ada di samping Majalah Tempo); PT Ichtiar baru Van Hoeve: terjadinya pada tahun 638 M;
2. Ensiklopedi Islam jilid 5; PT Ichtiar baru Van Hoeve: tahun 636 M (penerbit yang sama memberikan tahun yang berbeda dalam amsalah ini);
3. 100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah; Michael H Hart: Pustaka Jaya: Penakhlukkan Yerusalem terjadi dua tahun setelah Yarmuk (636 M) berarti terjadi pada tahun 638M;
4. Umar Bin Khattab; Muhammad Husin Haekal: Litera Antar Nusa: Penaklukan terjadi 15 Hijriah berarti tahun 622 M (tahun Rasululloh hijrah ke Madinah) ditambah 15 tahun jadi sekitar tahun 637 M, tapi yang fatal (ini entah kesalahan cetak atau bukan saya tidak tahu) ditulis dalam tanda kurung adalah pada tahun 535 M.
5. History of The Arabs; Philip K Hitti: Serambi Ilmu Semesta; tahun penaklukan berkisar tahun 638M.
Saya berusaha mencari di tiga buku lainnya tentang sejarah Daulat Islamiyah yang menyangkut pula Yerusalem ternyata tidak memuat tahun penaklukannya.Sekali lagi bahwa masalah tahun masih bisa diperdebatkan.
Namun yang paling fatal pula adalah bahwa penaklukan Yerusalem itu dilakukan oleh Abu Bakar—saya anggap nama ini adalah nama pendek dari Abu Bakar Assidiq, khalifaturasyidin pertama. Dari delapan buku yang saya baca semuanya jelas-jelas merujuk pada tokoh Umar bin Khattab bukan sahabat Abu Bakar Assidiq.
Salah satu contohnya bisa dilihat pada buku Ensiklopedia Tematis DUNIA ISLAM jilid 2 di halaman 48 kolom 2 paragraf 3:
“Persetujuan ini disampaikan kepada Khalifah di Madinah, yang disertai permohonan agar Umar bersedia datang untuk menerima penyerahan Yerusalem. Pemimpin ini menyetujui perjanjian itu dan segera berangkat ke Palestina. Pada tahun 638 M, penyerahan kota suci itu dilakukan dari Patriach Sophorius kepada Khalifah Umar bin Khaththab.”
Sedangkan pengembangan wilayah pada masa Abu Bakar belum sampai pada penguasaan Yerusalem, bisa di baca pada halaman 47 buku yang sama pada kolom 2 paragraf 3:
“Pengembangan wilayah pada masa Abu Bakar berlangsung dari 12-13 H. Pada akhir pemerintahannya, pasukan Islam telah dapat menguasai daerah yang cukup luas. Selain Jazirah Arabia, yang dapat disatukannya kembali setelah munculnya gerakan pembangkang, beberapa daerah di luarnya dapat ditaklukan dan dimasukkan ke dalam kekuasaannya. Wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukannya pada masa khalifah pertama ini antara lain Ubullah (terletak di pantai Teluk Persia), Lembah Mesopotamia, Hirah, Dumat al Jandal (kota benteng yang terletak di perbatasan Suriah), sebagian daerah yang berbatasan dengan Palestina, perbatasan Suriah dan sekitarnya.”
Kesimpulannya adalah Abu Bakar tidak sempat membebaskan Yerusalem pada masa keperintahannya karena beliau keburu wafat. Pada masa Umar bin Khattab itulah dilanjutkan ekspedisi tersebut hingga akhirnya Yerusalem dapat ditaklukkan.
Demikian koreksi ini saya sampaikan, karena bagi mereka yang terbiasa membaca tentang sejarah Islam akan mengalami “keterperanjatan” yang mengganjal.
Saya mohon maaf kalau hal (ulasan Kingdom of Heaven) ini sudah basi, atau sudah dibahas oleh Bang Akmal dalam postingan yang terdahulu, karena saat itu saya belum mengikuti milis ini.
Kurang lebihnya mohon maaf. Billaahittaufiq wal hidayah.
Wassalaamu’alaikum wr.wb.
dedaunan di ranting cemara
di antara malam yang smakin menggigit
citayam, 02.15, 15 Juli 2005

1000 dan 1 Malam


1000 dan 1 Malam
(Alfu Lailah Wa Lailah)

Ada yang menarik dalam tema perbincangan di milis ini, yakni tentang menulis fantasi dalam Islam, hingga menghubungkannya dengan Kisah Seribu Satu Malam yang dianggap berasal dari sastra Islam, benarkah? Tulisan ini tidak membahas tentang penulisan fantasi dalam Islam namun berpokok pada apa dibalik Kisah Seribu Satu Malam.
Siapa yang tidak kenal dengan cerita Aladin dan Lampu Wasiat, Ali Baba dengan Empat Puluh Penyamun, dan Sindbad si Pelaut. Apalagi sejak ditayangkan secara visual di layar kaca ataupun layar perak produksi Holywood. Semuanya pasti setuju bahwa kisah itu diambil dari Kisah Seribu Satu Malam. Kisah yang amat terkenal dari abad-abad lampau hingga saat ini. Tapi tahukah Anda bahwa kisah itu adalah cuma terjemahan saja dan bukan buatan sastrawan-sastrawan ternama pada puncak kejayaan Baghdad?
Saat itu Kekhalifahan Abbasiyah berada pada puncak tangga tamadun. Politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dan di segala bidang lainnya mengalami kemajuan pesat daripada masa-masa sebelumnya. Salah satunya adalah di bidang sastra. Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia syair sebagai titik puncak dari berkesenian—ini dikarenakan pula Bani Umayyah adalah bani yang sangat resisten terhadap pengaruh selain Arab, maka pada zaman Bani Abbasiyah inilah prosa berkembang subur. Mulai dari novel, buku-buku sastra, riwayat, hikayat, dan drama.
Bermunculanlah para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik pusi maupun prosa. Dari yang ahli sebagai penyair (seperti Abu Nuwas), pembuat novel dan riwayat (asli maupun terjemahan), hingga pemain drama.
A Hasymy dalam bukunya berjudul Sejarah Kebudayaan Islam mengungkapkan perkembangan salah satu seni sastra itu yakni tentang novel terjemahan. Di sana disebutkan bahwa kebanyakan novel diterjemahkan dari bahasa Persia dan Hindi. Ada yang sesuai dengan aslinya atau diterjemahkan dengan ditambahkan perubahan-perubahan bahkan disadur.
Salah satu novel terjemahan yang termasyhur itu adalah Alfu Lailah Wa Lailah. Novel ini berupa hikayat yang disadur dari bahasa Persia sebelum abad IV Hijriyah. Walaupun bentuknya saduran namun menceritakan tentang kehidupan mewah masyarakat Islam pada masa itu.
Dalam Ensiklopedi Islam Jilid I (EI1) disebutkan pula tentang hikayat ini bahwa ia berasal dari kumpulan cerita berbahasa Persia yang berjudul Hazar Afsanak (Seribu Cerita) yang ditulis ulang oleh Abdullah bin Abdus al-Jasyyari (942 M).
Ada yang berpendapat bahwa hikayat ini ditulis oleh lebih dari satu orang pada periode yang berbeda, berikut periode tersebut (EI1 hal.106):
– Bentuk pertama adalah terjemahan harfiah dari Hazar Afsanak, diperkirakan berjudul Alf Khurafat (Seribu Cerita yang Dibuat-buat);
– Bentuk kedua Hazar Afsanak dengan versi Islam berjudul (Seribu Malam), pada abad 8;
– Bentuk ketiga berupa cerita Arab dan Persia dibuat pada abad 9;
– Bentuk keempat adalah susunan al-Jasyyari pada abad ke-10 yang mencakup Alf lailah dan cerita-cerita lain;
– Bentuk Kelima kumpulan yang diperluas dari susunan al-Jasyyari dengan tambahan cerita-cerita Asia dan dan Mesir, abad ke-12, pada periode ini judul itu berubah menjadi Alfu Lailah Wa Lailah
– Bentuk Keenam adalah Alfu Lailah Wa Lailah ditambah dengan cerita-cerita kepahlawanan dinasti Mamluk sampai awal abad ke-16.
****

