
Caturwulan pertama tahun 2023 menjadi masa penuh pembelajaran buat seluruh pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Terutama tentang bagaimana cara terbaik berinteraksi di dunia maya dan mengelola media sosial individu.
Pada saat ini pun dunia maya menjadi tempat yang tepat untuk mengelola penjenamaan pribadi (personal branding). Ini karena jangkauannya secara global. Pengguna media sosial dapat berbagi pengalaman, konten, pemikiran kepada seluruh penduduk dunia tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Selain itu karena didukung kemajuan teknologi dan kecepatan internet, pengguna media sosial dapat berbagi konten dengan mudah. Ditambah adanya interaksi secara intens antarpengguna, membuat dunia maya seperti tidak ada sekat yang membatasi interaksi antarpengguna di belahan dunia mana pun. Kendala bahasa dan budaya teratasi.
Poin lebihnya lagi adalah teknologi menyediakan data statistik interaksi di setiap platform media sosial sehingga dengan mudah pengguna media sosial dapat menganalisis dan mengevaluasi kelebihan dan kekurangan interaksinya di dunia maya tersebut.
Baca: Buku Sindrom Kursi Belakang Ini Tentang Apa?
Konsekuensi
Namun, sebelum lebih intens dalam mengelola penjenamaan pribadi di dunia maya, para pengguna media sosial, terutama Aparatur Sipil Negara Direktorat Jenderal Pajak (ASN DJP) yang dipagari dengan kode etik dan kode perilaku pegawai PNS, harus memahami satu hal bahwa interaksi di dunia maya adalah interaksi antarmanusia.
Ada konsekuensi yang melekat yang memengaruhi reputasi dan kewibawaan institusi maupun pribadi ataupun konsekuensi dalam bentuk respons yang tidak bisa dikendalikan seperti hujatan dan caci-maki seberapa pun positifnya konten yang dibagi.
Untuk itu, dalam berinteraksi di dunia maya, ada hal-hal yang patut diingat. Surat Edaran Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor SE-16/MK.01/2018 tentang Panduan Aktivitas dan Penggunaan Media Sosial bagi Pegawai Kementerian Keuangan menegaskan hal itu. Antara lain sebagai berikut.
Berinteraksi di media sosial berarti meninggalkan jejak digital yang tidak bisa dihapus dan bisa diungkap kapan saja. Identitas digital pun demikian adanya. Identitas pengguna akun tersebut dapat dilacak oleh siapa pun bahkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan doxing.
Doxing adalah tindakan melacak dan mengungkap informasi pribadi seseorang tanpa izin. Ini adalah pelanggaran privasi yang serius dan dapat menyebabkan konsekuensi hukum. Untuk menghindari kemungkinan di-doxing tersebut pastikan untuk tidak mengunggah data-data dan foto-foto yang bersifat pribadi atau berlebihan dalam mengunggah konten bernuansa privat.
Baca: Kata Pengantar Buku Sindrom Kursi Belakang, Buah dari Surga Kecil
Selain jejak digital, para ASN DJP hendaknya mengecek secara berkala akun media sosialnya supaya tidak disalahgunakan. Oleh karena itu, apabila akun media sosial tidak dipergunakan dalam jangka waktu lama, lebih baik menonaktifkannya untuk sementara waktu.
Selain itu, ada asumsi yang mesti dipegang teguh: apa yang telah diposkan walaupun secara pribadi, itu berarti akan diketahui oleh orang banyak. Ada rumusnya: “Upload=Everyone Can See”. Dengan itu, ASN DJP perlu sekali untuk berhati-hati agar tidak mengeposkan sesuatu yang sangat sensitif.
Kehati-hatian itu secara konkret dapat diwujudkan dalam bentuk seperti ini. Memastikan bahwa konten yang akan dibuat dan dibagi adalah konten yang bermanfaat. Ada takarir (caption) yang tepat untuk setiap foto yang bagi. Informasi yang dibagi adalah informasi yang benar, dapat dipertanggungjawabkan, dan berasal dari sumber yang jelas. Tidak ada informasi kebijakan yang dibagi yang sifatnya rahasia. Bahasa yang digunakan pun dengan diksi yang sopan.
Peristiwa pada akhir Maret 2023 menjadi pengingat. Saat itu ada cuitan ASN di Twitter yang tidak menggunakan bahasa yang sopan. Cuitan tersebut seperti ini: “Sebelum lo ngetwit mending belajar dlu deh ketentuan impor itu gimana. Klo skrg kan jadinya lo b**** tapi minim literasi peraturan.” Respons warganet saat itu bisa ditebak. Hujatan dan makian bertubi-tubi datang.
Baca juga: Review Buku Sindrom Kursi Belakang, Tak Setetes Pun Air Mata
Prinsip Bermedia Sosial
Oleh karena itu, jika lima hal ini sudah dipastikan, ASN DJP dapat mengeposkan konten tersebut. Sembari memegang prinsip bermedia sosial yang paling pas di kondisi saat ini ketika ASN DJP mengeposkan konten atau menerima respons warganet.
Menjadi diri sendiri adalah prinsip yang harus dimiliki. Dengan itu ada kepribadian asli yang muncul, jujur, tidak dipenuhi dengan kepura-puraan, dan tidak fear of missing out (FOMO). FOMO ini adalah perasaan takut tertinggal dari tren yang ada. Secara alami, warganet akan merasakan hal itu dan menguatkan interaksinya.
Selain itu, ASN DJP harus bisa menahan diri berkomentar jika di luar kepakarannya. Kita harus mengakui realitas bahwa kita tidak bisa mengetahui segalanya. Selanjutnya, kalau ternyata ada kesalahan, entah dalam mengeposkan konten atau menanggapi respons warganet, ASN DJP tak segan-segan untuk meminta maaf. Ini menunjukkan kerendahhatian. Warganet akan menerima sikap positif tersebut dengan lapang dada.
Baca: Memesan Buku Sindrom Kursi Belakang di Sini
Kalau ada yang ramai di media sosial, ASN DJP harus bisa menahan diri sambil mencari informasi secara objektif. Tidak juga terburu-buru menanggapi, merespons, atau membalas komentar. Ingat prinsip sebelumnya: tidak berkomentar di luar kepakaran. Maka diam saja—kalau tidak mengetahui harus berkomentar apa—menjadi prinsip terbaik.
Prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh oleh ASN DJP ini selaras dengan etika digital yang telah dibuat oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kementerian tersebut memiliki peta jalan Literasi Digital 2020-2024. Peta jalan itu sebagai modal untuk membuat kurikulum Program Gerakan Nasional Literasi Digital Indonesia 2020-2024.
Dalam program tersebut ada empat pilar digital, yaitu kecakapan digital (digital skill), etika digital (digital ethics), keamanan digital (digital safety), dan budaya digital (digital culture). Empat pilar tersebut memiliki 30 indikator dan kalau diselisik lebih lanjut mirip dengan etika dan prinsip-prinsip di atas.
Sebagai contoh adalah tujuh indikator pada etika digital sebagai berikut. (1) Saya tidak mengunggah foto bersama anak orang lain; (2) Saya tidak menandai teman saat mengunggah konten tanpa perlu memberi tahu teman saya tersebut; (3) Saya tidak akan berkomentar kasar jika ada orang yang komentar negatif di unggahan saya; (4) Saya tidak membuat grup dan menambahkan orang tanpa izin; (5) Saya tidak akan langsung membagikan informasi kecelakaan; (6) Saya tidak akan mengajak orang-orang untuk berkomentar negatif; dan (7) Saya tidak akan membagikan tangkapan layar percakapan ke media sosial.
Ketika ASN DJP sebagai bagian dari jutaan ASN Indonesia memenuhi indikator-indikator itu, kita meyakini Indeks Literasi Digital Indonesia akan meningkat dari tahun ke tahun.
***
Riza Almanfaluthi
Artikel ini ditulis untuk majalah internal DJP INTAX Edisi Tiga Tahun 2023.
Gambar dari maxcommunications.com
Pemesanan buku Sindrom Kursi Belakang bisa dengan mengeklik: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi