
Memang berbeda antara melihat langsung di tempat dan mendengar dari jauh. Itulah yang saya rasakan saat menyimak pidato Ketua DPR RI Puan Maharani dan Presiden RI Prabowo Subianto di Gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta pada Jumat, 15 Agustus 2025. Ada semangat dan niat baik yang terasa.
Puan menyoroti, antara lain, perimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, serta pemberdayaan perempuan di berbagai jabatan pemerintahan. Sedangkan Prabowo, dengan lantang, menantang siapa pun yang hendak merampas kekayaan Indonesia secara sewenang-wenang, bahkan jika mereka dibekingi para jenderal.

Banyak peserta sidang berdiri dari tempat duduk, bersorak, dan bertepuk tangan memberi dukungan kepada Prabowo, terutama atas tekadnya memberantas serakahnomics—istilah ciptaannya untuk menggambarkan pola ekonomi yang terlalu mengutamakan keuntungan tanpa memedulikan kepentingan sosial.
Ada irisan pandangan antara keduanya: sama-sama menyitir Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Pasal itu menegaskan bahwa rakyat adalah pemilik sah kekayaan negeri ini, bukan segelintir orang atau oligarki.
Saya beruntung diundang dalam acara ini bersama para teladan Kementerian Keuangan, kementerian lain, serta berbagai instansi daerah. Salah satunya adalah penjaga hutan Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatra Utara. Tak semua orang daerah mendapat kesempatan memasuki Gedung Kura-Kura di Senayan ini. Bagi mereka, ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri yang bisa diceritakan kepada anak cucu.
Kebanggaan dari para amtenar—atau rakyat jelata sekalipun—mestinya dapat dirasakan pula oleh para pemimpin tinggi republik dan wakil rakyat, agar tidak menyia-nyiakan amanah yang telah diberikan. Apalagi sampai berkhianat dengan menerima gratifikasi atau mencari rente. Sebab, sekali amanah dikhianati, kepercayaan rakyat akan runtuh, dan itu jauh lebih mahal daripada sekadar kehilangan jabatan.
Presiden Prabowo meninggalkan Gedung MPR DPR dengan rombongan besar yang tampak megah. Bagaimana tidak, ada sekitar empat mobil putih kepresidenan yang dikawal puluhan Polisi Militer bermotor besar dengan membentuk formasi rapi. Tidak efisien? Boleh saja. Momen ini hanya terjadi setahun sekali—sebagai parade kebesaran bangsa yang sedang menapaki jalan menuju Indonesia Emas dua puluh tahun mendatang. Insyaallah.
Riza Almanfaluthi
15 Agustus 2025
Pemesanan buku Di Depan Ka’bah Kutemukan Jawaban sila mengeklik tautan berikut https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi