Suatu malam, ketika saya berada di atas motor ojek daring dalam perjalanan ke rumah, di jembatan layang di atas Pasar Loak Kebayoran, saya mendapatkan panggilan telepon yang tak bisa ditampik. “Saya kirim rekaman saya. Coba cek,” katanya.
Tiga puluh menit kemudian, setibanya di rumah, saya langsung membuka laptop, membuka Web WhatsApp, dan mengunduh fail rekaman itu. Saya mendengarkannya sampai selesai.
Pengirim rekaman ini sebenarnya sedang berada di dua tahap awal dari sebuah teknik penulisan yang akan saya sampaikan kali ini.
Salah satu kesulitan yang biasa dialami oleh banyak orang adalah menuangkan apa yang ada di dalam pikiran ke dalam bentuk tulisan. Sebenarnya ini mudah sekali.
Beberapa di antaranya dengan cara menceritakan apa yang ingin ditulis dengan merekamnya terlebih dahulu. Seolah-olah kita sedang bercerita kepada orang lain. Setelah itu, kita transkripsikan, lalu kita sunting.
Di zaman sekarang, alat untuk melakukan itu gampang ditemukan di internet. Bahkan gratis sama sekali. Tentunya setelah melalui penyuntingan ketat, kita bisa memublikasikannya.
Ini dilakukan oleh banyak penulis dunia. Saya menyebutkan beberapa di antaranya.
Pembaca tentu pernah mendengar nama Ernest Hemingway, peraih Nobel Sastra pada 1954 untuk novelnya yang berjudul “The Old Man and the Sea”. Hemingway sering mengucapkan kalimat keras-keras untuk menguji kejelasan dan kekuatannya. Ia percaya kalau sebuah kalimat tidak terdengar alami saat diucapkan, kalimat itu pun tidak akan berfungsi baik di tulisan.
Ada lagi Stephen King, penulis yang dikenal dengan genre horor. Dalam bukunya yang berjudul On Writing: A Memoir of the Craft (2000), King menekankan pentingnya “menulis seperti kamu bicara”.
Pertanyaannya adalah: “Mengapa teknik rekam, cerita, transkrip, dan sunting ini bekerja?” Jawabannya karena teknik ini mengatasi mental block dalam menulis. Bagi kebanyakan orang, berbicara sering lebih mudah daripada menulis. Hal ini karena mereka merasa sedang bercakap-cakap, bukan mencipta karya.
Satu hal yang tidak boleh ditinggal setelah rekam, cerita, dan transkrip adalah sunting. Ingat, tujuan teknik ini bukan untuk menghasilkan naskah final, melainkan menangkap inti cerita, emosi, dan suara asli. Penyuntinganlah yang mengubah tulisan kita dari bicara menjadi sastra.
Teknik rekam, cerita, transkrip, dan sunting ini juga merupakan metode untuk mendapatkan suara penulis (writer’s voice). Bedakan suara penulis dengan gaya menulis. Kalau gaya menulis itu bicara soal bagaimana kamu menulis, hanya soal diksi, penggunaan majas, struktur kalimat, dan hal teknis menulis lainnya. Suara penulis beda lagi. Suara penulis adalah jiwa penulis. Sederhananya adalah sesuatu yang membuat pembaca akan bilang “Ini pasti tulisannya si fulan”, tanpa melihat nama penulisnya.
Jadi, saatnya kita mulai menulis dengan mudah: rekam, cerita, transkrip, sunting. Gunakanlah teknik ini sekarang juga. Iya, sekarang saja.
***
Riza Almanfaluthi
22 Desember 2025
Selamat Hari Ibu
Kalau teman-teman berkenan memiliki buku Di Depan Ka’bah Kutemukan Jawaban, buku Kita Bisa Menulis, dan buku lainnya atau ingin menghadiahkan buku-buku tersebut kepada orang tercinta, bisa pesan lewat tautan ini:
https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi
