SAYA DAN MANUSIA MULIA ITU


SAYA DAN MANUSIA MULIA ITU

 

Islamedia Jum’at, pada sebuah khutbah yang membuat air mata jatuh. Paradok dengan sengatan matahari yang menggigit karena saya kebagian tempat di bagian luar masjid. Terkisahkan kembali cerita yang menjadi abadi dan teramat sangat bagus untuk dibagi kepada semua. Cerita itu sudah saya dengar sejak dari kecil tapi seperti baru ketika disampaikan sang khothib.

Ada seorang manusia yang kaya raya, hidupnya bahagia dan tenteram, dengan anak-anak dan istrinya yang taat kepada Tuhannya. Sudah tajir sholeh lagi. Dan Allah mengujinya satu persatu dengan berbagai musibah, akankah ia tetap taat dalam keimanannya?

Bagaimana Allah uji manusia baik dan selalu bersyukur itu? Pertama, Allah cabut kekayaannya. Kalau zaman sekarang mah mulai harta berupa hp, mobil, emas, rumah mewah, kebun sawit, peternakan kuda, dan saham-sahamnya ludes enggak karuan. Bangkrut semua bisnisnya. Ternyata manusia itu tetap apa adanya. Tetap taat dan rajin ibadahnya. Dan senantiasa bersabar atas apa yang dideritanya.

Kedua, Allah uji iman manusia itu dengan mengambil jiwa semua anak yang dicintainya. Coba bayangkan satu anak kita yang sedang lucu-lucunya, yang sedang tumbuh-tumbuhnya diambil kembali oleh Allah. Kita sudah sedih bukan main rasanya. Tapi manusia ini diuji imannya dengan diambil seluruh anak-anaknya. Ternyata manusia itu tetap apa adanya. Tetap taat dan rajin ibadahnya. Dan senantiasa bersabar atas apa yang dideritanya.

Ketiga, tidak berhenti sampai di situ Allah uji kembali manusia itu dengan mengambil kesehatannya. Tiada yang sehat seluruh anggota tubuhnya melainkan hati dan lisannya. Sampai-sampai semua keluarganya menjauh karena takut tertulari. Bahkan istrinya yang sehat pun dikucilkan pula. Lengkap sudah penderitaan manusia ini. Ternyata manusia itu tetap apa adanya. Jiwanya tidak terguncang. Tetap taat dan rajin ibadahnya. Dan senantiasa bersabar atas apa yang dideritanya.

Kekayaannya dicabut, dimiskinkan permanen. Anak-anaknya dimatikan. Dan tubuhnya disakitkan selama 18 tahun. Kalau saja manusia itu adalah saya, tak tahulah apa yang terjadi. Tapi sungguh cerita ini menjadi keteladanan bagi umat manusia yang beriman. Dan manusia itu adalah Ayub As.

Sabtu, pada suatu dhuha yang hangat, dengan mengendarai mobil menyusuri jalanan lengang komplek Pemda Cibinong, dalam keadaan sadar sesadar-sadarnya saya mencoba menghitung kembali nikmat yang saya rasakan. Alhamdulillah sehat, alhamdulillah dengan istri dan anak-anak yang masih lengkap, alhamdulillah juga masih bisa ibadah walau sedikit, alhamdulillah masih diberikan ketenangan. Tapi tetap saja saya bukan seorang Ayub. Dan inilah bedanya saya dengan manusia mulia itu.

Ahad, pada suatu petang, handphone itu tak ada di saku. Saya panik dan segera mencarinya. Jantung berdegup kencang tak seperti genderang perang. Saya segera mengingat-ingat tempat yang baru dilewati. Di tempat parkir barusan? Di musholla? Di sepanjang koridor menuju ruang utama? Di tempat makan? Atau di mana?

Alamaak!! Hp yang satunya ketiadaan pulsa. Niatnya untuk ngebel hp yang hilang itu dan ini berarti saya harus pinjam hp teman. Sedangkan teman-teman pada jam menjelang isya ini kebanyakan sudah kumpul di ruangan utama. Bergegas saya ke sana. Menemui teman dan meminjam hpnya. Belum juga dering kedua berbunyi mata saya tertumbuk pada sebuah meja makan. Dan benda warna hitam itu masih anteng di sana. Pfffhtt…

Hp saya itu hp China. Jadul. Masih pakai tombol untuk pencet nomornya. Tidak touchscreen. Sudah bulukan. Itu pun dikasih sama teman. Enggak tahu apa masih laku kalau dijual. Nomornya pun bukan nomor cantik atau yang sudah diketahui banyak teman. Tapi itu saja sudah membuat saya seperti kehilangan sesuatu yang paling berarti, seperti kehilangan seluruh harta benda. Seperti enggak ikhlas. Ck…ck…ck… Ini tanda-tanda apa yah? Cinta dunia? Bisa jadi. Tapi tetap saja saya bukan seorang Ayub. Dan inilah bedanya saya dengan manusia mulia itu.

Dua tahun yang lalu di awal Juni, api membakar dan menghancurkan bagian atas rumah saya. Mengingat itu saya teringat perkataan Ishaq yang dikutip Aidh Al Qarni, “Barangkali Allah akan menguji seorang hamba dengan suatu malapetaka, tetapi kemudian menyelamatkannya dari kehancuran. Oleh sebab itu, sebenarnya malapetaka bisa menjadi karunia.” Insya Allah waktu itu saya mampu untuk tegar.

Saya memang bukan Ayub tapi berusaha untuk menjadi Ayub yang mampu menghadapi semua perusak kenikmatan dunia itu. Petaka lalu setidaknya memberikan banyak pelajaran kalau harta yang hampir hilang sebatas hp itu seharusnya tak membuat perhatian teralihkan dari mengingat Allah. Cukuplah Allah sebagai penolong untuk segala urusan. Kali ini saya tak setegar waktu itu, Yaa Rabb…

 

***

 

Riza Almanfaluthi

Twitter: @rizaalmanfaluth

dedaunan di ranting cemara

03 Juni 2012

Sumber gambar: diambil dari Islamedia

Tags: ayub, pemda cibinong

Sehari Dengan Dua Sungkawa


Sehari Dengan Dua Sungkawa

 

Dua kabar duka membuat hari Sabtu ini menangis. Habis shubuh, saya sudah mendapatkan berita meninggalnya Ustadzah Yoyoh Yusroh—anggota DPR RI dari Fraksi Keadilan Sejahtera yang getol sekali mengusulkan pembolehan pemakaian jilbab buat perempuan anggota TNI. Ia meninggal setelah mobil yang ditumpangi dari Yogyakarta itu mengalami kecelakaan di Cirebon, Jawa Barat.

Satu kabar lagi adalah meninggalnya tetangga satu RT saya. Pak Syamsiar namanya—mantan ketua RT 11, RT kami. Ketika itu jam sepuluh pagi kurang. Saya dikejutkan dengan berita pingsannya dia. Maka saya bergegas ke rumahnya dan melihat kalau ia sedang dimasukkan ke dalam mobil oleh tetangga yang lain dalam kondisi tidak sadarkan diri.

Adik ipar yang menyetir, saya disampingnya, dan istri beliau di belakang memangku kaki suaminya. Badannya masih hangat. Saya tidak panik karena sudah pernah mengalami hal ini, sewaktu mengantarkan bapak yang kondisinya lebih buruk darinya. Kami akan mengantarnya ke rumah sakit. Ada dua pilihan: Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Depok atau Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong.

Bu Syamsiar—karena pernah mendapatkan pelayanan yang kurang memuaskan dari RSUD Cibinong—menginginkan untuk segera menuju ke RS Mitra Keluarga Depok tetapi karena jalanan Citayam menuju Depok selalu macet maka kami sepakati menuju RSUD Cibinong terlebih dahulu. Dekat dengan komplek Pemerintah Daerah (Pemda) Cibinong. Bu Syamsiar hanya pasrah dan menyerahkan segala urusannya kepada kami.

Dari kursi depan saya memegang tangan Pak Syamsiar dan terasa hangat. Sepanjang perjalanan, kami berempat hanya memanjatkan dzikir dan doa pada Allah agar tidak terjadi sesuatu apapun pada Pak Syamsiar.

Ketika sampai di Unit Gawat Darurat (UGD) RSUD Cibinong, barulah kami tahu bahwa ia sudah tidak bernafas lagi dari dokter jaga yang memeriksanya. Menurut istrinya, pagi itu suaminya memang mengeluhkan sakit di ulu hati namun tidak dihiraukan sampai ia duduk-duduk di kursi teras rumah. Barulah ketahuan kalau kemudian ia sudah tak sadarkan diri.

