Ramadhanku Adalah…


Ramadhanku adalah saat di mana aku kembali mengenang masa-masa indahku di ramadhan-ramadhan yang lalu.

Saat aku kecil, di sebuah kota kecamatan di Indramayu, ramadhanku adalah saat di mana aku bisa makan sepuasnya kue yang diperebutkan bersama teman-temanku setelah sholat tarawih yang dibagikan oleh pengurus musholla. Setelah itu Ramadhanku adalah saat aku asyik menikmati “krupuk sambel” atau bakso yang sengaja dibeli oleh ibuku. Makan rajungan, nasi jamblang dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ramadhanku di saat pagi adalah saat aku jalan-jalan setelah sholat dan kuliah shubuhnya yang aku lalui dengan enak tertidur di masjid. Jalan-jalan bersama sambil bermain detektif-detektifan layaknya lima sekawan yang sedang terkenal di masa itu. Dan sambil hiking, susuri pinggiran sungai cimanuk sampai menyeberangi “jembatan abang” bekas peninggalan belanda yang rusak parah dengan ketinggian kurang lebih 25 meter di atas permukaan kali Cimanuk. Hampir saja terjatuh tapi Alhamdulillah selamat juga.

Ramadhanku di saat siang adalah saat aku banyak membaca komik di tempat persewaan. Dan sore hari menjelang maghrib adalah saat yang paling mendebarkan hati sambil memutar “tuning” gelombang radio mencari stasiun mana yang lebih cepat mengumandangkan adzan.

Ramadhanku di saat SMP adalah ramadhan yang hampir penuh dengan aktivitas mendengarkan radio di saat siang hari sambil menunggu kalau-kalau ada dari teman-temanku menitipkan salam buatku dari kartupos yang dibaca oleh penyiar Radio Cinderella, dan diselingi dengan banyak lagu yang dilantunkan oleh penyanyi-penyanyi negeri jiran yang saat itu dipastikan menguasai blantika musik pop Indonesia, mulai dari Ami Search, Swing, dan lain sebagainya (ingat suci dalam debu? tayamum dong).

Ramadhanku di saat aku SMA, di sudut desa di barat Cirebon, adalah ramadhanku yang agak berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Karena sekolahku terletak jauh dari rumahku—kurang lebih tiga puluh kilometer—aku tinggal bersama pamanku yang keras dalam menjagaku. Aku diharuskan ikut tahsin dan tahfidz setiap harinya dengan berguru pada anaknya yang hafal Alqur’an 30 juz. Jadi ramadhanku saat itu adalah ramadhanku yang sorenya aku harus mengikuti tasmi’ satu juz oleh saudara sepupuku itu sampai menjelang buka.

Dan malamnya adalah saatnya tarawih di musholla yang hanya diterangi lampu bohlam 10 watt saja, lagi dengan Imam yang membaca satu juz selesai dengan terburu-buru. Sesekali aku bercanda di tengah sholat sambil injak-injakan kaki dan dorong-dorongan dengan teman-temanku, Masya Alloh. Ohya, saat itu Merry Andani dan Jeffry Bule amat terkenal. Ada Dinding Pemisah, Amayadori, Mas Joko dan lain-lain.

Ramadhanku di Jurangmangu, Tangerang, adalah ramadhan di kampus yang amat dan sangat berbeza (dengan huruf z: bahasa malaysia). Kutemukan sesuatu yang lain. Saat ramadhan dengan paradigma tentang Islam yang sangat baru bagiku. Saat itulah aku sangat menikmati ayat-ayat yang dibacakan oleh sang imam. Saat itulah aku tahu tentang ukhuwah, Qiyamullail bermakna, banyaknya hafalan, godhul bashor, Jihad Palestina, ifthor dengan nasi kotakan gratis dari masjid kampus, Al-Matrud, Nada Murni, The Zikr, Najmuddin, zuhud, itsar, ikhlas, dan yang tak tersentuh, tak terlihat, tak terbayangkan: The Akhwat.

Ramadhanku di Jurangmangu adalah saat aku pertama melihat sosok lekat dan erat di hati:
– Ustadz Musyaffa Lc: tilawah dalam kesendirian di sebuah musholla;
– Ustadz Sudarman, Lc: sosok pendekar: pendek tapi kekar, saat itu rumahnya masih rumah petak kontrakan;
– Ustadz Imam Agus Lc: Almarhum, sakit dan meninggal dalam sebuah bus malam dalam perjalanan pulang kampung;
– Ustadz Jazuli Zuwaini, Lc: yang pernah sakit typhus karena terlalu sering naik vespa tanpa pelindung dada;
– Ustadz Ainur Rafiq, Lc: Almarhum, semoga Alloh meridhoinya, sosok tinggi dengan wajah teduh, ahli tifan;
– Ustadz Daud Rosyid: jenggotnya yang lebat dan berwibawa;
– Ustadz Salim Segaf Al-Jufri;
– Ustadz Muzammil Yusuf, dan lain sebagainya.
Kini sebagian dari mereka menjadi sosok-sosok yang membuatku haru ketika melihat mereka mengambil suara dalam pertarungan perebutan kursi Ketua DPR di senayan dulu.

Ramadhanku di Kalibata adalah saat-saat sendiri dan sepi, karena teman kosku sering sakit dan selalu pulang ke rumahnya, (kumaha atuh kang Ujang?) Ramadhan yang berbukanya hanya dengan krupuk dan lauk seadanya, kadang makan enak di kantor. Pula ramadhanku adalah saat-saat mencari sembako dengan harga murah sampai menjelang sahur untuk kegiatan baksos di keesokan harinya, sambil menancapkan panji-panji “Keadilan”. Ramadhanku saat itu adalah saat-saat terindah di Cilember (Forum Cilember masih adakah?). Masih dengan semangat membara ala fresh graduate adik-adik kelas. Dan tidak lupa, ramadhanku adalah saat membuka biodatanya.

Ramadhanku di awal 2000 adalah ramadhanku menanti sang penerus cita-cita, dan asyik masyuk dalam 10 hari terakhir di Al-Hikmah, Bangka.

