5 Adab Menuntut Ilmu yang Kudu Diperhatikan oleh Salafi, Sufi, dan Kita Semua



Kita merasa sudah belajar mati-matian namun sepertinya ilmu itu sama sekali tidak bisa kita tangkap atau kita merasa bego terus, atau malah kita merasa sombong ketika sudah berilmu, jangan-jangan itu karena kita kurang peduli dengan adab-adab dalam menuntut ilmu. Adab-adab inilah yang kudu dipelajari terlebih dahulu sebelum kita belajar sesuatu. Entah ilmu umum ataupun ilmu agama.

Dalam buku yang ditulis oleh ulama dunia bernama Dr. Yusuf Alqaradhawi, berjudul Mensufikan Salafi dan Mensalafikan Sufi ada diterangkan mengenai adab-adab penting yang perlu diperhatikan oleh para pencari ilmu.

Baca Lebih Lanjut.

SERUPA MUSA DI HADAPAN KHIDIR


SERUPA MUSA DI HADAPAN KHIDIR

Baka sira deleng blog e kita sekien, sira pasti mikir baka kita wis suwe belih nulis. Ya wis belih papa baka kedelenge mengkonon mah. Tapi baka sira weruh, kita sebenere nulis bae. Nulis kontinyu mengkonon. Nulis apa bae. Tapi kadang belih ke pablis ning wong-wong. Soale tergantung proyek e. Sekien ana proyek sing kudu mari dina senen mbuh selasa. Tapi sekien kih proyek nulise durung dadi-dadi. Ning pikirane kita lagi pengen nulis kanggo kita dewek dingin. Pengen nulis kanggo blog e kita dewek. Pengen nulis sing ana ning ati dingin.

Makane kita sore kien buka laptop langsung nulis. Eh kelingan karo basa dermayu kah, makane kita nulis nganggo basa wong tua, basa ibu, sing senget cilik kita omong karo wong tua, karo sedulur. Mbuh pada ngerti belih karo sira sing dudu wong Cerbon apa Dermayu. Sing keturunane Nok Ratminah atawa Kang Baridin mah pasti weruh. Tapi kedelenge wong Brebes karo wong Tegal rada-rada ngerti. ya wis syukur baka ngerti sih. Terus pengen nulis apa maning kien? Mbuh. Terjemahe ning esor yaa…

    Seperti sudah saya bilang, kalau saya itu selalu belajar dari orang lain. Kalau baik, saya ingat amal kebaikannya itu dan ingin menjadikan target dari amal kebaikan yang akan saya lakukan. Jika jelek, tentunya sudah cukup itu menjadi pemikiran saya dan tidak menjadi aksi.

    Saya punya teman. Teman ini selalu punya keyakinan, kalau rezeki itu sudah ada yang mengatur. Tentu Allah Sang Maha Pemberi Rezeki yang mengaturnya. Bukan atasan dan bukan pula negara. Jadi sejak dulu dia selalu punya azzam kalau ada pekerjaan yang mengganggu ibadahnya maka pekerjaan itu akan ditinggalkan senyaman apapun hasil yang diperoleh. Kalau waktunya sholat—apalagi kalau sudah shalat Jum’at—ia selalu meninggalkan pekerjaannya walau sedang sibuk atau sedang rapat ataupun sedang mengantar Direktur dan tamu asingnya. Tapi ia tak peduli.

    Ia selalu punya keyakinan rezeki akan datang menghampirinya saat ia sedang butuh walau ia tak tahu dari mana datangnya rezeki itu. Tentu ia pun bukan seorang nihilisme—orang yang pasrahnya keterlaluan. Ia tetap berikhtiar dan kerja sekuat tenaga mencari rezeki itu. Dan faktanya memang demikian, rezeki itu selalu ada saat ia membutuhkannya, misal saat anaknya harus mendaftar ulang sekolah yang tentunya membutuhkan biaya banyak. Ada saja tiba-tiba orang menyerahkan uang kepadanya. Entah karena bisnisnya atau ada yang membayar utangnya.

    Satu saja untuk semua itu: ia punya keyakinan mendalam bahwa Allah itu tergantung dari kita sendiri sebagai hambaNya. Dan ia memberikan pelajaran kepada saya bahwa mengarungi hidup itu harus dengan pandangan positif kepada Allah. Kalau kita yakin Allah akan menolong kita, maka Allah pasti akan menolong kita. Kalau kita yakin Allah akan memberikan rezekinya maka Allah pasti akan memberikan perbendaharaan kekayaannya kepada kita. Begitu pula sebaliknya. Maka ia selalu berpikir positif, bukankah Allah tergantung prasangka hambaNya? Malam itu, saat mendengar ceritanya, saya menjadi murid kehidupannya.

    Seorang trainer dari sebuah perusahaan finance kendaraan bermotor. Pekerjaannya memberikan pelatihan kepada semua cabangnya di seluruh Indonesia. Dan pekerjaan sampingannya adalah menuntaskan kredit yang tak kunjung dibayar atau kredit macet. Selalu saja pekerjaannya itu—entah yang pokok atau sampingannya—berbuah kesuksesan.

    Dewan direksi melihat pekerjaannya, apalagi kalau menyangkut bagaimana mengurai kredit macet, selalu ada sisi positif yang didapat: omzet naik, grafik kredit macet turun, target tercapai dalam setiap bulan, urusan dengan pihak eksternal selalu terselesaikan dengan mulus. Satu kemampuan tambahannya adalah dia pelobi dan negosiator handal. Oleh karenanya CEO setuju untuk menaikkan jabatannya menjadi seorang manajer kredit—semula dia hanya bekerja di bagian HRD—dengan mendapatkan fasilitas tambahan berupa kenaikan gaji lumayan gede, tunjangan tambahan, dan mobil dinas.

    Untuk merayakan dan mensyukuri keberhasilannya itu ia mengajak istri dan anak-anaknya makan-makan di sebuah restoran. Saat makan-makan itu salah satu dari tiga anaknya bertanya kepada Sang Ayah detil apa dan bagaimana pekerjaannya. Sang Ayah menjelaskan dengan lantang dan bersemangat. Tapi satu pernyataan dari anak keduanya yang bersekolah di SMPIT itu membuatnya tersedak: “Berarti Ayah bergaul dan makan uang riba secara langsung dong. Ngeri Yah.”

    Sejak saat itu kebimbangan menyertainya. Ini membuat gulana. Karena di bagian kredit itu ia memang secara langsung tahu bagaimana detil dari aktifitas riba yang berlangsung dan dijalankan dalam sistem pembiayaan di perusahaan tersebut. Ia shalat istikharah. Dan pada akhirnya ia berkeyakinan untuk resign walau perusahaannya berkutat menahan sekuat tenaga agar aset berharga dan utamanya ini tidak keluar. Tapi ia bergeming. Ia tetap keluar walau ia tidak tahu akan kemana lagi ia bekerja. Ia cuma punya satu keyakinan kalau Allah tidak akan meninggalkannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih halal.

    Di saat menjalani hari-hari terakhirnya di kantor itu ia mendapat telepon kalau perusahaan temannya membutuhkan seorang trainer. Sang teman itu memintanya kalau ada kenalan yang mau ikut bergabung di sebuah perusahaan kesehatan. Ia langsung menangkap peluang itu, walau sang teman terkejut kalau sebenarnya jabatan itu bukan untuk dirinya karena tidak level. Tapi ia tetap meyakinkan temannya kalau ia mau masuk dan tidak mempermasalahkan tentang grade jabatan dan take home pay-nya yang pasti berkurang.

    Ia tak perlu lagi mengikuti tes tertulis yang biasa dilakukan buat pendatang baru karena sang Direktur sudah tahu tentang kredibilitas dirinya dari wawancara yang dilakukan. Aura keyakinan dirinya sudah tertangkap Sang Direktur, juga pada keyakinannya pada rezeki dan takdir. Kalau yang halal itu sudah jelas kehalalannya dan yang haram itu sudah jelas keharamannya. Shubuh itu, saat mendengar ceritanya, saya menjadi murid kehidupannya.

