Perbincangan di Atas Laut Andaman, Cerita Kakek Bisa Umrah Berkali-Kali


Pesawat Boeing 777-368 (ER) Saudia Airline ini berada di ketinggian 10.000 kaki. Di atas Laut Andaman. Masih ada ratusan kilometer lagi jauhnya dari Banda Aceh, bahkan sekitar tiga jam perjalanan lagi menuju Jakarta.

Di samping saya, di kursi tengah, adalah laki-laki yang berusia hampir 80 tahun. Namanya Aziar Abdul Muluk. Dalam rombongan kami ia sering dipanggil Kakek. Kakek Aziar ini sangatlah tangguh untuk mengikuti seluruh agenda yang diberikan oleh mutawif, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang menua.

“Apa rahasianya Kakek berumur panjang?” tanya saya usai menyesap kopi pagi yang diberikan pramugari. Sang kakek juga ternyata memesan minuman yang sama.

“Bersyukur saja dengan apa yang Allah beri,” kata sang kakek yang sudah berumrah untuk ke sekian kalianya dan pada kali ini berumrah bersama dua cucunya. Jawabannya tidak asing, sebuah jawaban templat, jawaban yang sering saya dengar, tetapi tak mudah untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Apalagi, Kek?”

“Memaafkan. Itu membuat hati kita lapang,” jawab Kakek Aziar. “Jika ada orang berbuat salah kepada kita, dalam hal apa saja, jangan dibenci dan dimusuhi, tetapi balas saja dengan kebaikan, maafkan, dan mohonkan kepada Allah agar orang tersebut ditunjukkan jalan yang benar. Jadi hati kita akan lapang karena Allah yang Maha Mengatur segala kejadian dan segala bentuk kejadian kehidupan itu adalah ujian,” jelas Kakek.

Dari sanalah kemudian ia bercerita panjang tentang masa lalunya. Tentang pembagian warisan yang sepeser pun tidak ia dapatkan dan ia berusaha menerimanya dengan menyerahkan segala urusan itu kepada Allah. Ia meyakini ada hikmah di balik ini semua dan Allah tidaklah tidur. Pun, tentang perjalanan hidupnya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada tahun 1988 di Riyadh dan Jeddah, Arab Saudi.

Baru juga beberapa pekan di Riyadh bersama keluarga bangsawan Sa’ud, ia menerima perlakuan tidak mengenakkan. Kepalanya dipukul dengan sepatu oleh istri bangsawan tersebut lantaran tidak mengindahkan larangannya berbicara dengan orang asing padahal Kakek Aziar hanya berbicara dengan orang Indonesia yang kebetulan ditemuinya saat mengantar istri bangsawan tersebut.

Dengan pertolongan dari sesama TKI di Riyadh, ia dapat mengadukan permasalahannya ke Kedutaan Besar Indonesia yang pada saat itu dipimpin oleh Aang Kunaefi. Aang pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat 1975-1985. Generasi X tentunya mengenal nama ini karena nama-nama gubernur di tanah air—selain nama Menteri Kabinet Pembangunan—menjadi sesuatu yang wajib dihapalkan di masa itu.

Singkat cerita ia dipulangkan ke tanah air. Karena tekadnya untuk mengubah nasib dan visanya sebagai tenaga kerja masih berlaku, sepekan kemudian ia sudah kembali ke Jeddah. Kini ia bekerja dengan orang Arab asal Yordania yang memiliki usaha bengkel. Walaupun sempat dizalimi juga oleh majikannya, ia tetap bekerja dengan rajin dan bertahan selama hampir tiga tahun. Setelah itu ia kembali ke tanah air dan tidak kembali lagi ke Jeddah untuk merawat ibunya yang berumur 84 tahun dan hidup sendirian di kampung.

“Jadi sopir pribadi di Arab Saudi sudah dianggap sebagai budak. Semua pekerjaan dilakukan seperti mencuci mobil, menyapu, menyiram bunga, mengantar anak sekolah, belanja, dan sebagainya. Jadi bukan nyopir saja dan kadang-kadang dipinjamkan untuk menyopiri keluarganya yang lain,” kata Kakek Aziar.

Pada waktu itu, untuk semua TKI yang akan bekerja di Arab Saudi memiliki perjanjian kerja (akad amal) dari perusahaan TKI, yaitu bekerja selama dua tahun dan dalam waktu dua tahun itu perusahaan atau majikan diwajibkan utk menghajikan TKI yang bekerja di sana.