Dan kini ramadhanku adalah ramadhan yang penuh hadiah: kemenangan yang Alloh berikan kepada saudara-saudaraku. Tentang tiga buah kemenangan yakni: 1. kemenangan da’wah dalam pemilu legislatif kemarin; 2. kemenangan da’wah dalam pemilu presiden tahap dua; 3. kemenangan da’wah dalam meraih kursi Ketua MPR (nasru minnallohu only, kata Ustadz Muzammil).

Ya, itulah ramadhanku. Tak sekadar mengenang masa lalu saja, pada akhirnya ada a big question mark, dua puluh delapan ramadhan berlalu, apakah predikat “itu” telah ada pada diriku? Allohua’lam. Aku harap sih iya. Aku tidak mau menjadi orang merugi, tentu pula kau.

*)hanya sekadar episode kecil ramadhan
Dedaunan di ranting cemara
Ba’da tarawih dan shubuh.
dulu sekali 2004
edited 2005

Hah…Haqi Rangking 2?


Sebenarnya saya ingin menulis tentang tema ini sejak di akhir Juni 2005 yang lalu. Namun entahlah “ngeh”nya baru saat ini, setelah hampir tiga bulan lamanya terpendam dalam pikiran dan hanya dijadikan daftar tema yang harus ditulis dalam file computer saya. Ada apa sih di akhir Juni 2005?
Oh ya, perkenalkan terlebih dahulu anak saya yang pertama ini. Namanya Maulvi Izhharulhaq Almanfaluthi. Panggil saja ia Haqi. Tahun ini umurnya genap lima tahun. Sekarang ia naik ke kelas B di TKIT Adilla. Kelas A baru saja selesai di pertengahan Juni 2005 yang lalu. Dan seperti biasa di setiap akhir tahun ajaran diadakan acara perpisahan kelas B yang akan masuk SD dan acara pentas seni serta pemberian hadiah.
Haqi begitu bersemangat sekali mempersiapkan diri untuk ikut serta menyumbangkan diri bersama teman-temannya dalam acara itu. Mulai dari nyanyi-nyanyian, tari-tarian, dan pembacaan hafalan doa, surat, ataupun hadits.
Nah, pada saat acara itulah—yang tidak dapat saya hadiri, saya mendapatkan sesuatu yang mengejutkan. Apa coba? Haqi ranking dua. Hah…!
“Yang benar?” tanyaku memastikan.
“Swear…”kata Qoulan Syadiida di ujung sana.
“Wah hebat dong, Bagaimana ceritanya kok dia bisa?”
“Entar di rumah saja ceritanya.”
“Oke, deh.” Sambil sedikit kecewa karena hari itu aku harus kuliah dan ini berarti sampai rumah nanti berkisar pukul setengah sepuluh malam. Sebelum telepon di tutup, ia memberitahu pula bahwa di acara itu Haqi mendapatkan banyak hadiah. Syukurlah…Tapi mengapa saya terkejut dengan berita itu?
Saya mungkin adalah termasuk ke dalam golongan suami yang menyerahkan segala urusan rumah tangga dan pendidikan anak pada istri. Dan suami “pure” mencari nafkah semata. Apalagi bekerja di belantara kota Jakarta, di mana setiap pagi sebelum matahari terbit sudah harus berangkat, dan pulang setelah matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat. Sedangkan setiba di rumah, kelelahan becampur baur dengan peluh yang membasahi tubuh. Sehingga sisa waktu dipergunakan untuk langsung beristirahat. Jadi, sepertinya tidak ada waktu untuk sekadar menanyakan kegiatan sekolah anak.
Sedangkan hari Sabtu dan Minggu, adalah waktunya saya memulihkan diri dengan istirahat penuh, sehingga perasaan malaslah yang mendominasi kalau diajak bepergian ke Depok ataupun Jakarta untuk sekadar piknik atau mencari jajanan bersama keluarga.
Sehingga saya benar-benar tidak memerhatikan apa yang dilakukan Haqi di sekolahnya. Sesekali memang bersama-sama mengerjakan PR, tapi kebanyakan bersama umminya. Mewarnai? Jarang juga. Mengisi buku penghubung, apalagi. Oh ya, saya cuma membawakan majalah anak-anak dua mingguan untuknya. Itu saja. Kata umminya, Haqi susah sekali untuk diajak belajar dan ia sering sekali bermain bersama teman-temannya. Ah biarlah, saya pikir masa TK-nya Haqi adalah masa bermain-mainnya, baru kalau sudah di SD, saya turun tangan untuk berlaku ketat dalam memantaunya.
Tapi berita itu memang mengejutkan saya. Haqi yang jarang belajar. Haqi yang hobinya malah bermain, dan saya yang sama sekali kurang memerdulikan dan memerhatikan belajarnya, saya yang asyik dengan dunianya sendiri. Kok bisa, Haqi rangking dua.
Ya, betul Haqi rangking dua. Dan parameter yang saya tentukan dalam penentuan rangking yakni dengan prosentase yang besar hanya dalam belajar adalah salah. Ternyata setelah mendapatkan informasi dari guru pembimbingnya diketahui bahwa Haqi mempunyai prestasi non belajarnya yang menonjol daripada yang anak lain yakni keberanian, mempunyai emotional quotion yang baik, dan inisiatif. Walaupun prestasi belajarnya seperti hafalan dan membaca yang bagus. Wow…Haqi yang underestimate di mata saya dan saya anggap biasa-biasa saja, ternyata mempunyai kemampuan—yang menurut saya—luar biasa pada umurnya. Haqi, Abi minta maaf yah…
Ternyata kini saya paham. Saya memahami bagaimana perasaan seorang ayah terhadap keberhasilan anaknya. Saya membayangkan dulu ayah saya pun akan merasa seperti ini saat saya memenangkan perlombaan MTQ, membaca puisi, juara di kelas, ataupun saat saya dapat masuk ke STAN Prodip dan lulus di tahun 1997. Inilah perasaan seorang ayah. Inilah perasaan orang tua pada anaknya.
Saya hanya berharap, tidak hanya dengan kebanggaan itu Haqi akan tumbuh. Saya berharap Haqi tumbuh dengan kecerdasannya, keberaniannya, emosionalnya dengan apa adanya. Tidak dipaksakan dan tentu dengan sedikit arahan dari saya. Hingga ia menempuhi jalan yang benar.
Saya berharap Haqi tumbuh pula dengan kemampuan yang disunnahkan oleh Rosulullah kepada para orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan tiga hal keahlian yakni berenang, berkuda, dan memanah. Saya berharap Haqi akan tumbuh dengan itu sehingga menjadi pejuang-pejuang Islam yang handal dan kuat. Dengan kejujuran seperti Abu Bakar Asshidiq, ketegasan seperti Umar bin Khaththab, kelembutan seperti Utsman bin ‘Affan, kecerdasan seperti Ali bin Abi Tholib, keberanian seperti Khalid bin Walid, kewaraan seperti Umar bin Abdul Aziz, hingga dengan ketasawufan seperti Hasan Albanna. Itu saja.
Kini, saya katakan pada Haqi, Abi bangga padamu nak, dan maafkan Abi dengan banyaknya harap ini. Abi pun tetap mencintaimu apa adanya.

