Cuma Kisah Sederhana (3)


Cuma Kisah Sederhana (3)

Dalam sebuah halaqoh (pertemuan) di sebuah masjid di bilangan Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, seorang Syekh berasal dari Timur Tengah yang juga veteran perang Afghanistan sedang memberikan taushiyah kepada sekelompok anak muda yang dengan tekun menyimak semua perkataannya dengan bantuan seorang penerjemah.
Pada saat mereka asyik mendengarkan, tiba-tiba Sang Syekh terdiam saat melihat kedatangan seorang tua yang memasuki masjid tersebut. Ini membuat yang lainnya terheran-heran. Ditambah pula Sang Syekh tidak lagi melanjutkan taushiyahnya. Bahkan beliau meminta semua hadirin yang ada dalam halaqoh tersebut untuk diam sejenak.
Sang Syekh tampaknya tertegun dan terus memandangi orang tua yang saat itu sedang melakukan shalat. Beberapa saat, orang tua itu sudah menyelesaikan shalatnya. Setelah berdzikir dan berdoa, ia pun melangkahkan kakinya keluar masjid sambil tak lupa mengucapkan salam kepada peserta halaqoh.
”Subhanallah,” seru Sang Syekh.
”Ada apa Ustadz?” seorang hadirin bertanya keheranan.
”Masya Allah,” ucap Sang Syekh tidak menjawab.
”Memang ada apa Ustadz?” tanya hadirin yang lain.
Terlihat Sang Syekh masih melantunkan dzikirnya lagi nyaris tanpa terdengar. Hening sejenak.
”Tahukah kalian apa yang sedang aku rasakan,” tanya Sang Syekh dibantu oleh penerjemah.
”Tidak Ustadz!,” jawab hadirin hampir serentak.
”Saat aku melihat orang tua yang memasuki masjid tadi, hatiku langsung tergetar. Aku merasakan keteduhan yang sungguh luar biasa saat melihatnya. Aku merasakan seperti ada cahaya yang memancar darinya. Cahaya ketenangan. Cahaya yang hanya dimiliki oleh para orang sholih. Cahaya yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang bangun di sepertiga malam terakhir. Cahaya yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang ikhlas. Mahasuci Allah dan Segala Puji hanya untuk Allah yang telah mempertemukan aku dengan orang tua sepertinya,” tutur Sang Syekh panjang.
”Oleh karena itu aku meminta kalian untuk diam sejenak sampai orang tua itu selesai melaksanakan hajatnya. Sambil aku menikmati apa yang Allah berikan kepadaku. Nikmat merasakan ketenangan, kekhusyu’an, dan keteduhan dari orang tua itu. Sungguh, sungguh, sungguh luar biasa orang tua itu,” lanjutnya lagi. “Aku harus belajar banyak kepada dirinya, kepada kalian aku sarankan pula untuk menggali ilmu padanya.”
”Tahukah kalian siapakah dia?” tanya Sang Syekh kepada para hadirin.
”Ia adalah pemilik yayasan pendidikan Islam di sebelah Masjid ini Ustadz, ”jawab salah satu hadirin. ”Masjid ini pun dikelola oleh yayasan tersebut.”
”Ustadz Hasib namanya.”
***
Natijah (buah) dari keimanan seseorang dapat dirasakan oleh orang disekitarnya, yang tentunya pula memiliki kadar keimanan yang tak perlu diragukan lagi. Bahkan dalam tataran orang biasa pun natijah itu dapat dirasakan. Dengan tutur katanya yang halus, keteduhan yang terpancar dari wajahnya, sikapnya yang lemah lembut, pancaran mata yang menyejukkan, tiada yang keluar dari mulutnya kecuali kebaikan dan hujjah yang kuat.
Dengan keteguhan, kesabaran, dan kesalihan yang ia miliki maka siapa yang tidak mengenal Ustadz Hasib, seorang yang menjadi ’awwalun’ dalam pergerakan dakwah kontemporer di bumi Indonesia ini. Yang kemudian pergerakan tersebut memasuki dan menempuh salah satu dari sekian banyak wasilah (sarana) dalam berdakwah, menjadi sebuah partai Islam berlambang dua bulan sabit yang mengapit padi menguning.
Saatnya semua itu tidak hanya dirasakan oleh Sang Syekh, tapi seluruh umat di penjuru tanah air ini, bahkan kepada semua golongan. Karena sesungguhnya Islam adalah rahmatan lil’alamiin.
Allohua’lam bishshowab.

dedaunan di ranting cemara
masih mencari kisah-kisah pencerahan lainnya
22:42 12 Desember 2005

Ramadhanku Adalah…


Ramadhanku adalah saat di mana aku kembali mengenang masa-masa indahku di ramadhan-ramadhan yang lalu.

Saat aku kecil, di sebuah kota kecamatan di Indramayu, ramadhanku adalah saat di mana aku bisa makan sepuasnya kue yang diperebutkan bersama teman-temanku setelah sholat tarawih yang dibagikan oleh pengurus musholla. Setelah itu Ramadhanku adalah saat aku asyik menikmati “krupuk sambel” atau bakso yang sengaja dibeli oleh ibuku. Makan rajungan, nasi jamblang dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ramadhanku di saat pagi adalah saat aku jalan-jalan setelah sholat dan kuliah shubuhnya yang aku lalui dengan enak tertidur di masjid. Jalan-jalan bersama sambil bermain detektif-detektifan layaknya lima sekawan yang sedang terkenal di masa itu. Dan sambil hiking, susuri pinggiran sungai cimanuk sampai menyeberangi “jembatan abang” bekas peninggalan belanda yang rusak parah dengan ketinggian kurang lebih 25 meter di atas permukaan kali Cimanuk. Hampir saja terjatuh tapi Alhamdulillah selamat juga.

Ramadhanku di saat siang adalah saat aku banyak membaca komik di tempat persewaan. Dan sore hari menjelang maghrib adalah saat yang paling mendebarkan hati sambil memutar “tuning” gelombang radio mencari stasiun mana yang lebih cepat mengumandangkan adzan.

Ramadhanku di saat SMP adalah ramadhan yang hampir penuh dengan aktivitas mendengarkan radio di saat siang hari sambil menunggu kalau-kalau ada dari teman-temanku menitipkan salam buatku dari kartupos yang dibaca oleh penyiar Radio Cinderella, dan diselingi dengan banyak lagu yang dilantunkan oleh penyanyi-penyanyi negeri jiran yang saat itu dipastikan menguasai blantika musik pop Indonesia, mulai dari Ami Search, Swing, dan lain sebagainya (ingat suci dalam debu? tayamum dong).

Ramadhanku di saat aku SMA, di sudut desa di barat Cirebon, adalah ramadhanku yang agak berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Karena sekolahku terletak jauh dari rumahku—kurang lebih tiga puluh kilometer—aku tinggal bersama pamanku yang keras dalam menjagaku. Aku diharuskan ikut tahsin dan tahfidz setiap harinya dengan berguru pada anaknya yang hafal Alqur’an 30 juz. Jadi ramadhanku saat itu adalah ramadhanku yang sorenya aku harus mengikuti tasmi’ satu juz oleh saudara sepupuku itu sampai menjelang buka.

Dan malamnya adalah saatnya tarawih di musholla yang hanya diterangi lampu bohlam 10 watt saja, lagi dengan Imam yang membaca satu juz selesai dengan terburu-buru. Sesekali aku bercanda di tengah sholat sambil injak-injakan kaki dan dorong-dorongan dengan teman-temanku, Masya Alloh. Ohya, saat itu Merry Andani dan Jeffry Bule amat terkenal. Ada Dinding Pemisah, Amayadori, Mas Joko dan lain-lain.

Ramadhanku di Jurangmangu, Tangerang, adalah ramadhan di kampus yang amat dan sangat berbeza (dengan huruf z: bahasa malaysia). Kutemukan sesuatu yang lain. Saat ramadhan dengan paradigma tentang Islam yang sangat baru bagiku. Saat itulah aku sangat menikmati ayat-ayat yang dibacakan oleh sang imam. Saat itulah aku tahu tentang ukhuwah, Qiyamullail bermakna, banyaknya hafalan, godhul bashor, Jihad Palestina, ifthor dengan nasi kotakan gratis dari masjid kampus, Al-Matrud, Nada Murni, The Zikr, Najmuddin, zuhud, itsar, ikhlas, dan yang tak tersentuh, tak terlihat, tak terbayangkan: The Akhwat.

Ramadhanku di Jurangmangu adalah saat aku pertama melihat sosok lekat dan erat di hati:
– Ustadz Musyaffa Lc: tilawah dalam kesendirian di sebuah musholla;
– Ustadz Sudarman, Lc: sosok pendekar: pendek tapi kekar, saat itu rumahnya masih rumah petak kontrakan;
– Ustadz Imam Agus Lc: Almarhum, sakit dan meninggal dalam sebuah bus malam dalam perjalanan pulang kampung;
– Ustadz Jazuli Zuwaini, Lc: yang pernah sakit typhus karena terlalu sering naik vespa tanpa pelindung dada;
– Ustadz Ainur Rafiq, Lc: Almarhum, semoga Alloh meridhoinya, sosok tinggi dengan wajah teduh, ahli tifan;
– Ustadz Daud Rosyid: jenggotnya yang lebat dan berwibawa;
– Ustadz Salim Segaf Al-Jufri;
– Ustadz Muzammil Yusuf, dan lain sebagainya.
Kini sebagian dari mereka menjadi sosok-sosok yang membuatku haru ketika melihat mereka mengambil suara dalam pertarungan perebutan kursi Ketua DPR di senayan dulu.

Ramadhanku di Kalibata adalah saat-saat sendiri dan sepi, karena teman kosku sering sakit dan selalu pulang ke rumahnya, (kumaha atuh kang Ujang?) Ramadhan yang berbukanya hanya dengan krupuk dan lauk seadanya, kadang makan enak di kantor. Pula ramadhanku adalah saat-saat mencari sembako dengan harga murah sampai menjelang sahur untuk kegiatan baksos di keesokan harinya, sambil menancapkan panji-panji “Keadilan”. Ramadhanku saat itu adalah saat-saat terindah di Cilember (Forum Cilember masih adakah?). Masih dengan semangat membara ala fresh graduate adik-adik kelas. Dan tidak lupa, ramadhanku adalah saat membuka biodatanya.

Ramadhanku di awal 2000 adalah ramadhanku menanti sang penerus cita-cita, dan asyik masyuk dalam 10 hari terakhir di Al-Hikmah, Bangka.

Dan kini ramadhanku adalah ramadhan yang penuh hadiah: kemenangan yang Alloh berikan kepada saudara-saudaraku. Tentang tiga buah kemenangan yakni: 1. kemenangan da’wah dalam pemilu legislatif kemarin; 2. kemenangan da’wah dalam pemilu presiden tahap dua; 3. kemenangan da’wah dalam meraih kursi Ketua MPR (nasru minnallohu only, kata Ustadz Muzammil).

Ya, itulah ramadhanku. Tak sekadar mengenang masa lalu saja, pada akhirnya ada a big question mark, dua puluh delapan ramadhan berlalu, apakah predikat “itu” telah ada pada diriku? Allohua’lam. Aku harap sih iya. Aku tidak mau menjadi orang merugi, tentu pula kau.

*)hanya sekadar episode kecil ramadhan
Dedaunan di ranting cemara
Ba’da tarawih dan shubuh.
dulu sekali 2004
edited 2005

Bermoral atau Tidak?


09.09. 2005 – kita ini bermoral atau tidak sih…?

Peradaban Islam yang disokong oleh kekuatan Ummat pernah mencapai puncak kegemilangannya. Kekuatan ummat terbentuk karena adanya enam unsur pembentuknya yakni:
1. Quwwatul ‘Aqidah;
2. Quwwatul ‘Ilmu;
3. Quwwatul Akhlak;
4. Quwwatul Ukhuwah;
5. Quwwatul Jama’ah;
6. Quwwatul Maal.
Kekuatan Akhlak yang menjadi pilar dari pembentuk peradaban itu menjadi inspirasi dari para generasi penerus untuk tetap mencontoh akhlak Rosululloh Muhammad SAW.
Suatu peradaban tidak akan mungkin terbentuk jika tidak ada kekuatan ummat yang menjadi tenaganya. Kekuatan ummat tidak akan terbentuk jika tidak ada pilar itu. Misalnya kekuatan Maal (harta). Kekuatan Harta tidak akan terbentuk jika tidak ada dari kaum muslimim yang ikhlas merelakan hartanya. Dan bagaimana mungkin akan rela kaum muslimin menyerahkan hartanya sedangkan para pengumpul infaq dan zakat itu bertindak tidak amanah dan jujur.
Maka sesungguhnya bukan sebuah utopia untuk mewujudkan citra aparat pajak yang bersih, jujur, berakhlak, dan bermoral. Yakni dengan mengimplementasikan akhlakul karimah dalam kehidupan kita sehari-hari, dan itu jelas harus dimulai dari diri kita sendiri. Karena sesungguhnya terbentuknya sebuah peradaban itu dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, lingkungan terdekat, lingkungan masyarakat, bangsa, dan Negara. Dan mulai bertekad pada saat ini untuk memulai yang kita mampu terlebih dahulu.
Hadits Riwayat Attarmidzi:
“Sesungguhnya muslimin yang paling baik adalah yang paling baik akhlaknya”
“Tidak ada sesuatu yang lebih berharga yang dimiliki orang mukminin dihari kiamat kecuali akhlak yang baik.
dedaunan di ranting cemara
di balik arsip lama (tapi bukan kutu yang ada di buku) 2004
16:28 09 September 2005

