BATIK YANG TERBAKAR


Baju batik itu terbungkus kertas kado yang cantik dan dimasukkan pada tas jinjing dari bahan karton yang tebal. Diserahkan oleh seorang teman kepada saya sebagai hadiah karena selama ini telah banyak membantunya. Ah, sebuah bantuan yang tak seberapa: membuat puisi-puisi untuk dibacakan di setiap acara kantornya. Sayang baju batik itu terbakar.

Suatu ketika dalam perjalanan dinas ke Pekalongan, kota yang terkenal dengan batiknya itu, saya sempatkan mampir ke sebuah butik batik yang ada di sana. Banyak pilihan bagus tidak membuat saya bingung, saya cukup dengan kriteria warna dan ukuran yang pas dengan saya. Dua baju batik lengan panjang dan pendek terbaik saya beli. Sayang semua itu juga ikut terbakar.

image

Saya bersama teman-teman kantor dalam suatu acara, berdiri paling kanan dengan salah satu baju batik yang terbakar.

 

Pertengahan tahun 2010, bagian atas belakang rumah saya kebakaran. Api membakar habis kamar tempat tumpukan pakaian sehabis dicuci, syukurnya tidak merembet ke bagian bawah dan rumah lain. Tidak ada korban jiwa dan kebakaran dapat ditangani segera karena sigapnya para tetangga dalam memadamkan api. Penyebabnya kami tidak tahu sampai sekarang, entah karena korsleting atau obat nyamuk bakar.

Setiap musibah baik besar ataupun kecil—sekadar kaki tersadung batu—selalu saya jadikan sarana kontemplasi. Apa yang sudah saya perbuat? Dari hasil perenungan itu saya mendapatkan banyak pelajaran. Salah satunya: jika ada sesuatu yang teramat dicintai maka bersiaplah untuk kehilangan. Kebetulan baju batik pemberian teman dan yang saya beli di Pekalongan itulah batik favorit yang biasa saya pakai ke kantor.

Kebakaran itu tidak melahap semua baju batik yang saya punya. Ini melegakan, karena ini berarti saya masih punya cadangan baju batik untuk pergi ke kantor. Memang, pada waktu itu kantor saya—yang juga merupakan instansi pemerintahan—mewajibkan berbatik pada hari Rabu dan Jumat. Kebijakan berbatik di hari Rabu ini bukan merupakan kebijakan kantor pusat kami. Kantor pusat hanya mewajibkan berbatik pada hari Jum’at saja.

Tambahan hari itu sebagai bukti komitmen dan kecintaan kantor kami kepada warisan budaya leluhur yang wajib dijaga. Itu tak masalah bagi saya. Apalagi saat ini—setelah era reformasi—pandangan masyarakat terhadap batik pun mengalami pergeseran.

Dulu saya merasakan sekali persepsi tentang batik yang ada pada masyarakat, antara lain bahwa batik itu hanya dipakai oleh aparat pemerintah, baju khusus untuk resepsi, sangat tidak modis, dan ortodok. Persepsi pertama bisa dikarenakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada saat itu, di hari-hari tertentu diwajibkan untuk memakai baju Korpri yang kebetulan bermotif batik warna biru.

Sekarang sudah berubah. Batik sudah menjadi milik bersama. PNS ataupun karyawan swasta memakai baju batik sebagai busana kantornya. Batik pun mengikuti tren. Warna yang tidak mainstream. Mode zaman dulu yang kaku sampai-sampai hampir tak bisa dibedakan mana baju batik pria dan wanita sudah tak ada lagi. Kini tak aneh pula melihat pemandangan wanita yang memakai rok batik, blus batik, blazer batik, kaos batik, gaun batik, busana muslim batik, ataupun pria yang memadupadankan batik dengan jeans.

Batik pun sudah menjadi ikon pencitraan. Ikon untuk mengirimkan pesan ke dalam pikiran bawah sadar—pikiran yang seringkali menjadi penentu pilihan—dari target komunikan. Pencitraan dari perusahaan layanan penerbangan, hotel, restoran, pasangan aspiran kepala daerah, sekolah, penggemar klub sepakbola dunia, dan masih banyak lagi lainnya.

Seiring perkembangan zaman, teknologi, gaya hidup masyarakat, serta hukum ekonomi permintaan dan penawaran yang berlaku maka batik pun menjadi komoditas yang terangkat harkatnya. Semula produk buatan tangan menjadi produk yang dihasilkan secara masif dari pabrik kain tanpa menurunkan kualitas kain dan corak motifnya. Semula hanya dijual di rumahan, toko batik berskala kecil, dan pasar tradisional, kini batik menjadi barang jualan yang laku dijual di rumah-rumah busana, ruang-ruang pamer, toko ritel modern, gerai-gerai, dan butik-butik batik ternama.

