CERAIKAN SAJA AKU…!!!


CERAIKAN SAJA AKU…!!!

Ada hal yang sangat menggembirakan bagi saya hari-hari ini, yakni kegembiraan mendengar dan membaca berita tentang adanya pemberlakuan secara efektif larangan merokok di tempat yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Dilarang Merokok (KDM) pada hari Kamis kemarin (06/04).
Dari berita yang saya dapat bahwa menurut pasal 13 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PPU), ada lima areal publik yang dikategorikan bebas asap rokok. Artinya, tidak ada seorang pun boleh kebal-kebul di kawasan itu, baik di ruangannya atau pun di tempat terbukanya, misalnya di halaman atau lahan parkir. Tidak ada smoking area di lima tempat ini. (detik.com/06/04)
Salah satunya adalah tempat publik berupa tempat kerja atau kantor swasta dan pemerintah, di mana pengelola tempat publik tersebut harus menyediakan suatu tempat khusus bagi perokok.
Pelarangan merokok di tempat publik berupa tempat kerja atau kantor pemerintah inilah yang membuat saya bergembira. Tanya kenapa? Soalnya walaupun baru berlaku efektif kemarin—dengan adanya penindakan tegas terhadap yang melanggarnya—namun di tempat saya sudah berlaku efektif jauh-jauh hari sejak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI mensyahkan perda tersebut. Tentunya karena mendengar adanya sanksi berat berupa denda maksimal Rp50 juta.
Di tempat saya bekerja terutama di seksi di mana saya berada, dari sepuluh orang pegawai—dimana di dalamnya ada dua wanita—ada 40% pegawainya yang merokok. Maka bisa dibayangkan bukan jika mereka bersama-sama merokok apalagi pada jam-jam istirahat, asapnya berhamburan kemana. Dan dikarenakan ruangannya berpendingin maka jelas ruangan tersebut tertutup rapat sehingga asapnya pun tidak kemana-mana. Belum lagi kalau ada teman-teman sesama perokok yang ikut nimbrung mengobrol.
Yang dirugikan otomatis adalah perokok pasif seperti saya ini. Perlu diketahui perokok pasif adalah orang yang tidak merokok namun menghirup gas buangan dari rokok yang dihisap oleh si perokok. Bahkan berdasarkan penelitian lama disebutkan resiko terburuk dan terbesar diderita oleh perokok pasif bukan perokok aktif tersebut. Mulai dari kanker paru-paru, kelainan jantung, dan impotensinya itu loh…
Saya jelas tidak bisa menegur, pertama karena tidak enak saja. Tapi ada kok teman wanita yang keras kalau dalam masalah ini, ia langsung menegur pada orang yang merokok di dalam ruangan. Hebat euy…
Yang kedua karena ketika sudah saya tegur, eh malah saya yang kena damprat. Kalau sudah begitu, saya bisanya cuma diam saja. Sambil kadang menggerutu dan berkata dalam hati: “Awas loh entar di akhirat nanti, saya minta pertanggungjawaban ente-ente pade.” Sadis nian…
Dengan berjalannya waktu dan dengan pernafasan yang tercemar dengan asap rokok, serta kesabaran yang tiada habis-habisnya, akhirnya keluar juga peraturan yang melarang merokok di tempat umum tersebut. Saya menyambut gembira peraturan ini.
Efeknya memang tidak langsung dapat dirasakan. Karena kebanyakan ketika teman-teman di sini ditakut-takuti dengan ancaman hukuman itu, mereka malah ngelunjak dan malah balik bertanya: “memang kantor sudah menyediakan tempat untuk kami. Inikan hak asasi kami juga?” Wah…wah…
Tapi lama-kelamaan, sepertinya mereka merasa tidak enak juga karena setiap hari diberitakan dengan gencarnya di media massa ataupun media elektronik tentang sosialisasi yang dilakukan pemprov terhadap para perokok di tempat publik. Akhirnya dengan kesadaran sendiri mereka mengalah dan mencari tempat merokok yang aman dari gangguan—minimal cemberutan—teman-teman yang tidak merokok.
Tempatnya sekarang adalah ruangan dapur berukuran 2 x 1,5 meter, yang dipintunya ditempel secarik kertas bertuliskan:

SMOKING AREA
Kapasitas Terbatas: 3 Orang
Antri……….Bozzzzzzz
—No Drugs—

Tapi kapasitas maksimal itu tidak bisa ditaati oleh mereka, karena sudah kebelet dan mulut sudah terasa asamnya, lima orang dalam ruangan sempit seperti itu sepertinya tidak jadi masalah. Biarlah, yang rugikan mereka sendiri…
Sebenarnya secara tidak langsung adanya peraturan ini untuk mengurangi masyarakat akan ketergantungan terhadap rokok. Karena dengan tidak bebas lagi merokok dan mencari tempat untuk merokok pun susah, masyarakat lama kelamaan akan mengurangi jatah merokok dalam seharinya.
Karena hal ini pernah dirasakan oleh saya, maka saya menyadari susah memang untuk berhenti merokok kecuali dengan adanya tekad yang kuat dan adanya teman-teman yang mendukung usaha itu.
Tapi sudah hampir dua belas tahun saya enjoy dan menikmati sekali hidup tanpa rokok di mulut, menikmati sekali bangun pagi tanpa merasakan tenggorokan sakit, mulut asam sehabis makan, hidup sumpek dan masih banyak lagi kenikmatan-kenikmatan yang lain. (Untuk lebih jelasnya tentang proses kreatif saya berhenti dari merokok, baca: Berhenti Merokok itu Gampang di http://10.9.4.215/blog/dedaunan/13743 ).
Kerinduan itu pasti ada, tapi sewaktu di awal memulai perjuangan untuk tidak merokok. Sekarang kerinduan itu tidak ada lagi, bahkan hawa kebencian saja adanya. Tapi sering kugoda Qaulan Sadiida, “Ummu Maulvi, bagaimanakah jikalau jiwa merana ini kembali untuk merasakan kenikmatan semu duniawi. Berenang di lautan api dan pelangi asap yang melangit ke angkasa dengan indahnya?”
Apa coba jawabnya: “Ya Abu Muhammad, jikalau jiwa merana yang engkau miliki berhasrat untuk menikmati debu api neraka seperti itu lagi, maka ceraikan saja aku…”sambil cemberut dan melengos. Weks….Kagak kuat…Mantap nian ketegasan untuk tidak kembali kepada keburukan. Itulah ia.
By the way, saya perlu mengucapkan terimakasih kepada Anggota DPRD DKI Jaya dan Pemprov DKI yang telah mengeluarkan peraturan daerah yang sangat bermanfaat sekali bagi kesehatan masyarakat banyak dan juga sebagai modal pembentukan bangsa yang sehat dan kuat ke depan.
Sekarang, Alhamdulillah ruangan saya bersih dari asap rokok. Pagi terasa nikmatnya dengan udara segar, siangnya pun tidak terasa semakin panas dan pengap. Di saat kerja pun tiada lagi gangguan asap dari teman-teman yang merokok yang mampir di meja saya.. Semoga saya bisa merasakan nikmatnya udara segar ini selamanya.

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
di saat pagi indah dengan cerahnya sinar mentari pagi
09:29 07 April 2006

BERHENTI MEROKOK ITU GAMPANG


16.01. 2006 – BERHENTI MEROKOK ITU GAMPANG

Ini merupakan pengalaman pribadi tentang kebiasaan merokok yang mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua. Semoga pengungkapan ini bukanlah pengungkapan aib yang telah ditutupi oleh Allah, tapi sekali lagi hanya sekadar berbagi pengalaman yang pernah saya alami pada zaman dahulu kala (zaman tatkala masih ada T-Rex dan Kingkong. Alah,…ini cuma guyon).

Seingat saya pertama kali merokok adalah pada saat saya duduk di kelas lima SD. Itu pun hanya sekadar ikut-ikutan teman, dan rokoknya pun hanya kertas buku yang digulung menjadi lintingan kemudian diisap. Itu saja.

Lalu tidak lama, gulungan kertas itu berganti menjadi klobot yang diisi dengan tembakau. Ini pun hanya sesekali saja. Menginjak SMP, karena bergaul dengan banyak teman dan karena bisa mencari duit sendiri dengan berjualan asongan rokok di Jalur Kereta Haurgeulis – Cirebon , serta didukung kehidupan kereta yang amat keras, serta pergaulan dengan para pecandu rokok maka kebiasaan merokok semakin menjadi dan merasa telah kecanduan ketika kelas tiga SMP.
Apalagi setelah SMA, di mana saya harus hidup berpisah dengan orang tua dan mulai kost di tempat bibi saya, di barat Cirebon. Merokok pun menjadi kebiasaan yang tak bisa dilepaskan lagi pada setiap harinya. Tiada hari tanpa asap rokok di kamar kost. Habis makan merokok, belajar matematika pun sambil merokok, jalan-jalan sambil merokok. Nonton bioskop tak nyaman kalau tanpa merokok (maklum bioskopnya masih berbangku kayu). Pokoknya hidup rokok.

Yang paling aneh adalah kebiasaan berganti rokok. Karena saya adalah anak kost yang diberi uang setiap minggunya, maka kalau hari senin adalah hari yang paling teristimewa. Sebabnya pada hari itu saya bisa merokok Djisamsoe, rokok paling mahal pada saat itu.

Tapi semakin lama semakin habis uangnya, maka hari sabtu adalah hari yang paling merana, karena pada hari itu saya benar-benar hanya sanggup membeli rokok yang harganya Rp50,- satu batang. Itu pun dihisap berdua dengan adik saya yang sekamar dengan saya dan sudah kecanduan pula.
Biasanya kalau saya tak punya uang, saya utang dulu pada adik saya, namun pas saat itu adik saya pun kehabisan duit, maka terpaksa rokok itu dihisap berdua sehabis makan siang. Merana banget. Pokoknya sampai saat itu masih ada motto: hidup rokok…..!Tiada hari tanpa rokok.

Oh ya, saya akan sedikit menggambarkan lingkungan di tempat kost karena berhubungan erat dengan masalah rokok ini. Tempat bibi saya ini termasuk dalam lingkungan yang dekat dengan pesantren. Di musholla dekat rumah bibi selalu ada pengajaran baca Al-quran setiap hari ba’da sholat maghrib. Ini khusus untuk anak laki-laki dan dikelola oleh anaknya yang sudah hafidz 30 juz. Setelah sholat Isya lalu ada pengajian kitab kuning yang diajar oleh paman saya. Lalu ba’da shubuh pengajaran baca Al-quran khusus untuk anak perempuan.
Dengan sistem pengajian baca Al-Qur’an disana, saya harus mulai menghafal dari al-fatihah sampai benar-benar fasih (inipun hampir memakan satu bulan lamanya) kemudian diteruskan sampai surat AnNaba. Dari surat itu harus balik lagi sampai ke surat Al-Fatihah. Lalu diadakan khataman, yang lulus baru boleh baca kitab Al-Qur’an yang besar itu mulai dari juz pertama.
Saya tak sanggup untuk mengkhatamkan hafalan juz 30 selama tiga tahun itu. Saya hanya bisa sampai ke surat Annaba dan tak bisa balik lagi. Selain saya fokus hanya untuk belajar di sekolah—yang menyebabkan saya selalu disindir oleh paman karena mementingkan belajar dunia saja—saya juga terlena oleh kehidupan remaja yang walaupun amat ketat penjagaan dari bibiku, namun bisa juga dirasakan oleh saya.

Di tahun 1994, di tahun kelulusan itu saya sempat bingung mau melanjutkan kemana? Sedangkan proposal PMDK ke IPB tidak ditandatangani oleh orang tua. Padahal kata kakak kelas yang di IPB, dilihat dari nilainya Insya Alloh saya pasti lulus PMDK. Dengan alasan tak sanggup membiayai kuliah di sana.
Akhirnya kebingungan menyeruak, kemana lagi saya harus belajar. Sampai suatu ketika teman-teman mengajak saya untuk ikut pendaftaran di STAN. Kalau tidak salah bersepuluh kami mendaftar ke Jakarta.
Sampai di sana disodori pilihan spesialisasi apa yang dikehendaki. Teman-teman memilih pajak. Saya pun ikut-ikutan memilih spesialisasi itu. Yang terbersit dari hati yang paling dalam, sebenarnya saya ingin masuk ke spesialisasi Bea Cukai (BC), namun dari syarat yang harus dipenuhi untuk diterima di sana, saya harus mundur, karena tinggi badan yang kurang memenuhi pada saat itu.
Kenapa dulu saya ingin memilih spesialisasi yang cocok untuk laki-laki ini? Karena saya berpikir selain gagah dengan seragamnya juga kalau saya jadi petugas BC maka saya setidaknya dapat satu televisi selundupan untuk saya miliki dari pada dibakar (pada saat itu saya sering melihat di televisi bibi saya, banyak barang selundupan di bakar oleh kepolisian dan petugas BC). Maklum sejak SD hingga SMA saya terobsesi untuk memiliki televisi, orang tua saya tak sanggup membeli kotak ajaib itu (Saat ini kalau terlintas kembali niat dan pilihan itu, saya cuma bisa istighfar).

Setelah mendaftar itu ada sedikit kesadaran timbul, bahwa saya harus berhenti dari merokok atau setidaknya sampai saya benar-benar diterima di STAN. Karena saya takut ditolak pada saat pendaftaran ulang—padahal belum pasti saya itu bisa lulus atau tidak dari ujian STAN, soalnya dalam pendaftaran ulang itu saya harus membawa rekomendasi dari dokter bahwa paru-paru saya sehat. Sehingga saya berusaha mengurangi rokok dan selalu minum soda susu yang katanya bisa menghilangkan flek hitam di paru-paru pada saat di rontgen.

Sampai ujian masuk STAN diselenggarakan di Senayan saya tetap bertahan untuk tidak merokok. Awalnya saya gemetaran dan bibir terasa asam sekali. Saya kelimpungan dan untuk mengatasi kerinduan pada rokok itu saya beli rokok hanya untuk diciumi aromanya saja. Untuk saat itu saya sudah cukup puas.

Lalu pengumuman STAN pun tiba. Dengan doa orang tua yang tak pernah mengenal kata putus akhirnya saya diterima. Dari kesepuluh orang yang ikut mendaftar hanya berdua saja dari sekolah kami diterima di STAN. Saya di terima di spesialisasi pajak sedangkan teman saya di spesialisasi lelang.

Saya bersama bapak saya mencari tempat kost dan akhirnya saya mendapatkannya di tempat Haji Sanian, di samping Mushola al-Barkah. Saya sudah hampir dua bulan lamanya tidak merokok. Ternyata teman-teman kost saya juga tidak ada yang merokok.
Sampai suatu hari, kakak kelas mengajak saya untuk ikut pengajiannya. Di sana saya mendapatkan sesuatu yang berbeda. Mendapatkan pencerahan dalam pemahaman keIslaman. Dan mengetahui mana yang seharusnya ditinggalkan seorang muslim. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayahnya kepada saya. Dan saya berharapa semoga IA selalu menetapkan hidayah itu sampai akhir hayat saya.

Akhirnya dengan pemahaman dan semangat keIslaman yang menggelora di qolbu, serta rasa malu saya kepada teman-teman sepengajian maka akhirnya saya bertekad untuk meninggalkan rokok selama-lamanya. Azzam yang kuat.

Setahun setelah itu, adik saya diterima juga di STAN spesialisasi akuntansi. Adik saya pun diajak untuk ikut pengajian yang saya ikuti. Ia yang semula kecanduan akhirnya bisa meninggalkan rokok untuk selama-lamanya. Saat ini ia bekerja di BPKP Padang dan tetap tidak merokok.

Sekarang tahun 2006, hampir dua belas tahun lamanya saya meninggalkan dunia rokok. Zaman dahulu kala, rokok adalah hidup mati saya. Saya lebih baik kelaparan daripada tidak merokok. Kalaupun saya terdampar di padang pasir luas dan harus memilih antara satu bungkus cigarillos dengan seteguk air, tetap saya memilih yang pertama. Tapi sekarang NO WAY untuk rokok. Slogan dulu: hidup rokok! telah berganti dengan: MATI ROKOK…..!!!! Sekarang mencium baunya saja, sudah menyesakkan dada.

So, meninggalkan kebiasaan dan kecanduan merokok itu mudah. Gampang. Bagaimana caranya? Inilah cara saya:
1. AZZAM (tekad), sekali lagi harus mempunyai AZZAM yang kuat;
2. Lingkungan yang mendukung tanpa rokok artinya jangan mendekati atau berteman dengan para perokok;
3. Harus punya rasa malu. Malu dong masa aktivis (kepada mereka yang mau jadi aktivis) merokok?;
4. Camkan ke dalam hati yang paling dalam bahwa rokok itu adalah awal dari gejala penyalahgunaan psikotropika;
5. Pasti ingat bahwa rokok itu penyebab kanker, penyakit jantung, impoten, keguguran, kerusakan pada janin?;
6. Jangan lupa berdoa.

Kalau saya bisa, mengapa anda tidak?
riza almanfaluthi, saat diajak teman untuk mengenang masa lalu
2003
Diedit 09:15 14 Januari 2006