MBUH…


MBUH…

     Sudah dua paragraf tulisan yang saya buat, tetapi akhirnya terhapus juga. Mau nulis ini mau nulis itu, kena blok lagi. Inilah kalau menulis sambil mengedit. Mikirnya bagus enggak, sesuai aturan enggak. Padahal sudah diajarin tentang freewriting. Ternyata saya juga sering kena writer’s block.

    Padahal tiga hari diklat banyak banget ilmu yang didapet. Tapi atasi mental itu yang rada-rada susah. Padahal sudah banyak banget pengalaman yang dicapai selama berkecimpung dalam hobi menulis ini, masih tetap kena penyakit buat para penulis. Lagi-lagi karena kena beban menulis itu: harus bagus, harus enak, dan lebih baik daripada tulisan-tulisan yang lampau. Tapi kalau banyak mikirin begini, kagak jadi nulis-nulis. Typo mulu.

    Sekarang saya lagi belajar freewriting lagi aja. Gak mikir sesuai ejaan apa kagak. Yang penting malam ini kudu nulis. Sebab ilmu yang diperoleh selama tiga hari ini kudu cepet-cepet dipraktekin supaya jangan hilang.

    Dua hari yang lalu saya nulis tentang diklat di hari pertama, sekarang saya ingin melanjutkan sedikit tentang belajar apa saja yang pada hari ini. Yang pasti saya hari ini dapat ilmu tentang teknik menulis deskriptif, pengenalan media massa, belajar lagi tentang bahasa Indonesia. Terakhir tentang penulisan esai dan opini.

    Sesuai jadwal di hari kedua harus ada editor Kompas yang mau ngasih ceramah tetapi enggak jadi. Diundur di hari ketiga kata panitia. Tetapi sampai hari ketiga pun dia tak sanggup datang karena kepentingan yang mendesak. Tapi tak mengapa, dari Pak Harri Sujadi saja saya sudah banyak dapat ilmu. Di hari ketiga, hari Kamis (28/2,) kami diajari tentang cara revisi dan editing, terus sama-sama kita mencari topik yang bisa ditulis dan dimuat di media massa.

    Bener-bener deh males banget ngelanjutin ini tulisan. Lemes. Gak nafsu. Apa karena tadi juga waktu istirahat siang maksain ngedit tulisan yang mau dikirim. Tapi mau tidak mau malam ini kudu maksa buat freewriting. Freewriting itu nulis apa aja, bebas, cepet tanpa dihalang-halangi oleh apapun. Keinginan typo kudu dijauhin bener. Katanya kalau freewriting selama dua kali sehari dan dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan niscaya akan jadi penulis terampil. Karena sesungguhnya seperti yang sudah saya katakan di tulisan pertama: menulis itu adalah keterampilan. Dan keterampilan harus senantiasa diasah. Itu aja kali yah.

    Patut diketahui juga kalau freewriting itu adalah cuma metode atau cara latihan menulis bebas menggunakan otak kanan. Karena pada kenyataannya menulis itu harus baik sehingga perlu revisi dan edit. So, freewriting adalah sekadar latihan.

    Ohya dua tahun saya meninggalkan Pusdiklat Keuangan Umum ini banyak sekali perubahan terutama dari segi pelayanan panitia kepada kami. Sekarang untuk registrasi diklat gak perlu lagi ngisi kertas, sudah paperless, tinggal ngisi profil yang sudah disiapkan di intranet Pusdiklat.

    Fasilitas komputer yang tersambung dengan internet pun sudah tersedia. Ditambah hotspot wifi di setiap lantainya. Sertifikat pun sudah bisa didapat langsung selesai diklat. Beda banget dengan dua tahun yang lampau yang kagak tahu kapan jadinya dan tahu-tahu sudah dikirim ke kantor masing-masing. Ketersediaan makanan juga selalu terjamin. Ah…sudah ya. Tulisan mbuh iki (Gak tau, gak jelas).

    Satu lagi, kayaknya emang enak ya kalau berangkat ke kantornya jam tujuh pagi dari rumah. Lalu naik KRL Commuter Line yang rada longgar setelah KRL ekonomi. Turun tak berdesak-desakkan dan masih rapih. Pulangnya jam setengah lima dari kantor dan pergi ke stasiun yang masih belum ramai dengan para penumpang. KRLnya juga tak penuh-penuh amat. Sampai rumah belum maghrib. Wuih idaman sekali. So, inilah yang terjadi pada hari ini. Nikmat yang sungguh tak boleh diingkari.