    Yang tertangkap dari dua teman saya itu adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan pada sesuatu yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran dan syariat. Dan saya yakin bahwa itu semua adalah refleksi dari keimanan yang tinggi kepada takdir dan janji-janji Allah. Sebuah keyakinan yang saya perlu belajar banyak dari mereka berdua. Dan saya bukan apa-apanya dari mereka. Saya serupa Musa di hadapan Khidir.

    Wallaahua’lam Bishshowab.

**

Terjemah:

    Kalau Anda melihat blog saya sekarang, Anda pasti berpikir kalau saya sudah lama tidak menulis. Ya Sudah tidak apa-apa kalau terlihatnya demikian. Tapi kalau Anda tahu, saya sebenarnya menulis selalu. Menulis kontinyu seperti itu. Menulis apa saja. Tapi terkadang tidak terpublikasikan kepada siapa-siapa. Soalnya tergantung proyek menulisnya. Sekarang ada proyek menulis yang harus jadi hari Senin atau Selasa besok. Tapi sekarang proyek menulis itu belum selesai-selesai. Yang jadi pikiran, saya ingin menulis untuk saya dulu. Ingin menulis buat blog saya sendiri. Ingin menulis yang dari hati saya dulu.

Makanya saya sore ini buka laptor langsung menulis. Eh, teringat dengan Bahasa Indramayu begitu, makanya saya menulis pakai bahasa ibu ini, yang dari kecil saya pakai ketika berbicara dengan orang tua dan saudara-saudara. Tak tahu apakah Anda yang bukan orang Cirebon atau Indramayu mengerti tulisan ini? Yang keturunannya Nok Ratminah dan Kang Baridin pasti tahu. Tapi kelihatannya orang Brebes dan Tegal mengerti juga. Ya sudah, syukur kalau mengerti. Terus ingin menulis apa lagi sekarang? Tak tahu. Terjemahan di bawah yaa…

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Jelang Nisyfu Sya’ban

17:41 23 Juni 2013

Gambar dari sini.

RESEARCH IN [MOSES] MOTION


RESEARCH IN MOSES MOTION

 

Semalam saya bangun. Tepatnya menjelang tengah malam. Tidak tidur hingga dua jam ke depannya. Mengambil komputer. Menuju ke ruang tengah. Menyalakannya dan membiarkan layar putih kosong di depan saya hingga setengah jam lamanya.

Saya ditemani seekor kecoa yang satu kaki belakangnya lemah tak berdaya. Terseret-seret tubuhnya yang tetap mengilap walau tak pernah mandi seumur hidupnya. Sudah beberapa kali dia lagi-lagi memutar di depan saya–menyusuri tembok. Dia tak pernah mau jauh-jauh dari dinding. Mengapa? Jika ia terjungkal dan jatuh terlentang ia masih dengan mudahnya menggapai dinding itu untuk kembali tegak.

Terdengar suara berisik dari arah dapur. Ternyata si belang yang tak tahu diri sedang menjilati remah-remah makanan di atas piring kotor. Sebenarnya tidak ada celah buat dia masuk ke rumah ini. Kecuali satu hal: jendela di kamar atas terbuka. Ya, betul sekali. Dari sana ia masuk.

Saya pernah berbicara baik-baik dengannya untuk tidak masuk ke rumah ini. Kalau mau makanan lezat silakan untuk mempersiapkan kupingnya yang berpendengaran tajam itu bila ada panggilan dari saya. Bolehlah ia masuk. Eh, dasar kucing. Sudah dibilang baik-baik, dengan atau tanpa panggilan, ia tetap masuk. Ndableg… Ini karena ia—seumur hidupnya—tidak pernah makan bangku sekolahan. Kasihan.

Dan malam itu saya cuma bisa menulis beberapa paragraf seperti ini:

Apa yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan anaknya menunggangi keledai seorang diri? Apa pula yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan dirinya seorang diri menunggangi hewan itu? Apa kemudian yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan dirinya dan anaknya menjadi dua beban berat di punggung hewan yang dikenal bodoh itu?

Tak bermuara sampai di situ. Apa yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan hewan yang diciptakan di dunia sebagai tumpangan manusia itu dibiarkan sempurna melangkah dengan tegak tanpa beban berat di atasnya? Dan apa yang diterima oleh sang ayah yang bersama dengan anaknya menggotong keledai sehat wal afiat itu di punggung-punggung mereka bergantian?

