PARA PENANTANG MAUT


PARA PENANTANG MAUT

 


 

Mereka tak takut mati. Jatuh dari kereta atau tersengat tegangan tinggi tak jadi masalah. Pasti dong…Masalah mereka adalah tinggal mempertanggungjawabkan hidup mereka di dunia dengan Sang Pencipta.

Yang ketiban masalah adalah yang masih hidup. Harus mengumpulkan potongan tubuh mereka. Mematikan arus listrik dulu sebelum mengambil tubuh gosong mereka. Jadwal kereta tambah tak beraturan. Dan jalanan tambah macet lagi karena banyak orang yang ingin melihat kecelakaan itu.

Syukur kalau sang korban beli tiket, minimal pihak keluarga ahli waris ada yang mendatangi dari pihak PTKA, Asuransi Jasa Raharja, dan Asuransi Jasa Raharja Putera. Lumayan buat menyambung hidup yang sudah sering putus-putus.

Tapi apa mau dikata. Inilah nasib orang kecil. Dengan hanya dilayani Kereta Rel Listrik (KRL) kasta terendah, yakni kelas ekonomi satu set atawa empat gerbong. Tanpa kipas angin apalagi pendingin ruangan. Jadwal tak tentu, yang kadang ada kadang tiada, tergantung mood-nya operator.

Mereka menerimanya. Mereka diburu waktu. Sama kondisinya dengan mereka yang naik AC Ekonomi atau KLR Ekspress. Yang membedakan adalah dua terakhir merupakan kaum yang dapat membeli kenyamanan itu. Sedangkan mereka? Kenyamanan adalah nomor kesekian setelah prioritas makanan dan pakaian. Yang penting adalah istri mau makan sepiring berdua dan anak bisa dikasih susu.

Hebatnya, mereka mau berbagi. Toleransi dan rasa kebersamaan mereka melebihi kaum yang berpunya yang sering naik AC Ekonomi dan KRL Ekspress—karena merasa bayar mahal.

Mereka mau berbagi dengan dua puluh orang lainnya di kabin yang sempit. Yang di atas atap kereta mau berbagi dengan yang lain. Yang bergelantungan di gerbong terakhir mau berbagi di atas pijakan yang sempit dan pada teralis–yang untungnya disekrup kuat oleh insinyur PTKA.

Dua keuntungan yang di dapat mereka. Tidak kepanasan dan berkeringat. Tidak ada kondektur yang mau susah payah memeriksa karcis mereka. Pada malaikat maut saja mereka berani apalagi sama kondektur atau penjaga portir.

Inilah hidup mereka. Setiap hari. Di belantara Jakarta.

 

 

 

***

Lokasi Stasiun Manggarai difoto 01 Juli 2010.

 

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

pengguna KRL Jakarta Bogor PP

03 Juli 2010

 

 

SURAT PEMBACA UNTUK PTKA


SURAT PEMBACA UNTUK PTKA

Siang ini saya ingin bercerita. Cerita yang sebetulnya sudah pernah saya ceritakan kepada beberapa kawan sebelumnya. Namun tak apalah untuk saya ceritakan kembali khususnya kepada yang belum tahu saja. Mengapa demikian? Karena ini ada kaitannya dengan dimuatnya surat pembaca saya di halaman situs ini.

Senin tanggal 28 September 2009 itu saya berbincang-bincang dengan kawan saya di atas Kereta Rel LIstrik (KRL) Ekspress Depok-Tanah Abang. Hari itu hari pertama saya masuk kantor setelah liburan lebaran sehingga tentu apa yang kami bicarakan tidak jauh cerita tentang perjalanan mudik kami. Sebelum ngobrol itu, teman saya menaruh tas ranselnya di rak atas KRL di samping tas kecil saya sambil berkata, “Mas, tolong ingatkan saya untuk mengambil tas ini ya kalau mau turun. Soalnya saya sering lupa.”

“Insya Allah,” jawab saya. Tapi permintaannya tidak saya penuhi sampai kami keluar dari KRL itu karena dia tetap ingat dengan tas yang ia taruh.

Besoknya, ternyata bukannya dia yang lupa dengan tasnya tetapi saya sendiri yang lupa. Dan sungguh, baru kali ini saya lupa dengan apa yang saya bawa. Ini sebenarnya juga teguran buat saya untuk tidak mentang-mentang atau sok dengan pengalaman tidak pernah lupa dengan barang bawaan.

Pagi itu, seperti biasa saya berdiri di pintu KRL dengan menaruh tas saya di raknya. Kali ini saya mengobrol dengan teman yang saya kenal. Beliau adalah Kepala Seksi di sebuah kantor pemerintahan di komplek yang sama dengan kantor saya. Asyik betul kami mengobrol hingga sampai juga kami di Stasiun Cawang.