    Done.

***

Riza Almanfaluthi

21.01 28 Februari 2013.

gak diedit lagi, jangan protes.

BUANG OTAK KIRIMU


BUANG OTAK KIRIMU

 

Dua tahun yang lalu saya diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) penulisan ilmiah populer yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Umum Kementerian Keuangan, mulai hari ini, selasa (26/2) selama tiga hari saya diikutkan kembali diklat menulis yang diberi titel Diklat Menulis untuk Media Massa.

    Tempat penyelenggaraannya juga sama, di Pancoran. Jadi saya harus turun di Stasiun Cawang untuk kemudian berjalan kaki menuju ke sana. Dan itu butuh waktu 25 menit berjalan santai.

    Pengajarnya juga ternyata sama, Pak Harri Sujadi, mantan wartawan Kompas yang sekarang jadi freelancer-journalist. Materinya juga sama. Tapi tak mengapa, karena ternyata saya merasa mendapatkan “tenaga baru” untuk menulis. Dengan mengikuti diklat ini materi yang dulu pernah saya terima dan masih sulit dimengerti jadi lebih dapat dipahami lagi.

    Seharian ini saya bersama 20 peserta diklat yang lain se-Kementerian Keuangan—dan hanya tiga orang dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP)—diajarkan bagaimana cara melepaskan diri dari belenggu otak kiri di saat menulis. Menulis itu, katanya, adalah proses kreatifitas. Bagaimana cara memunculkan dan mengasah kreatifitas itu? Tentu dengan memaksimalkan fungsi otak kanan. Otak kanan itulah yang bertanggung jawab atas munculnya ide dan proses kreatifnya.

Jadi sedari pagi sampai sore tadi kita disuruh dan dilatih melepaskan diri dari otak kiri di saat menulis. Caranya? Kita dilatih freewriting, clustering, re-creation, Inner-eye. Detil dari empat itu nanti saja saya terangkan di lain kesempatan kalau ada waktu. Pelatihan yang terakhir itu kita diajarkan bagaimana caranya otak kiri benar-benar harus tak mampu menjadi raja dalam otak kita. Otak kanan yang harus berperan besar. Caranya? Menerjemahkan puisinya Guiseppe Ungaretti yang berbahasa Spanyol itu dengan sebebas-bebasnya. Cukup dengan menangkap nuansanya lalu tulis. Itu saja.

Dan ternyata masih saja ada yang tidak bisa, masih bertanya-tanya apa arti kata-kata dari bahasa yang tidak pernah dipakainya itu, dan cuma bisa terpaku. Sampai waktu selesai tak ada satu kata pun tertulis. Kata Pak Harry, itu berarti otak kiri masih dipergunakan.

‘Ala kulli hal, hari ini pokoknya saya dapat ilmu banyak. Contohnya tips-tips menulis seperti berikut ini:

  • Tips yang salah dari menulis adalah menulis sambil mengedit.
  • Menulislah terlebih dahulu. Edit belakangan.
  • Tuliskan apa yang ada dalam pikiran.
  • Menulis itu harus tahu siapa pembaca tulisan kita.
  • Dengan inner eye, jangan hambat momen yang ada.

     

Acara besok lebih seru lagi, akan ada ceramah tentang editing media dari editor Kompas yang menangani desk-opini. Semoga besok dan besoknya lagi saya dapat mengikuti kelas dengan baik tanpa mengantuk (tadi juga sebanrnya mengantuknya cuma sedikit kok) dan gangguan gadget (masak terus-terusan melihat timeline di Twitter).

    Terima kasih kepada pihak-pihak di Kantor Pusat yang memercayakan saya untuk mengikuti kembali diklat ini. Sangat bermanfaat dan Insya Allah bisa ditularkan kepada yang lain kalau diberi kesempatan untuk menularkannya.

    ***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

dua tahun itu tak terasa lewatnya

tulisan ini hasil dari freewriting

20.40 26 Februari 2013

 

Tags: tips menulis, harri sujadi, kompas, djp, direktorat jenderal pajak, kementerian keuangan, pusdiklat keuangan umum, diklat, Penulisan Media Massa, menulis untuk media massa, pancoran, freewriting