Komentar tiada henti yang berujung dengan celaan. Ya, itulah nasib yang diterima mereka. Seperti nasib yang diterima oleh banyak orang yang berusaha untuk mewujudkan sesuatu yang berguna untuk orang lain, minimal untuk diri mereka sendiri.

Semula penduduk dusun itu tak pernah membayangkan mereka mendapatkan kelimpahan air setelah apa yang dilakukan oleh salah satu lelaki dari mereka. Sebelumnya mereka harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Lelaki itu dengan penuh ketekunan membuat lubang yang menembus dua bukit hanya untuk mengalirkan air dari mata air ke dusun. Sedikit demi sedikit usaha besar itu dikerjakan dengan diiringi rasa skeptis yang melanda para tetangganya. Cemoohan sudah barang tentu menjadi laku keseharian yang diterima. Setelah bertahun-tahun upaya itu dijalankan, setelah mereka melihat air yang begitu berharga membasahi persawahan mereka maka barulah penduduk dusun mengakui kerja lelaki itu. Syukurnya tidak ada azab yang menimpa mereka para pencemooh itu. Kebahagiaan menjadi milik mereka bersama.

Ini berbeda dengan para pengolok yang mengejek apa yang dilakukan Nuh di saat ia membuat sebuah perahu besar di tengah gurun. Laut jauh darinya. Maka silangan di dahi kepada Nuh menjadi sebuah tingkah dari para lawan ideologinya, pun dengan anaknya yang menjadi bagian mereka. Tak dinyana itulah akhir dari mereka. Bah raksasa menggilas semuanya. Menyisakan perahu yang membawa Nuh dan pengikutnya dari kalangan manusia dan faunanya.

Sejatinya ejekan itu hanyalah perantara turunnya ikab. Ada yang lebih dahsyat lagi: ketika syahwat menduakan Tuhan merajalela. Ini sekadar model dari berlabuhnya sebuah azab. Tanpa ada peringatan.

Namun Tuhan masih pemurah kepada bangsa Yahudi yang sering berbuat kerusakan di muka bumi walau banyak perintah-perintah-Nya didera pengkhianatan. Agar mereka taat dan ingat dengan perjanjian yang mereka buat, maka Tuhan mengangkat Bukit Thursina di atas kepala mereka. Benar-benar di atas kepala yang membuat mereka bergidik tentunya. Taati atau azab ini menimpa. Pun dengan itu, mereka tetap dengan karakter aslinya sebagai pembangkang tulen.

Berpuluh abad kemudian, karakter—mencela, mengejek, membangkang, tak bersyukur—itu seringkali mengemuka. Hatta di tengah banyak musibah yang menimpa bangsa ini. Di suatu saat ketika petinggi negeri ini berkutat menekan perusahaan asing untuk memenuhi keinginan pembagian yang lebih berpihak kepada lokal yang salah satunya adalah dengan memblokir segala konten yang berbau porno, maka bau-bau yahudi itu menjelma dengan salah satu kicauan ejekan seperti ini: “baru aja mencoba akses situs porno via laptop dgn jalur Telkom, lancar abiss!!!! Klo #RIM dtutup diskriminasi tu nmnya.”

*

Malam semakin larut. Komputer sudah saya tutup. Sejenak saya merenung. Dunia sudah renta. Hukuman Tuhan saat ini buat umat Muhammad masih belumlah seberapa dengan yang diterima Bani Israil pada saat itu sebagai bentuk pertaubatan dari penyembahan sapi atas perintah Samiri. “Sebagian dari kalian membunuhi sebagian yang lain.” Hingga Ia memerintahkan Musa untuk menghentikan penebusan dosa mereka itu saat statistik menunjukan angka tujuh puluh ribu jiwa.

Saya bergidik. Dan kecoa di depan saya itu masih terkapar, melonjak-lonjak untuk bangkit.

***

 

Riza Almanfaluthi

penulis dan blogger

dedaunan di ranting cemara

09.11 12 Januari 2011