Namanya Arie Irawan. Bang Arie adalah panggilannya. Lelaki Betawi berpeci dan berambut panjang ini meneruskan usaha menjual kerak telor dari mendiang engkong dan babehnya. Sejak tahun 2000 ia menekuni usaha itu. “Setiap tahun saya juga jualan di PRJ (Pekan Raya Jakarta),” katanya. Kerak telor memang sudah menjadi ikon PRJ sejak dulu. Ada sekitar 60-an pedagang kerak telor di area dalam PRJ. Mereka tergabung dalam paguyuban penjual kerak telor.
Usai perhelatan itu, ia langsung membayar uang muka kepada paguyuban PRJ untuk memastikan tahun depan lapaknya tidak tergantikan. Nilainya besar sekitar puluhan juta rupiah. Biasanya ia mangkal di Kranji, di depan Kantor Kecamatan Bekasi Barat. Selain itu, ia mengikuti kegiatan UMKM di kantor-kantor. Contohnya di Kompleks Pajak Kalibata selama dua hari ini. Dari rumahnya di Bekasi, ia menyewa taksi daring untuk membawa pikulan dan peralatan masaknya ke Kalibata.
“Anak saya perempuan semua. Jadi saya tidak tahu siapa nanti yang akan meneruskan usaha ini,” kata Bang Arie melanjutkan. Anak dari uaknya, sepupu Bang Arie, ikut juga jualan kerak telor. Itu pun setelah didorong-dorong oleh istrinya. Sebabnya satu karena sang istri sepupunya ini sudah melihat kegigihan Bang Arie dalam menghidupi anak bininya.
“Orang Betawi memang banyak gayanya. Dulu dia tengsin jualan beginian, tapi melihat saya bisa beli banda akhirnya ikutan jualan,” ujar Bang Ari sambil tertawa. Tangan kanannya masih mengipas-ngipas supaya bara dalam anglo itu tetap memijar.
Bang Arie sedang mengerjakan pesanan saya. Saya memesan satu kerak telor bebek barusan. Harga yang harus dibayar pembeli kerak telor ayam atau kerak telor bebek sama saja: Rp25 ribu bae. Di atas beras ketan yang baru dimasukkan ke dalam wajan kecil itu, ia menaburkan serundeng kunyit, ebi, garam, penyedap, dan lada.
Asap pembakaran kerak telor menguar ke mana-mana. Atarnya juga. Pun, menyelimuti tubuh saya yang asyik duduk melihat proses pembuatan kerak telor dari dekat. “Kalau membuat kerak telornya di dalam gedung, ada exhaust (fan). Saya sudah beli itu,” kata Bang Arie.
Ia tak menampik kalau tidak semua penjual kerak telor itu Betawi asli. Bahkan penjual kerak telor asal Madura sering mangkal di sekitaran Monas. Bang Arie tidak mempermasalahkan itu. Rezeki orang tidak akan tertukar katanya. Cuma memang, menurut Bang Arie, versi kerak telor banyak yang berubah dari pakemnya.
Contoh dalam penggunaan anglo besi yang mestinya memakai anglo berbahan tanah atau terakota, penggunaan gas tabung alih-alih arang, atau memakai kipas angin daripada kipas tangan. “Resepnya juga beda. Tentunya bikin rasa kerak telornya juga berbeda. Tidak sesuai aslinya,” sahut Bang Arie.
Lihat Daftar isi buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
Baca Sinopsis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
Untuk mengikuti perkembangan zaman dan menjalankan usaha peninggalan keluarga, Bang Arie juga menjual kerak telornya secara daring dalam platform digital dan pembayaran tanpa uang tunai. Ia namakan usahanya dengan jenama: Lilaresto. Tujuannya supaya satu, melestarikan kuliner Betawi.
Memang, serupa matahari yang selalu terbit di pagi hari, kerak telor buatan Bang Arie tak ingkar janji. Enak sekali. Saya sampai tak melewatkan satu serpihan serundeng pun. Habis tak bersisa.
Besok Jumat, lapaknya masih ada di Kalibata. Silakan mampir.
Baca satu bab gratis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
Baca Kata Pengantar buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
***
Riza Almanfaluthi
28 November 2024
Pemesanan buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi



