Seusai turun dari bus Transjakarta itu, saya menyeret kaki di jembatan penyeberangan orang (JPO) yang menghubungkan dua sisi Jalan Jenderal Gatot Subroto.
Di sisi turun, depan kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal, di ujung tangga kita bisa menemui penjual makanan dan minuman. Sebelum ada perbaikan Halte Busway LIPI, mereka biasa berjualan di JPO. Setelah penataan halte dan JPO, mereka sekarang turun berjualan di trotoar.
Salah satunya adalah penjual susu kedelai. Bapak itu memakai sepeda kayuh. Di atas sadelnya ada termos es berwarna biru berisi susu kedelai yang dikemas dalam plastik dan cairan kunyit yang ditaruh dalam botol. Susu kedelai yang dijual kebanyakan sudah menggunakan pemanis. Dia menstok hanya satu-dua bungkus susu kedelai tawar. Baik yang tawar ataupun manis harganya sama: tiga ribu perak.
Saya biasa mengambil satu bungkus susu kedelai tawar. Kadang juga kalau saya kesiangan, saya akan kehabisan. Saya didahului pembeli lain yang mengincar susu kedelai tawar.
Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang
Gula memang harus dibatasi. Apabila sudah kecanduan gula bisa bahaya. Gula akan dikonsumsi terlalu banyak. Jika mampu jangan mengonsumsinya karena itu berbahaya buat tubuh kalau terakumulasi. Apalagi kita tahu sendiri, industri makanan dan minuman sangat terlalu dengan dua hal ini: manis yang terlalu dan asin yang terlalu. Yang pertama bikin diabetes, ibu segala penyakit dan yang kedua bikin darah tinggi dan ginjal rusak. Semoga kita senantiasa sehat.
Nah, suatu ketika saya membeli susu kedelai tawarnya. Untungnya masih ada. Saya membuka dompet dan uang pasnya enggak ada. Uang receh juga sama. Akhirnya saya menyerahkan uang kertas yang berwarna merah kepadanya. Terlalu besar uangnya. Namun, apalah daya. Ia pun tidak menyediakan media pembayaran lain seperti QRIS.
Melihat itu, sang bapak menukas, “Besok saja bayarnya, Pak. Kalau lupa bayar enggak apa-apa juga. Jangan jadi utang.”
Saya mengucapkan terima kasih kepadanya dan memasukkan uang itu ke dalam dompet. Buat saya ia baik sekali. Ia memberikan tiga kebaikan sekaligus: tidak melarang saya membawa susu kedelai itu, membolehkan saya membayarnya besok, dan mengikhlaskan susu kedelai untuk tidak dibayar kalau saya lupa bayar. Tidak menjadikan itu sebagai utang.
Soal utang, menurut saya, sang bapak paham betul. Utang bukan soal sepele. Utang itu dibawa sampai mati dan dituntut di akhirat. Seringkali manusia lupa bayar utang (atau sengaja melupakannya?) dan supaya jangan jadi masalah buat manusia itu, sang bapak mengikhlaskannya. Sang bapak ini punya itsar yang luar biasa kepada manusia. Dadanya selapang langit dan bumi.
Baca: Kata Pengantar Buku Sindrom Kursi Belakang, Buah dari Surga Kecil
Mendapatkan kebaikan itu saya langsung merekam dalam ingatan saya. Saya meniatkan itu adalah utang yang harus saya bayar. Besok saya wajib melunasinya. Sambil menuliskan di grup Whatsapp keluarga: “Saya berutang susu kedelai seharga Rp3.000,00 kepada penjual susu kedelai di JPO LIPI.”
Beberapa waktu sebelumnya juga saya mendapatkan kebaikan yang sama. Waktu itu saya membeli bubur ayam tiga bungkus dan dua tusuk sate ati ampela. Namun, duit tunai yang saya bawa kurang. Saya kemudian mengembalikan dua tusuk sate pesanan istri itu kembali ke tempatnya di meja hidang.
“Pak, kenapa dikembalikan?” tanyanya sambil cekatan mengerjakan pesanan lain yang banyak. Tangannya sudah punya mata ketiga sehingga masih bisa membuat pesanan bubur yang lain.
“Uangnya kurang, Pak,” ujar saya.
“Sudah bawa saja. Bayarnya nanti-nanti saja,” katanya lagi.
Wah, saya mengucapkan terima kasih, saya bawa pulang dua tusuk sate itu, dan menganggapnya utang yang harus saya bayar secepatnya. Saya juga menginformasikannya kepada keluarga. Supaya mereka tahu dan bisa mengantisipasinya kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Alhamdulillah, dua utang itu sudah lunas dengan cepat. Ini pun agar pikiran saya enggak terbebani, plong, dan tidak dibawa sampai mati. Tidak punya utang itu meringankan dan membahagiakan.
Kondisi saya barangkali berbeda dengan kondisi teman-teman lain yang berutang karena terpaksa. Semoga Allah segera mengeluarkan teman-teman semua dari kondisi tersebut dan memiliki kemampuan untuk segera melunasinya.
Baca: Memesan Buku Sindrom Kursi Belakang di Sini
Yang terpenting adalah teman-teman harus ada kesadaran untuk melunasinya dan memprioritaskan utang sebagai hal terpenting untuk segera dilunasi. Sekecil dan sebesar apa pun.
… karena utang itu dibawa sampai mati kalau tak lunas di dunia ini.
*
Riza Almanfaluthi
30 Agustus 2023
Itsar adalah mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri dalam urusan duniawi dan berharap pahala di akhirat.
Sindrom Kursi Belakang bisa diperoleh di https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi
Image by jcomp on Freepik

Sangat menginspirasi. TRIMS Bg
LikeLike
Siap, sama-sama.
LikeLike
Akhir-akhir ini saya juga aware masalah gula darah sama konsumsi gula harian. Kereen ka
LikeLike