Jatuhnya Pesawat Korean Air dan Bagaimana Reformasi Dilakukan Setelahnya


Dari peristiwa jatuhnya Korean Air, kita menjadi tahu, cara berkomunikasi di dalam kokpit menjadi batas tipis antara hidup dan mati.

*

Kecelakaan Jeju Air pada 29 Desember 2024 menyentak dunia penerbangan. Sebanyak 179 penumpang dan kru pesawat meninggal dunia. Dua orang selamat. Insiden ini tak lama setelah jatuhnya pesawat Azerbaijan Airlines di Kazakhstan beberapa hari sebelumnya.

Dalam sejarah dunia penerbangan Korea Selatan, ada tragedi yang lebih parah lagi, yakni pada saat Korean Air meleset mendarat di Bandara Guam pada 6 Agustus 1997. Kejadian ini merenggut korban sebanyak 228 jiwa.

Berdasarkan penyelidikan, penyebab utama insiden tersebut karena kesalahan manusia, tepatnya komunikasi antara pilot utama, first officer (kopilot), dan flight engineer yang tidak berjalan dengan baik. Ini karena budaya ewuh pakewuh yang begitu kental pada kru Korea. Sebuah warisan budaya bangsa yang melekat: wajib menghormati senior kapan pun. Bahkan ketika sudah berada di ujung kematian.

Setelah investigasi dilakukan, banyak hal direformasi. Utamanya menghilangkan sekat budaya di antara para pilot dan memperbaiki cara berkomunikasi dengan sesama pilot.

 

Kegagalan Kapten

Salah satu buku yang membahas soal insiden Korean Air 801 ini adalah buku lama Malcolm Gladwell yang berjudul Outliers, Rahasia di Balik Sukses. Tepatnya di bab ketujuh dengan judul bab: Teori Etnik Mengenai Jatuhnya Pesawat Terbang.

Jika pembaca hendak membaca detail terkait insiden ini, pembaca bisa membacanya dalam laporan setebal 226 halaman dalam format pdf yang bisa diakses di internet. Laporan tersebut dikeluarkan oleh National Transportation Safety Board dengan nomor NTSB/AAR-00/01. Laporan ini juga menjadi referensi Malcolm Gladwell dalam menulis bab tersebut.

Kecelakaan itu terjadi pada 6 Agustus 1997 dinihari pukul 01:42:26 waktu Guam. Pesawat Korean Air Flight 801 dengan nomor penerbangan HL7468 menggunakan Boeing 747-3B5B (747-300). Pesawat itu berangkat dari Bandara Internasional Kimpo, Seoul, Korea Selatan dengan 2 pilot, 1 flight engineer, 14 kru pesawat, dan 237 penumpang.

Pesawat Korean Air diizinkan mendarat di Bandara Internasional A.B. Won Guam, Guam, Agana, Guam, tetapi jatuh di perbukitan sekitar 4,9 km dari bandara. Dari 254 orang yang berada di pesawat, 228 meninggal dunia, sisanya sejumlah 26 orang (termasuk di dalamnya tiga pramugari) selamat dengan luka serius.

NTSB menyimpulkan, kecelakaan itu terjadi karena kegagalan kapten dalam memberikan pengarahan yang memadai dan melaksanakan pendekatan nonpresisi, kegagalan kopilot dan flight engineer dalam memantau dan memeriksa secara efektif pendekatan yang dilakukan kapten. Faktor tambahan lainnya adalah kelelahan kapten yang sejak pagi 5 Agustus 1997 belum beristirahat sama sekali.

 

Perbincangan di Dalam Kokpit

Dalam transkrip yang berasal dari kotak hitam diketahui, setelah 30 menit perjalanan dari Kimpo, sang kapten mengeluh bahwa dia kelelahan. Satu menit 12 detik kemudian sang kapten mengatakan kalau dirinya mengantuk.

Setelah itu first officer berkata, “Apakah menurut Anda akan hujan lagi? Di daerah ini?” Sebenarnya yang dimaksud oleh first officer adalah: “Kapten, Anda telah memutuskan untuk mengambil pendekatan visual, tanpa adanya rencana cadangan, dan cuaca di luar benar-benar buruk. Anda pikir kita akan keluar dari awan tepat pada waktunya dan bisa melihat landasan. Tetapi bagaimana kalau kita tidak bisa melihatnya? Di luar sana benar-benar gelap gulita dan hujan turun dengan lebat lalu glide scope sedang rusak.”