Gus Dur, Jangan Kau Katakan Itu!


kepada siapakah ‘walanaa a’maalunaa walakum a’malukum kita katakan?

Tertarik dengan suatu kalimat yang dikemukakan fulan pada polemik tentang jilbab antara saya dengannya yaitu: Walanaa a’maalunaa walakum a’malukum, maka saya berusaha untuk mencari darimana kalimat ini berasal, soalnya sepengetahuan saya yang awam ini, kalimat yang biasa terdengar dalam suatu perbedaan terutama dalam masalah ‘aqidah antara Muslim dan Nonmuslim adalah Lakum diinukum waliyadiin: untukmulah agamaku dan untukkulah agamaku.
Ternyata saya menemukannya di suatu buku kecil yang berjudul Bahaya Pemikiran Gus Dur yang ditulis oleh Hartono Ahmad Jaiz Penerbit Pustaka Al-Kautsar halaman 41, di mana dalam buku itu disebutkan: Gus Dur menulis: Bahkan, dalam hal perbedaan agama, kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan. “Bagi kami amal perbuatan kami bagi kamu amal perbuatan kamu.” (walanaa a’maalunaa wa lakum a’malukum).
Sampai di sini saya tercenung ternyata kalimat dalam ayat ini sering juga digunakan oleh Gus Dur. Lalu saya ambil terjemah Al-Qur’an dan membaca selengkapnya ayat tersebut.
Dalam Surat AlBaqoroh ayat 139 berbunyi sebagai:
Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Alloh, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan Kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.
Ayat sebelumnya adalah ayat 138 berbunyi sebagai berikut:
“Shibghah Alloh. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Alloh? Dan hanya kepada-Nya lah kami menyembah.
Ayat sesudahnya yaitu ayat 140 berbunyi sebagai berikut:
“ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaw, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau NAsranai? Katakanlah : “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Alloh, dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Alloh yang ada padanya?” Dan Alloh sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.”
Ayat 141 berbunyi sebagai berikut;
“Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang mereka kerjakan.”
Dalam catatan kaki nomor 91 disebutkan arti tentang Shibghah artinya celupan. Shibghah Alloh yang berarti iman kepada Alloh (agama ) yang tidak disertai dengan kemusyrikan.
Sedangkan pada catatan kaki nomor 92 dijelaskan tentang arti dari syahadahat dari Alloh ialah persaksian Allah yang tersebut dalam Taurat dan Injil bahwa Ibrahim a.s. dan anak cucunya bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani dan bahwa Alloh akan mengutus Muhammad saw.
Saya yang awam ini mencoba memahami, bahwa ternyata penggunaan kalimat Walanaa a’maalunaa walakum a’malukum, digunakan dalam konteks perdebatan tentang Alloh dengan kaum musyrikin (lihat catatan kaki nomor 91) dan kaum Yahudi dan Nasrani (lihat ayat 140), jadi tidak tepat kalau digunakan dalam konteks perdebatan selain ‘aqidah, atau itu memang sudah tepat kalau memang Fulan menganggap lawan debatnya sebagai orang yang di luar Islam, tapi saya tak berani untuk menyimpulkannya demikian sebelum saya membaca kitab tafsir.
Di dalam buku Hartono Ahmad Jaiz (hal 42) pun disebutkan tentang penafsiran kalimat menurut kitab tafsir Ibnu Katsir yang Insya Alloh terpercaya pada halaman 235 jilid I dijelaskan arti dari Walanaa a’maalunaa walakum a’malukum yang berarti kami berlepas diri dari kamu sekalian (borooun minkum) dan dari apa yang kamu sembah, sedang kamu sekalian lepas diri dari kami. Sebagaiman Alloh telah berfirman dalam ayat yang lain:
“Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah ‘Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan (Q.S. Yunus:41).”
Dalam menafsiri ayat 41 Surat Yunus, Ibnu Katsir menjelaskan: Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shalallohu alaihi wa sallam, dan jika mereka orang-orang musyrikin mendustakanmu maka kamu berlepas dirilah dari mereka dan perbuatan mereka maka katakanlah:”Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
“Katakanlah: Hai orang-orang yang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku. (QS 109/Al-Kaafiruun):1-6)
Jadi dari beberapa rujukan tadi kiranya kurang tepat kalau Fulan menggunakan sepenggal ayat Walanaa a’maalunaa walakum a’malukum dalam hal perdebatan tentang hukum Alloh itu kepada sesama Saudaranya yang seakidah (?), karena sekali lagi konteks penggunaan ayat itu adalah dalam hal perdebatan tentang keberadaan Alloh (‘aqidah) dengan kaum Musyrikin.
Nah jadi bagaimanakah bila kita berdebat dengan saudara se’aqidah, ada taushyiyah dari teman saya alangkah baiknya jika kita menggunakan kalimat:
Watawaashowbilhaqqi watawaashowbishshobri: nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kebenaran.
Dan tentu kebenaran yang sudah ditentukan dalam Al-Quran dan Assunah, tentang halal dan haramnya, wajib dan sunnahnya, dan apa yang telah digariskan oleh generasi para salafushsholeh tidak perlu diperdebatkan lagi. Islam itu benar dan dari 73 golongan yang muncul hanya satu yang selamat: Ahlussunnah waljama’ah. Siapakah mereka tentu mereka yang memegang erat di gerahamnya dua wasiat rosul Al-qur’an dan Assunnah.
Begitulah pendapat saya, semoga kebenaran itu tetap jelas di hati-hati kita semua. Dan kita ditunjukkan yang batil itu batil sehingga kita bisa membuangnya segera. Hanya Allohlah yang MahaBerilmu, dan hanya kepada Alloh lah kami mohon ampunan-Mu atas segala kelancangan lidah dan hati kami. Allohua’lam bishshowwab.

dedaunan di ranting cemara
di antara tulisan lampau
07:54 02 September 2005
telah diedit

Ukhuwah Islamiyah


Ahmad—sebut saja demikian—terlihat meneteskan air matanya ketika ia membaca sebuah artikel tentang penderitaan kaum muslimin Bosnia, dalam sebuah majalah Islam pada pertengahan tahun 1994. Ketika ditanya kenapa ia sampai menangis, ia hanya menjawab, hatinya terasa perih dan seperti ikut merasakan penderitaan mereka.

Sekarang ia sudah menjadi seorang pegawai negeri di sebuah departemen ternama di republik ini. Dan hatinya tetap selalu merasakan penderitaan umat Islam di manapun mereka berada, bahkan penderitaan itu sempat ia rasakan kembali tidak hanya untuk saudara-saudara seakidahnya nun jauh disana, namun di dua tempat di negara ini yang dijadikan tempat pembantaian dan penghinaan umat Islam.

Refleksi dari keprihatinannya ia wujudkan dalam bentuk selalu ikut serta meramaikan aksi demonstrasi menekan pemerintah untuk bertindak ditengah waktunya yang sangat padat. Ia katakan, mungkin hanya itu pengorbanan secara fisik yang ia lakukan selain infaq dan do’a untuk membantu saudara-saudaranya.

Ahmad mungkin salah satu dari sedikit orang dari 220 juta penduduk di Nusantara ini yang mengamalkan suatu konsep yang dalam Islam disebut Ukhuwah Islamiyah
Dalam salah satu tulisannya, Sayid Sabiq—seorang ulama Mesir penulis kitab Fiqhussunnah—menyatakan bahwa salah satu dari enam pilar kebangkitan umat Islam saat ini adalah quwwatuljama’ah (kekuatan jama’ah). Dan unsur utama pembentuk dari kekuatan tersebut adalah Ukhuwah Islamiyah—Persaudaraan dalam Islam.

Dalam konsep Islam, Ukhuwah Islamiyah adalah suatu konsep persaudaraan yang dilandasi oleh landasan yang amat kokoh yakni ‘aqidah. Abu Ahmad Marwan pun mengatakan dalam salah satu bukunya (1994:120) bahwa persamaan aqidah inilah yang akan membawa kepada persamaan pandangan hidup dan orientasi perjuangan.

Dengan konsep ini Islam tidak membatasi dirinya dalam suatu etnis bahkan batas geografis sekalipun, sehingga siapapun orangnya yang telah mengikrarkan kalimat tauhid dan persaksian Muhammad sebagai rosul-Nya, di mana pun ia berada, apapun warna kulitnya, maka ia adalah sesama saudara.

Konsep persaudaraan ini melandaskan dirinya pada Q.S Al-Hujurat ayat 10 yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Alloh supaya kamu mendapat rahmat.

Dan salah satu hadits Muttafaq ‘alaih dari Ibnu Umar yang berbunyi:
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Barang siapa membantu keperluan saudaranya maka Alloh alan membantu keperluannya.

Dengan ukhuwah inilah Rosululloh dapat menyatukan hati dari dua suku di Madinah yakni suku ‘Aus dan Khajraj yang sebelum mereka mengenal aqidah Islam mereka selamanya selalu berperang dengan menimbulkan kerugian yang amat besar dan dendam yang tak kunjung padam.

Kehancuran kekhalifahan Umayyah di Andalusia, Utsmaniyyah di Turki menjadi fakta sejarah yang tak bisa dilupakan oleh umat Islam ketika simpul aqidah tercabik-cabik dengan semangat kesukuan yang begitu besar. Perseteruan internal antar qabilah di Andalusia itu memuncak dengan adanya permintaan kepada musuh-musuh Islam untuk membantu menakhlukkan qabilah yang lain. Atau superioritas nasionalisme yang dihembus-hembuskan antara Turki dan Arab membuat Kekhalifahan Utsmaniyah yang dulu begitu luas dan kuatnya, runtuh dan mendapat julukan yang amat menghinakan pada saat itu yakni “orang sakit di Eropa”.

Bila melihat kondisi umat Islam sekarang ini maka tampak sekali betapa ukhuwah Islamiyah menjadi suatu hal yang hanya ada pada tataran abstrak dan belum—untuk tidak mengatakan tidak—dapat diimplementasikan pada tataran empiris, tidak sekedar hanya sebuah isi khutbah dari masjid ke masjid atau tulisan di berbagai media belaka.
Dengan kekuatan ini pula umat Islam mengibarkan panji-panji peradabannya yang gemilang ke seluruh dunia. Namun ketika umat mulai meninggalkan tali ukhuwah, hal yang berlawanan pun terjadi.

Bukti nyata dari semua ini adalah ketika darah mengalir dari tubuh-tubuh kaum muslimin yang teraniaya di pelbagai penjuru dunia seperti Chechnya, Bosnia, Palestina, Rohingya, Philipina, Ambon, dan Poso, umat Islam terdiam, hanya segelintir orang dan sedikit sekali media yang memberikan keprihatinan atas semua itu. Bahkan ketika ada dari sedikit orang itu memberikan pengorbanan secara fisik untuk membantu saudara-saudaranya itu terlepas dari kekejaman-kekejaman, publik langsung mengecam mereka sebagai fundamentalis Islam, Ekstrimis Islam, Radikalis Islam bahkan julukan terkenal saat ini yakni Teroris Islam.

Akankah mereka ingat akan sabda Baginda Rosululloh SAW yang mengatakan bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh yang bila salah satu bagian tubuh itu sakit maka seluruh bagian tubuh lainnya akan merasa sakit pula.

Alhamdulillah, di tengah kegersangan itu, seorang menteri pada kabinet lalu ini yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Dr Rokhimin Dahuri dalam suatu acara di Jambi mengutip hadits tersebut sembari menambahkan bahwa ketika ada saudaranya di bagian daerah lain yang terkena musibah, maka sudah sepantasnya saudaranya yang lain ikut merasakan musibah yang dialami umat Islam tersebut. (Republika, 15/11). Ukhuwah ini menurutnya adalah satu dari empat hal yang dibutuhkan oleh umat Islam sekarang ini, tiga hal lainnya adalah ‘aqidah, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ekonomi perdagangan.

Yang jadi pertanyaan saat ini akankah ukhuwah Islamiyah ini dapat melekat di setiap hati umat? Untuk menjawabnya mungkin perlu mengambil 3M-nya Aa Gym, yakni yang pertama adalah mulai dari diri kita sendiri. Kita tanamkan konsep tersebut dalam bentuk usaha keras untuk mempererat kasih sayang dan silaturahim pada lingkup keluarga terlebih dahulu, dan berusaha untuk selalu sholat berjamaah.

