
Akhirnya setelah 1,5 jam perjalanan dari Makkah, bus sampai di Corniche Jeddah. Jaraknya ternyata jauh dari Masjid Terapung itu, kurang lebih 24,8 km. Suasana Corniche Jeddah berbeda sekali dengan 14 tahun lalu. Dulu trotoarnya penuh dengan kios-kios pedagang. Sekarang sudah ditertibkan dan tampak rapi. Dulu di sudut itu ada penjual bakso, sekarang sudah tidak ada lagi. Saat ini sudah ada plang bertuliskan I Love Corniche sebagai latar buat foto-foto. Dengan latar belakang langit senja Jeddah, berfoto di tempat ini sangat instagrammable.
Persis di belakang plang itu, ada toko Ali Murah. Banyak peziarah yang masuk ke dalam toko itu sekadar berkemih, belanja oleh-oleh, atau melihat-lihat saja. Saya juga pernah membeli parfum di Corniche ini untuk pak lik saya di tanah air.
Kami berempat menyusuri trotoar yang lapang ke arah lebih timur. Menyeberangi Al Mawared Alleyway dan menemukan restoran Indonesia di salah satu sudut bangunan yang menjual makanan khas Indonesia: bakso. Ya, akhirnya kami mampir ke sana. Eh, tak berapa lama banyak juga dari rombongan kami yang makan di sana. Padahal menurut rencana dari biro perjalanan kami, setelah dari Corniche ini kami akan singgah di sebuah restoran. Walaupun demikian, bakso tetap menggoda kami, pun memang sudah masuk waktunya makan malam.
Saat kami hendak kembali ke tempat berkumpul di sudut Corniche itu. Saya melihat seorang perempuan dengan kerudung yang masih memperlihatkan rambutnya sedang mengendarai mobil di jalanan kecil Al Mawared Alleyway. Seperti kita ketahui sejak 23 Juni 2018, pemerintah Kerajaan Arab Saudi mencabut larangan mengemudi bagi perempuan—satu-satunya larangan semacam itu yang ada di dunia. Perempuan itu mengepulkan asap yang berasal dari vape. Jeddah memang lebih sekuler daripada Makkah.
Pada saat saya duduk-duduk di pinggir jalan Al Mawared Alleyway itu, ada seseorang menghampiri. Dan siapa yang mendatangi saya itu? Masyaallah, Mas Fajri. Teman di Facebook, pun teman satu insitusi yang kemudian keluar untuk fokus di dunia biro perjalanan. Mas Fajri ini ternyata sudah mengamati saya dari jauh. Kemudian dia mengecek media sosial saya dan tak mendapatkan informasi apa pun tentang perjalanan umrah saya. Barulah ketika dia melihat Ummu Kinan, Mas Fajri semakin yakin bahwa sosok yang dia amati itu adalah saya. Oleh karena itu dia langsung menghampiri. Masyaallah, saya bahagia dengan perjumpaan ini. Tidak di tanah air, melainkan di negeri orang. Kali ini dia sedang membimbing jemaah umrahnya dan akan menuju Bandara King Abdul Aziz untuk kembali ke tanah air. Jadwalnya berbeda dengan rombongan kami.
Setelah itu kami berpisah. Rombongan kami hendak meninggalkan Corniche Jeddah. Kami berkumpul di titik kedatangan. Hawa Laut Merah menyeruak ke lubang pernapasan. Hawa yang pernah dihirup oleh armada Portugis yang pernah dua kali ingin merebut Jeddah pada ratusan tahun yang lampau.
Pada 12 April 1517, Jeddah dikepung armada Portugis di bawah kepemimpinan Lopo Soares de Albergaria. Mereka gagal menguasai Jeddah karena ada perlawanan dari armada Kesultanan Utsmaniyyah yang dipimpin oleh Selman Reis. Waktu itu yang menjadi Sultan Utsmaniyyah adalah Selim I. Di tahun itu, dunia Islam di masa transisi perpindahan kekuasaan dari Dinasti Mamluk yang berpusat di Kairo, Mesir kepada Dinasti Utsmaniyyah yang beribu kota di Istambul.
Dua dekade kemudian, tepatnya pada tahun 1541, Portugis kembali mendatangi Jeddah. Niatnya mau menghancurkan armada Utsmaniyyah di Suez, Mesir. Sebelum itu mereka mau mampir menguasai Jeddah. Jika ini berhasil, sudah barang tentu Portugis akan menargetkan juga kiblat umat Islam di Makkah yang hanya “sepelemparan batu” dari Jeddah.
Kali ini armada Portugis di bawah pimpinan Gubernur Portugis di India, yaitu Estevao Da Gama. Estevao ini adalah anak kedua dari Vasco da Gama. Vasco adalah penjelajah Portugis yang menemukan jalur laut dari Eropa menuju Malabar, India dengan perjalanan laut mengelilingi benua Afrika.
Penyerangan kedua Portugis dengan 85 kapal diantisipasi oleh garnisun Utsmaniyyah yang dipimpin oleh Ali Beg. Garnisun itu dibantu pasukan yang dikumpulkan oleh syarif Makkah pada waktu itu, yaitu Muhammad Abu Numayy II bin Barakat bin Muhammad. Syarif Makkah menyerukan seruan jihad untuk mempertahankan Jeddah dan berhasil mengumpulkan para pejuang. Perlawanan yang kuat dari mereka membuat Portugis gagal merebut benteng. Atas keberhasilan itu Sultan Utsmaniyyah, yaitu Sulaiman yang Agung, memberikan hadiah kepada Abu Numayy.
Sejak itu Portugis tak lagi berani melakukan penyerangan ke Jeddah. Kegagalan yang mencolok untuk menguasai tanah suci umat Islam, jalur perdagangan dari timur, dan ambisi geopolitik Portugis. Memang sejak 1500-an, armada Portugis aktif untuk menyerang kapal-kapal dagang muslim dan jalur laut haji. Vasco da Gama saja melakukan pembantaian tak terperi dengan membantai ratusan jemaah haji Calicut, India pada tahun 1502.
Kegagalan demi kegagalan Portugis itu terpatri menjadi sejarah yang tak lekang di kota pelabuhan ini sampai kapan pun. Sejarah yang mestinya tak dilupakan oleh siapa pun, termasuk jemaah haji dan umrah. Sebab, di tempat ini, semangat jihad pernah menyala untuk menjaga gerbang tanah suci dari ancaman penjajahan.
*
Riza Almanfaluthi
31 Mei 2025
Gambar ilustrasi dari Roque Gameiro, dari worldhistory.org
Buat jemaah haji yang saat ini sedang berada di tanah suci, semoga menjadi haji mabrur. Buat mereka yang masih memiliki mimpi ke sana, semoga Allah segerakan di tahun ini juga, secepatnya. Amin.
Pemesanan buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.
Baca satu bab gratis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
Baca Kata Pengantar buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
Lihat Daftar isi buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
Baca Sinopsis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.