Kisah atau hikayat yang diceritakan itu ada yang mengenai jin, kisah percintaan, legenda, cerita pendidikan, cerita humor, dan anekdot. Kebanyakan berlatar belakang kehidupan istana di Baghdad, Syam, dan Mesir (EI1 hal. 107).
Secara garis besar kisahnya adalah sebagai berikut:
Kisah ini dituturkan dngan gaya bercerita oleh Syahrizad, istri Raja Syahriyar, yang bercerita atas permintaan adiknya, Dunyazad, dan didengarkan oleh sang raja. Syahrizad bercerita agar sang raja tidak melakukan pembunuhan terhadap istrinya.
Disebutkan bahwa Raja Syahriyar dan adiknya, Raja Syahzaman, pada mulanya adalah raja yang adil selama 20 tahun pemerintahannya, namun kemudian berubah menjadi raja yang kejam yang membunuh setiap wanita yang dikawininya pada malam pertama pernikahan. Perubahan sifat raja berawal dari penyelewengan istrinya dan penyelewengan istri adiknya yang melakukan perzinahan dengan budak berkulit hitam sewaktu raja pergi berburu. Perbuatan itu dilihatnya sendiri karena ia tiba-tiba pulang untuk mengambil sesuatu yang terlupa. Istrinya yang berkhianat dan budak itu dibunuhnya. Ketika ia berada di negeri adiknya, Syahzaman, ia juga melihat perbuatan seorang istri adiknya dengan budak berkulit hitam sewaktu adiknya tidak berada di rumah.
Syahriyar menjadi orang yang tidak percaya pada setiap wanita. Dendamnya pada wanita dilampiaskannya pada gadis-gadis yang dinikahinya. Setelah beberapa lama, di negeri itu sudah tidak didapatkan lagi gadis yang akan dipersembahakan kepada raja, kecuali puteri wazir, yaitu Syahrizad.
Syahrizad bersedia dinikahkan dengan raja untuk menyelamatkan nyawa wanita-wanita yang lain. Syahrizad digambarkan sebagai wanita cerdas yang banyak membaca cerita, hikayat, dan kisah lama. Sejak malam pertama sampai malam ke 1001, ia bercerita berbagai cerita secara bersambung sampai subuh dan bila siang hari ia tidak bercerita. Dengan cerita-cerita ini akhirnya raja sadar dan insaf, dan puteri Syahrizad selamat dari pembunuhan. (EI1 hal. 107)
****
Penyebaran Alfu Lailah Wa Lailah ke Eropa dalam bahasa Perancis dilakukan pertama kali oleh sarjana Perancis, Jean Anthoni Galland. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikenal dengan judul The Arabian Nights.
Singkatnya baru pada tahun 1896 buku yang diterbitkan oleh percetakan negara Bulaq—dekat Kairo, diberi gambar oleh Husyain Biykar. Edisi Bulaq inilah yang di kemudian hari menjadi patokan dalam penterjemahan ke dalam bahasa-bahasa terkenal dunia. (EI1 hal 106).
Namun sayangnya penggambaran-penggambaran itu membuat 1001 Malam lebih berubah. Dulu sekali, dalam sebuah film barat yang judulnya saya lupa, di salah satu adegannya diceritakan tentang seseorang yang sedang membaca buku 1001 Malam yang dipenuhi dengan gambar-gambar vulgar dari orang bersurban (sultan?) sedang berhubungan intim dengan lawan jenis.
Jadi pada saat ini kisah 1001 malam (versi barat) tidak bedanya dengan kisah-kisah porno. Tapi entahlah, saya belum pernah memegang buku itu sekalipun, baik dalam versi asli maupun terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Saya hanya tahu kisah itu dari dongeng-dongeng yang bertebaran di majalah Ananda dan Bobo, dulu. Namun dari film-film kartun produksi Holywood, setidaknya kita bisa berpikir dan bertanya dalam hati sudah Islamikah? Tentu tidak.
Betul 1001 Malam muncul pada saat kejayaan umat Islam mencapai puncaknya di Baghdad sehingga stereotip yang ada adalah bahwa 1001 Malam adalah sastra Islam, namun dengan melihat kenyataan yang ada, patutkah ini disebut sastra Islam atau sastra bersumberkan Islam?*) Sedangkan sastra bisa dikategorikan sebagai ‘sastra bersumberkan Islam’ bila ianya mengusung nilai-nilai universal yang tak bertentangan (atau malah sesuai) dengan ajaran Islam.(Helvi: 2003).
Allohua’lam.