M yang kedua adalah mulai dari hal yang kecil contohnya adalah selalu merapatkan shof pada waktu sholat berjama’ah dengan mempertemukan kaki dan bahu kita, karena salah satu contoh kecil yang nyata dari belum bersatunya tali ukhuwah umat pada saat ini adalah ketika mereka tidak bisa merapatkan shof-shof mereka pada waktu sholat.

M yang ketiga adalah mulai dari saat ini, ketika selesai membaca tulisan ini langsung kita bertekad untuk mengerjakan 2M yang pertama dan niatkan dengan ikhlas bahwa yang kita lakukan ini adalah untuk membangun kembali peradaban Islam yang gemilang di atas pilar kekuatan jama’ah dan yang akan menjadi bukti keimanan bahwa kita mencintai saudara kita melebihi kecintaan kepada diri kita sendiri, nanti kelak di hari ketika semua manusia dimintakan pertanggungjawabannya oleh Alloh SWT.

Sesungguhnya berhasil atau tidak upaya itu ataupun lama atau tidaknya perjuangan itu adalah urusan Alloh SWT, yang terpenting bagi kita adalah ‘amal yang yang terus menerus, dan do’a yang kita sampaikan setiap saat.

Sebuah perumpaan tentang hasil dari suatu usaha, yaitu ketika si tukang batu berhasil memecahkan batu pada pukulan yang keseratus, namun si tukang batu menyadari bahwa bukan pukulan yang ke seratus itulah yang berhasil memecahkan batu itu namun hasil dari pukulan-pukulan sebelumnya mulai dari pukulan yang kesatu sampai kesembilan puluh sembilan.

Sehingga perjuangan menanamkan konsep ukhuwah Islamiyah ini disadari perlu suatu kerja terus menerus, yang entah apakah kita akan dapat merasakan hasilnya ataukah anak cucu kita kelak.
Wallohuta’ala a’lamu bishshowab. (ac)

Sepenggalah Suluh Untuk Kawan


04.08.2005 – sepenggalah suluh untuk kawan

Pagi ini masih saja aku menjadi bagian dari kemalangan yang menimpa ruh ruh kebaikan manusia di dunia. Sampai saat kubaca paragraf-paragraf indah tentang sebuah cinta dan kerinduan. Dan sampai detik itu pula aku tersadar waktu akan meninggalkan dhuha. Seperti dhuha-dhuha lama di Lido, Cibatok, Cilember atau di sudut kamar kost sempit kita dulu.

Semuanya penuh cinta, kawan, penuh hamasah, penuh ruhul jadid yang menggelora di dada yang dekat dengan mushaf di saku. Semuanya penuh robithoh, penuh qiyamullail, penuh shaum di setiap senin dan kamis. Semuanya penuh dengan peluh dan telapak kaki yang menebal karena susuri jalan-jalan sempit di antara sela-sela perkampungan padat rumah-rumah kost, atau karena tiada yang rindang di sepanjang jalan menuju masjid tercinta.

Itu semua karena kita masih tersadar betapa jalan dakwah begitu terjal dan sepi jauh dari keramaian yang akan membuat kita lupa dan terserang virus riya. Sering kali kita beristighfar sadari setiap kelalaian, sadari niat yang melenceng dari relnya semula.

Oh ya, ghodhul bashor pun tak lupa menjadi keseharian kita. Karena sesungguhnya mata adalah pintu dari panah-panah syaitan yang akan merobek-robek jaring-jaring iman kita.

***** Dhuha telah meninggalkanku, sedangkan aku masih berusaha mengingat memori yang kian hilang ditelan kesibukan dunia. Tapi yang pasti aku kembali ingat tentang semuanya itu kawan, tentang cinta itu, tentang foto-foto dalam album tua itu yang masih tersimpan di tumpukan paling bawah dalam lemari bukuku. Padahal tadi malam aku masih tidak ingat tentang cinta itu kawan…
dedaunan di ranting cemara
Sepenggalah suluh di antara dedaunan untuk: Faisal Alami, Ujang Sobari, Suprayitno, Ramli, Amran, Anwar, Abas, LBH, Si Kembar Madiun, yang di Sukabumi, dll. dari atoz

Sumber: renungan di medio 1997