
Buat saya, mengingat sosok ayah adalah mengingat tentang literasi dan kereta api.
Di keluarga kami, anak-anak memanggil ayah dengan sebutan Bapak. Bapak adalah penjual majalah bekas, teka-teki silang (TTS), dan novel, selain menjual barang kelontong di rumahnya di kota kecil bernama Jatibarang, Indramayu.
Setiap sore, ia menggelar meja besar di depan tokonya. Di sana, ia menumpuk majalah-majalah bekas seperti Intisari, Femina, Kartini, Hai, Kawanku, Ria Film, Detektif Romantika, dan lain sebagainya. Sampai pukul 23.00 atau lebih malam lagi, ia membereskan kembali majalah-majalah bekas, memasukkan meja besar ke dalam rumah, dan menutup toko.
Dengan profesinya itu, membuat kami—anak-anaknya—akrab dengan majalah. Saya jadi sering membaca dan mendapatkan banyak informasi. Jangan membayangkan ada internet, media sosial, dan Google di zaman itu. Hanya segelintir orang yang rumahnya memiliki sambungan telepon. Mereka pasti orang kaya.
Membaca majalah menjadi alternatif buat kami mencari hiburan. Ini karena kami tidak mampu membeli televisi. Apalagi pada saat itu pun ada iuran yang harus dibayar bagi para pemilik televisi. Kami masih belum mampu. Sebelumnya kami pernah memiliki satu buah televisi tabung hitam putih di rumah, tetapi terjual kemudian untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan banyak membaca itu, pada akhirnya memberikan efek positif buat kami. Saya dan adik saya sering menjadi juara kelas di SD maupun SMP. Bahkan dalam satu mata pelajaran, saya dilarang untuk mengacungkan tangan karena sang guru bosan melihat saya terus yang mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan sang guru yang diajukan kepada murid-muridnya.
Bapak mendapatkan majalah bekas itu dari dua sumber. Secara periodik, ada orang yang mengulak majalah dari Pasar Senen, Jakarta dan menyerahkannya kepada Bapak. Kadang, Bapak sendiri yang berbelanja majalah bekas dan TTS itu di Jakarta. Saya sering diajaknya ikut. Ini yang menurut saya seru sekali dan sampai sekarang menjadi kenangan yang tidak bisa dilupakan.
Kami berangkat Minggu pagi dari Stasiun Jatibarang dengan menaiki kereta api kelas ekonomi. Lalu sampai di Stasiun Pasar Senen pada siang harinya. Sebelum berbelanja, Bapak mengajak saya makan nasi kapau yang terjaja di los-los yang ada di Pasar Senen. Pada saat itu, makan nasi padang menjadi momen yang luar biasa. Saya masih ingat betul dengan kelezatan rendang limpanya. Sampai sekarang.
Setelah kenyang, barulah Bapak berburu majalah bekas, TTS, dan novel yang lapaknya tak jauh dengan warung nasi kapau itu. Bapak mengumpulkan, memilah, dan memilih majalah yang sering laku terjual. Tentunya yang masih memiliki tampilan gres.
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu yang diputar oleh lapak penjual kaset. Lagunya Iwan Fals yang sedang hit pada waktu itu yang berjudul Bongkar: “Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar! Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar! Di jalanan kami sangkarkan cita-cita, sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya.”
Penjual majalah bekas membungkus barang-barang yang dibeli Bapak dengan kertas putih yang besar dan diikat dengan tali rafia. Yang jelas tidak memakai kantong atau tas. Ada tiga gembolan besar yang kami bawa. Dua gembolan diangkat Bapak, satu di bahu kanannya, dan satunya lagi di tangan kirinya. Gembolan yang lebih ringan saya bawa sendiri.
Kami kemudian kembali ke Stasiun Pasar Senen untuk menaiki kereta api jurusan Cirebon yang akan berangkat pada petang hari. Waktu itu kereta api tidak dibatasi dengan jumlah penumpang. Walaupun bangku kereta sudah terisi semua, penumpang masih bisa masuk gerbong dan naik kereta api asal bisa membeli karcis. Bagi kami, mendapatkan posisi duduk di bordes, sambungan antargerbong kereta api, sudah menjadi hal yang mesti disyukuri. Kami sampai di Stasiun Jatibarang menjelang tengah malam. Dari stasiun kami menaiki becak menuju rumah.
Buat saya, itu menjadi perjalanan yang menyenangkan. Apalagi dengan menaiki moda transportasi kereta api. Sewaktu kami masih kecil, Bapaklah yang sering mengajak anak-anaknya jalan-jalan ke stasiun untuk mampir ke bufet atau melihat kereta api mondar-mandir.*) Sekadar untuk dadah-dadah kepada kereta api yang tak berhenti di stasiun. Kalau ada kereta api yang lewat, Bapak juga meminta kami berteriak: “Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!” Sepertinya Bapak tahu, dari buku-buku yang ia baca, kalau penguasaan kereta api dan jalurnya menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari belenggu penjajahan. Ternyata, momen serupa itu Bapak ulangi ketika ia mengajak cucu-cucunya—anak-anak saya—main ke stasiun kereta api, dadah-dadah, dan meneriakkan pekik merdeka.
Sejak itu, bahkan sampai sekarang, ketika saya sudah meninggalkan Jatibarang puluhan tahun lalu untuk merantau ke Jakarta, saya teramat menyukai kereta api. Apabila ada penugasan dinas ke kota yang dilewati kereta api, saya memilih menggunakan angkutan itu daripada moda transportasi lain. Sambil menaikinya, saya kembali mengenang masa-masa kecil bersama Bapak.
Saya pernah menjadi pengasong di Stasiun Jatibarang dan kereta api yang berhenti di stasiun itu. Saya menjual rokok, permen, tisu, dan air mineral. Biasanya saya lakukan pada saat liburan panjang dengan durasi sebulan. Saya mengambil barang dagangan dari toko kelontong Bapak. Setiap pagi saya kulakan dan petangnya menyerahkan hasil penjualan kepada Bapak. Saya berjualan di peron Stasiun Jatibarang atau mengasong di dalam kereta api yang berjalan menuju stasiun berikutnya. Saya mendapatkan banyak pengalaman seperti pernah ditampar Kepala Stasiun, jatuh dari kereta api, dan pengalaman keras lainnya.
Saya juga berkeliling pasar dan berjualan di bioskop. Kalau musim liburan usai, saya tidak berjualan dan fokus belajar lagi. Uang hasil penjualan saya simpan untuk bisa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.
Dari dua fragmen kehidupan yang saya alami bersama Bapak, mengantarkan saya kepada banyak pembelajaran. Profesi Bapak sebagai penjual majalah bekas membuat saya berada dalam ekosistem literasi yang teramat kental, menjadikan saya mencintai bahasa Indonesia, memberikan fondasi bagi saya untuk memasuki dunia pendidikan tinggi, mendapatkan pekerjaan yang mapan, mencintai dunia kepenulisan, dan sebagai penulis.
Selain itu, Bapak jualah yang membuat saya memiliki semangat juang tinggi untuk bisa bertahan hidup dalam setiap kondisi. Senada dengan kalimat yang saya tulis pada kotak asongan saya: “Pemburu Dolar, Tidak Ada Kesuksesan Tanpa Perjuangan.”
Berulang kali, setiap kereta api yang saya naiki dari atau menuju Jakarta dan melewati Stasiun Jatibarang, saya akan berdiri dan menuju pintu gerbong kereta api. Dari sana, saya memandang dengan leluasa Stasiun Jatibarang, bufet, peron, menara, dan secuil pemandangan singkat. Mengingat kembali masa lalu, Bapak, dan kenangan yang terselip di sudut-sudut kota.
Al-Fatihah buat Bapak.
*) Bufet adalah kios kecil yang berada di stasiun dekat peron satu. Kios itu semacam restoran kecil yang menjual makanan dan kopi, tentunya menjadi tempat tongkrongan favorit buat bapak-bapak. Di zaman itu, stasiun belumlah steril seperti sekarang ini. Orang bebas keluar masuk dan berlalu-lalang di sekitar peron.
***
Riza Almanfaluthi
Artikel di atas pertama kali ditulis dan dimuat dalam buku Ayah, the Light of My Life yang bisa dibaca secara gratis dan diunduh di sini: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi
Pemesanan buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi
