Be a Hero!


Be a Hero!

 

    Ikhwatifillah yang dirahmati Allah, sesungguhnya sedari kecil di saat kita masih duduk di bangku sekolah dasar kita telah diberikan pelajaran dari guru-guru kita tentang sifat-sifat kepahlawanan. Pelajaran sejarah dan Pendidikan Moral Pancasila (sekarang berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan) telah menceritakan kisah-kisah kepahlawanan dari para pendahulu dan pendiri republik ini. Tentunya Anda pasti kenal dengan Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Pattimura, Hatta, dan masih banyak lagi para pahlawan lainnya.

Juga dari pelajaran tarikh dan siroh di madrasah-madrasah yang menceritakan pula tentang kepahlawanan para mujahid Islam berperang bersama Rasulullah shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kisah-kisah kepahlawanan lainnya di saat Islam mulai menyebarkan rahmat kasih sayangnya ke seluruh penjuru dunia. Di sini Anda pasti kenal dengan Umar bin Khotthob, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah, Thariq bin Ziyad, Muhammad Al Fatih, dan lain sebagainya.

Maka dari membaca pelajaran sejarah, pelajaran masa lalu, telah terpatri dalam benak kita dari para pelaku masa saat sekarang yaitu kita, untuk dapat meniru mereka dan mempunyai sikap kepahlawanan. Sikap yang tergabung di dalamnya keberanian, tidak kenal takut pada siapapun, optimisme, gagah berani, mental yang tangguh, fisik yang kuat, keterampilan tempur yang mumpuni, kearifan lokal dan global, bijaksana, kepemimpinan yang kuat, dan amanah. Semua itu, sekali lagi, dalam benak kita adalah hal yang kudu atau wajib ditiru.

Menjadi pahlawan adalah sebuah cita. Menjadi mujahid adalah harapan. Karena pahlawan adalah pahalawan, orang yang berpahala atas perjuangannya. Dari masa ke masa ada satu hal yang sama yang dituju dari para pahlawan tersebut yaitu melawan ketidakadilan, melawan sebuah kezhaliman.

Hiduplah pahlawan!

Maka adalah sebuah keanehan ketika sedari kecil kita dididik untuk menjadi seorang pahlawan, dididik untuk tidak mempunyai sikap pengecut, sikap seorang pecundang, dididik pula untuk bersikap anti penjajahan yang merantai harkat dan martabat kemanusiaan, tiba-tiba disuguhi pada sebuah kenyataan untuk berdiam diri melihat sebuah kemungkaran, ketidakadilan, kezhaliman yang dilakukan oleh para penguasa.

Sikap kepahlawanan itu diharuskan untuk tunduk pada argumen-argumen dan dalil-dalil yang dicari-cari dan cenderung menutup mata terhadap kesalahan yang dilakukan oleh penguasa. Bahkan dibarengi dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan dari para pembela penguasa lalim itu bahwa para pengusung sikap kepahlawanan tersebut adalah sekumpulan orang-orang yang tak beruntung dunia dan akhirat. Padahal ianya hanya melakukan hak dan kewajibannya terhadap penguasa yaitu dengan metode amar ma’ruf nahi munkar sesuai syariat Allah dan sesuai kemampuannya. Allohukarim.

Sungguh dulu pun para pahlawan disebut sebagai penjahat oleh para pembencinya.

Ikhwatifillah, kita bukanlah khawarij yang berpendapat bahwa apa saja yang mereka pandang sebagai menentang hukum Allah, maka mengharuskan adanya pemberontakan terhadap penguasa yang melakukannya, guna menyingkirkannya.

Ikhwatifillah, kita pun bukanlah orang-orang yang harus diam, tanpa melepas lisan, dan justru membela penguasa zhalim ketika kemungkaran itu nyata di depan kita. Sikap ini adalah sikap yang anti kepahlawanan bahkan mengungkung fitrah manusia untuk melawan setiap kezhaliman yang ada.

Sungguh kezhaliman itu pasti akan berakhir maka jadilah seorang pahlawan. Bukan seorang pengecut, bukan seorang pecundang. Musytafa Masyhur mengatakan bahwa kezhaliman itu hanyalah ujian bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan Allah telah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang tertindas dari kalangan hamba-hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana perkataan Musa terhadap kaumnya yang tertindas si lalim Fir’aun, “mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-Nya, maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.”

Ikhwatifillah, Islam telah menuntut setiap diri kita untuk menjadi pahlawan yang menolak setiap kezhaliman dari dirinya dan dari saudara-saudaranya. Islam tidak mengizinkan kita untuk hidup dalam kerendahan, kehinaan, dan kelemahan serta ketertindasan karena semua itu adalah sikap hidup yang hanya dimiliki oleh orang-orang jahiliah terdahulu.

Islam hanya menginginkan kita untuk hidup dalam kemuliaan, kekuatan, dan kekuasaan (menjadi penguasa) karena itu adalah sikap-sikap dari orang-orang yang telah diberikan cahaya tarbiyah dari Allah melalui Rasulullah shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh Allah telah berfirman: “Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafiq itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun:8).

Ikhwatifillah, Islam telah mengajarkan kita untuk menjadi pahlawan yang menumpas setiap kezhaliman, dan setiap kita yang diperlakukan dengan zhalim maka berhak untuk membela diri. Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada dosa pun atas mereka.

Maka kenapa memilih selemah-lemahnya iman dengan tidak berbuat apa-apa jika kita mempunyai kemampuan mengubah kemungkaran dan melawan kezhaliman para penguasa lalim dengan tangan. Dan sungguh hanyalah orang-orang yang rela pada kehinaan dan ketertindasan—padahal itu membahayakan agamanya—dianggap sebagai orang-orang yang menzhalimi diri sendiri.

Ikhwatifillah, kita adalah sekumpulan orang yang berusaha meniru dari generasi terdahulu yang telah memberikan contoh bagaimana menyikapi kezhaliman penguasa, tidak dengan memeranginya tanpa pertimbangan maslahat dan mudharat yang matang, tidak dengan membabi buta dalam bertindak sehingga membahayakan Muslim lainnya.

Maka jangan kau pendam karakter kepahlawananmu, karena ia adalah muru’ah.

Jangan kau singkirkan jiwa kepahlawananmu, karena ia adalah kegagahberanian.

Jangan kau kuburkan sikap kepahlawananmu, karena ia adalah panji anti kepengecutan.

Jangan kau hilangkan sikap kepahlawananmu sekadar mencari muka di depan para penguasa lalim.

Jangan kau hilangkan didikan para pendahulumu, karena ia ingin kau menjadi pahlawan, bukan sebagai pecundang yang hanya menginginkan keselamatan untuk dirinya sendiri.

Maka…

Be a hero! karena kezhaliman pasti akan berakhir.

 

Riza Almanfaluthi

13:44 May Day 2008

dedaunan di ranting cemara

 

Maraji’ (bahasan untuk dikaji lebih lanjut):

  1. Al-Qur’an yang Mulia;
  2. Kekuasaan, Jama’ah, dan logika yang keliru (Dalam Menasihati Penguasa), perisaidakwah.com;
  3. Fikih Dakwah JIlid 1, Syaikh Mustafa Masyhur, Al-‘Itishom Cahaya Umat, Cet.IV, 2005.

BENTENG TAKESI


BENTENG TAKESI

Maaf kali ini Anda salah duga, Benteng Takesi ini bukanlah benteng yang akan diperebutkan oleh para peserta dalam suatu acara permainan televisi asal negeri sakura yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta.
Tapi Benteng Takesi ini adalah hanya salah satu Pokja dalam suatu tim sukses pemilihan kepala desa di suatu wilayah di Kabupaten Bogor. Ya, bulan Juli mendatang hajat besar pemilihan umum lokal akan diselenggarakan di sana.
Kali ini, sebut saja Pak Ade, alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-Program Diploma Tiga Perpajakan Departemen Keuangan angkatan tahun 1992 mencoba peruntungannya untuk menjadi kepala desa. Beliau yang telah keluar dari instansi Direktorat Jenderal Pajak dan kini masih bekerja sebagai pegawai salah satu asuransi syariah terkemuka di Indonesia diberikan amanah dakwah untuk mencalonkan diri dan berpartisipasi dalam suatu pesta lima tahunan yang aromanya sengit dengan politik uang.
Untuk itu dibentuklah tim sukses untuk mendukung beliau yang kebanyakan berasal dari kader-kader Partai Keadilan Sejahtera. Mungkin tim ini adalah salah satu tim yang benar-benar menyusun dirinya dengan manajemen yang paling rapih. Di sana ada Ketua Tim, sekretaris dan bendahara, serta Pokja-pokja yakni Pokja Mas Parto, Pokja Pusdok Dai, dan Pokja Benteng Takesi.
Pokja Mas Parto adalah Pokja silaturahim ormas, parpol, dan tokoh masyarakat, yang tugasnya antara lain melakukan silaturahim dengan segala macam elemen masyarakat yang ada di Desa Ragajaya.
Sedangkan Pokja Pusdok Dai adalah Pokja Pusat Dokumentasi Data dan Informasi yang tugasnya antara lain melakukan pendataan dan pemetaan wilayah kantong-kantong pendukung.
Dan Pokja Benteng Takesi adalah Pokja Bentuk Centeng Atasi Keamanan dan Situasi yang anggotanya bertugas antara lain untuk melakukan antisipasi dan koordinasi pengamanan dan situasi gawat darurat. Dibentuknya pokja ini krusial karena semua sudah mafhum bahwa pemilihan kepala desa rawan sekali bentrokan antarpendukung.
Oleh karena itu untuk memimpin pokja ini telah ditunjuk al-akh yang mempunyai Qawiyul Jismi yang mumpuni dan biasa menangani hal ini. Kebetulan sekali profesinya pun tidak jauh-jauh dari unsur kekerasan yakni tukang jagal hewan. Maka melihat darah bercucuran dari tenggorokan hal yang sudah biasa bagi beliau. (Untuk kepanitiaan ini beliau telah diwanti-wanti untuk tidak melihat tenggorokan orang, maaf ini cuma joke belaka).
Tapi sayangnya tim sukses ini baru dibentuk pekan-pekan ini saja. Sedangkan tim sukses dari kandidat lain—preman, mantan kepala desa periode lalu, dan kepala desa yang masih menjabat saat ini—sejak enam bulan yang lalu sudah melakukan banyak manuver. Contohnya yang dilakukan oleh salah satu kandidat–yang benar-benar berpofesi sebagai preman di sana—memberikan tiga ekor kambing pada salah satu komplek perumahan terbesar di sana untuk pesta tahun baruan.
Atau kepala desa saat ini yang akan mengakhiri jabatannya itu sedang melobi Anggota DPRD Pemerintah Kabupaten untuk mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur tentang syarat pendidikan minimal SMU bagi calon kepala desa. Bila benar-benar aturan ini dikeluarkan sudah pasti dua kandidat lain yakni preman dan mantan kepala desa akan tersingkir. Tapi tanpa diketahui—mungkin salah satu atau sedikit keuntungan dengan sosialisasi yang terlambat, adalah sebenarnya masih ada calon kuat bagi sang kepala desa, yakni Pak Ade ini. Karena dari segi intelektualitas beliau mengungguli dan telah dikenal sebagai ustadz.
Tim sukses ini juga mempunyai tugas berat berupa sosialisasi bakal calon kepada masyarakat desa. Walaupun sudah dikenal di dua komplek perumahan—40% suara ada di sini—ditambah banyak kader Partai Keadilan Sejahtera yang berada di dalamnya, tapi sosialisasi intens tetap diperlukan terutama kepada masyarakat kampung.
Tak kalah pentingnya adalah bagaimana tim sukses dengan dana terbatas memberikan pemahaman dan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Karena sekali lagi Pak Ade ini di dukung secara All Out (karena beliau juga adalah kader inti) oleh Partai Keadilan Sejahtera yang mengusung slogan Bersih dan Peduli pada masa kampanye pemilu lalu, maka sudah tentu politik uang menjadi sesuatu yang diharamkan.
Dan ini adalah suatu hal yang paradoksal dari pakem yang sudah terlanjur melekat di benak seluruh masyarakat desa di republik ini. Bahwa slogan Anda Jual Saya beli atau Anda Tawar Saya Kasih sudah mendarah daging dalam pesta besar itu. Maka sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, masyarakat pun berbondong-bondong pergi ke setiap calon kepala desa untuk meminta barang sepuluh atau dua puluh ribu untuk setiap suara yang akan diberi.
Calo-calo suara mengatasnamakan kelompok besar masyarakat pun bermunculan bak cendawan di musim hujan. Serangan fajar yang dilakukan banyak calon kepala desa pula menjadi harapan bagi sebagian masyarakat agar setidaknya ada tambahan untuk uang dapur.
Tidak lupa, banyak juga orang yang menawarkan diri untuk ikut bergabung dalam barisan tim sukses calon kepala desa. Karena sudah tentu banyak fasilitas yang akan didapat oleh anggota tim berupa minimal telepon genggam baru, sepeda motor, bahkan gaji dan mobil untuk keperluan sosialisasi.
Tokoh-tokoh pendekar dari gudang jawara seperti Banten, Betawi, dan Cirebon pun didatangkan sekadar untuk melakukan penjagaan di rumah-rumah dan di setiap aktivitas calon kepala desa. Maka sudah barang tentu ikutannya pun tidak mau ketinggalan, seperti perang bermacam-macam ilmu sihir: santet, teluh, dan pagar ghaib.
Pemenuhan semuanya itu membutuhkan uang yang tidak sedikit dan sang calon kepala desa pun tidak keberatan untuk mengeluarkannya. Jika hal demikian yang terjadi maka apa yang akan dipikirkan pertama kali oleh sang kepala desa terpilih adalah bagaimana dapat balik modal. Kembali masyarakat pula yang akan menjadi korban dan sudah banyak fakta yang membuktikannya.
Semua itu tidak bisa diatur dan disamakan dengan aturan pemilihan umum anggota dewan ataupun presiden, karena entah aturannya yang belum ada atau pun kalau ada tidak ketat dan jauh dari penegakkannya, hal seperti ini selalu tampak nyata dan berulang dalam setiap pemilihan kepala desa.
Semuanya itu menjadi tugas berat bagi tim sukses Pak Ade, selain tidak dibayar dan minim fasilitas, maka semua sumber daya yang ada dari para kader seperti kendaraan bermotor siap-siap untuk dipinjamkan demi kesuksesan dakwah yang dipantau dengan seksama oleh Dewan Pimpinan Daerah.
Walaupun sudah mempunyai modal berupa kemenangan Partai Keadilan Sejahtera di pemilu tahun 2004 kemarin, namun sedikit banyak ketokohan sang calon tetap perlu ditonjolkan. Melihat keberlangsungan pilkada di berbagai daerah tidak menjamin partai pemenang pemilu dapat memenangkan calon kepala daerah yang didukungnya.
Sungguh tugas berat bagi Pak Ade dan tim suksesnya untuk mendobrak tembok berupa politik uang dan pemahaman pragmatis dari masyarakat desa ini. Bisakah Pak Ade memenangkannya dengan mengandalkan intelektualitas dan ketokohan yang baik?
Dengan hanya mengandalkan dana-dana yang dikumpulkan dari para kader yang tak seberapa? Dengan hanya mengandalkan hubungan baik dan silaturahim intens? Tanpa ada iming-iming hepeng? Bisakah ia menjelaskan dengan penjelasan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat yang meminta uang darinya? Dan seribu pertanyaan lainnya. Cuma waktu yang bisa menjawabnya.
Dan Insya Allah pasti bisa, jika semuanya itu disandarkan pada Pemilik sandaran yang mahakokoh, pada Sang Pemilik hati yang dapat membolak-balikkan hati. Pada kedekatan tanpa hijab dengan-Nya di setiap malam. Allohua’lam bishshowab.

