Obituari Arif Budiono: Hari Terakhir Pertemuan Kita


Setelah seharian rapat, mestinya Pak Arif Budiono ini menginap satu kamar dengan saya malam itu. Namun, ia meminta izin kepada Ibu Kepala Kantor untuk tidak mengikuti rapat besok. Ia harus ke Rumah Sakit Harapan Kita petang itu juga untuk mempersiapkan tindakan operasi jantung pada keesokan harinya. Ini menjadi pertemuan terakhir kami dengannya.

Jumat itu, Pak Arif dioperasi dan langsung tidak sadarkan diri pascaoperasi. Kami—pegawai KPP Badan dan Orang Asing—tidak diperkenankan melihat langsung kondisinya karena Pak Arif Budiono masih berada di ruang ICU.

Sampai kemudian kabar itu datang tengah malam dua belas hari kemudian. Kabar itu menginformasikan kalau Pak Arif telah berpulang. Saya baru mengetahuinya pada Subuh. Pada pukul 10.00 saya bersama teman sejawat lain, Pak Imam Mustakim, menuju rumah duka. Bakda Duhur nanti, jenazah almarhum akan disalatkan.

Ketika kami datang, rumah sudah ramai dengan para pelayat. Tak lama kemudian, pada pukul 11.30, jenazah dibawa ke masjid yang tak jauh dari rumah. Sekitar 100 meter saja. Waktu Duhur masih belasan menit lagi ketika orang berbondong-bondong memasuki masjid. Kalau saya hitung, saf salat Duhur jamaah laki-laki lebih dari tujuh saf. Ini lebih dari 125 orang yang akan menyalatkan almarhum.

Saya teringat satu hadis berikut: “Jenazah yang disalatkan oleh kaum muslimin dengan jumlah melebihi seratus orang dan semuanya mendoakannya, maka doa mereka untuknya akan dikabulkan.” (HR. Muslim).

Ada lagi satu hadis lainnya: “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia dan disalatkan oleh lebih dari empat puluh orang, dalam kondisi mereka tidak menyekutukan Allah sedikit pun, niscaya Allah akan mengabulkan syafaat (doa) mereka untuknya.” (HR. Muslim).

Saya membatin, “Masyaallah, Pak. Amalanmu seperti apa sehingga membuat orang berbondong-bondong menyalatkanmu?”

Saya jadi mengenang pergaulan saya dengan beliau setahun terakhir ini. Beberapa kali ia datang ke ruang kerja saya untuk mengobrolkan banyak hal, mulai dari keluarga, rumah, pekerjaan, penugasan ke luar homebase-nya, dan lain sebagainya. Beberapa kali rapat koordinasi di luar kota pun, kami selalu bareng. (Sampai di paragraf ini, saya tak kuasa menulis, dan langsung mendoakan almarhum allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi, wa’fu’anhu).

Dalam momen duka kawan ataupun saudara, saya berusaha untuk bisa menggotong keranda dan menyalatkannya di saf terdekat. Begitu pula siang itu, saya masih diberikan kesempatan untuk bisa menggotong keranda menuju masjid dan menyalatkannya di saf terdepan. Semata untuk bisa merasakan nasihat luar biasa. Perbanyaklah mengingat-ngingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan, kata seorang ustaz. Pada siang itu, doa ustaz dan imam salat saya aminkan dengan sungguh-sungguh. Ada yang basah di sudut netra.

Selamat jalan orang baik. Selamat jalan, Pak. Semoga husnulkhatimah. Semoga Allah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepadamu.  Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridainya dan masuklah ke dalam surga-Nya.

Pak Arif Budiono, saya, dan Ibu Rina Lisnawati dalam suatu perjalanan

***

Riza Almanfaluthi
27 Desember 2024

Buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.