
Saya belum menonton utuh film berjudul Finding Forrester (2000). Saya hanya melihat reviu filmnya di salah satu kanal Youtube yang dimiliki oleh akun Abay Saputra.
Namun, satu hal yang menarik dari film ini adalah soal dunia tulis-menulis. Satu tema film yang sangat jarang ditemui. Film ini dibintangi Sean Connery sebagai William Forrester, penulis tua yang tertutup dari dunia luar dan Rob Brown yang berperan sebagai Jamal Wallace, pemuda berumur 16 tahun dari Bronx, New York.
Awal pertemuan Jamal dengan William adalah pada saat Jamal ditantang oleh teman-temannya untuk mencuri barang di apartemen milik William. Ketika di suatu malam Jamal mengendap-endap memasuki apartemen, Jamal malah menemukan banyak buku di sana. Jamal tertarik dan membaca buku-buku yang ditemukannya. Jamal kemudian sadar kalau William sebenarnya sudah tahu ada yang memasuki apartemennya, sehingga Jamal lari dan meninggalkan tas sekolahnya.
Singkat cerita Jamal mendapatkan tasnya kembali dengan buku hariannya sudah dicoret-coret dengan tinta merah. Ya, selain pemain basket andalan sekolahnya, Jamal juga penyuka puisi dan hobi menulis.
Jamal mendatangi William untuk meminta maaf dan akhirnya ia berguru kepada penulis terkenal itu. Nah, pelajaran pertama William kepada Jamal adalah menulis itu kegiatan menulis, bukan berpikir, artinya kita cuma perlu menuangkan apa yang terasa di dalam hati. “You must write your first draft with your heart. You rewrite with your head. The first key to writing is to write, not to think,” kata William.
Didikan William dan kemauan Jamal menjadi kombinasi hebat dalam menghasilkan karya. Sampai guru sastranya yang bernama Profesor Robert Crawford—diperankan oleh F. Murray Abraham, pemenang Oscar lewat Amadeus—tak percaya bahwa Jamal bisa menulis sebagus itu. Sebenarnya, ketidakpercayaan Robert muncul karena masih ada stereotipe kalau pemuda kulit hitam mana mungkin bisa menulis.
Banyak yang menilai kalau film Finding Forrester ini mempunyai nuansa yang mirip dengan film Good Will Hunting (1997). Wajar juga sih karena kedua film itu disutradarai oleh Gus Van Sant.
Apa pun itu, menurut saya, film yang mengeksplorasi hubungan antara seorang penulis tua yang tertutup dengan seorang remaja berbakat dari Bronx, menunjukkan bahwa bakat bisa muncul dari mana saja. Sekaligus, kalau mau menulis bagus kita juga butuh mentor. Sebenarnya, apa pun itu, kita butuh mentor untuk bisa melejit.
Terakhir, film ini memiliki bittersweet ending. Seorang pengacara muda mendatangi Jamal. Ia mengaku sebagai pengacara William dan menyerahkan kunci apartemen kepada Jamal sebagai warisan dari William. Omong-omong, ternyata pengacara itu diperankan oleh Matt Damon. Di sini, Damon hanya sebagai kameo dan dialah yang memerankan Will Hunting, janitor jenius matematika dalam film Good Will Hunting.
Jamal yang bermula hampir menjadi seorang maling, akhirnya pindah ke apartemen William bersama ibu dan saudaranya. Selain apartemen, Jamal juga mendapatkan seluruh buku yang ada dalam perpustakaan dan konsep naskah novel William. Halaman depan naskah itu tertulis dengan mesin tik: Sunset. A novel by William Forrester. Foreword to be written by Jamal Wallace.
Sebuah persahabatan beda generasi dan ras yang mengharukan.
***
Riza Almanfaluthi
24 Agustus 2025
Sumber foto berasal dari hollywoodreporter.com
Kalau teman-teman berkenan memiliki buku Di Depan Ka’bah Kutemukan Jawaban, buku Kita Bisa Menulis, dan buku lainnya atau ingin menghadiahkan buku-buku tersebut kepada orang tercinta, bisa pesan lewat tautan ini:
👉 https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi