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
21:53 12 Maret 2006

DEMOKRASI BERMUKA DUA


DEMOKRASI BERMUKA DUA vis a vis SYURA

Dunia kini telah melihat secara nyata betapa harga dari sebuah demokrasi di bayar mahal dengan kehancuran peradaban dan hilangnya ribuan nyawa akibat perang yang dipaksakan Amerika Serikat (AS) kepada Irak sebagai suatu bangsa dan pemerintahan yang sah.
Dunia pun menjadi mafhum bahwa AS yang mengklaim diri sebagai bangsa dan negeri kampiun demokrasi dan HAM ternyata memaknai sebuah demokrasi sebagai kedok belaka dari wajah buruk berupa kepentingan nasionalnya. Ralph L Boyce—mantan duta besar AS untuk Indonesia—pun mengakui perang ini semata-mata berdasarkan national interest Amerika (Sabili X/2003). Hatta mengingkari makna demokrasi itu dengan tetap mengabaikan PBB sebagai pemegang otoritas dan suara terbanyak masyarakat dunia sampai tetap memaksakan bentuk ekstrim dari ademokrasi berupa kekerasan (perang) sebagai jalan keluar. Padahal Henry B Mayo dan Robert A Dahl selalu menyatakan bahwa nilai demokrasi yang asasi dan asali adalah meminimalisir penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan segala sesuatu (Moch Eksan, 2003).
Dengan demokrasi yang dilandaskan pada kepentingan nasionalnya dan dipaksakan kepada Irak sebagai bagian dari masyarakat dunia yang berdaulat, maka AS—yang menurut Collin Powell juga disebut sebagai old-democration—pun memunculkan suatu ambigu, yakni AS tetap menginginkan proses demokrasi diterapkan dengan baik di Irak tetapi di lain sisi AS membiarkan sistem monarki dan otokrasi berjalan dengan semestinya di sebagian negara di Timur Tengah, serta membiarkan kekejaman yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Ambigu demokrasi AS berdasarkan catatan sejarah diterapkan dengan memakai standar ganda, semisal FIS sebagai representasi partai Muslim di Aljazair yang memenangkan pemilu dibatalkan begitu saja kemenangannya oleh rezim militer di sana, dilarang, serta dibubarkan sebagai sebuah partai. Amerika diam saja tidak berbuat apapun karena ada dua hal yakni tak ada kepentingan di sana dan pemenang pemilu tersebut berlabel Islam.
Tidak ada yang aneh di sini karena R James Woosley—mantan Direktur CIA di era Clinton dan sebagai salah satu pengaju proposal penyerangan AS ke Irak—menegaskan demikian, bahwa kalau ada di AS sendiri partai Islam dan memenangkan pemilu hari ini, maka esoknya pemilu harus diulang kembali (Republika, 8 April 2003).
Hal paling sarkas dan berusaha untuk dipahami sebagai suatu kewajaran tampak di sebuah lembaga besar bernama PBB, dengan adanya hak veto yang dipakai oleh lima negara pemenang PD II (AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina) di Dewan Keamanan. Suara mayoritas tidak akan keluar menjadi suatu keputusan bulat dan politis kalau ada hak veto yang dikeluarkan oleh satu saja negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB tersebut. Dalam hal ini AS sering memveto resolusi yang merugikan Israel sebagai sekutu terdekatnya.
Dengan penerapan demokrasi yang ambigu tersebut maka Paul Trenon menyatakan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang ideal untuk mengusahakan kesejahteraan. Di dalamnya penuh kebohongan yang menyeret negara-negara yang tidak punya akar tradisi demokrasi pada kesenjangan hidup.
Maka wajar pula timbul pemikiran dari sebagian Muslim yang menolak sistem demokrasi ini dengan argumen bahwa demokrasi adalah mabda’ (prinsip) impor dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, karena ia ditegakkan pada keputusan suara terbanyak dan dianggap sebagai kebenaran di dalam menegakkan pemerintahan, memperlakukan urusan, dan menguatkan salah satu perkara yang diperselisihkan. Jadi jumlah suara dalam demokrasi menjadi hukum dan rujukan. Maka apa pun pendapat atau gagasan yang mendapatkan dukungan suara terbanyak secara mutlak maupun secara terikat pada suatu waktu, pendapat atau pemikiran itulah yang harus dilaksanakan, meskipun salah atau batil.
Sebelumnya perlu ditegaskan di sini bahwa Islam adalah agama yang syumul sehingga tidak ada suatu sistem hidup yang tidak di atur dalam Islam. Dalam hal penyelesaian masalah-masalah sosial, politik, dan pemerintahan maka Islam menjadikan Syura sebagai suatu prinsip utama. Al-Qur’an menguraikannya dalam Al-Baqoroh:233, Asy-Syu’ara:38, dan Ali ‘Imron: 159. Syura atau permusyawaratan adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. (Ensiklopedi Islam 5: 19).
Al-Qurthubi, seorang mufasir yang menukil dari Ibnu Atiyah, menulis: “Musyawarah adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barangsiapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengn ahli ilmu dan agama (ulama) haruslah ia dipecat”. (Ensiklopedi Islam 5: 19).
Namun mengenai bentuk pelaksanaan Syura, tidak ada nas yang menjelaskannya. Nabi SAW yang telah melembagakan dan membudayakan syura karena ia gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya, tidak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Karena itu bentuk pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.
Namun di sini perlu ditegaskan bahwa objek dari syura’ adalah selain dari ketetapan-ketetapan syari’at yang sudah kongkrit dan dasar-dasar agama serta hal-hal yang sudah diketahui secara pasti. Sehingga dengan ini syura pun memerlukan suara terbanyak dalam memutuskan masalah-masalah ijtihadiyah yang memungkinkan timbulnya banyak pendapat dan pemikiran, dan memang manusia dikondisikan berbeda-beda pandangan dalam hal ini.
Sesungguhnya logika dan syara’, dan fakta mengisyaratkan bahwa harus ada sesuatu yang dipandang kuat. Sedangkan yang dipandang kuat pada waktu terjadi perbedaan pendapat ialah yang mendapatkan suara dan dukungan terbanyak, karena hasil pemikiran dua orang itu lebih dekat kepada kebenaran daripada hasil pemikiran seorang, dan dalam suatu hadits dikatakan: “ Sesungguhnya setan itu bersama yang seorang, sedangkan terhadap dua orang dia lebih jauh “(HR Turmudzi dalam al-Fitan, Hadits Hasan Sahih Gharib).
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa yang harus dikuatkan adalah yang benar—meskipun tidak ada seorang pun yang mendukungnya—dan yang salah harus ditolak meskipun mendapat dukungan 99% suara maka pendapat ini hanya berlaku untuk hal-hal yang sudah dinashkan secara syara’ secara sah dan sharih yang tidak dapat dipertentangkan serta diperselisihkan lagi meski yang demikian sedikit jumlahnya. Maka menurut Yusuf al-Qaradhawi untuk hal ini diterapkanlah pernyataan:
“Jama’ah itu ialah yang sesuai dengn kebenaran, meskipun Anda hanya seorang diri.
Adapun masalah-masalah Ijtihadiyah yang tidak ada nashnya, atau ada nashnya tetapi mengandung banyak kemungkinan penafsiran, atau terdapat nash lain yang menentangnya—yang kekuatannya sama dengan nash itu atau lebih kuat, sedangkan untuk menguatkan salah satu tidak ada—maka pengambilan suara merupakan jalan pemecahan yang sudah dikenal manusia dan diterima oleh para cendekiawan yang di antaranya adalah kaum muslim. Juga tidak terdapat larangan syara’ bahkan terdapat nash-nash dan yurisprudensi yang mendukungnya (Yusuf Al-Qaradhawi, 1995:937).
Maka dalam lapangan syura, hal yang sudah qath’I dan pasti menjadi suatu hal yang mutlak tidak bisa dimusyawarahkan, sehingga tidak ada pemungutan suara sekalipun di sini. Sehingga syura tanpa pemungutan suara atau dengannya dalam masalah ijtihadiyah itu Insya Alloh tidak ada kebathilan yang keluarnya. (Untuk lebih jelasnya baca buku karangan Dr. Yusuf Al-Qaradhawy: Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2 hal 915-941, dan Fiqih Daulah dalam Perspektif Alqur’an dan Sunnah hal 181-205).
Sehingga kaitannya dengan demokrasi pada saat ini, pada dasarnya Islam telah mengatur sedemikian rupa masalah ini dengan suatu sistem yang bernama Syura. Di mana sistem tersebut meletakkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai patokan utama dan sumber hukum yang tertinggi. Sehingga demokrasi dalam Islam adalah demokrasi yang berlandaskan 2 wasi’at tersebut. Sebagaimana diuraikan Ustadz Abbas al-Aqqad dalam kitab yang berjudul ad-Dimuqrathiyyah al-Islamiyyah (demokrasi Islam).
Sehingga bagi mereka yang mengecam Islam tidak mempunyai akar demokrasi, sesungguhnya semuanya telah di atur secara lengkap dan sempurna dalam Islam dengan Syura. Dan sesungguhnya siapa saja dari jama’ah Islam yang menganggap bahwa demokrasi merupakan bagian dari kekufuran atau kemungkaran maka sesungguhnya bisa saja kita katakan bahwa Syura Islam serupa dengan ruh demokrasi atau substansi demokrasi serupa dengan ruh Syura Islam.
Yusuf al_Qaradhawi pun mengatakan Substansi demokrasi adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka (Yusuf Al-Qaradhawi, 1997: 184). Inilah substansi yang hakiki dari demokrasi, seperti pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan mayoritas, multipartai politik, hak minoritas yang bertentangan kebebasan pers, dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan dan lainnya. Apakah demokrasi dengan substansi yang disebutkan di atas tadi bertentangan dengan Islam?
Tentu saja mereka tidak mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Dan kita akan melihat bahwa justru ini berasal dari Islam, Islam menolak seseorang menjadi Imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang makmum di belakangnya. Di dalam hadits disebutkan, “Tiga golongan yang shalatnya tidak bisa naik di atas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal…” lalu beliau menyebutkan yang pertama di antaranya, “Seseorang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya. (diriwayatkan Ibnu Majah).
Jika dalam shalat saja urusannya seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai urusan kehidupan yang lain dan politik? Tentu Islam telah mengaturnya sedemikian rupa.
Dan perlu ditegaskan di sini bahwa demokrasi yang diterapkan oleh AS itulah yang perlu dilawan, karena sesungguhnya demokrasi bermuka dua bukanlah demokrasi sesungguhnya. Dan bagi mereka yang menuhankan demokrasi sebagai satu-satunya jalan pemecah krisis kemanusiaan lebih spesifik lagi krisis multidimensional di Indonesia, ingatlah sesungguhnya demokrasi tanpa syura hanya akan menjerumuskan kita lebih dalam lagi ke jurang krisis itu.
Saya kembali ingat tanggapan Rizal Malarangeng di medio Nopember pada salah satu talk show tentang sekelompok orang yang menurutnya menggunakan dalih agama untuk melakukan aksi ‘terorisme’ di Bali, tambahnya lagi: tidak ada tempat dan kesempatan bagi Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi dkk di alam demokrasi ini, dan demokrasi harus melawan orang-orang seperti mereka. Kini beranikah ia untuk mengatakan bahwa demokrasi pun harus bersama-sama melawan AS dan tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada AS untuk menggunakan jalan kekerasan? Tidak, berarti ia pun bermuka dua, karena ia tidak berani sedikitpun untuk menyetujui langkah-langkah pemboikotan produk AS bahkan sampai berani mengatakan bahwa langkah tersebut emosional dan sia-sia, sekarang mana langkah perlawanannya…? Tidak ada karena ia bukan siapa-siapa, karena ia hanya seorang ‘doktor’ lulusan AS, ia hanya peneliti di CSIS, dan ia hanya seorang Islam Liberal.
Sekarang saatnya bagi kita umat Islam untuk melawan demokrasi AS dengan syuro. Sekecil apapun perlawanan itu Insya Alloh akan bernilai. Itu saja. Yang benar datangnya dari Alloh semata, dan yang salah datang dari pribadi saya sendiri. Allohu’alam.