Di stasiun Cawang, saya berpindah peron ke peron yang menuju Bogor untuk menunggu KRL yang mengantarkan kami kembali ke Stasiun Kalibata. Tapi…saya sepertinya mengalami suatu hal yang ganjil. Sepertinya ada yang hilang dari tangan saya yang terbiasa memegang sesuatu. Deg…tas saya mana?!!

Hilang!

Ketinggalan!

Cepat-cepat saya menghubungi petugas porter di Stasiun Cawang—seperti anjuran teman-teman yang lain. Petugas tersebut kemudian mengantarkan saya menuju ruang operator perjalanan kereta api. Dan petugas operator tersebut segera menghubungi petugas di Stasiun Sudirman dan Stasiun Tanah Abang untuk mengambil tas saya yang berada di gerbong kedua dari belakang.

Ciri-ciri tas itu saya beritahukan kepada petugas termasuk mereknya apa dan benda-benda apa saja. Ada telepon genggam, foto-foto jadul waktu pernikahan, ipod nano, dan yang terpenting sekali adalah harddisk eksternal yang berisi dokumen pekerjaan kantor dan ribuan foto berharga.

Saya sudah pasrah. Tapi rada-rada optimis juga karena tas itu ketinggalan di kereta ekspress AC. Artinya seperti kebanyakan petugas PTKA bilang prosentase ketemunya adalah 80:20. Kalau ketinggalannya di kereta kelas ekonomi, “ikhlaskan saja deh,” kata petugas tersebut.

Karena tidak sabaran untuk menunggu akhirnya, saya putuskan untuk ke kantor terlebih dahulu. Sampai di kantor saya absen dan berniat sholat dhuha. Karena biasanya setelah sholat dhuha selalu ada jalan keluar yang terbaik buat saya. Eh ternyata lain, baru sebatas niat saja Allah sudah mengabarkan kabar gembira kepada saya. Pada saat saya duduk di teras masjid untuk membuka sepatu ada telepon masuk yang ternyata dari petugas stasiun Cawang. Mereka memberitahukan bahwa tas saya sudah diketemukan dan sekarang berada di Stasiun Tanah Abang.

Saya lihat jam yang ada di HP. Kurang lebih 30 menit tas itu sudah ketemu. Saya cabut ke stasiun Cawang untuk bertemu dengan dua petugas yang akan mengantar saya ke stasiun tanah Abang. Sampai di sana saya dengan mudahnya saya dapat mengambil tas saya itu.

Dari pengalaman itu dan terutama kesan pada kecepatan pelayanan yang diberikan petugas PTKA, sebagai balas jasa terhadap apa yang diberikan mereka, saya berkata dalam hati, saya akan mengirimkan surat pembaca agar bisa diketahui oleh banyak orang. Tentunya ini sebuah sikap keberimbangan karena selama ini yang diungkap di surat pembaca mengenai PTKA kebanyakan adalah keluhan dan gugatan atas pelayanan PTKA yang kurang memuaskan pelanggan.

Dan pada hari ini situs detikcom menayangkan surat pembaca tersebut.

 

Jumat, 09/10/2009 11:58 WIB
Terima Kasih dan Salut Atas Layanan PT Kereta Api
Riza Almanfaluthi – suaraPembaca

 

Jakarta – Pada tanggal 29 September 2009 saya naik Kereta Rel Listrik (KRL) Depok Ekspress Jurusan Tanah Abang dari Stasiun Depok Lama. Karena asyik ngobrol dengan teman ketika turun di Stasiun Cawang saya tidak menyadari tas saya tertinggal di KRL.  Baru sadar ketika kereta tersebut sudah berangkat kembali.

Lalu saya melapor ke petugas PT Kereta Api (PT KA) di stasiun tersebut. Dibantu petugas operator yang menghubungi petugas PT KA di stasiun berikutnya akhirnya dalam waktu setengah jam tas saya bisa diketemukan kembali.

Dengan diantar dua petugas dari Stasiun Cawang yaitu Bapak Triyono dan Sugiarto saya pergi ke Stasiun Tanah Abang untuk mengambil tas yang berisi harddisk eksternal dan di dalamnya terdapat dokumen-dokumen penting kantor dan keluarga.

Untuk ini saya ucapkan terima kasih dan salut atas kecepatan pelayanan yang diberikan PT KA kepada para pelanggannya.

Riza Almanfaluthi

http://suarapembaca.detik.com/read/2009/10/09/115833/1218508/283/terima-kasih-dan-salut-atas-layanan-pt-kereta-api

 

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di Ranting Cemara

14:49 10 Oktober 2009

 

 

 

 

http://suarapembaca.detik.com/read/2009/10/09/115833/1218508/283/terima-kasih-dan-salut-atas-layanan-pt-kereta-api