Saya segera menelepon pengurus RW, RT, dan Masjid Al-Ikhwan. Di komplek kami itu, kalau ada kejadian begini, maka sudah ada tugasnya masing-masing. Pengurus RW mengurus urusan pemakaman mulai dari mengontak ambulan, tukang penggali kuburan, dan pengurus Tempat Pemakaman Umum (TPU). Sedangkan Pengurus RT mengurus persiapan di rumah duka, dan pengurus masjid menyiapkan tim pengurusan jenazah, tempat pemandian, proses pemandiannya juga, pengafanan, dan penyolatannya.

Pulangnya saya duduk di kursi depan ambulan sebagai penunjuk arah. Setelah sampai di rumah duka segera menghubungi tim pengurusan jenazah supaya siap-siap bertugas setelah sholat dzuhur. Masker dan sarung tangan sudah ada. Kami bertiga dari tim ini lalu mulai menggunting kain kafan dan mempersiapkan semuanya sebelum mulai memandikan. Kalau urusan membuat rangkaian kembang dengan daun pandan itu urusannya ibu-ibu. Setelah itu kami memandikan jenazah almarhum dan syukurnya kami dibantu pihak keluarga sehingga prosesi pemandian dapat berjalan cepat.

Kemudian kami mulai mengafani. Tidak ada hambatan pula. Sekarang tinggal menunggu waktu ashar. Kami akan menyolatkannya di Masjid Al-Ikhwan. Lalu langsung menuju pemakaman di TPU Pondok Rajeg. Setelah semua selesai, kami segera ke TPU walau diiringi insiden ambulan mogok, ternyata hanya karena kehabisan bensin.

Rangkaian penunaian hak terhadap saudara seiman itu akhirnya selesai saat jenazah Almarhum Pak Syamsiar diturunkan ke liang lahat lalu dikuburkan. Sudah. Urusan mendoakan bisa di tempatnya masing-masing.

Saya jadi teringat suatu saat Kanjeng Nabi pernah mengatakan kalau hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menengoknya jika sakit, mengantarkan jenazahnya, memenuhi undangannya, dan menjawab seorang yang bersin. Dalam perkataannya yang lain Kanjeng Nabi menambahkannya dengan jika meminta nasehat maka nasehatilah.

Sabtu itu, Insya Allah sudah banyak salam yang terjawab. Syukurnya pula tak ada teman dan tetangga yang kabarnya sedang sakit, sehingga tak ada yang perlu ditengok. Kalaupun ada semoga cepat sembuh dan saya diberikan kekuatan oleh Allah untuk dapat menengoknya. Belum ada undangan hajatan atau syukuran yang datang ke rumah, jika pun ada semoga Allah memberikan kesempatan yang luas kepada saya untuk bisa menghadiri undangan tersebut. Namun di depan saya tak ada yang bersin, jadi tak bisa bilang Alhamdulillah.

Mengantarkan jenazah sudah dikerjakan di Sabtu ini. Amalan ini terbagi dua tahap kata ulama. Mengantarkan jenazah dari rumah sampai selesai dishalatkan di masjid. Lalu mengantarkan dari masjid sampai selesai dikuburkan.

Dan yang terakhir jika meminta nasehat maka nasehatilah. Hari itu tak ada yang meminta nasehat kepada saya. Dan seharusnya tak perlu mereka meminta itu, karena saya seharusnya yang banyak-banyak dinasehati. Banyak lupa, lalai, dan apalagi dosa. Seharusnya pula seharian mendengar duka dan mengurusi kematian ini menjadi nasehat yang besar buat saya. Kalau nasehat besar saja tak sampai ke hati bagaimana pula dengan nasehat-nasehat biasa?

“Za, kau dengar?” terdengar suara dari Nur’aeni nurani.

Saya cuma bisa terdiam.

***

 

Selamat jalan Ustadzah Yoyoh Yusroh dan Pak H. Syamsiar.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

count the chapter flattered

03.42 22 Mei 2011

 

 

 

 

Tags : Fraksi keadilan sejahtera, yoyoh yusroh, syamsiar, RSUD Cibinong, pemda cibinong, pengurusan jenazah,