Maraji’:
1. Al-qur’anul Kariim;
2. Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, Yusuf Al-Qaradhawy, Pustaka Al-Kautsar, 1997
3. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2, Yusuf Al-Qaradhawy, Gema Insani Press, 1995;
4. Ensiklopedi Islam 5, PT Icktiar Baru van Hoeve, 1997;
5. Memilih Partai Islam: Visi, Misi, dan Persepsi, Gema Insani Press, 1998;
6. Ensiklopedi Keluarga A-Z, PT Cipta Mitra Sanadi, 1991;
7. Sabili 19/X/2003;
8. Sabili 20/X/2003;
9. Republika 8 April 2003;
10. Kompas 1 April 2003.

DEMOKRASI BERMUKA DUA vis a vis SYURA

Dunia kini telah melihat secara nyata betapa harga dari sebuah demokrasi di bayar mahal dengan kehancuran peradaban dan hilangnya ribuan nyawa akibat perang yang dipaksakan Amerika Serikat (AS) kepada Irak sebagai suatu bangsa dan pemerintahan yang sah.
Dunia pun menjadi mafhum bahwa AS yang mengklaim diri sebagai bangsa dan negeri kampiun demokrasi dan HAM ternyata memaknai sebuah demokrasi sebagai kedok belaka dari wajah buruk berupa kepentingan nasionalnya. Ralph L Boyce—duta besar AS untuk Indonesia—pun mengakui perang ini semata-mata berdasarkan national interest Amerika (Sabili X/2003). Hatta mengingkari makna demokrasi itu dengan tetap mengabaikan PBB sebagai pemegang otoritas dan suara terbanyak masyarakat dunia sampai tetap memaksakan bentuk ekstrim dari ademokrasi berupa kekerasan (perang) sebagai jalan keluar. Padahal Henry B Mayo dan Robert A Dahl selalu menyatakan bahwa nilai demokrasi yang asasi dan asali adalah meminimalisir penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan segala sesuatu (Moch Eksan, 2003).
Dengan demokrasi yang dilandaskan pada kepentingan nasionalnya dan dipaksakan kepada Irak sebagai bagian dari masyarakat dunia yang berdaulat, maka AS—yang menurut Collin Powell juga disebut sebagai old-democration—pun memunculkan suatu ambigu, yakni AS tetap menginginkan proses demokrasi diterapkan dengan baik di Irak tetapi di lain sisi AS membiarkan sistem monarki dan otokrasi berjalan dengan semestinya di sebagian negara di Timur Tengah, serta membiarkan kekejaman yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Ambigu demokrasi AS berdasarkan catatan sejarah diterapkan dengan memakai standar ganda, semisal FIS sebagai representasi partai Muslim di Aljazair yang memenangkan pemilu dibatalkan begitu saja kemenangannya oleh rezim militer di sana, dilarang, serta dibubarkan sebagai sebuah partai. Amerika diam saja tidak berbuat apapun karena ada dua hal yakni tak ada kepentingan di sana dan pemenang pemilu tersebut berlabel Islam.
Tidak ada yang aneh di sini karena R James Woosley—mantan Direktur CIA di era Clinton dan sebagai salah satu pengaju proposal penyerangan AS ke Irak—menegaskan demikian, bahwa kalau ada di AS sendiri partai Islam dan memenangkan pemilu hari ini, maka esoknya pemilu harus diulang kembali (Republika, 8 April 2003).
Hal paling sarkas dan berusaha untuk dipahami sebagai suatu kewajaran tampak di sebuah lembaga besar bernama PBB, dengan adanya hak veto yang dipakai oleh lima negara pemenang PD II (AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina) di Dewan Keamanan. Suara mayoritas tidak akan keluar menjadi suatu keputusan bulat dan politis kalau ada hak veto yang dikeluarkan oleh satu saja negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB tersebut. Dalam hal ini AS sering memveto resolusi yang merugikan Israel sebagai sekutu terdekatnya.
Dengan penerapan demokrasi yang ambigu tersebut maka Paul Trenon menyatakan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang ideal untuk mengusahakan kesejahteraan. Di dalamnya penuh kebohongan yang menyeret negara-negara yang tidak punya akar tradisi demokrasi pada kesenjangan hidup.
Maka wajar pula timbul pemikiran dari sebagian Muslim yang menolak sistem demokrasi ini dengan argumen bahwa demokrasi adalah mabda’ (prinsip) impor dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, karena ia ditegakkan pada keputusan suara terbanyak dan dianggap sebagai kebenaran di dalam menegakkan pemerintahan, memperlakukan urusan, dan menguatkan salah satu perkara yang diperselisihkan. Jadi jumlah suara dalam demokrasi menjadi hukum dan rujukan. Maka apa pun pendapat atau gagasan yang mendapatkan dukungan suara terbanyak secara mutlak maupun secara terikat pada suatu waktu, pendapat atau pemikiran itulah yang harus dilaksanakan, meskipun salah atau batil.
Sebelumnya perlu ditegaskan di sini bahwa Islam adalah agama yang syumul sehingga tidak ada suatu sistem hidup yang tidak di atur dalam Islam. Dalam hal penyelesaian masalah-masalah sosial, politik, dan pemerintahan maka Islam menjadikan Syura sebagai suatu prinsip utama. Al-Qur’an menguraikannya dalam Al-Baqoroh:233, Asy-Syu’ara:38, dan Ali ‘Imron: 159. Syura atau permusyawaratan adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. (Ensiklopedi Islam 5: 19).
Al-Qurthubi, seorang mufasir yang menukil dari Ibnu Atiyah, menulis: “Musyawarah adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barangsiapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengn ahli ilmu dan agama (ulama) haruslah ia dipecat”. (Ensiklopedi Islam 5: 19).
Namun mengenai bentuk pelaksanaan Syura, tidak ada nas yang menjelaskannya. Nabi SAW yang telah melembagakan dan membudayakan syura karena ia gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya, tidak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Karena itu bentuk pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.
Namun di sini perlu ditegaskan bahwa objek dari syura’ adalah selain dari ketetapan-ketetapan syari’at yang sudah kongkrit dan dasar-dasar agama serta hal-hal yang sudah diketahui secara pasti. Sehingga dengan ini syura pun memerlukan suara terbanyak dalam memutuskan masalah-masalah ijtihadiyah yang memungkinkan timbulnya banyak pendapat dan pemikiran, dan memang manusia dikondisikan berbeda-beda pandangan dalam hal ini.
Sesungguhnya logika dan syara’, dan fakta mengisyaratkan bahwa harus ada sesuatu yang dipandang kuat. Sedangkan yang dipandang kuat pada waktu terjadi perbedaan pendapat ialah yang mendapatkan suara dan dukungan terbanyak, karena hasil pemikiran dua orang itu lebih dekat kepada kebenaran daripada hasil pemikiran seorang, dan dalam suatu hadits dikatakan: “ Sesungguhnya setan itu bersama yang seorang, sedangkan terhadap dua orang dia lebih jauh “(HR Turmudzi dalam al-Fitan, Hadits Hasan Sahih Gharib).
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa yang harus dikuatkan adalah yang benar—meskipun tidak ada seorang pun yang mendukungnya—dan yang salah harus ditolak meskipun mendapat dukungan 99% suara maka pendapat ini hanya berlaku untuk hal-hal yang sudah dinashkan secara syara’ secara sah dan sharih yang tidak dapat dipertentangkan serta diperselisihkan lagi meski yang demikian sedikit jumlahnya. Maka menurut Yusuf al-Qaradhawi untuk hal ini diterapkanlah pernyataan:
“Jama’ah itu ialah yang sesuai dengan kebenaran, meskipun Anda hanya seorang diri.
Adapun masalah-masalah Ijtihadiyah yang tidak ada nashnya, atau ada nashnya tetapi mengandung banyak kemungkinan penafsiran, atau terdapat nash lain yang menentangnya—yang kekuatannya sama dengan nash itu atau lebih kuat, sedangkan untuk menguatkan salah satu tidak ada—maka pengambilan suara merupakan jalan pemecahan yang sudah dikenal manusia dan diterima oleh para cendekiawan yang di antaranya adalah kaum muslim. Juga tidak terdapat larangan syara’ bahkan terdapat nash-nash dan yurisprudensi yang mendukungnya (Yusuf Al-Qaradhawi, 1995:937).
Maka dalam lapangan syura, hal yang sudah qath’I dan pasti menjadi suatu hal yang mutlak tidak bisa dimusyawarahkan, sehingga tidak ada pemungutan suara sekalipun di sini. Sehingga syura tanpa pemungutan suara atau dengannya dalam masalah ijtihadiyah itu Insya Alloh tidak ada kebathilan yang keluarnya. (Untuk lebih jelasnya baca buku karangan Dr. Yusuf Al-Qaradhawy: Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2 hal 915-941, dan Fiqih Daulah dalam Perspektif Alqur’an dan Sunnah hal 181-205).
Sehingga kaitannya dengan demokrasi pada saat ini, pada dasarnya Islam telah mengatur sedemikian rupa masalah ini dengan suatu sistem yang bernama Syura. Di mana sistem tersebut meletakkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai patokan utama dan sumber hukum yang tertinggi. Sehingga demokrasi dalam Islam adalah demokrasi yang berlandaskan 2 wasi’at tersebut. Sebagaimana diuraikan Ustadz Abbas al-Aqqad dalam kitab yang berjudul ad-Dimuqrathiyyah al-Islamiyyah (demokrasi Islam).
Sehingga bagi mereka yang mengecam Islam tidak mempunyai akar demokrasi, sesungguhnya semuanya telah di atur secara lengkap dan sempurna dalam Islam dengan Syura. Dan sesungguhnya siapa saja dari jama’ah Islam yang menganggap bahwa demokrasi merupakan bagian dari kekufuran atau kemungkaran maka sesungguhnya bisa saja kita katakan bahwa Syura Islam serupa dengan ruh demokrasi atau substansi demokrasi serupa dengan ruh Syura Islam.
Yusuf al_Qaradhawi pun mengatakan Substansi demokrasi adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka (Yusuf Al-Qaradhawi, 1997: 184). Inilah substansi yang hakiki dari demokrasi, seperti pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan mayoritas, multipartai politik, hak minoritas yang bertentangan kebebasan pers, dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan dan lainnya. Apakah demokrasi dengan substansi yang disebutkan di atas tadi bertentangan dengan Islam?
Tentu saja mereka tidak mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Dan kita akan melihat bahwa justru ini berasal dari Islam, Islam menolak seseorang menjadi Imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang makmum di belakangnya. Di dalam hadits disebutkan, “Tiga golongan yang shalatnya tidak bisa naik di atas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal…” lalu beliau menyebutkan yang pertama di antaranya, “Seseorang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya. (diriwayatkan Ibnu Majah).
Jika dalam shalat saja urusannya seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai urusan kehidupan yang lain dan politik? Tentu Islam telah mengaturnya sedemikian rupa.
Dan perlu ditegaskan di sini bahwa demokrasi yang diterapkan oleh AS itulah yang perlu dilawan, karena sesungguhnya demokrasi bermuka dua bukanlah demokrasi sesungguhnya. Dan bagi mereka yang menuhankan demokrasi sebagai satu-satunya jalan pemecah krisis kemanusiaan lebih spesifik lagi krisis multidimensional di Indonesia, ingatlah sesungguhnya demokrasi tanpa syura hanya akan menjerumuskan kita lebih dalam lagi ke jurang krisis itu.
Saya kembali ingat tanggapan Rizal Malarangeng di medio Nopember pada salah satu talk show tentang sekelompok orang yang menurutnya menggunakan dalih agama untuk melakukan aksi ‘terorisme’ di Bali, tambahnya lagi: tidak ada tempat dan kesempatan bagi Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi dkk di alam demokrasi ini, dan demokrasi harus melawan orang-orang seperti mereka. Kini beranikah ia untuk mengatakan bahwa demokrasi pun harus bersama-sama melawan AS dan tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada AS untuk menggunakan jalan kekerasan? Tidak, berarti ia pun bermuka dua, karena ia tidak berani sedikitpun untuk menyetujui langkah-langkah pemboikotan produk AS bahkan sampai berani mengatakan bahwa langkah tersebut emosional dan sia-sia, sekarang mana langkah perlawanannya…? Tidak ada karena ia bukan siapa-siapa, karena ia hanya seorang ‘doktor’ lulusan AS, ia hanya peneliti di CSIS, dan ia hanya seorang Islam Liberal.
Sekarang saatnya bagi kita umat Islam untuk melawan demokrasi AS dengan syuro. Sekecil apapun perlawanan itu Insya Alloh akan bernilai. Itu saja. Yang benar datangnya dari Alloh semata, dan yang salah datang dari pribadi saya sendiri. Allohu’alam.

