DAPAT DUIT 23 JUTA RUPIAH


DAPAT DUIT 23 JUTA RUPIAH, ALHAMDULILLAH…

Ahad itu, saya sedang membersihkan mobil untuk persiapan berangkat ke acara Silaturahim Du’at se- Kabupaten Bogor yang diselenggarakan oleh IKADI (Ikatan Da’I Indonesia). Tiba-tiba datang sepasang suami istri—tetangga saya namun beda RT—meminta bertamu dan berbincang-bincang sejenak karena ada suatu keperluan.

Saya mempersilakan mereka berdua untuk masuk dan duduk di ruang tamu yang cuma dialasi dengan karpet plastik itu. Sang suami itu mulai bicara pada saya, “Pak saya mau menyerahkan uang INI sebagai nadzar kami atas kesembuhan anak kami.” Ia menyodorkan bungkusan plastik putih. Tebal.

“Memang Bapak bernadzar apa?” tanya saya lebih lanjut.

“Anak kami sakit ginjal. Di dalam ginjalnya itu terdapat cairan. Menurut medis anak kami ini harus dioperasi. Kami tidak mau. Lalu kami mencari pengaobatan alternatif yang Insya Allah sesuai syar’I dan Alhamdulillah sembuh. Kami sudah cek kembali ke dokter. Alhamdulillah, kata dokter sudah tidak ada cairannya dan tak perlu dioperasi lagi,” kata sang suami.

Istrinya menyela, “sebelumnya kami bernadzar, kalau anak kami sembuh kami akan berinfak.”

“Nah ini sebagai pemenuhan kewajiban kami. Uang ini untuk masjid Pak. Dua puluh tiga juta,” kata sang suami lagi.

Subhanallah walhamdulillah, mata saya langsung berkaca-kaca. Saya tahan saja airmata yang sepertinya ingin berlarian keluar dari pelupuk mata. Allah telah mengabulkan do’a para jama’ah masjid Al-Ikhwan.

Ya, jama’ah Masjid Al-Ikhwan berencana ingin membuat tangga ke bawah agar tempat wudhu yang berada di lantai atas (ruang utama masjid) bisa dipindahkan ke bawah dekat ruang TPA. Awalnya kami cuma punya uang kurang lebih enam juta rupiah saja. Sedangkan biaya pembangunan yang disodorkan oleh pemborong berkisar 38 juta rupiah, naik dari proposal awalnya yang hanya sebesar 27 juta rupiah.

Dengan berkah bulan ramadhan akhirnya kami bisa mengumpulkan infak sebesar 20 juta rupiah. Dengan modal awal itu kami bisa memulai pembangunan tangga. Pemborongnya yang merupakan langganan kami itu termasuk orang baik.

Ia rela memberikan nafas dan kesempatan kepada jama’ah Masjid Al-Ikhwan untuk mencicil sisanya sebesar dua juta rupiah per bulan selama sembilan bulan. Ia pun tahu kami tidak menunda-nunda dalam pembayarannya. Karena dari pengalaman lalu ketika kami menerapkan metode cicilan ini, kami selalu membayar cicilan lebih dari yang seharusnya kami setor. Dengan hal ini kami bisa lebih cepat dalam melunasi hutang masjid. Prinsip kami kalau ada uang segera bayar hutangnya.

Dan selama bulan ramadhan yang merupakan bulan penuh keberkahan, rahmat, dan terkabulnya banyak doa itu kami senantiasa memanjatkan do’a agar Allah memberikan kepada kami kepercayaan, kekuatan, dan kemampuan untuk membangun tangga tersebut. Karena selama ini kami hanya mengandalkan pada donator bulanan untuk membiayai operasional masjid. Tidak ada proposal yang dikirim kepada para warga. Kami hanya mengandalkan proposal yang dikirim ke Departemen Agama yang sampai dibuatnya tulisan ini sumbangannya belum juga didapat.

Kami yakin Allah mahakaya. Allah pemilik sejatinya masjid Al-Ikhwan itu. Allah yang akan membangun dan menjaga masjid kami itu. Dan Allah maha mendengar. Maka kami perbanyak do’a di bulan ramadhan apatah lagi di sepuluh hari terakhirnya agar Allah memenuhi segala kebutuhan Masjid Al-Ikhwan itu.

Sungguh Allah mendengar do’a kami. Belum habis bulan syawal 1430 H ini Allah memenuhi kebutuhan kami dengan jumlah yang pas dan mencukupi sehingga kami tidak perlu berhutang. Kami akan membayar dengan kontan. Allah mahabesar.

Dan dengan kedatangan suami istri itu, saya dipertontonkan sebuah bentuk keikhlasan. Sebuah bentuk proteksi dari terciderainya amal kebajikan. Mereka tidak mau dibuatkan kuitansi penerimaan uang, tidak mau ditulis namanya di laporan bulanan, dan tidak mau nama mereka disebut-sebut di pengumuman hari jum’at.

“Cukup hamba Allah saja,” kata mereka.

Untuk semua yang Allah pertunjukkan kepada saya, saya hanya berdoa semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada mereka dari apa yang mereka berikan kepada kami. Infak mereka adalah penjauh malapetaka dan penyembuh segala luka. Dan semoga Allah menyehatkan anak-anak mereka dan menjadikan anak-anak mereka anak-anak yang sholih.

Dan menjadikan kami termasuk ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa mensyukuri nikmat yang diberikan. Terima kasih ya Allah.

Riza Almanfaluthi

Episode Ahad

dedaunan di ranting cemara

09.22 WIB 12 Oktober 2009.

Masjid Kita


26.05.2005 – Masjid Kita

Sekitar pukul 16.30 WIB dalam perjalanan menuju stasiun Gondangdia Ahmad terlebih dahulu singgah di suatu masjid yang terletak di komplek perkantoran untuk menunaikan Sholat Ashar. Masjid Kebon Sirih namanya. Untuk menuju masjid tersebut maka harus melewati pintu gerbang utama gedung. Ahmad meminta izin untuk masuk ke komplek perkantoran tersebut kepada Satpam yang bertugas di gerbang tadi. Dengan pandangan penuh selidik dan tanda tanya, Satpam mempersilahkan Ahmad untuk masuk setelah mendapat penjelasan bahwa dirinya mau menunaikan Sholat.

Dari kejauhan arsitektur masjid itu sungguh indah dan menawan, ruang utama masjid berada di lantai dua. Lantai bawah adalah untuk ruangan pertemuan atau ruangan apapun namanya. Untuk menuju ruangan utama Ahmad harus menaiki anak tangga ke atas. Tapi sebelumnya, persis di depan tangga berjaga pula seorang Satpam dengan membawa HT. Ahmad pun meminta izin pula untuk shalat. Lalu Ahmad menaiki tangga dan mencari tempat wudhu, dan ternyata Satpam pun mengikuti Ahmad ke atas dan duduk menunggu di teras masjid yang berhalaman luas tersebut. Ahmad pun sholat. Setelah sholat sebenarnya Ahmad masih ingin beristirahat sejenak, mengagumi ornamen masjid yang begitu indah, mengamati pemandangan di sekitar gedung masjid, dan membaca mading yang tertempel di papan pengumuman, namun dirinya merasa tidak enak dengan adanya pengawasan dari Satpam tersebut, sehingga ia buru-buru untuk segera meninggalkan masjid. Ahmad ber-khusnudzon saja, soalnya hari itu adalah hari keempat lebaran, yang tentu saja Jakarta masih sepi dari hiruk pikuk kegiatan manusia. Apalagi pada malam natal lalu guncangan bom meledakkan banyak gereja dan memakan banyak korban, tentu Satpam harus dapat meningkatkan kewaspadaannya.
Pengalaman lainnya di alami oleh Hakim yang berniat untuk melaksanakan sholat Dhuha di masjid di bilangan Pondok Aren. Tapi apa lacur, niatnya untuk memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan kandas karena fasilitas untuk berwudhu dan pintu masjid terkunci dengan rapat. Padahal di dalamnya ada sang marbot yang melihatnya sedang berusaha membuka pintu yang terkunci, namun sang marbot bergeming untuk tetap membiarkan Hakim berada di luar. Fenomena apa pula ini?
Itulah masjid kita. Banyak masjid didirikan namun tak banyak pula yang dapat diramaikan oleh beragam aktivitas. Pendirian masjid yang susah payah—sampai-sampai dengan mengumpulkan dana di jalan-jalan, setelah berdiri megah dan indah namun sunyi senyap. Kegiatan baru tampak ketika sholat Magrib dan Isya plus shubuh, itu kalau masjid yang berada di perkampungan, bila yang ada di perkantoran hanya ramai pada saat sholat Dhuhur dan Ashar saja, sedang waktu-waktu lainnya jangan ditanya, padahal disekitar perkantoran tersebut terdapat perkampungan penduduk.
Apa yang dialami oleh Hakim dialami oleh banyak musafir yang ingin memenuhi hajatnya, fasilitas MCK yang tidak memadai dan terkunci. Padahal masjid adalah tempat yang pertama kali dicari oleh musafir yang berniat istirahat. Alasan apa yang paling kita dengar adalah supaya masjid dan segala fasilitas yang ada tidak kotor dan barang-barang aman, jadi silahkan saja sholat di luar masjid. Tapi Masjid adalah milik umat, bukan milik suatu RT, kelompok, atau komunitas masyarakat di sekitarnya, tapi tetap yang berkewajiban menjaga dan merawatnya sudah tentu mereka. Akankah masjid kita akan selamanya begini? Think about it.
dedaunan di ranting cemara
tiga yang lampau, dengan perbaikan kini
10:22 23 Juli 2005