*)Pada saat masa puncak itulah terjadi pertentangan antara ulama-ulama terpercaya dengan para seniman yang mulai beraninya (dengan dukungan para pejabat istana tentunya) mengembangkan seni yang dilarang pada masa-masa awal atau masa sebelumnya (dinasti Umayyah) yakni bermain musik, bermain drama dengan peran wanita dipertontonkan di hadapan penonton pria, kubah-kubah istana dan kaligrafi-kaligrafi bergambar makhluk hidup, dan patung-patung manusia.

Sumber Rujukan:
1. C Israr; Sejarah Kesenian Islam; Bulan Bintang; 1978;
2. A Hasymy; Sejarah Kebudayaan Islam; Bulan Bintang; 1995;
3. Ensiklopedia Islam Jilid 1; PT Ikhtiar Baru Van Hoeve; 1999;
4. Helvy Tiana Rosa; Segenggam Gumam; PT Syaamil Cipta Media; 2003;
5. Philip K. Hitti; History of The Arabs; PT Serambi Ilmu Semesta; 2005

yahya ayyasy
dedaunan di ranting cemara
citayam, 22.10 WIB, 11 Juli 2005

ps.
Bila terdapat kesalahan mohon dikoreksi.

Ustadz Rahmat Abdullah dan Ruqyah


15.6.2005 – seminggu lebih…nb: Ust. Rahmat Abdullah, dan Ruqyah

Akhirnya aku bisa kembali mengisi lembaran-lembaran di blog ini setelah sekian lama disibuki dengan ebgitu banyak laporan. Sebenarnya 28 laporan PKP jatahku itu sudah selesai aku buat, namun musibah menimpa salah seorang temanku. So, aku ditunjuk jadi pjs-nya, apa boleh buat 28 laporan harus saya buat segera sebelum jatuh tempo kamis besok. Dengan dibantu teman saya akhirnya 18 laporan selesai dibuat hari ini. Bertepatan dengan teman saya masuk kembali, sehingga dia cuma menyelesaikan sisanya kurang lebih 10 laporan lagi.
Ba’da isya kemarin, saya dapat kabar bahwa masyaikh al-ustadz. Rahmat Abdullah wafat. Innalillahiroji’un, semoga Allah memberika tempat terbaik kepada sang perintis dakwah ini. Sang awal di masanya.Niatnya pagi ini aku ingin melayat, namun kondisiku kecapean setelah pagi ini menempuh 40 km-an di atas mega pro. Akhirnya aku tidak jadi ikut temen yang naik motor ke Pondok Gede sana. Kalau naik mobil, mungkin aku akan ikut, supaya bisa tidur untuk menghilagnkan rasa lelah ini.
Semoga Allah, menjadikannya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dimasukkan ke dalam surga-Nya.
Ohya siang nanti di masjid Sholahuddin, kalibata ini ada ruqyah oleh tim jakarta ruqyah centre (majalah ghoib), aku mau lihat, sekalian disuruh bantuin teman-teman panitia di sana. Entahlah aku ada jinnya enggak yah, ;-). Bukannya ngebantuin malah ngerepotin nantinya…
Allohua’lam.
Aku mau makan siang dulu sebelum pergi ke masjid.
Ayo siapa yang mau ikutan….