Shohibul Maks dan Pajak di Arab Saudi


Suatu ketika saya melihat akun Instagram @beasiswasaudi di lini masa. Salah satu konten yang mereka angkat adalah kedatangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyapa, berdiskusi, dan juga memberikan motivasi kepada mahasiswa Universitas Islam Madinah (UIM).

Dalam takarirnya, admin akun tersebut menyampaikan harapannya bahwa akan ada lulusan Timur Tengah yang tidak hanya menjadi dai, tetapi juga memiliki peran penting di kementerian-kementerian Republik Indonesia.

Salah satu warganet kemudian berkomentar demikian: “Disuruh melegalkan pajak?” Negara ini (Indonesia) bisa berjalan tanpa pajak. Pejabatnya (pejabat Indonesia) aja ga mau mikir usaha.”

Karena kunjungan ini memiliki konteks di Arab Saudi, maka komentar akun tersebut tentu bisa dikaitkan kepada para pejabat Arab Saudi yang dapat juga disebut sebagai pejabat yang tidak mau berpikir dan tidak mau berusaha. Mengapa demikian?

Karena Arab Saudi pun ternyata menerapkan pajak. Tidak hanya kepada orang nonmuslim dan warga negara asing, tetapi pajak juga diterapkan kepada warga Arab Saudi sendiri yang beragama Islam. Nah loh.

Yuk, cek faktanya bersama-sama.

Baca juga: Puluhan Testimoni Buku Sindrom Kursi Belakang

 

Ketentuan Umum

Pajak dikelola oleh Zatca (The General Authority of Zakat, Tax, and Customs). Ini DJP-nya Arab Saudi. Zatca memiliki situs web berbahasa Inggris yang bisa diklik di https://zatca.gov.sa/en/Pages/default.aspx.

Zatca dipimpin oleh seorang Gubernur. Pada saat ini Suhail Abanmi menjabat sebagai gubernur. Gubernur memimpin dewan gubernur Zatca (seperti BOD).

Zatca memiliki Komite Syariah yang diketuai oleh Dr. Abdullah bin Mohammed al-Mutlaq. Informasi yang diperoleh dari situs web Zatca, Abdullah adalah anggota Komite Ulama Senior di kerajaan dan mantan anggota Komite Tetap Penelitian dan Iftaa. Dia adalah penasihat istana kerajaan. Ia juga mengepalai Departemen Yurisprudensi Komparatif di Institut Tinggi Kehakiman.

Di Arab Saudi tidak ada pajak penghasilan (PPh) atas individu. Jika orang Arab Saudi memperoleh penghasilan hanya dari Arab Saudi, ia tidak akan dikenakan PPh. Namun, jika orang Arab Saudi mendapatkan penghasilan dari Arab Saudi dan dari luar Arab Saudi, penghasilan dari luar Arab Saudi itu akan dikenakan PPh oleh Zatca.

Orang bukan penduduk Arab Saudi atau WNA di Arab Saudi—tidak memandang agama, muslim atau bukan muslim—apabila memperoleh penghasilan di Arab Saudi akan dikenakan PPh melalui pemotongan pajak.

Ada pajak asuransi sosial yang dibayarkan setiap bulan sebesar 2% jika ia orang Arab Saudi dan majikan yang membayar semuanya. Sedangkan untuk pekerja nonsaudi dikenakan 21,5% dan dibayar oleh pekerja sebesar 9,75% dan pemberi kerja sebesar 11,75%. Ini mirip dengan BPJS di Indonesia.

Ada pajak atas pengalihan (penjualan) real estat dengan tarif sebesar 5%. Arab Saudi juga menerapkan PPN sejak 1 Januari 2018 dengan tarif 5% dan pada saat Covid-19, tepatnya 1 Juli 2020 malah tarifnya naik menjadi 15%.

Cukai juga dikenakan di Saudi sejak 11 Juni 2017. Objek cukai seperti tembakau kena tarif cukai sebesar 100%, minuman ringan 50%, dan minuman energi sebesar 100%. Ada Bea Masuk. Ada pajak dividen. Penduduk Arab Saudi yang menerima dividen akan dikenakan pajak dividen. Bisa dibebaskan dari pajak dividen dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Di Arab Saudi tidak ada pajak daerah, bea meterai, pajak transfer, pajak penjualan, omzet, pajak produksi, dan gaji.

Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang

 

Pajak Perusahaan

Perusahaan atau Badan Usaha Tetap akan dikenakan PPh. Jika perusahaan dimiliki oleh orang Arab Saudi dan orang Nonarab Saudi, maka bagian untuk Nonarab Saudi akan dikenakan PPh dan bagian untuk penduduk Arab Saudi akan dikenakan zakat.

Tarif PPh sebesar 20% dari laba bersih. Sedangkan tarif pemotongan PPh sebesar 5% sampai dengan 20%. Zakat akan dipungut sebesar 2,5%. Perusahaan penanaman modal asing di Arab Saudi akan dikenakan 20% dari penghasilan kena pajak.

Baca: Mengapa Dipergilirkan. Pasti Ada Maksud dan Tujuannya. Ulasan Buku Sindrom Kursi Belakang

 

Pajak Pertambahan Nilai

Semua barang/jasa kena pajak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN), kecuali:

  • Ekspor barang;
  • Layanan yang diberikan kepada penduduk non-GCC (Gulf Cooperation Council);
  • Jasa angkutan barang dan penumpang internasional;
  • Penyediaan sarana transportasi yang memenuhi syarat;
  • Obat-obatan yang memenuhi syarat dan barang kesehatan yang memenuhi syarat;
  • Pasokan pertama atau pasokan untuk investasi, logam berkualitas (emas, perak, atau platinum).

Baca: Sinopsis dan Deskripsi Buku Sindrom Kursi Belakang

 

Narasi di Media Sosial

Di media sosial berkembang narasi yang beredar luas tentang Arab Saudi yang tidak memungut pajak dan petugas pajak akan masuk neraka karena berdasarkan hadis “Shohibul Maks” itu.

Dalam kenyataannya membeli makanan di restoran Arab Saudi kena PPN. Membeli barang di minimarket atau supermarket di Arab Saudi kena PPN. Gambar struk makan di restoran yang dikenakan PPN (VAT) mudah ditemukan di Google. Pengenaan PPN di berbagai barang dan jasa di Arab Saudi ini tentunya memengaruhi ongkos naik haji dan umrah.

PPN merupakan pajak objektif dan pajak tidak langsung, tidak memandang muslim ataupun bukan, tidak memandang kaya ataupun miskin, tidak memandang adil atau tidak adil, pajak akan dikenakan, PPN akan dipungut.  Dengan adanya PPN ini, maka orang Islam di Arab Saudi dipungut pajak dalam bentuk PPN, tidak hanya zakat.

Jikalau menggunakan istilah gebyah uyah “Shohibul Maks” sebagai petugas pajak, maka Dewan Gubernur Zatca, komite syariah, dan seluruh petugas pajak Zatca bisa tergolong “Shohibul Maks” dan akan masuk neraka. Apakah memang seperti itu? Oleh karena itu, perlu diketahui, dipelajari, dan diteliti dulu persoalan “Shohibul Maks” yang seperti apa sehingga membuat petugas pajak masuk neraka. Zatca sendiri dalam bahasa Arabnya adalah Hay-atuz Zakaati Wadhariibati Waljamaariki. Lembaga ini menggunakan kata “Dhoriibah”, alih-alih “Maks”.

Kenaikan tarif PPN dari 5% menjadi 15% terjadi pada 2020. Tarif PPN 15% di Arab Saudi ini lebih tinggi daripada di Indonesia yang mengenakan tarif PPN sebesar 11%. Besar sekali yah. Sepanjang yang saya ketahui, bahkan sembako dikenakan PPN walaupun hanya dikenakan dengan tarif 5%. Di Indonesia tidak dikenakan.

Pengenaan PPN ini bertujuan untuk mengantisipasi keringnya kas kerajaan karena penjualan minyak yang turun sebagai imbas tidak adanya ruang mobilitas penduduk dunia pada saat lockdown di berbagai negara. Pembebanannya diterapkan kepada rakyat Arab Saudi dan Nonarab Saudi ketika mengonsumsi barang. Walaupun kaya minyak, tetapi kalau tidak ada yang membeli minyaknya, negara bisa kolaps juga.

Indonesia pernah mengandalkan penerimaan negara dari minyak dalam APBN di tahun 1981/1982. Pada saat itu penerimaan migas mencapai 70,6% dari total penerimaan negara di APBN. Ketergantungan pada minyak yang membahayakan karena harga minyak yang berfluktuasi dan cadangan minyak yang memiliki kemungkinan besar untuk habis membuat Indonesia meningkatkan sumber penerimaan negara lainnya seperti pajak.

Negara tetangga kita seperti Brunei Darussalam yang mengandalkan minyak untuk membiayai kerajaan terancam kolaps di tahun 2030 jika tidak bisa mendiversifikasi penerimaan negaranya. Bonanza minyak memang telah lewat masanya.

Semoga informasi ini bermanfaat.

Baca Prakata Buku Sindrom Kursi Belakang: Mesin Punya Chip, Manusia Punya Hati

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
9 Mei 2024

Sumber referensi

  1. Situs Web Zatca
  2. Situs Web PWC di taxsummaries.pwc.com
  3. Situs Web cleartax.com
  4. Situs web KPMG.com
  5. Gambar gedung Zatca berasal dari Arabnews.com

Memesan buku Sindrom Kursi Belakang dan Kita Bisa Menulis di tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

5 thoughts on “Shohibul Maks dan Pajak di Arab Saudi

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.