Maraji’:
1. Al-qur’anul Kariim;
2. Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, Yusuf Al-Qaradhawy, Pustaka Al-Kautsar, 1997;
3. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2, Yusuf Al-Qaradhawy, Gema Insani Press, 1995;
4. Ensiklopedi Islam 5, PT Icktiar Baru van Hoeve, 1997;
5. Memilih Partai Islam: Visi, Misi, dan Persepsi, Gema Insani Press, 1998;
6. Ensiklopedi Keluarga A-Z, PT Cipta Mitra Sanadi, 1991;
7. Sabili 19/X/2003;
8. Sabili 20/X/2003;
9. Republika 8 April 2003;
10. Kompas 1 April 2003.

dedaunan di ranting cemara
di antara dua tahun lampau
2003

Lontar dari Kadipaten Depok


lontar dari Kadipaten Depok

:buat Mapatih Gajahmada

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang tuan yang bukanlah tuan
kalaulah belum tahlukkan negeri Sunda
satu negeri yang akan membuat tuan
akhiri sumpah palapamu
memulai nikmatnya dunia tidak sebatas mutih

Mapatih, haturkan hamba berkidung
tentang sebuah kidung Sundayana
melarut dalam berlonta-lontar Negarakertagama
yang belum sempat terbaca olehTuan
kerana Prapanca membuat titiknya
saat tuan telah tiada kekal

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang Diah Pitaloka Citaresmi puteri Sri Maharaja
yang datang membawa bangga ke hadapanmu tuan
tanpa ribuan pedang, tombak, perisai,
bahkan genderang tambur

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang tuan yang bukanlah tuan kalaulah tuan
bersikeras cantiknya adalah hadiah
dan tetaplah hadiah
jikalau ia bukan hadiah
maka pastilah pinangan buat Tuannya Tuan

Mapatih haturkan hamba bercerita
tentang jikalau ia bukan hadiah
maka tak ada Bubat yang memerah darah
maka tak ada Maharaja yang berkalang tanah
maka tak ada Diah yang berkeris di dada

Mapatih haturkan hamba bercerita
tentang kepedihan hati
Tuannya Tuan Sri Rajasanagara
merenggut selendang cantik tak bertuan lagi
hingga akhir hayat memendamnya di Tayung, Brebek,
tempat hamba memungut nafas pertama hamba

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang dendam yang turun temurun
hingga hamba tak sanggup menegakkan muka
di tatar sunda yang telah tuan curangi
yang telah tuan kangkangi

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang membawa bala dari tuan
tentang hamba adalah putera
para piningit Sitinggil Binaturata
bahkan sebelumnya:Singhasari dan Kadiri

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang menjadi tumbal keserakahan tuan
hingga hamba terbalut kain jijik
dari mata-mata penerus tatar Sunda
hingga hamba tak layak untuk menjadi Adipati mereka

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang selalu bertanya
seberapa menyakitkan perbuatan tuan
hingga sampai merasuk dalam
pada alam bawah sadar mereka
hingga menggendam pada banyak anak pinak
bahwa hamba adalah bagian Tuan
bagian pusaka jaya masa lalu

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang selalu bertanya
dapatkah hamba menyalahkan tuan
karena hamba mengalami ketidakadilan
yang pernah menimpa mereka 648 tahun lampau

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang kini tak layak dan tak sepatutnya
menyilih angkaramu kerana hamba
adalah milik Sang Maha Pemilik jiwa Tuan
maka hamba pun sudah sepatutnya berjuang
dengan sepenuh tenaga hamba
layaknya mereka menghadapi Tuan

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang hamba yang memastikan kisah
tak ada maharaja berkalang tanah
tak ada diah berkeris di dada
tak ada selendang beramis cempaka
kerana tahta sebenarnya bukanlah begitu rupa
hakikinya adalah ia berdiri tegak
di atas keadilan yang nyata

Mapatih, haturkan hamba bercerita
tentang bahwa ini adalah sekadar kepedihan hati hamba
bahwa hamba menulis di lontar terakhir ini
semoga Tuan sempat membaca
di sela-sela kesibukan tuan
di sana

dari hamba:
Bhre Noermahmudi
Depok, Minggu Legi 03 Rejeb 1938

dedaunan di ranting cemara
di antara istighosah Kubro—bukan Qubro
22:08 Ahad, 07 Agustus 2005