Orang-Orang Kazakh


Menuju Makkah Almukarramah.

Pada zaman Kekhalifahan Utsmani, tepatnya di masa Sultan Abdul Hamid II, dibangunlah jalur kereta api dari Damaskus, Amman (Yordania), sampai ke Madinah. Jalur itu selesai dibangun pada 1908 dan mulai beroperasi pada 1912. Namun, sejak Perang Dunia I jalur itu mulai terbengkalai sampai sekarang. Stasiun Madinah dalam Jalur Kereta Hijaz itu menjadi museum belaka pada saat ini. Letaknya kurang dua kilometer dari hotel kami.

Namun, dari tempat mikat kami di Bir Ali, stasiun itu bukan tujuan kami, melainkan Stasiun Kereta Cepat Madinah. Stasiun ini sepi. Tidaklah seramai stasiun kereta yang ada di tanah air. Tempat parkir stasiun luas. Ada masjid juga. Bus yang mengantarkan kami langsung meninggalkan stasiun begitu semua penumpangnya turun. Tidak ada kendaraan lain, kecuali satu kendaraan polisi yang ikut meninggalkan stasiun juga. Sekilas saya melihat salah satu polisi itu merokok.

Masjid yang berada di pelataran parkir Stasiun Kereta Cepat Haramain.

Sebelum masuk ke bangunan stasiun, tour leader memberikan lembaran kertas tiket yang sengaja dicetak. Nanti, barcode yang ada dalam kertas itu akan dipindai pada pintu otomatis menuju lantai 2. Untuk kelas ekonomi, harga tiket kereta cepat berkisar antara 150-200 SAR (Saudi Arabia Riyal). Setara Rp650 ribu sampai Rp870 ribu.

Saya membeli secangkir caffé latte di kios Barnz sebelum masuk gerbang stasiun. Harganya 12 SAR. Ini kedua kalinya saya membeli kopi berjenama itu di Madinah.

Stasiun Madinah ini benar-benar megah dan didominasi arsitektur islamnya. Toko-toko bernuansa mewah berjejer di lantai satu. Dalam pandangan saya, stasiun ini lebih besar daripada Stasiun Kereta Cepat Halim KCIC, tetapi lebih sepi.

Suasana lantai 1 Stasiun Kereta Cepat Haramain.

Untuk menuju ruang tunggu, kami harus naik ke lantai dua dan terlebih dulu memindai tiket di pintu otomatis. Di lantai dua itu, kami bisa dengan leluasa memandang suasana lantai satu yang lebih ramai ataupun memandang sisi peron tempat kereta cepat berada. Kami hanya menunggu sejenak di sana. Kami kemudian diminta turun menuju peron di lantai satu. Tiga puluh menit lagi kereta cepat itu akan berangkat menuju Makkah.

Dari eskalator yang menurunkan kami, saya melihat dua kereta cepat putih berjejer. Terlihat kotor, tak mengilap. Saya maklumi karena kereta cepat ini menembus daerah gersang, berbatu, dan berdebu menuju Makkah.

Salah satu pintu gerbong Kereta Cepat Haramain.

Kami berempat memasuki gerbong kereta dan duduk di kursi masing-masing. Kami mendapatkan tempat duduk yang acak. Syukurnya Kinan dan umminya masih dalam satu baris. Saya mendapatkan kursi di tengah gerbong dan ada meja lipatnya yang luas. Meja itu penjadi pembatas tengah gerbong. Kursi yang saya duduki dan di belakang saya menghadap searah dengan jalannya kereta. Jadi saya berhadap-hadapan dengan penumpang lain. Ustaz Iqbal sebagai tour leader duduk di kursi samping saya. Kopi Barnz yang saya beli barusan sebentar lagi tandas.

Ternyata yang duduk di hadapan kami adalah dua nenek-nenek berompi biru. Mereka juga jemaah umrah. Wajahnya khas Asia Tengah. Saya tidak bisa menebak apakah mereka berasal dari Uzbekistan, Kazakhstan, Kirgizstan, atau Tajikistan? Bagi saya, mereka memiliki wajah yang sama. Yang laki-laki semua berpakaian ihram, sama dengan kami. Ada yang tua, ada juga yang muda.

Ketika kereta cepat itu berangkat pukul 10.30, orang muda dari kalangan mereka langsung mengucapkan kalimat talbiyah dan diikuti rombongannya. Masyaallah. Tahu tidak? Sejak berangkat sampai kereta itu sampai di Stasiun Makkah, dengan waktu tempuh 2 jam 20 menit, mereka tidak pernah menghentikan lantunan zikir itu. Kami yang kumpulan orang Melayu ini pun ikut-ikutan melantunkan kalimat suci: “Labbaik allahumma labbaik.”

Di bangku sebelah kami, ada sepasang suami istri dengan wajah Arabnya. Satu anaknya yang masih kecil dipangku sang istri, sedangkan dua anak perempuan lain berada di depan mereka. Anak-anak membawa buku dan alat tulis. Di sepanjang perjalanan, dua anak perempuan itu rajin menulis dan membaca. Sesekali mereka juga ikut bertalbiah.

Beberapa kali saya melihat kereta cepat ini melewati kecepatan 300 km/jam. Seringnya kereta itu melaju pada 290-an km/jam. Ketika kereta cepat melewati daerah yang sejajar dengan mikat Bir Ali, pramugara kereta cepat segera menyusuri gerbong kereta dan memberitahu para penumpang dengan berteriak: “Miqat! Miqat! Miqat.” Pelantang kereta cepat juga memberitahukan informasi yang sama dalam bahasa Arab. Ini menandakan supaya jemaah umrah untuk segera berniat umrah. Bagi kami yang baru saja dari Masjid Bir Ali tentu tidak melakukan hal itu. Berniat umrah di atas kereta cepat serupa berniat umrah di atas pesawat terbang bagi jemaah haji maupun umrah dari Indonesia yang melewati Yalamlam.

Kereta Cepat dari Madinah ke Makkah melewati beberapa stasiun: Stasiun Kota Ekonomi Raja Abdullah, Stasiun Bandara King Abdul Aziz, Stasiun Jeddah Alsulaymaniyah, dan terakhir Stasiun Makkah. Kalau saya tidak silap, kereta ini hanya sekali berhenti di Stasiun Bandara King Abdul Aziz, Jeddah.

Ketika kereta cepat ini meninggalkan Jeddah, perasaan saya sudah berdebar-debar. Sebentar lagi tiba di Makkah. Kota kuno yang pernah kami kunjungi pada 2011 lampau. Ketika kereta itu benar-benar berhenti, kalimat talbiyah yang dilantunkan oleh rombongan jemaah Asia Tengah itu pun berhenti. Benar-benar perjalanan ini diiringi dengan lantunan talbiyah terus-menerus. Masyaallah.

Ketika kami membiarkan rombongan itu turun terlebih dahulu, saya bertanya kepada salah satu dari mereka: “Where do you come from? Uzbek?”

“Kazakh,” jawabnya.

Selamat datang di Makkah, Bro ….

Dengan kereta cepat kami sudah tiba di Makkah, sedangkan tiga orang dari Spanyol itu masih di Istambul dengan kuda-kudanya.

 

Tiba di Stasiun Makkah.

***
Riza Almanfaluthi
Februari 2025
Pemesanan buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

Baca satu bab gratis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Kata Pengantar buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Lihat Daftar isi buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Sinopsis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.