“Saya sempat dua kali umrah di bulan Ramadan dan saya yang sudah dua tahun bekerja belum disuruh haji dengan alasan macam-macam. Barulah ketika hampir tiga tahun saya bekerja, saya dibawa ke Konsulat RI di Jeddah untuk dihajikan bersama TKI lain,” ujar Kakek.

Walau sudah sekali berhaji dan dua kali umrah Kakek Aziar belum sekali pun mengunjungi makam Rasulullah. Kakek Aziar berdoa terus menerus dan tetap memelihara prasangka baiknya kepada Allah. Kelak ia yang hanya berprofesi sebagai sopir akan dipanggil ke tanah suci kembali dan dapat mendatangi Madinah.

Kesempatan itu datang ketika belasan tahun kemudian Kakek Aziar diumrahkan oleh sahabatnya pada 2007. Saat mengunjungi raudah ia memperbanyak selawat dan puji-pujian yang biasa dilantunkan anak kecil. “Saya sampai menangis tak henti-hentinya bisa mendapatkan kesempatan itu. Bahkan ketika pulang ke penginapan di dekat Masjid Nabawi,” cerita Kakek. Suaranya tercekat ketika mengenang itu. Mukanya memerah. Ia sampai menghentikan kisahnya dan mengusap matanya yang basah.

“Kita harus betul betul mencintai Nabi Muhammad karena Nabi Muhammad sangat mencintai dan menyayangi kita sebagai umatnya, sehingga waktu mendekati ajalnya Nabi masih mengingat dan menyebut umatnya,” tutur Kakek. Perkataan Kakek ini menjawab pertanyaan saya yang selama ini menggelayuti, “Mengapa orang-orang dari berbagai bangsa dan negara berbondong-bondong datang ke Madinah dan menziarahi makam nabi?” Ya, karena rasa cinta kepada orang paling mulia dan yang dapat memberikan syafaat di hari kiamat ini.

Sekarang untuk menziarahi makam Nabi tidak semudah dulu. Jauh-jauh hari, para peziarah harus mendaftar daring melalui aplikasi Nusuk untuk bisa datang ke raudah dan melihat makamnya. Aplikasi Nusuk juga menyesuaikan dengan jadwal pemeliharaan masjid Nabawi. Mengingat keterbatasan itu, banyak para jemaah umrah yang berdoa dari luar Masjid Nabawi dengan patokan kubah hijaunya.

Dari peta digital di layar kursi penumpang, pesawat saat ini sudah berada di atas Laut Jawa. Belasan menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Soekarno Hatta sore itu. Kru pesawat sudah meminta para penumpang untuk menegakkan sandaran kursi, melipat meja, memasang sabuk pengaman, dan membuka penutup jendela pesawat.

Kakek Aziar malam ini akan menginap di rumah anaknya di Bekasi. Besoknya baru melanjutkan ke kampung halaman di kaki Gunung Singgalang, Padang Lua, dekat Bukittinggi. “Ada travel dari Bandara Minangkabau yang akan mengantarkan saya ke depan rumah,” katanya. Saya langsung teringat dengan perjalanan saya ke Bukittinggi beberapa tahun lampau untuk mengajar. Kota kecil yang adem dan bersahaja. Saya pernah menuliskan kisah perjalanan itu dalam sebuah artikel yang berjudul Soal Kanibalisme yang Berakhir di Kedai Nasi Kapau.

Perbincangan selama beberapa jam terakhir itu tak membuat perjalanan menjadi suntuk. Ini serupa tiga SKS kuliah kehidupan. Saya pun mengetahui kalau salah satu dari enam anak Kakek Aziar menikah dengan lulusan STAN dan kini bekerja di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Wah, ternyata saya dan menantunya satu almamater.Di Padang Lua, Kakek hidup sendiri. Sang istri sudah berpulang ke rahmatullah dua belas tahun lampau.

Terima kasih, Jaddun, atas pelajaran penuh mutiara yang diberikan. Sudah saya catat dalam benak. Utamanya untuk pelajaran menjadi hamba yang dimaui Allah, bukan maunya kita sendiri.

***
Riza Almanfaluthi
22 Februari 2024
Pemesanan buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

Baca satu bab gratis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Kata Pengantar buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Lihat Daftar isi buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Sinopsis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.