Mengapa Orang Indonesia Sulit Mengatakan Tidak?


Saya baru sadar, kata yang paling jarang diajarkan ke orang Indonesia adalah: tidak.

Kita punya tokoh dalam suatu cerita kehidupan. Si tokoh ini selalu berkata iya untuk diminta mengerjakan sesuatu, diutangi, diminta hadir, ataupun diminta diam. Ia tidak pernah diajari berkata “tidak”. Yang diajari dan dipahami olehnya adalah “tidak enakan”. Sampai suatu hari, tubuhnya jatuh sakit dan tak ada yang datang menjenguk.

Di tempat lain, di sebuah kantor kecil di sudut Jakarta, seorang staf junior tahu keputusan atasannya keliru. Ada angka yang tidak masuk dan risiko besar. Namun, rapat tetap berjalan mulus. Tidak ada satu pun yang berkata “tidak”. Setelah rapat aksi dijalankan, barulah kesalahan itu meledak. 

Dua cerita di atas sering kita jumpai atau sebenarnya kita alami sendiri. Ini cerminan pola budaya yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Penelitian ilmiah menjelaskan bahwa kecenderungan untuk selalu berkata “iya”, menghindari penolakan, dan enggan membantah otoritas bukanlah kebetulan. Ia hasil dari sistem nilai yang diwariskan secara sosial.

Kalau kita mengunjungi situs web theculturefactor.com lalu memilih tombol “country comparison tool” dan memasukkan Indonesia ke dalam kolom pencarian, kita akan disajikan grafik histogram nilai Dimensi Hofstede bangsa Indonesia.

Saya pernah menulis Dimensi Hofstede secara singkat di tulisan terdahulu yang berjudul Jatuhnya Pesawat Korean Air dan Bagaimana Reformasi Dilakukan Setelahnya. Di sana diceritakan, ada psikolog Belanda bernama Geert Hofstede bekerja untuk departemen SDM di kantor pusat IBM di Eropa. Ia menjelajah banyak negeri untuk mewawancarai para pegawai. Dari hasil penelitiannya itu terbentuk mahadata yang digunakan untuk menganalisis perbedaan antara satu kebudayaan dan lainnya.

Singkatnya, Dimensi Hofstede itu cara membaca pola budaya suatu bangsa. Pola budaya didefinisikan ke dalam enam kategori: jarak kekuasaan, individualisme, motivasi menuju prestasi dan kesuksesan, penghindaran ketidakpastian, orientasi jangka panjang, dan kesenangan.

Di situs web di atas, skor Indonesia di masing-masing dimensi adalah sebagai berikut:

  • Jarak kekuasaan = 76
  • Individualisme = 5
  • Motivasi menuju prestasi dan kesuksesan = 46
  • Penghindaran ketidakpastian = 48
  • Orientasi jangka panjang = 29
  • Kesenangan = 38.

Karena keterbatasan ruang dan waktu, saya hanya membahas dua yang pertama saja: Dimensi Jarak Kekuasaan dan Individualisme bangsa Indonesia.

Pada dimensi Jarak Kekuasaan, skor Indonesia termasuk tinggi di negara-negara anggota ASEAN. Paling tinggi adalah Malaysia. Dimensi ini mengisyaratkan kepemimpinan cenderung hierarkis, terpusat, dan direktif, dengan bawahan mengharapkan arahan jelas serta menghormati atasan karena jabatannya. Komunikasi berlangsung tidak langsung, kritik sering disembunyikan, dan kesenjangan kekuasaan dianggap wajar secara sosial.

Sedangkan dalam dimensi individualisme, skor Indonesia terendah di antara negara-negara ASEAN. Ini berarti kolektivitas orang Indonesia itu tinggi. Dalam bahasa kesehariannya, keputusan pribadi sering dipengaruhi keluarga dan lingkungan. Contohnya seperti berikut ini sebagaimana dijelaskan dalam situs web di atas.

Anak-anak Indonesia memiliki komitmen tinggi terhadap orang tua, begitu pula komitmen orang tua kepada anak-anak mereka sepanjang hidup. Mereka ingin membuat hidup orang tua mereka lebih mudah. Begitu pula dalam soal hubungan antara pria dan wanita. Jika seorang pria ingin dianggap serius oleh seorang wanita, ia harus mengunjungi keluarga wanita tersebut dan memperkenalkan diri secara formal kepada orang tua wanita itu.

Double Kill

Dua Dimensi Hofstede masyarakat Indonesia berupa Jarak Kekuasaan dengan skor tinggi dan Individualisme dengan skor rendah yang tecermin pada dua cerita di awal tulisan ini sepertinya contoh sempurna dari “double kill”. Sebuah istilah yang sepertinya lebih mudah dipahami alih-alih menggunakan istilah cumulative cultural constraints dalam kajian budaya.

“Double kill” ini menciptakan tekanan ganda terhadap individu. Seperti tidak ada ruang untuk bernapas. Berkata “tidak” kepada atasan sama saja melanggar hierarki, berkata “tidak” kepada kelompok itu merusak harmoni.

Namun, pertanyaan berikutnya: “Apakah ini selalu buruk?” Jawabannya tidak. Hubungan antara jarak kekuasaan yang tinggi dan tingkat kolektivitas yang kuat pada masyarakat Indonesia ini berarti kita adalah bangsa yang memiliki solidaritas dan empati sosial tinggi, loyalitas yang kuat, dan gotong royong yang bukan sekadar slogan. Indonesia berdiri tegak di saat krisis karena kombinasi dari berbagai variabel ini. Penanganan bencana Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat baru-baru ini menjadi contoh konkret paling valid dan anyar.

Jadi, di sisi individu ini serupa penjara batin, tetapi dalam skala yang lebih luas, ini adalah kekuatan sosial. Bagaimana kalau kita ganti saja istilah penjara batin itu dengan pemikiran berikut ini.

Memilih untuk mengorbankan diri dalam konteks jarak kekuasaan tinggi dan kolektivitas kuat berarti secara sadar menerima peran untuk mendahulukan kepentingan keluarga, kelompok, atau atasan meskipun itu merugikan kenyamanan pribadi, tanpa merasa dizalimi atau menuntut pengakuan.

Tetap berkata “iya”, tetap diam saat perlu, tetap memikul beban, namun dengan kesadaran penuh bahwa itu adalah pilihan nilai, bukan karena tidak berani menolak, sehingga penderitaan tidak berubah menjadi penjara batin. Ia menjadi pengabdian yang dipahami, diniatkan, dan ditanggung dengan tenang.

Sepertinya demikian. Betulkan? Jangan berkata tidak.

***
Riza Almanfaluthi
26 Desember 2025
Gambar dari: http://www.socialsciencespace.com

Kalau teman-teman berkenan memiliki buku Di Depan Ka’bah Kutemukan Jawaban, buku Kita Bisa Menulis, dan buku lainnya atau ingin menghadiahkan buku-buku tersebut kepada orang tercinta, bisa pesan lewat tautan ini:
👉 https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.