First officer tidak mengatakan secara langsung maksudnya. Dia menggunakan bahasa yang diperhalus. Inilah yang menurut Malcolm Gladwell sebagai kebudayaan yang di dalamnya berisi perhatian besar diberikan kepada orang yang dihormati dalam sebuah percakapan.

First officer mengatakan “Kapten, radar cuaca benar-benar telah menolong kita” alih-alih mengatakan malam ini kita tidak bisa mengandalkan mata kita untuk mendaratkan pesawat dan radar menginformasikan bahwa ada cuaca buruk di depan.

Di Korea, sang pendengar bertanggung jawab penuh untuk mengartikan apa yang dikatakan. Contohnya begini:

A: Cuacanya dingin dan saya agak lapar. (Maksudnya adalah coba tolong belikan minum atau makanan)

B: Bagaimana kalau segelas kopi (Maksudnya, saya akan membelikan kopi untuk Anda)

A: Tidak usah repot-repot (Artinya: Aku akan menerimanya kalau kamu mengulangi tawaranmu)

B: Anda pasti lapar. Bagaimana kalau kita makan ke luar (Maksudnya, saya memaksa untuk mentraktir Anda)

A: Apakah aku harus menerimanya? (Maksudnya, aku menerimanya.)

Kalau di Indonesia, ini serupa pertanyaan seorang laki-laki yang menanyakan kepada seorang perempuan, “Mau makan apa kita?” Dan dijawab dengan kata “terserah” yang berarti keinginan untuk dimengerti tanpa harus mengutarakannya. Ini menuntut kepekaan laki-laki atas isyarat perempuan tersebut.

Komunikasi di dalam percakapan dengan menggunakan penghalusan yang menandakan adanya penghargaan merupakan sikap yang beradab. Namun, itu tidak bisa digunakan di dalam kokpit pesawat dengan kombinasi kerumitan di malam itu: pilot yang kelelahan, cuaca buruk, dan bandara yang glide scope-nya rusak.

 

Dimensi Hofstede

Sikap yang ditunjukkan first officer kepada kapten atau pilot senior ini karena ada jarak kekuasaan yang diwariskan oleh kebudayaan negerinya yang mengakar kuat. Penelitian psikolog Belanda pada tahun 1960-an dan 1970-an menunjukkannya.

Psikolog Belanda bernama Geert Hofstede bekerja untuk departemen SDM di kantor pusat IBM di Eropa. Ia menjelajah banyak negeri untuk mewawancarai para pegawai. Dari hasil penelitiannya itu terbentuk mahadata yang digunakan untuk menganalisis perbedaan antara satu kebudayaan dan lainnya.

Inilah yang disebut Dimensi Hofstede. Dalam dimensi itu ada enam kategori yang mendefinisikan budaya, yaitu: jarak kekuasaan, individualisme-kolektivisme, maskulinitas-feminisme, menghindari ketidakpastian, orientasi jangka panjang, dan kesenangan.

Malcolm Gladwell menulis, Dimensi Hofstede adalah salah satu paradigma yang sering digunakan oleh psikologi antarkebudayaan. Kebudayaan bisa dibedakan berdasarkan seberapa besar mereka berharap seseorang mampu mengurus dirinya sendiri. Dimensi Hofstede juga berarti “menghindari ketidakpastian”. Seberapa baik kebudayaan menoleransi ambiguitas.

Dari pusat data Hofstede itu, diketahui lima negeri tertinggi dalam skala “menghindari ketidakpastian”. Artinya negara-negara ini paling mengandalkan peraturan, rencana, dan kemungkinan besar mengikuti prosedur, apa pun situasi yang dihadapi. Lima negara tersebut, berurut dari satu sampai lima, yakni Yunani, Portugal, Guatemala, Uruguai, dan Belgia.

Sedangkan negara dengan skala rendah “menghindari ketidakpastian” atau bisa juga disebut sebagai negara dengan kebudayaan yang mampu menoleransi ambiguitas, mulai urutan 49 sampai dengan 53, adalah Hongkong, Swedia, Denmark, Jamaika, dan Singapura.

Dalam Dimensi Hofstede juga ada yang namanya: Power Distance Index. Indeks Jarak kekuasaan berhubungan dengan sikap seseorang dalam menghadapi hierarki atau atasan, khususnya terkait seberapa besar sebuah budaya menghargai nilai dan menghormati pihak berwenang.

PDI dengan nilai tinggi berarti budaya tersebut memprioritaskan unggah-ungguh sebagai cara berkomunikasi antarsesama. Sedangkan PDI dengan nilai rendah berarti budaya tersebut menoleransi adanya egalitarianisme (sederhananya demikian). Contoh implementasi orang per orang dalam budaya dengan PDI rendah adalah Perdana Menteri Austria yang mengemudikan sendiri mobilnya ke kantor atau Perdana Menteri Belanda yang motoran dan berkemah di Portugal.

Dalam catatan kaki bab tujuh itu, Malcolm Gladwell menyebutkan lima pilot dengan PDI teratas berdasarkan negaranya adalah Brazil, Korea Selatan, Maroko, Meksiko, dan Philipina. Sedangkan PDI pilot terendah berdasarkan negaranya adalah Amerika Serikat, Irlandia, Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru.

Dari sinilah kita bisa melihat, seperti ada benang merah antara PDI tinggi dengan catatan kecelakaan pesawat berdasarkan negara.

Saya mengecek sendiri skor Dimensi Hofstede di situs web theculturefactor.com. Utamanya pada dimensi “jarak kekuasaan”.  Saya mendapatkan Indonesia memiliki skor 78. Ini berarti, saya kutip sedikit, masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan pada hierarki, hak-hak yang tidak setara antara pemegang kekuasaan dan non-pemegang kekuasaan, atasan tidak dapat diakses, pemimpin bersifat direktif, karyawan berharap diberi tahu apa yang harus dilakukan dan kapan, komunikasi tidak langsung, dan umpan balik negatif yang disembunyikan.

Sampai di sini kita dapat menyimpulkan sendiri tentang Indonesia. Di lain kesempatan saya akan menulis Indonesia pada enam Dimensi Hofstede secara lengkap.

 

Reformasi Korean Air

Akhirnya Korean Air menjalankan reformasi pada tahun 2000. Maskapai itu meminta David Greenberg dari Delta Air Lines menangani operasi penerbangannya.

David menjalankan berbagai langkah. Langkah pertama, semua pegawai Korean Air wajib menguasai bahasa Inggris karena bahasa itu merupakan bahasa di dunia penerbangan. Langkah kedua, membawa anak perusahaan Boeing bernama Alteon untuk mengambil alih program pelatihan dan instruksi perusahaan. Alteon menyelenggarakan pelatihannya dalam bahasa Inggris. Dengan menggunakan bahasa Inggris berarti para pegawai Korean Air dibebaskan dari hierarki Korea yang sangat tajam dan terbagi enam jenis: formal, informal, terbuka, akrab, intim, dan datar. Langkah ketiga: David tidak memecat semua pilot Korea. Ia memberikan kesempatan para pegawai Korean Air mentransformasi diri.

Setelah menangani Korean Air, David membantu mendirikan maskapai kargo yang bernama Cargo 360. David membawa sejumlah pilot Korean Air yang dulu menjadi flight engineer. Mereka ini adalah orang nomor tiga di dalam kokpit setelah pilot dan first officer atau yang disebut oleh Malcolm sebagai mereka yang berada di anak tangga paling bawah dalam hierarki yang ketat di Korean Air.

David melatih ulang flight engineer itu di Cargo 360 dan menempatkan mereka dengan awak lain yang berasal dari barat.  Pada akhirnya mereka berani mengambil inisiatif, membagi beban kerja di dalam kokpit, dan tidak menunggu orang lain untuk mengarahkan tugas.

 

**

Sampai tulisan ini dibuat belum diketahui penyebab pastinya kecelakaan Jeju Air, sehingga pesawat itu tergelincir dan menabrak pagar beton serta menewaskan 179 orang ini, apakah terkait dengan mesin pesawat atau human error. Namun, kita pastinya tak menghendaki itu terjadi lagi.

Menutup tulisan panjang ini, saya mengutip apa yang dikatakan Geoffrey Thomas, editor Airline News dan pakar penerbangan, kepada Business Insider, saat menanggapi kecelakaan Jeju Air ini, “25 tahun yang lalu, Korea Selatan adalah paria dalam industri penerbangan.”

… dan Korean Air berada di dalam semesta itu.

Kamsahamnida (감사합니다).

***
Riza Almanfaluthi
3 Januari 2025
Pemesanan buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi
Gambar diambil dari chosun.com.

Baca satu bab gratis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Kata Pengantar buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Lihat Daftar isi buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Sinopsis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.