SA’ATUSH SHADR: BERSYUKUR ATAS MUSIBAH


SA’ATUSH SHADR

Sahabat saya bercerita lagi kali ini. Sekarang ia menceritakan pengalamannya saat naik Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta Bogor. Seperti sudah kita ketahui bersama kalau sore hari KRL jurusan itu tentu penuh sesak. Bahkan lantai duanya—sebutan untuk atap kereta—penuh juga dengan orang walaupun berresiko terkena sengatan listrik tegangan tinggi.

Sahabat saya itu ditegur oleh seorang laki-laki separuh baya, “Pak, handphone-nya hilang ya Pak… ” Langsung dengan reflek sahabat saya merogoh saku celananya. Dan betul, telepon genggamnya sudah tidak ada lagi.

“Sewaktu di stasiun tadi saya melihat ada yang merogoh saku Bapak. Kayaknya gerombolan tuh yang nyopet, soalnya cepat sekali lenyapnya,” imbuh lelaki itu.

“Alhamdulillaah…” sahut teman saya.

“Loh kok malah ngomong begitu?” lelaki itu terheran-heran dengan ucapan teman saya.

“Iya…mungkin handphone itu saya dapatkan dengan cara yang tidak baik. Mungkin saya juga pelit sehingga harus dipaksa infak dengan cara itu.”

Lelaki itu terdiam. Kemudian ia mengambil dompetnya yang ia taruh di suatu tempat yang aman di tubuhnya. Lalu mengambil uang sebesar Rp300.000,00 dan menyerahkannya kepada teman saya.

“Ini tambahan buat beli handphone baru lagi. Terima saja. Soalnya saya baru pertama kali bertemu dengan orang seperti Bapak.”

Tentu teman saya yang sedang tertimpa musibah itu menerimanya dengan senang hati.

***

Saya terus terang saja terperangah dengan cerita teman saya itu. Belum tentu saya bisa melakukan apa yang dilakukannya apabila saya berada dalam posisi yang sama dengan dirinya. Dan inilah tingkatan sabar yang tertinggi.

Ada yang menguraikan tingkat kesabaran dalam beberapa hal. Yang pertama dan paling bawah adalah ketika seseorang diberi ujian musibah ia marah-marah kepada Allah swt. Yang kedua ia dapat menjaga lisannya dari mengeluarkan perkataan yang tidak baik walaupun hatinya masih mengomel. Yang ketiga ia ridha dan menerima dengan lapang dada terhadap ketentuan Allah tersebut. Dan yang tertinggi ia mengucapkan syukur atas musibah yang menimpanya.

Ada perbedaan dari dua tingkatan pertama dengan dua tingkatan terakhir. Yang kedua sudah tentu tidak melakukan kegiatan yang pertama. Namun tingkatan yang keempat sudah pasti ia melakukan tingkatan yang ketiga, yakni berlapang dada.

Rasa syukur adalah tingkatan sabar dan lapang dada yang tertinggi. Karena sejatinya sabar dalam menghadapi salah satu bencana yang mengguncangkan disebut lapang dada (sa’atush shadr).

Allahu’alam saya mampu tidak untuk dapat sa’atush shadr seperti teman saya itu. Sabar saya mungkin cuma berada di level kedua. Tapi saya selalu berharap untuk bisa naik level kesabaran itu. Tentu salah satunya dengan belajar dari pengalaman teman-teman saya. Teman saya dan Anda Pembaca adalah guru kehidupan saya.

Semoga saya bisa menjadi murid yang baik bagi Anda.

***

Maraji’: Tazkiatun Nafs, Said Hawa hal: 372

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

00.15 29 April 2010

ditulis untuk taujih forum tarbiyah

HABYARIMANA, CARLOS D’ AMATO, DAN ‘ABDEL ‘AZIZ


HABYARIMANA, CARLOS D’ AMATO, DAN ‘ABDEL ‘AZIZ

Habyarimana adalah seorang budak yang berasal dari daerah tengah Afrika. Ia teramat takut dengan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki majikannya yang berkulit putih itu. Ada lecutan cambuk yang sering mendera punggungnya bila setiap kata yang keluar dari mulut majikannya tidak ia ikuti dengan lengkingan “daulat paduka”. Oleh karenanya ia menjadi seorang budak yang teramat patuh atas segala perintah majikannya. Disuruh ini ia mau. Disuruh itu ia taat. Pergi kesana ia pergi. Disuruh ikut ke sana ia pun kesana. Cuma satu alasannya karena ia tidak punya kemerdekaan. Ia seorang budak. Ia takut akan cambuk majikannya.

Carlos d’ Amato adalah majikan Habyarimana. Ia adalah seorang lelaki pedagang. Yang ada dalam otaknya hanyalah bagaimana dengan sumber daya yang ia miliki ia mendapatkan banyak keuntungan yang berlipat ganda. Ia akan melakukan sesuatu bisnis bila benar-benar akan menambah pundi-pundi kekayaannya. Bila tidak ia tetap bergeming seperti tokek menunggu serangga masuk dalam area jangkauan lidahnya. Ia jelas sekali tipe seorang kapitalis sejati. Untung rugi, dua kata itu adalah kata-kata paling sucinya.

Satu lagi, ‘Abdel ‘Aziz, perantau dari Yaman yang tubuhnya terjerembab di salah satu kota pusat perbudakan di Brazil, Pelourinho. Jiwanya yang merdeka dan menyenangi petualangan telah membawanya ke kota tua itu. Apa kata hatinya telah membawanya meninggalkan kota kelahirannya, Hadramaut. Telah banyak pengalaman ia timba sepanjang perjalanannya keliling dunia. Oleh karenanya ia tahu betul dua tipe yang dimiliki dari dua orang yang ia jumpai di pasar kota Pelourinho saat ia mau diminta menjual Khanjer-nya oleh Carlos d’Amato yang didampingi budaknya, Habyarimana.

Walaupun sudah dihargai tinggi menurut ukuran Carlos, ia tetap bersikukuh untuk tidak menjual pisau unik peninggalan kakeknya itu. Karena ia tahu selain pisau itu benda yang membuatnya terkenang-kenang pada masa lalunya, pun ia tahu Carlos hanyalah seorang pembual tentang masalah harga. Semua orang telah memberitahu dirinya saat pertama kali kakinya turun dari kapal laut, sebuah desas-desus tentang Carlos d’ Amato.

Dan ia menolak tawaran Carlos walaupun Carlos sudah menawarkan Habyarimana sebagai harga matinya. Pun ia tak takut dengan ancaman Carlos yang akan mengerahkan anak buah dari kenalannya seorang pejabat di kongsi kolonial kota itu untuk mengejar dirinya jika ia berani-beraninya meninggalkan kota dengan tetap membawa Khanjar itu, yang tak diketahui oleh ‘Abdel ‘Aziz sendiri bahwa pisau itu adalah petunjuk awal letak Harta Sulaiman.

***

Suatu siang, di Kalibata, di lantai atas Masjid Shalahuddin, di antara jejeran orang-orang bermartabat yang sedang kelelahan melawan kantuk, sayup-sayup terdengar suara seorang ustadzah menjelaskan kepada para jamaahnya tentang tiga tipe orang yang beribadah kepada Allah. Tipe pertama orang yang beribadah seperti budak, yang ia beribadah hanya (kata ini ditebalkan) karena ia takut pada siksanya Allah yang Mahakuat. Seorang pendengar di ruang bawah masjid bertanya pada dirinya sendiri: “Salah? Tentunya tidak karena Allah-lah satu-satunya yang wajib ditakuti oleh hambaNya yang merasa beriman.

Tipe kedua adalah orang yang beribadah kepada Allah layaknya seorang pedagang. Ia beribadah melihat untung rugi dari dikerjakan atau tidak dikerjakannya amal ibadahnya itu. Ia beribadah dengan tekun saat melihat adanya keuntungan yang Allah berikan baik di dunia apatah lagi di akhirat. Seorang pendengar di ruang bawah masjid bertanya lagi pada dirinya sendiri: “Salah? Tentunya tidak karena Allah melalui Alqur’an dan petunjuk RasulNya berupa sunnah sarat dengan pujian, penjelasan ganjaran moral, ganjaran material dan sosial, ganjaran duniawi dan ukhrawi pada hamba-hambaNya yang gemar melakukan amal kebaikan.”

Tipe terakhir adalah tipe orang yang beribadah kepada Allah layaknya seorang yang mendapatkan kemerdekaan. Ia bebas. Ia tidak terkungkung kerana adanya suatu keinginan. Ia beribadah kepada Allah tidak sekadar takut, pula tidak sekadar penuh harapan semata. Ia mampu menggabungkannya dengan cinta lalu ketiganya bersenyawa dalam jiwa dan ia serahkan sepenuhnya kepada Allah semua takutnya, semua harapnya, semua cintanya. Dan insya Allah inilah yang terbaik. Alamak…

Seorang pendengar di ruang bawah masjid bertanya lagi pada dirinya sendiri atau bahkan pada semuanya: “Ane, ente adalah Habyarimana, Carlos d’ Amato atau ‘Abdel ‘Aziz?”

***

Kita masing-masing yang bisa menjawabnya.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

3:30 04 November 2008

senjakalaning jagat