Metode penjualannya pun berkembang. Tak hanya secara offline, di era digital seperti saat ini situs-situs batik online pun bermunculan. Ini memberikan alternatif dan kemudahan cara berbelanja bagi para pembeli yang tak punya waktu luang di tengah-tengah kesibukannya. Apalagi ditengarai bahwa belanja secara online akan menjadi tren yang tak terelakkan. Karena ia memberikan sensasi belanja yang tak biasanya. Satu yang dibutuhkan untuk hal ini adalah kepercayaan.

Pembeli percaya bahwa situs batik online itu tidak pernah menipu dan selalu jujur antara deskripsi kualitas dari batik jualannya di dalam situs dengan kualitas batik dalam kenyataannya. Penjual pun percaya kalau pembeli juga tidak main-main dalam memesan dan cara pembayarannya. Kepercayaan mengikat semuanya, para pihak.

Dengan “mata uang” yang sama bernama kepercayaan itulah, pada September di tahun yang sama, saya pun dipindah ke kantor pusat. Tak lama kantor pusat juga menerapkan aturan berbatik buat seluruh pegawainya yang tersebar di seluruh Indonesia selama dua hari dalam sepekan yakni pada hari Selasa dan Jumat. Ini menyenangkan, karena bagi saya batik membuat tempat kerja semakin penuh warna. Tidak terlihat monokrom.

Sebagai hadiah perpisahan dari teman-teman di kantor lama, saya mendapatkan selembar kain batik warna biru. Saya jahit kain batik itu di penjahit langganan dan hanya saya pakai di momen-momen khusus.

image

Batik biru pada saat momen special, pertengahan Oktober 2012, bersama Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmani, Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak Dedi Rudaedi (Kanan), dan Direktur Transformasi Proses Bisnis Wahju Karya Tumakaka (Dokumentasi Direktorat P2Humas DJP).

 

Saya berharap batik hadiah ini tidak akan terbakar lagi. Bukan untuk apa-apa. Hanya sekadar sebagai pengingat kalau saya pernah punya teman-teman sebaik mereka; sebagai upaya kecil saya melestarikan warisan adiluhung bangsa; sebagai cara sederhana saya mencintai produk dalam negeri. Itu saja.

image

Teman-teman di kantor lama: Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Empat.

 

***

Riza Almanfaluthi

Januari 2013

image

COKLAT, KARTINI, DAN SEJATINYA PEMIMPIN


COKLAT, KARTINI, DAN SEJATINYA PEMIMPIN

 

Jalan-jalan ke Cikini

Jangan lupa membeli duku

Hari ini Hari Kartini

Jangan abang lupakan daku

 

Nb:

ini hasil karya aye, makasih ya bang ye

ude dikasih kesempatan untuk

berkarya di luar rumah

            Salam kompak

            –Mpok Kartini—

**

Rabu petang, di lorong Kereta Rel Listrik (KRL) Pakuan Ekspress Tanah Abang Bogor, sambil duduk di kursi lipat, sempat juga saya tertidur dan bermimpi memberikan seseorang sepotong coklat dan mawar yang saya letakkan ke atas meja, “Itu buat kamu,” kata saya.

Keesokan harinya, 21 April 2011, Hari Kartini, saya salah kostum. Saya hanya memakai kemeja biru dan bawahan hitam. Harusnya memakai baju batik. Soalnya kemarin itu dari Pengadilan Pajak saya kembali ke kantor sudah sore. Jadi tidak tahu ada pemberitahuan semua pegawai laki-laki memakai batik. Tahunya kalau teman-teman perempuan diminta untuk memakai kebaya. Saya pakai kebaya? Enggak gue banget gitu loh… Ya sudah, tak mengapa. Namanya juga tidak tahu.

Pagi itu di ruangan lantai 19, sudah terjejer banyak kursi. Akan ada acara rupanya pada peringatan Hari Kartini ini. Pukul setengah delapan pagi lebih, pemberitahuan acara akan segera dimulai berkumandang. Kami disuruh kumpul segera di sana. Kami tidak disuruh untuk duduk, tapi berdiri di bagian depan jejeran kursi itu. Kepada kami disodorkan kertas kecil yang ternyata adalah bait-bait gubahan lagu Ibu Kita Kartini. Inilah bait-bait itu:

Ibu kita tercinta, Bu Catur Rini

Pemimpin yang bijak dan baik hati

Ibu kita tercinta,Bu Catur Rini

Walau banyak berkas, tetap semangat

Wahai ibu kita tercinta

Ibu Catur Rini

Sungguh besar kasih sayangmu

Bagi kami semua

 

Ibu kita tercinta, Bu Catur Rini

Pemimpin yang bijak dan baik hati

Pemimpin yang bijak dan baik hati

*

    

    “Nanti kalau Bu Direktur datang baru kita sama-sama menyanyikannya,” kata salah seorang teman. Ya, sebuah kejutan buat Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak Ibu Catur Rini Widosari. Tepat ketika beliau tiba di ruangan, kami pun mulai menyanyikannya.

     Apa yang ada di dalam bait itu tidak dilebih-lebihkan. Menurut saya memang apa adanya. Tercinta, bijak, baik hati, semangat, dan besar kasih sayangnya. Kalau digabungkan, semuanya itu berkumpul pada satu kata: keibuan. Dan sifat itu memang seharusnya ada pada sosok-sosok Ibu, sosok-sosok Kartini masa kini.

    Betapa tidak baru kali ini—selama 13 tahun bekerja—saya mendengar dari sosok Ibu ini, yang mengatakan kepada kami pada saat Outbond November 2010 lalu bahwa: “yang penting adalah usaha keras yang kalian lakukan, bukan semata-mata hasilnya.” Jarang loh yang mengatakan demikian. Dapat dimaklumi sih, kenapa begitu. Soalnya kerja kami—pegawai DJP—selalu dibebani target penerimaan pajak. Sudah barang tentu, hasil akhir tercapainya penerimaan itu menjadi yang terdepan dalam penilaian di segala hal.

Pengarahan ibu yang satu ini membuat saya semakin menaruh hormat padanya. Artinya Bu Direktur tetap ada upaya menghargai dan mengakui kerja keras anak buahnya. Tidak menyepelekan dan memandang ringan. Tidak ada kesan untuk mengatakan “kerja elo ngapain aja“. Seperti yang pernah saya dapatkan dulu waktu jadi account representative (AR).

Tambah respek lagi adalah ketika dalam suatu pengarahan di pagi hari dalam suatu format acara yang saya lupa, ia mengatakan, “saya mohon untuk senantiasa menjaga integritas kalian.” Kata mohon itu diucapkannya berulang-ulang kali. Bahkan sempat tertanyakan, “apakah perlu saya untuk memohon kepada kalian setiap harinya?”

Sempat tertegun mendengarkan apa yang diarahkannya. Tidak dengan memakai bahasa kekuasaan ketika ia berkata. Misalnya seperti dengan mengucapkan, “awas jangan sampai kejadian Gayus terulang lagi kembali di sini.” Atau dengan berkata, “Saya tidak mau ada kejadian itu terulang di masa saya memimpin.”

Terasa bedanya loh. Jika dengan bahasa kekuasaan maka yang didapat adalah adanya ketidakpercayaan pimpinan kepada bawahan. Padahal untuk bisa bekerja dengan baik bawahan butuh adanya modal percaya yang diberikan atasan kepada dirinya.

Dan walau kata “percaya” sudah menjadi menjadi bagian dari ilmu dan teori manajemen yang diajarkan di bangku-bangku kuliah dan seminar peningkatan kemampuan kepemimpinan, sedikit juga yang bisa memahaminya dengan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka yang ada hanyalah ia bisa menjadi good manager tetapi belum bisa menjadi good leader.

Acara itu belum selesai, tetapi saya harus bergegas untuk segera pergi mempersiapkan berkas-berkas yang harus dibawa ke Pengadilan Pajak. Oleh karena itu saya kembali ke meja kantor dan menemukan benda ini di atasnya: COKLAT!.

Coklat yang dibungkus dengan kertas keemasan, disusun sedemikian rupa hingga membentuk deretan kepingan uang emas, dibungkus dengan plastik transparan yang diujungnya diikat dengan tali hias dan terdapat kertas yang bertuliskan bait-bait seperti di awal tulisan ini. So, sweet…

 

Zoom:

 

    Menerima itu berasa gimana gitu? Dalam mimpi saya menjadi pemberi, sedangkan pada nyatanya saya menjadi penerima coklat. “Hei Za, itu buat kamu…”.

    Ya, terima kasih atas semuanya juga Mpok, atas semua warna yang telah kau goreskan pada kanvas hidup kami. Yang penting bagi kami, seimbanglah. Di dalam dan di luar rumah. Itu saja.

***

 

Riza Almanfaluthi

kau tetap menjadi kartiniku

dedaunan di ranting cemara

mulai ditulis 22 April 2011 selesai 02.45 28 April 2011

 

 

tag: direktorat keberatan dan banding, direktorat jenderal pajak, djp, catur rini widosari, lantai 19, kartini, batik, 21 april,