dedaunan di ranting cemara
di jelang keberangkatan ke Stasiun Jatinegara
13:07 17 September 2005

Pecinta Kata-kata


pecinta kata-kata

[Purnama menggantung di langit Jakarta, menemaniku susuri jalan menuju pulang. Tiba-tiba aku rindu pada purnama di sudut jiwa. Masihkah ia bersemayam di sana? Dan gerimispun menjelma]

Kalimat di atas adalah kalimat pembuka pada sebuah artikel baru yang ditulis oleh seorang penulis muda, seorang kontributor eramuslim.com, seorang teman, seorang sahabat dari terkasih Qaulan Syadiida, yang berjudul Dunia Kata-kata.
Sebelumnya kalimat itu terlebih dahulu mampir di sudut handphone di suatu malam, darinya. Tak sempat terjawab segera. Namun esoknya terbalas dengan:

[Jauh di barat daya. Purnama mengejutkanku saat shubuh. Adanya
tertusuk ranting cemara. Hingga tersadar tak boleh ada gerimis duka
di hati. Karena IA satu-satunya pelipur]

Setelah itu ia mengirim sebuah email tentang kepedulian dan kecintaannya pada kata-kata, hingga ia berkata: aku mencintai kata-kata dan para pecinta kata-kata. (Tak lebih).
Bagi para pecinta kata-kata, ketika menerima kata-kata indah, tergeraklah hati untuk segera membuat kata-kata berbalas yang lebih indah terasa di hati. Maukah kau tahu indahnya kata-kata di atas?
Siapa yang menyangkal indahnya purnama? Maka teman tadi membuat sebuah metafora purnama sebagai hiasan dan teman pulangnya. Ada sentakan keindahan lagi saat membaca kalimat berikutnya: “…purnama di sudut jiwa. Masihkah ia bersemayam di sana?”. Purnama di sudut jiwa, diksi yang cantik. Siapakah ia? Tanyakan saja padanya. “Gerimispun menjelma”, lagi-lagi pilihan kata yang indah menggantikan awal mula turunnya hujan.
Sedangkan saya benar-benar mengalami keterkejutan saat keluar dari masjid karena terpampang dengan indahnya purnama subuh yang membulat penuh di lihat mata. “Oh…saya tak menyangka, malam lalu adalah malam purnama,” pikir saya. Hingga saya terpesona beberapa saat. Sampai pada kesadaran bahwa saya harus mensyukuri atas kesejukan plus keindahan subuh yang tiada tara. Maka tak boleh ada gerimis duka, air mata yang menganak sungai di pipi, dan gulana yang meresahkan jiwa karena sarat beban. Sudah sepatutnya semuanya kita sandarkan pada-Nya, pemilik segala jiwa, mahapelipur segala lara.
Tak semua orang bisa menikmati kata-kata. Tak semua orang bisa mengerti tentang indahnya kata-kata. Tak semua orang bisa memahami cantiknya kata-kata. Hingga seorang pecinta kata-kata terkadang mencari, mencari, dan mencari seorang pecinta kata-kata untuk berbagi kata, berbagi keindahannya, berbagi cantiknya diksi, berbagi rasa dan imaji.
Namun ada yang harusnya tidak terlewati, pertanyaan tentang kepada siapakah kata-kata itu ditujukan? Karena jikalau ia tahu maka ada hati yang akan tersakiti. Bukan karena kata-katanya tapi karena kata-kata itu diurai kepada yang telah memiliki hati. Khusus untuk yang satu ini, maka tiga hal yang perlu dilakukan: hentikan segera, hentikan segera, dan hentikan segera. Jika tidak, ada sepasang hati yang akan membiru dan berdarah-darah tiada halalnya, atau ada satu hati yang merana karenanya.
Atau kau suarakan pada dunia dengan sekeras-kerasnya, tidak berbisik, tidak pada media yang amat-amat pribadi. Maka berikanlah kata-kata indahmu pada hati yang telah halal untukmu.
Seperti yang Qaulan Syadiida kirimkan kata-kata indahnya pada saya:

[Bunga mawarku mungkin hanya satu dari jutaan mawar di dunia. Tapi mawarku istimewa, unik dan sangat berharga bagiku. Karena aku telah menghabiskan waktu bersamanya, melakukan banyak hal untuknya maka aku mencintainya, meski durinya kadang menyakitiku. Jika cinta dan luka adalah dua sisi yang berkelindan dari keping yang sama mungkin aku harus belajar lapang dada agar duri mawarku tak mengenai permata hatiku, cukup aku. Meski aku tak tahu bila durinya kembali menyakitiku.]

Maka saya pun membalasnya dengan kata-kata:
[Aku merinduimu layaknya api merindui air. Aku merniduimu layaknya layar merindui angin. Aku merinduimu layaknya tanah kering merindui hujan. Maka kemarilah wahai pelipur lara untuk tuntaskan kerinduan].

dan menambahnya dengan:
[Aku mencintai kata-kata dan para pecinta kata-kata , ujar seorang teman pujangga. Maka deraskanlah kata-katamu hanya untukku bak badai yang tak temukan habisnya].

Tapi ingatlah wahai Qaulan Syadiida, sesungguhnya tiada sebaik-baik kata-kata kecuali kalimat pengesaan-Nya. Tiada sebaik-baik syair kecuali firman-Nya. Maka cintailah dengan utama kata-kataNya. Deraskanlah ia di bibir dua puluh sisi setiap harinya. Sejak itu kau akan rasakan indahnya, nikmatnya. Maka bolehlah aku dan kau disebut sebagai pecinta kata-kata.

dedaunan di ranting cemara
di antara penat yang tiada lelah mencabikku
00:46 05 Agustus 2005

Sepenggalah Suluh Untuk Kawan


04.08.2005 – sepenggalah suluh untuk kawan

Pagi ini masih saja aku menjadi bagian dari kemalangan yang menimpa ruh ruh kebaikan manusia di dunia. Sampai saat kubaca paragraf-paragraf indah tentang sebuah cinta dan kerinduan. Dan sampai detik itu pula aku tersadar waktu akan meninggalkan dhuha. Seperti dhuha-dhuha lama di Lido, Cibatok, Cilember atau di sudut kamar kost sempit kita dulu.

Semuanya penuh cinta, kawan, penuh hamasah, penuh ruhul jadid yang menggelora di dada yang dekat dengan mushaf di saku. Semuanya penuh robithoh, penuh qiyamullail, penuh shaum di setiap senin dan kamis. Semuanya penuh dengan peluh dan telapak kaki yang menebal karena susuri jalan-jalan sempit di antara sela-sela perkampungan padat rumah-rumah kost, atau karena tiada yang rindang di sepanjang jalan menuju masjid tercinta.

Itu semua karena kita masih tersadar betapa jalan dakwah begitu terjal dan sepi jauh dari keramaian yang akan membuat kita lupa dan terserang virus riya. Sering kali kita beristighfar sadari setiap kelalaian, sadari niat yang melenceng dari relnya semula.

Oh ya, ghodhul bashor pun tak lupa menjadi keseharian kita. Karena sesungguhnya mata adalah pintu dari panah-panah syaitan yang akan merobek-robek jaring-jaring iman kita.

***** Dhuha telah meninggalkanku, sedangkan aku masih berusaha mengingat memori yang kian hilang ditelan kesibukan dunia. Tapi yang pasti aku kembali ingat tentang semuanya itu kawan, tentang cinta itu, tentang foto-foto dalam album tua itu yang masih tersimpan di tumpukan paling bawah dalam lemari bukuku. Padahal tadi malam aku masih tidak ingat tentang cinta itu kawan…
dedaunan di ranting cemara
Sepenggalah suluh di antara dedaunan untuk: Faisal Alami, Ujang Sobari, Suprayitno, Ramli, Amran, Anwar, Abas, LBH, Si Kembar Madiun, yang di Sukabumi, dll. dari atoz

Sumber: renungan di medio 1997

Buat yang mau Selingkuh: Jangan Pernah


jangan pernah

jangan pernah sekalipun engkau sembunyikan kebusukan itu…
jangan pernah sekalipun engkau sembunyikan kebusukan itu
jangan pernah sekalipun engkau sembunyikan kebusukan
jangan pernah sekalipun engkau sembunyikan
jangan pernah sekalipun engkau
jangan pernah sekalipun
jangan pernah
jangan

bahkan sebelumnya

jangan
jangan pernah
jangan pernah sekalipun
jangan pernah sekalipun engkau
jangan pernah sekalipun engkau berbuat
jangan pernah sekalipun engkau berbuat kebusukan
jangan pernah sekalipun engkau berbuat kebusukan…

karena
suatu saat
semuanya akan
mencium kebusukan itu

dedaunan di ranting cemara
di saat kebusukan itu tercium sudah
sesaat setelah membaca puisi penulis novel IMPERIA: Akmal N Basral
20:10 29 Juli 2005

5 Dasawarsa 12 Purnama


untuk bapak:
(dalam perjalanan menempuh 51 usia)

aku tak peduli
pada waktu yang terus berputar
bahkan aku tak mau tahu
pada waktu yang terus menancapkan seringainya
agar aku ingat masa kanak-kanakku
agar aku ingat masa-masa remajaku
agar aku ingat masa-masa kedewasaanku
tapi aku tetap tak mau tahu

ohhhh….
naifnya aku
karena aku tak mau tahu
sementara banyak kawan dan cerita
punya selaksa cinta bahkan berjuta
sedang aku hanya sebutir adanya
ohhhh….
sementara waktu terus menerus menyeringai padaku
tak mau berbelas kasihan

sampai…..
pada suatu titik kesadaran
bahwa aku adalah
lima dasawarsa dan dua belas purnama

wahai sang waktu…
maka saksikanlah hari ini
aku lima dasawarsa dan dua belas purnama
kuluruhkan semua energiku
atas nama cinta
cinta pada kawan bahkan pada cerita
bukan selaksa dan sejuta
tapi sedepa, sehasta, bahkan seisi mayapada
hari ini,
ada sebuah rasa yang mendesak untuk kuungkap
bahwa..
aku mencintaimu kawan…
atas nama-Nya

***
dedaunan di ranting cemara
di antara kepingan tahun ke-51

Novel Imperia


14.7.2005 – resensi NOVEL BARU Akmal: IMPERIA dan Penaklukan Yerusalem

Tentang resensinya Bang Ekky terhadap Imperia-nya Bang Akmal, setidaknya saya sedikit banyak dapat memahami betapa ensiklopedisnya bang Akmal. Ini dapat dilihat dalam paragraph:
“Tetapi, semangat eksplorasi ensiklopedis ini ternyata juga menjadi
bumerang. Akibatnya, cerita menjadi tidak intens dan tidak fokus, di
beberapa tempat. Dan ini yang membedakannya dengan gaya Brown.”
Eksplorasi ensiklopedis ini juga pernah ditanggapi oleh Bang Herry Nurdi dalam resensinya:
“Cerita terakhir, tentang kesaktian Akmal Nasery Basral nampak ketika terjadi diskusi diruang maya milis Forum Lingkar Pena tentang film Kingdom of Heaven. Film yang berkisah tentang Sultan Saladin, King of Lepre, Balian of Ibelin, Tiberias dan berbagai tokoh lain dalam sejarah Perang Salib. Beberapa anggota milis berdebat tentang jalan cerita dan pemerannya. Tentang fiksi dan fakta, tentang eksis atau maya. Dan di antara perdebatan itu, Akmal muncul dengan postingan yang panjang menjelaskan sekian fakta tentang beberapa tokoh, lengkap dengan sejarahnya, asal kotanya, bahkan nama-nama kecil mereka dan nasib mereka setelah peristiwa yang digarap Ridley Scott dalam film itu.”
So, Bang Ekky dan Bang Herri Nurdi tahu persis mengenai Bang Akmal. Ini yang diharapkan bagi para pembaca (saya) dalam membaca resensi kedua abang ini, bahwa peresensi menulis dari kedalaman pengetahuannya dan memahami betul terhadap objek (imperia) juga subjeknya (bank Akmal).
Dalam membaca karya dua peresesensi ini setidaknya saya tidak alami sedikit gangguan. Beda ketika saya membaca sebuah ulasan Film Kingdom of Heaven di Majalah Tempo di halaman 151-152 kolom 6 paragraf 2 edisi 16-22 Mei 2005.
Entah ini sudah diulas (di sadari) oleh Bank Akmal (selaku wartawan Tempo) dalam membaca resensi film itu atau saya juga enggak tahu kalau sudah ada yang mengirim sedikit kritik atas ulasan tersebut dari pembaca Majalah Tempo yang lain—saya sudah mengirim email ke redaksi Majalah Tempo untuk sedikit bercerita tentang paragraph tersebut namun email saya balik lagi dengan “alert” yang berbunyi email undeliverable, mungkin email server di kantor kami yang sedang ngadat.
***
Senin itu Majalah Tempo baru milik teman sudah tergeletak dengan manisnya di meja saya. Setelah sedikit membaca berita utama saya tergerak untuk membaca ulasan film itu yang judul tulisannya adalah “Yang ‘Kudus’ ..yang Berdarah”.
Saya terbentur di halaman, kolom dan paragraph tersebut. Memori saya langsung bergerak memutar sedikit ruang ‘ensiklopedi’ kecil di kepala saya. Apa isi dari paragraph itu, setidaknya saya penggal pada bagian intinya:
“….dan seperti Abu Bakar yang menaklukkan Yerusalem pada 637, atau di dunia Islam Arab lain kala itu, ia mengijinkan warga Yahudi untuk melakukan pekerjaan apa saja, mulai dokter sampai pegawai…”.
Nah di sinilah letaknya yakni pada Abu Bakar yang menaklukkan Yerusalem pada 637.
Dapat saya ungkapkan di sini adalah bahwa yang menaklukkan Yerusalem pada era awal pemerintahan Islam Pasca kematian Rosululloh Muhammad SAW adalah sahabat Umar bin Khaththab ra bukan sahabat Abu Bakar (Ashshidiq) ra. Itupun terjadi pada tahun 638 M bukan di tahun 637 M.
Yang pertama ingin saya komentari adalah tahun terlebih dahulu, namun dalam masalah tahun hal ini masih bisa diperdebatkan karena menyangkut adanya konversi dari hijriah ke tahun masehi. Karena dalam berbagai referensi yang saya baca menunjukkan tahun-tahun yang berbeda, berkisar 636 dan 638 M.
Perbedaan tahun penaklukkan itu dapat diungkapkan di sinisebagai berikut:
1. Ensiklopedia Tematis DUNIA ISLAM jilid 2 (ensiklopedi ini pas ada di samping Majalah Tempo); PT Ichtiar baru Van Hoeve: terjadinya pada tahun 638 M;
2. Ensiklopedi Islam jilid 5; PT Ichtiar baru Van Hoeve: tahun 636 M (penerbit yang sama memberikan tahun yang berbeda dalam amsalah ini);
3. 100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah; Michael H Hart: Pustaka Jaya: Penakhlukkan Yerusalem terjadi dua tahun setelah Yarmuk (636 M) berarti terjadi pada tahun 638M;
4. Umar Bin Khattab; Muhammad Husin Haekal: Litera Antar Nusa: Penaklukan terjadi 15 Hijriah berarti tahun 622 M (tahun Rasululloh hijrah ke Madinah) ditambah 15 tahun jadi sekitar tahun 637 M, tapi yang fatal (ini entah kesalahan cetak atau bukan saya tidak tahu) ditulis dalam tanda kurung adalah pada tahun 535 M.
5. History of The Arabs; Philip K Hitti: Serambi Ilmu Semesta; tahun penaklukan berkisar tahun 638M.
Saya berusaha mencari di tiga buku lainnya tentang sejarah Daulat Islamiyah yang menyangkut pula Yerusalem ternyata tidak memuat tahun penaklukannya.Sekali lagi bahwa masalah tahun masih bisa diperdebatkan.
Namun yang paling fatal pula adalah bahwa penaklukan Yerusalem itu dilakukan oleh Abu Bakar—saya anggap nama ini adalah nama pendek dari Abu Bakar Assidiq, khalifaturasyidin pertama. Dari delapan buku yang saya baca semuanya jelas-jelas merujuk pada tokoh Umar bin Khattab bukan sahabat Abu Bakar Assidiq.
Salah satu contohnya bisa dilihat pada buku Ensiklopedia Tematis DUNIA ISLAM jilid 2 di halaman 48 kolom 2 paragraf 3:
“Persetujuan ini disampaikan kepada Khalifah di Madinah, yang disertai permohonan agar Umar bersedia datang untuk menerima penyerahan Yerusalem. Pemimpin ini menyetujui perjanjian itu dan segera berangkat ke Palestina. Pada tahun 638 M, penyerahan kota suci itu dilakukan dari Patriach Sophorius kepada Khalifah Umar bin Khaththab.”
Sedangkan pengembangan wilayah pada masa Abu Bakar belum sampai pada penguasaan Yerusalem, bisa di baca pada halaman 47 buku yang sama pada kolom 2 paragraf 3:
“Pengembangan wilayah pada masa Abu Bakar berlangsung dari 12-13 H. Pada akhir pemerintahannya, pasukan Islam telah dapat menguasai daerah yang cukup luas. Selain Jazirah Arabia, yang dapat disatukannya kembali setelah munculnya gerakan pembangkang, beberapa daerah di luarnya dapat ditaklukan dan dimasukkan ke dalam kekuasaannya. Wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukannya pada masa khalifah pertama ini antara lain Ubullah (terletak di pantai Teluk Persia), Lembah Mesopotamia, Hirah, Dumat al Jandal (kota benteng yang terletak di perbatasan Suriah), sebagian daerah yang berbatasan dengan Palestina, perbatasan Suriah dan sekitarnya.”
Kesimpulannya adalah Abu Bakar tidak sempat membebaskan Yerusalem pada masa keperintahannya karena beliau keburu wafat. Pada masa Umar bin Khattab itulah dilanjutkan ekspedisi tersebut hingga akhirnya Yerusalem dapat ditaklukkan.
Demikian koreksi ini saya sampaikan, karena bagi mereka yang terbiasa membaca tentang sejarah Islam akan mengalami “keterperanjatan” yang mengganjal.
Saya mohon maaf kalau hal (ulasan Kingdom of Heaven) ini sudah basi, atau sudah dibahas oleh Bang Akmal dalam postingan yang terdahulu, karena saat itu saya belum mengikuti milis ini.
Kurang lebihnya mohon maaf. Billaahittaufiq wal hidayah.
Wassalaamu’alaikum wr.wb.
dedaunan di ranting cemara
di antara malam yang smakin menggigit
citayam, 02.15, 15 Juli 2005

1000 dan 1 Malam


1000 dan 1 Malam
(Alfu Lailah Wa Lailah)

Ada yang menarik dalam tema perbincangan di milis ini, yakni tentang menulis fantasi dalam Islam, hingga menghubungkannya dengan Kisah Seribu Satu Malam yang dianggap berasal dari sastra Islam, benarkah? Tulisan ini tidak membahas tentang penulisan fantasi dalam Islam namun berpokok pada apa dibalik Kisah Seribu Satu Malam.
Siapa yang tidak kenal dengan cerita Aladin dan Lampu Wasiat, Ali Baba dengan Empat Puluh Penyamun, dan Sindbad si Pelaut. Apalagi sejak ditayangkan secara visual di layar kaca ataupun layar perak produksi Holywood. Semuanya pasti setuju bahwa kisah itu diambil dari Kisah Seribu Satu Malam. Kisah yang amat terkenal dari abad-abad lampau hingga saat ini. Tapi tahukah Anda bahwa kisah itu adalah cuma terjemahan saja dan bukan buatan sastrawan-sastrawan ternama pada puncak kejayaan Baghdad?
Saat itu Kekhalifahan Abbasiyah berada pada puncak tangga tamadun. Politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dan di segala bidang lainnya mengalami kemajuan pesat daripada masa-masa sebelumnya. Salah satunya adalah di bidang sastra. Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia syair sebagai titik puncak dari berkesenian—ini dikarenakan pula Bani Umayyah adalah bani yang sangat resisten terhadap pengaruh selain Arab, maka pada zaman Bani Abbasiyah inilah prosa berkembang subur. Mulai dari novel, buku-buku sastra, riwayat, hikayat, dan drama.
Bermunculanlah para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik pusi maupun prosa. Dari yang ahli sebagai penyair (seperti Abu Nuwas), pembuat novel dan riwayat (asli maupun terjemahan), hingga pemain drama.
A Hasymy dalam bukunya berjudul Sejarah Kebudayaan Islam mengungkapkan perkembangan salah satu seni sastra itu yakni tentang novel terjemahan. Di sana disebutkan bahwa kebanyakan novel diterjemahkan dari bahasa Persia dan Hindi. Ada yang sesuai dengan aslinya atau diterjemahkan dengan ditambahkan perubahan-perubahan bahkan disadur.
Salah satu novel terjemahan yang termasyhur itu adalah Alfu Lailah Wa Lailah. Novel ini berupa hikayat yang disadur dari bahasa Persia sebelum abad IV Hijriyah. Walaupun bentuknya saduran namun menceritakan tentang kehidupan mewah masyarakat Islam pada masa itu.
Dalam Ensiklopedi Islam Jilid I (EI1) disebutkan pula tentang hikayat ini bahwa ia berasal dari kumpulan cerita berbahasa Persia yang berjudul Hazar Afsanak (Seribu Cerita) yang ditulis ulang oleh Abdullah bin Abdus al-Jasyyari (942 M).
Ada yang berpendapat bahwa hikayat ini ditulis oleh lebih dari satu orang pada periode yang berbeda, berikut periode tersebut (EI1 hal.106):
– Bentuk pertama adalah terjemahan harfiah dari Hazar Afsanak, diperkirakan berjudul Alf Khurafat (Seribu Cerita yang Dibuat-buat);
– Bentuk kedua Hazar Afsanak dengan versi Islam berjudul (Seribu Malam), pada abad 8;
– Bentuk ketiga berupa cerita Arab dan Persia dibuat pada abad 9;
– Bentuk keempat adalah susunan al-Jasyyari pada abad ke-10 yang mencakup Alf lailah dan cerita-cerita lain;
– Bentuk Kelima kumpulan yang diperluas dari susunan al-Jasyyari dengan tambahan cerita-cerita Asia dan dan Mesir, abad ke-12, pada periode ini judul itu berubah menjadi Alfu Lailah Wa Lailah
– Bentuk Keenam adalah Alfu Lailah Wa Lailah ditambah dengan cerita-cerita kepahlawanan dinasti Mamluk sampai awal abad ke-16.
****

Kisah atau hikayat yang diceritakan itu ada yang mengenai jin, kisah percintaan, legenda, cerita pendidikan, cerita humor, dan anekdot. Kebanyakan berlatar belakang kehidupan istana di Baghdad, Syam, dan Mesir (EI1 hal. 107).
Secara garis besar kisahnya adalah sebagai berikut:
Kisah ini dituturkan dngan gaya bercerita oleh Syahrizad, istri Raja Syahriyar, yang bercerita atas permintaan adiknya, Dunyazad, dan didengarkan oleh sang raja. Syahrizad bercerita agar sang raja tidak melakukan pembunuhan terhadap istrinya.
Disebutkan bahwa Raja Syahriyar dan adiknya, Raja Syahzaman, pada mulanya adalah raja yang adil selama 20 tahun pemerintahannya, namun kemudian berubah menjadi raja yang kejam yang membunuh setiap wanita yang dikawininya pada malam pertama pernikahan. Perubahan sifat raja berawal dari penyelewengan istrinya dan penyelewengan istri adiknya yang melakukan perzinahan dengan budak berkulit hitam sewaktu raja pergi berburu. Perbuatan itu dilihatnya sendiri karena ia tiba-tiba pulang untuk mengambil sesuatu yang terlupa. Istrinya yang berkhianat dan budak itu dibunuhnya. Ketika ia berada di negeri adiknya, Syahzaman, ia juga melihat perbuatan seorang istri adiknya dengan budak berkulit hitam sewaktu adiknya tidak berada di rumah.
Syahriyar menjadi orang yang tidak percaya pada setiap wanita. Dendamnya pada wanita dilampiaskannya pada gadis-gadis yang dinikahinya. Setelah beberapa lama, di negeri itu sudah tidak didapatkan lagi gadis yang akan dipersembahakan kepada raja, kecuali puteri wazir, yaitu Syahrizad.
Syahrizad bersedia dinikahkan dengan raja untuk menyelamatkan nyawa wanita-wanita yang lain. Syahrizad digambarkan sebagai wanita cerdas yang banyak membaca cerita, hikayat, dan kisah lama. Sejak malam pertama sampai malam ke 1001, ia bercerita berbagai cerita secara bersambung sampai subuh dan bila siang hari ia tidak bercerita. Dengan cerita-cerita ini akhirnya raja sadar dan insaf, dan puteri Syahrizad selamat dari pembunuhan. (EI1 hal. 107)
****
Penyebaran Alfu Lailah Wa Lailah ke Eropa dalam bahasa Perancis dilakukan pertama kali oleh sarjana Perancis, Jean Anthoni Galland. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikenal dengan judul The Arabian Nights.
Singkatnya baru pada tahun 1896 buku yang diterbitkan oleh percetakan negara Bulaq—dekat Kairo, diberi gambar oleh Husyain Biykar. Edisi Bulaq inilah yang di kemudian hari menjadi patokan dalam penterjemahan ke dalam bahasa-bahasa terkenal dunia. (EI1 hal 106).
Namun sayangnya penggambaran-penggambaran itu membuat 1001 Malam lebih berubah. Dulu sekali, dalam sebuah film barat yang judulnya saya lupa, di salah satu adegannya diceritakan tentang seseorang yang sedang membaca buku 1001 Malam yang dipenuhi dengan gambar-gambar vulgar dari orang bersurban (sultan?) sedang berhubungan intim dengan lawan jenis.
Jadi pada saat ini kisah 1001 malam (versi barat) tidak bedanya dengan kisah-kisah porno. Tapi entahlah, saya belum pernah memegang buku itu sekalipun, baik dalam versi asli maupun terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Saya hanya tahu kisah itu dari dongeng-dongeng yang bertebaran di majalah Ananda dan Bobo, dulu. Namun dari film-film kartun produksi Holywood, setidaknya kita bisa berpikir dan bertanya dalam hati sudah Islamikah? Tentu tidak.
Betul 1001 Malam muncul pada saat kejayaan umat Islam mencapai puncaknya di Baghdad sehingga stereotip yang ada adalah bahwa 1001 Malam adalah sastra Islam, namun dengan melihat kenyataan yang ada, patutkah ini disebut sastra Islam atau sastra bersumberkan Islam?*) Sedangkan sastra bisa dikategorikan sebagai ‘sastra bersumberkan Islam’ bila ianya mengusung nilai-nilai universal yang tak bertentangan (atau malah sesuai) dengan ajaran Islam.(Helvi: 2003).
Allohua’lam.

*)Pada saat masa puncak itulah terjadi pertentangan antara ulama-ulama terpercaya dengan para seniman yang mulai beraninya (dengan dukungan para pejabat istana tentunya) mengembangkan seni yang dilarang pada masa-masa awal atau masa sebelumnya (dinasti Umayyah) yakni bermain musik, bermain drama dengan peran wanita dipertontonkan di hadapan penonton pria, kubah-kubah istana dan kaligrafi-kaligrafi bergambar makhluk hidup, dan patung-patung manusia.

Sumber Rujukan:
1. C Israr; Sejarah Kesenian Islam; Bulan Bintang; 1978;
2. A Hasymy; Sejarah Kebudayaan Islam; Bulan Bintang; 1995;
3. Ensiklopedia Islam Jilid 1; PT Ikhtiar Baru Van Hoeve; 1999;
4. Helvy Tiana Rosa; Segenggam Gumam; PT Syaamil Cipta Media; 2003;
5. Philip K. Hitti; History of The Arabs; PT Serambi Ilmu Semesta; 2005

yahya ayyasy
dedaunan di ranting cemara
citayam, 22.10 WIB, 11 Juli 2005

ps.
Bila terdapat kesalahan mohon dikoreksi.

Hari Ini Aku Berburu Buku


Assalaamu’alaikum wr.wb.

Ba’da takbir, tahmid, dan salam.

Wahai ukhti fillah….
(istilah ini saya pakai lagi setelah 8 tahun sudah tertinggal di kampus)
Semoga Allah memberikan kita yang terbaik.
Dua minggu tidak menulis “sesuatu”?
Ah masak….
Bukankah setiap perbuatan-perbuatan kebaikan itu adalah upaya menulis juga, menulis hati kita, agar senantiasa ter-relief indahnya sinaran kebaikan. Bukan selalu kelamnya keburukan-keburukan saja yang ada pada segumpal darah itu.
So, bukankah setiap email yang engkau kirim kepada sahabat-sahabat tercinta adalah suatu upaya menulis juga, upaya menuangkan gagasan dari pikiran kita? Bagi kami hal-hal kecil semacam ini adalah upaya melatih kepekaan kita dalam mengolah gagasan-gagasan tersebut ke dalam kata-kata yang tertulis.
Atau bagi Antiitu bukan suatu maha karya? Sesungguhnya adikarya berawal dari satu huruf, satu karya kecil, atau satu langkah ke depan. Ingat bukan, tentang seorang tukang batu yang berhasil memecahkan batunya di pukulan yang keseratus, tetapi ia sadar semuanya terjadi karena ia memulai pukulannya di pukulan yang pertama.
Ayo, tetap semangat, sesungguhnya ketika Anti tidak menulis secara lahir tapi Antitetap sedang menulis perjalanan hidup di benak anti. Suatu saat semua yang Antilihat, dengar, dan rasakan akan muncul dengan mudahnya, dengan begitu saja, tanpa ada aral yang melintang. Maka Anti tinggal menunggu pemantiknya, kunci pembukanya, yang akan mengeluarkan semuanya itu dengan indahnya seindah purnama di lima belas.
Pun dengan tiga hari Anti membaca begitu banyak buku, itu bukan suatu “cuma”, tapi itupun adalah dalam rangka memperkaya dan mengisi khazanah ke dalam jutaan ruang rasa dan makna. Tidak banyak orang yang dapat menyelesaikan banyak buku untuk dibaca. Tidak banyak orang yang dapat mengambil sari pati dari banyak buku yang ia baca. Dan tidak banyak pula orang yang dapat menjadikan banyak buku yang ia baca sebagai pemicu supaya ia dapat mencintai sahabatnya dengan cinta karena Allah yang lebih tulus lagi. Sebagai pemicu supaya ia berbuat sejuta kebaikan di setiap harinya. Sebagai pemicu supaya ia menjadi penerang bagi orang lain. Antipasti ingat tentang “hanya dengan shalat dan sabar, Allah akan membuka semua itu”.
So, saya yakin Antiadalah orang yang mampu untuk menjadi ketiganya itu. Semoga.
Allahua’lam.
 Tetap dengan senyum terindah.
****
Wahai ukhti fillah,
tentang banyak hal yang aku lakukan?
Baru saja hari ini saya membeli banyak buku di tempat sekelas kaki lima, di kramat sana, bukan tempat ber-ac laiknya di bookfair. Namun harganya itu loh…murah banget booo. Di tempat yang saya biasa beli sejak 10 tahun yang lampau.

(bajakan bukan yah…?, maaf kalau ini sangat menyinggung, soalnya biasanya penulis sering Antipati pada yang namanya kramat, semoga tidak)
Mau tahu buku-buku itu:
1. Mushaf terbitan Syamil;
2. History of The Arabs, Philip K Hitti (ini yang saya “ngebet banget” waktu di Bookfair, tunggu saja akan saya lahap dikau di akhir pekan ini);
3. Mensucikan Jiwa, Said Hawwa, terbitan Robbani Press;
4. Agenda Tarbiyah: Mencetak Generasi Rabbani;
5. Biarkan Bidadari Cemburu Padamu;
6. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, Suad Husnan (orang Bapepam harusnya punya buku ini, punyakan…?;
7. Ada satu lagi namun segera dibawa sang kekasih, sebuah novel: judulnya lupa (kok bisa, yah inilah manusia).
Yang jadi pikiran saya saat ini, mau ditaruh di mana buku-buku itu, sedang almari pun sudah tak muat. Makanya tebaran buku dimana-mana sudah menjadi penghias rumah saat ini.
Itu saja sih…semoga engkau menjadi yang lebih cepat lagi, semoga engkau selalu menjadi manusia yang senantiasa “iri” dengan kebaikan-kebaikan orang hingga memicu engkau untuk selalu berbuat kebaikan, dan semoga engkau selalu menjadi orang yang mampu menggebrak ketika menyajikan soto (loh kok Jaka Sembung sih, emang soto gebrak…..?). 
Maaf tak sempat mampir di persinggahanmu….lagi kukutip ia.
Maafkan saya.
Allohua’lam.

Wassalaamu’alaikum wr.wb.

dedaunan di ranting cemara
di antara tumpukan buku
kalibata, 14 Juli 2005

ps.
Sudah sebagian besar tulisan Anti saya baca. Karena harus bergantian dengan sang kekasih. Komentar awal: bagi siapa saja yang mau mengenal sosok azimah rahayu lebih mendalam, lebih detil, ruang berpikirnya, sejuta makna yang ia miliki, maka baca buku pagi ini aku cantik sekali dan hari ini aku makin cantik. Itu lebih dari cukup dibanding dua lembar berisi biodata untuk ta’aruf. 
Komentar kedua: Saya membacanya sambil terduduk, terpekur di pojok ruangan yang paling sudut, khusyu’….

ATM Tertelan


6.7.2005 – pelajaran hari ini: ATM saya tertelan

Hari ini banyak pelajaran penting yang saya dapat. Di tengah tumpukan pekerjaan yang menggunung, di tengah tekanan tugas kuliah yang harus segera dikumpulkan, di tengah ancaman sanksi denda 50% bila tidak membayar tuition fee hingga tanggal 10 Juli 2005 ini, ternyata tetap dibutuhkan akal sehat agar saya bisa lolos dari tekanan-tekanan itu.
Maka apa yang terjadi pada saya saat akal sehat tidak digunakan maka timbul aksi terburu-buru yang pada akhirnya membawa saya kepada kesulitan lainnya. Contohnya adalah saya yang biasanya hapal nomor pin ATM Bank Muamalat tiba-tiba kehilangan memori untuk mengingat empat digit yang harus saya masukkan ke layar. Dan bodohnya saya memaksakan diri. Sutttt…..bunyi suara ATM menelan kartu begitu menyesakkan dada.
Telepon ke sana-kemari untuk memastikan simpanan saya aman-aman saja adalah jalan akhir yang harus saya lakukan. Besoknya pula saya harus mengurus ke kantor bank di mana saya membuka rekening. Jauh lagi. Pekerjaan kantor pun terbengkalai jadinya.
Duh Gusti….Maka biasanya setelah itu saya sering merenung: kesalahan apa yang telah saya perbuat pada-Nya. Dan ketika kuhitung Masya Allah….tiada berkesudahan diri ini membuat hati semakin gelap tiada bening lagi, sebening air gletser di kutub utara sana.
Karena saya meyakini bahwa musibah atau kesulitan yang saya alami adalah salah satu bentuk dari dua, yakni ujian atau memang hukuman. Jikalau ujian maka bersyukurlah bila saya dapat melewatinya dengan berhasil dan naiklah derajat keimanan kita–tapi ingat nanti akan berbanding lurus dengan ujian yang lebih berat lagi. Jikalau musibah maka bersabarlah karena sesungguhnya Allah tak akan memberikan beban yang sungguh tak sanggup untuk kita memikulnya.
Entahlah, hari ini saya menerima ujian atau musibah. Tapi setidaknya saya dapat pelajaran penting hari ini, yakni ketahuilah: jangan terburu-buru, karena terburu-buru adalah perbuatan syaitan.
Allahua’lam.
******Ya Allah ampuni aku
dedaunan di ranting cemara
di antara angka-angka
kalibata, 06 Juli 2005