Sesaat dengan Pesona Jepang


sesaat dengan pesona Jepang

Setelah selama dua pekan dibombardir dengan Azumi, Azumi 2: Death or Love, Zaitoichi, Zaitoichi 2, maka pengelanaan saya tiba di media cetak berupa buku. Dari Tales of the Otori, Perang Pasifik, hingga Musashi. Entahlah, tiba-tiba saya tertarik untuk mengenal lebih dalam tentang budaya Jepang, tentang kekaisaran Jepang, dan tentang para shogunnya.
Saya terpesona dengan efisiennya gerakan pedang mereka yang hanya satu dua kali gerakan sudah dapat menjatuhkan lawan. Saya terpesona dengan kegigihan mereka di setiap medan peperangan di Perang Dunia II. Saya terpesona dengan adat istiadat yang amat melekat dalam diri setiap orang Jepang. Dan saya terpesona dengan kepatuhan istri seorang ronin yang selalu mengikuti dari belakang kemana suaminya pergi.
Keterpesonaan saya ini seperti keterpesonaan saya terhadap budaya cina saat saya membaca banyak cerita silat Kho Ping Ho. Dulu, dulu sekali. Saat umur saya baru belasan tahun. Saat saya masih duduk di bangku SMP. Dengan keterpesonaan itu saya membayangkan dapat pergi ke Cina hanya untuk mendapatkan ilmu kanuragan (sinkang) dan ilmu meringankan tubuh (ginkang) yang hebat. Atau berkelana dari gua-gua di seantero Cina hanya untuk mendapatkan seorang guru yang mengajarkan semua ilmu itu kepada saya. Dulu, dulu sekali.
Keterpesonaan yang sama pun terjadi ketika saya mempelajari puncak kejayaan para khilafah Islam. Keterpesonaan yang mengakibatkan saya membayangkan jika bisa kembali ke masa lampau untuk bisa ikut dalam ekspedisi Klalid bin Walid ke Yarmuk, atau ekspedisi Sa’ad bin Abi Waqqash ke Persia. Atau ekspedisi penaklukan Yerussalem oleh Salahuddin Al-Ayyubi, atau penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih. Pun keterpesonaan pada indahnya istana-istana Damaskus, Baghdad, Cordova, dan Granada.
Kembali kepada keterpesonaan saya terhadap budaya Jepang, saya sampai berpikir dengan efisiennya gerakan pedang mereka. Bahwa untuk menjatuhkan lawan tak perlu banyak gerakan dan jurus seperti apa yang diperlihatkan film-film Cina. Apakah ini merupakan inkarnasi budaya Jepang masa lalu yang tercermin dalam kehidupan masyarakat Jepang kini? Sehingga dengan keefisienan itu, kita melihat betapa maju dan moderennya Jepang saat ini setelah Perang Dunia yang menghancurluluhkan Jepang.
Namun dari empat film yang saya tonton itu, semuanya mempertontonkan kekerasan, warna merah darah, yang muncrat, yang mengalir deras dari leher, jiwa-jiwa dengan harga murah, dan sadistis. Pertanyaannya adalah inikah pula cerminan dari jiwa-jiwa masyakarat Jepang saat ini? Sakit dan sekali lagi sadis?
Pada masalah sadistis, sebenarnya bukan hal yang baru. Dan dapat dicari fakta-faktanya pada masa penjajahan Jepang di bumi Indonesia. Tak usah jauh-jauh, Kakek saya di Jatibarang, Indramayu disiksa dengan kaki yang terikat pada tali timba sumur lalu diceburkan dan ditarik kembali, demikian dilakukan berulang kali hingga beliau meninggal. Lalu hartanya pun dirampas. Fakta lainnya adalah wanita-wanita jajahan yang dijadikan sebagai geisha pemuas nafsu para prajuritnya. Dan masih banyak sadisme yang dipertontonkan Jepang tidak hanya di Indonesia tapi pada semua daerah jajahannya. Seperti di Philipina, Cina, Korea, Burma, dan lain-lainnya.
Lalu keterpesonaan apa pula hingga saya membandingkan kekaguman dengan rasa jijik atas sadisme itu? Ya, keterpesonaan yang sesaat. Sesaat karena pekan-pekan ini saya dihujani dengan budaya itu. Maka saya akan melupakannya jika saya membombardir otak saya dengan bacaan dan tontonan yang lain. Akan selalu terpesona kembali dengan yang baru.

dedaunan di ranting cemara
di antara ala kadarnya saja
10:35 16 September 2005

Kisah Klan Otori


Kisah Klan Otori
Across The Nightingale Floor

Tomasu menyaksikan bekas-bekas pembantaian terhadap penduduk desa Hidden yang dilakukan Iida Sadamu, pimpinan klan Tohan pemenang pertempuran Yaegahara sepuluh tahun yang lalu atas gabungan klan Otori, Maruyama, Shirakawa.
Namun ia diketahui oleh anak buah Iida dan dikejar ke hutan, hingga diselamatkan oleh Lord Otori Shigeru, pewaris sah klan Otori yang dalam perjanjian dengan klan Tohan, ia tidak boleh menjadi pemimpin klan, oleh karenanya saat ini, pimpinan dipegang paman-pamannya.
Tomasu pun diangkat anak oleh Lord Shigeru dan namanya berganti menjadi Otori Takeo yang mempunyai hak sebagai pewaris kelak. Di Hagi, ibukota klan Otori, ia dididik Muto Kenji—teman Shigeru dan seorang Tribe—berlatih pedang, baca tulis, dan melukis. Dari sanalah ia mengetahui bahwa dirinya pun adalah keturunan Tribe—sebuah kelompok diluar klan yang mempunyai keistimewaan hebat. Ia pun mempunyai kehebatan berupa pendengaran yang peka sehingga dapat mengetahui bunyi-bunyian dan pembicaraan orang dari jarak jauh.
Suatu saat Iida Sadamu menghendaki Lord Shigeru untuk menikah dengan Lady Kaede, putri Lord Shirakawa. Iida Sadamu pun melamar Lady Maruyama Naomi, sepupu Lady Kaede dan pimpinan klan Maruyama. Padahal secara diam-diam antara Lord Shigeru dengan Lady Maruyama telah terjalin hubungan yang membuahkan janin.
Untuk itu Iida sadamu memanggil mereka datang ke kastilnya di Inuyama. Di kastil itulah Iida membuat sebuah bangunan berlantai khusus untuk dirinya. Jika ada orang yang melangkah di atasnya maka lantai itu akan berbunyi, sehingga dinamakan the nightingale floor. Sehingga Iida pun akan merasa aman dari serangan mendadak. Yang tak diketahui Iida pada saat itu telah direncanakan sebuah upaya pembunuhan dirinya oleh Shigeru dan Kenji.
Namun rencana itu gagal total oleh adanya pengkhianatan, dan Iida Sadamu tetap terbunuh bukan oleh mereka, tapi oleh seorang Kaede yang dipaksa untuk melayani nafsunya.

****
Membaca buku pertama dari trilogi Klan Otori yang ditulis oleh Lian Hearn, membawa kita pada pengenalan bermacam-macam klan sebagai budaya masa lampau Jepang. Walaupun ini fiktif setidaknya—ini pun diakui oleh penulisnya sendiri—ada penggambaran yang nyaris dan sempurna mendekati kebenaran fakta sejarah Jepang, seperti tokoh Sesshu, seniman dari klan Sesshu, yang dalam novel pertama ini tak ada peran sama sekali.
Penggambaran karakter tokoh seperti Otori Takeo cukup mendalam. Namun tidak pada Lord Shigeru yang di awal novel ini digambarkan cukup berkarakter dan mumpuni untuk menebas dengan sekejap kepala dan tangan para pengejar Tomasu. Anda harus gigit jari kalau berharap terjadi pertempuran ala samurai antara Lord Shigeru dan Iida. Lord Shigeru digambarkan begitu lemah di akhir-akhir cerita.
Ada yang tidak sesuai pada apa yang ditulis di kaver belakang dan situsnya (www.penerbitmatahari.com) dengan isi dalam novel ini. Kalau Anda baca maka akan temukan paragraph seperti ini:

Iida Sadamu, seorang bangsawan kejam, memandang nightingale floor miliknya di Kastil Inuyama. Lantai ini akan berbunyi bila ada yang melangkah di atasnya. Namun, ada seorang anak bernama Takeo yang mampu melangkah di atas lantai itu tanpa berbunyi.

Di dalamnya tak ada penggambaran bahwa Takeo dapat melalui lantai itu tanpa berbunyi, walaupun sebelum berangkat ke Inuyama ia telah belajar mengatasinya. Yang ada adalah ia berjalan dengan tergesa untuk segera ke kamar Iida, sehingga membuat lantai itu berbunyi. Ini yang menyebabkan Abe, pengawal Iida, tetap mengetahui kedatangannya dan bertarung dengan Takeo. Entah, ini sekadar pemanis kaver atau kecerobohan.
Saya berpikir sama dengan pemberian judul novel ini, karena masalah lantai tidak sebagai focus utama dan hanya beberapa paragraph saja untuk penggambarannya. Tidak ada sisi-sisi istimewa dari lantai itu selain hanya sekadar penyaman tidur Iida. Tidak ada pengisahan yang kuat.
Namun saya memuji disain kaver dengan merah yang mendominasi itu, yang menurut saya “wah”, elegan, dan menarik minat. Penerbit memahami betul salah satu jurus pemasaran ampuh ini. Bungkus menjadi daya pikat nomor satu dan setelahnya baru isi. Tak lupa endorsement memukau dari banyak pihak.
Sebagai sebuah novel yang mendapatkan begitu banyak penghargaan internasional, bagi saya novel ini biasa-biasa saja. Tidak membawa kesan yang cukup mendalam. Entah pada novel yang kedua dan ketiganya. Saya hanya berharap apa yang didapat dari trilogy ini adalah sama seperti saat saya membaca trilogy The Lord of The Ring. Tapi bagi Anda yang membutuhkan bacaan ringan untuk akhir pekan sembari mempelajari salah satu budaya dunia, novel ini cukup layak untuk Anda baca.

dedaunan di ranting cemara
di antara Jenderal Hideki Tojo dan Laksamana Isoruku Yamamoto
09:28 13 September 2005