
Oleh: Khansa Humaira Dyfka
Beberapa bulan lalu, salah satu teman saya membuat unggahan di X yang mengungkapkan kekecewaannya terhadap kecurangan seorang peserta didik dalam sistem seleksi salah satu beasiswa pemerintah yang menjadi jembatan bagi anak-anak bangsa untuk menempuh pendidikan di luar negeri.
Persyaratan beasiswa itu cenderung sederhana, kami hanya diminta untuk menuliskan gaji orang tua dan memberikan Letter of Acceptance dari kampus yang kami daftar. Masalahnya, teman saya menemukan seseorang yang memanipulasi gaji orang tuanya agar diterima oleh pihak beasiswa. Fakta tersebut membuat teman saya sekaligus beberapa orang yang mengenalnya sedikit geram, apalagi saat tahu kalau dia berasal dari keluarga yang bisa dibilang sangat mampu secara ekonomi. Unggahannya menarik perhatian teman-teman sebaya saya, terutama mereka yang tidak lolos seleksi dan harus merelakan mimpi untuk ke luar negeri.
Keluhan pertama yang keluar dari mulut teman saya saat itu adalah, “Amit-amit banget pajak orang tua gue dipakai untuk biaya pendidikan orang kayak gitu.”
Pajak. Itu yang terlintas di benak kami setelah mendengar kabar itu. Karena tidak dapat dipungkiri, pajak adalah sumber pendanaan terbesar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tentunya dana yang disalurkan untuk beasiswa-beasiswa pemerintah berasal dari sana.
Bayangkan anak-anak usia 17-18 tahun sudah merasakan ‘kesalahan’ dalam sistem pengelolaan dana negara. Tidak adanya transparansi mengenai sistem penyeleksian, kelalaian administrasi, dan kecurangan dengan manipulasi data, bukankah itu sudah masuk dalam tindakan yang merugikan keuangan negara? Kasus ini mirip dengan isu-isu Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) atau Program Indonesia Pintar (PIP) yang terkadang dinilai salah sasaran karena malah didapatkan oleh anak-anak dari keluarga yang mampu secara ekonomi.
Bayangkan kalau kejadian tersebut membentuk persepsi negatif yang abadi dalam benak mereka, apakah Anda dapat membayangkan seberapa signifikan dampaknya terhadap penerimaan negara di masa depan?
Saya dan teman-teman saya bahkan belum menjadi wajib pajak, tapi kami sedikit-banyak sudah mengetahui seluk-beluk mengenai kewajiban bayar pajak dan apa fungsi ‘seharusnya’ untuk kehidupan masyarakat. Di saat yang sama, topik mengenai kewajiban pajak dan kasus oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan pendapatan negara ini adalah salah satu topik hangat yang selalu memicu emosi dan perdebatan tanpa akhir. Kesalahan dalam pemberian beasiswa itu hanya salah satunya, belum lagi kasus-kasus korupsi yang berseliweran tanpa akhir dan program-program pemerintah yang dianggap tidak terlalu membantu kehidupan masyarakat, tapi tetap mengambil dana dari APBN. Semua itu memantik stigma negatif padahal usia kami masih muda.
Dalam konsep psikologi yang saya pelajari melalui internet, hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme dalam penyampaian berita atau informasi. Faktanya, remaja kerap kali menggunakan internet atau media sosial untuk mendapatkan informasi. Arus media sosial memungkinkan satu berita mudah diakses dari mana saja dan kapan saja. Awak media umumnya mengemas headline berita dengan mekanisme framing effect. Pengemasan ini bersifat emosional dan berperan penting untuk membentuk interpretasi awal publik. Headline berita ini pula yang akan memancing masyarakat untuk membaca artikelnya lebih jauh.
Dalam kasus teman-teman saya, headline–headline serta isi pemberitaan yang mereka baca berhasil membentuk persepsi awal mengenai pengelolaan dana negara. Bukan karena awak-awak media yang pandai membuat headline miring atau sengaja membuat isu negatif, tapi karena memang data dan fakta yang terjadi memang demikian. Bukan hanya satu-dua, tapi pasti ada saja berita baru yang muncul setiap harinya, membentuk bias di pikiran-pikiran remaja ini yang mengonfirmasi satu anggapan dalam benak mereka bahwa dana negara memang kerap tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Berita-berita di media sosial akan membentuk persepsi baru dalam benak mereka, yang mana umumnya bersifat negatif karena isu tidak mengenakkan yang diangkat dalam berita-berita tersebut. Persepsi inilah yang nantinya berpotensi untuk meningkatkan rasa enggan atau ketidakpatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Hal ini dijelaskan dengan mudah memalui teori trust and fairness, yaitu bagaimana publik berharap bahwa pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk kepentingan masyarakat sebagaimana mestinya. Namun ketika mereka tidak merasakan manfaat dari pajak tersebut atau justru mendengar isu-isu negatif seperti ini, mereka akan cenderung menuntut keadalian atau kesempatan yang sama rata dalam mendapatkan manfaat pengelolaan pajak itu.
Maraknya berita penyalahgunaan dana negara berpotensi untuk menurunkan kepercayaan publik dan berimbas pada penerimaan negara di masa depan. Terlebih, ketika rasa ketidakpercayaan itu tumbuh sejak usia remaja, yang jelas akan menjadi wajib pajak beberapa tahun mendatang. Arus media sosial dalam menentukan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pendapatan negara tidak hanya dimainkan oleh pemberitaan di portal-portal resmi, tapi juga oleh unggahan-unggahan masyarakat yang dibagikan di ruang publik.
Fenomena ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan sosialisasi tambahan dengan embel-embel ‘membentuk pemahaman mengenai kewajiban membayar pajak’. Karena sesungguhnya, seperti penjelasan teori trust and fairness sendiri, kepercayaan masyarakat yang goyah akan mendorong mereka menuntut keadilan dan hak yang seharusnya mereka terima. Sebaliknya, ketika masyarakat sudah merasa mendapatkan perlakuan yang adil dan adanya timbal balik antara mereka dan pemerintah, tingkat kepercayaan mereka perlahan akan naik.
Masyarakat memahami bahwa penarikan pajak akan kembali pada mereka, untuk kemaslahatan mereka sendiri. Namun faktanya, itu adalah konsep sederhana yang perlahan akan pudar karena berita-berita kesalahan dan penyalahgunaan dana menggoyahkan kepercayaan mereka. Yang masyarakat tuntut selanjutnya adalah transparansi dan bukti. Mana bukti bahwa pajak yang mereka bayar sungguhan dipakai untuk kemaslahatan masyarakat?
Dalam kondisi seperti ini, menumbuhkan kepercayaan publik tidak bisa lagi dilakukan sebatas dengan janji-janji atau pemberitaan di media sosial, tapi harus ada laporan penggunaan dana yang mungkin dapat disusun dalam portal daring yang bersifat real time dengan spesifikasi tertentu bagaimana dana negara tersebut disalurkan. Konsep behavioural economics framing, yaitu pengemasan pesan dengan cara yang membangkitkan emosi positif dan kepercayaan pada masyarakat, juga berperan penting dalam kasus ini. Bukan hanya berkata bahwa “Pajak itu wajib”, tapi juga memberi bukti nyata yang akan dikonsumsi masyarakat, bukan hanya membiarkan mereka termakan berita-berita tidak mengenakkan terkait pengelolaan pendapatan negara.
Kebutuhan negara pasti akan meningkat dari waktu ke waktu, sehingga diperlukan peningkatan pendapatan negara yang signifikan pula untuk menunjang kebutuhan bersama. Salah satu kunci peningkatan pendapatan negara adalah dengan meningkatkan kepercayaan dan kesadaran publik terhadap pengelolaan dana negara. Kepercayaan tidak dibangun oleh slogan, melainkan oleh bukti. Jika era digital memberi kesempatan untuk transparansi, maka pemerintah harus menggunakannya sepenuhnya sebelum generasi muda kehilangan kepercayaannya pada negara.
**
Sumber gambar dari usnews.com
Tentang Penulis:
Khansa Humaira Dyfka telah berkecimpung di dunia kepenulisan sejak usia 7 tahun dan menerbitkan beberapa karya, di antaranya adalah 5 novel dan berkontribusi dalam penulisan 20 antologi cerpen-puisi. Di sisi lain, remaja berusia 18 tahun ini juga aktif mengekspresikan dirinya di Medium.