Majalah internal baru sebatas terbit, belum menjadi media yang dinanti-nanti oleh pembacanya.
Kecanggihan teknologi membuat semakin banyak kantor pelayanan pajak (KPP) memproduksi majalah internal. Kecanggihan itu tecermin pada mudahnya penyebaran majalah kepada 45 ribu pegawai DJP melalui aplikasi surat Nadine. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan pada lima tahun sebelumnya.
Dulu, majalah harus dicetak dan dipublikasikan secara fisik yang memunculkan biaya tinggi. Pencetakan bisa memakan biaya 20—30% dari keseluruhan ongkos produksi. Menurut Will Lubaroff dari walsworth.com, biaya pendistribusian bisa menghabiskan setengah dari total biaya produksi majalah.
Pada saat ini, majalah internal berubah format menjadi elektronik. Pembaca menikmatinya melalui perangkat yang mendukung seperti ponsel cerdas, tablet, laptop, dan komputer meja. Biaya pembuatan dan pendistribusian majalah internal KPP menjadi nihil.
Kemunculan majalah internal ini menerbitkan satu pertanyaan reflektif yang membutuhkan permenungan: “Apa dampaknya buat organisasi besar seperti DJP ini?”
Majalah internal merupakan sarana publikasi kegiatan kantor sekaligus memenuhi kebutuhan komunikasi yang lebih terbuka. Perlu digarisbawahi, dari penelitian terbaru pada Juni 2024, yang dilakukan oleh Luluk Atul Fitriyah dan kawan-kawan, komunikasi internal memiliki peran vital dalam organisasi dan memainkan peran penting dalam membangun budaya organisasi yang positif. Dalam konteks organisasi modern yang dinamis, komunikasi yang efektif menjadi kunci utama untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis, produktif, dan inovatif. Yang saya yakini dan rasakan dalam 27 tahun terakhir, DJP masuk dalam kategori organisasi modern yang disebut Luluk di atas.
Jadi, majalah internal bukan sarana main-main belaka. Namun, menjadi faktor terjalinnya komunikasi yang terbuka untuk mencapai tujuan organisasi bersama-sama. Ada kerja kolaboratif dan ajang kreativitas yang didedikasikan untuk mewujudkan majalah internal itu, sekaligus membangun rasa memiliki para pegawai DJP terhadap organisasi.
Kasus Yahoo
Kata kuncinya adalah konten majalah internal itu memenuhi kebutuhan dasar informasi para pegawai. Tidak sekadar ajang eksis para pejabat dan pegawai yang ingin dikenal ke seantero dunia. Kalau informasi yang dimuat di sana adalah informasi umum yang sudah ada di media lain, para pegawai akan malas membuka dan membacanya.
Ini menjadi tantangan buat para redaktur majalah internal untuk menyediakan informasi yang menarik dan benar-benar dibutuhkan para pegawai. Utamanya adalah informasi dari petinggi organisasi terkait kebijakan yang menyangkut hajat hidup para pegawainya seperti jalur karir, mutasi, tunjangan kinerja, dan lain sebagainya.
Namun, ada satu hal yang diametral di sini. Penyebaran majalah internal secara elektronik memiliki kemungkinan besar tersebarnya informasi internal kepada pihak eksternal. Oleh karena itu, konten-konten yang “sensitif” perlu dipikir masak-masak untuk dipublikasikan. Redaktur perlu mempertimbangkan mafsadat dan mudarat konten, antara kebutuhan pemenuhan informasi pegawai dan munculnya gejolak pihak eksternal.
Sampai di sini ingatan kita berpaling ke tahun 2006. Waktu itu ada memo internal yang ditulis oleh eksekutif senior Yahoo Brad Garlinghouse. Memo kepada para manajer Yahoo dan dikenal sebagai The Peanut Butter Manifesto itu berisi rasa frustasi Garlinghouse terhadap arah perusahaan yang menurutnya tidak fokus. Menurut Garlinghouse, Yahoo kurang memiliki kepemimpinan yang jelas, strateginya tidak terpadu, dan investasinya menyebar ke banyak bidang. Semuanya itu membuat Yahoo tidak berkembang dan tertinggal dengan pesaing, salah satunya bernama Google.
Sayangnya memo internal itu tersebar ke publik dan dimuat di Wall Street Journal pada 16 November 2006. Tersebarnya memo itu membuat krisis komunikasi. Apatah lagi buat pegawai Yahoo. Ini karena dalam memo Garlinghouse juga memuat upaya radikal Garlinghouse berupa pemecatan karyawan Yahoo sebanyak 15—20%. Dalam kaitannya dengan konteks saat ini, penyebaran informasi melalui majalah internal memiliki pameo: once it’s online, it’s forever atau the internet never forgets. Sekali konten itu terlanjur terpublikasikan, sudah terlambat untuk menarik dan menghapusnya.
Lihat Daftar isi buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
Baca Sinopsis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
Alter Ego
Yang menjadi tantangan lainnya bagi pengelola majalah internal adalah soal konsistensi penerbitan. Lebih baik majalah dikelola dengan sedikit rubrik yang selalu ada dalam setiap penerbitannya daripada rubrik banyak, tetapi tidak konsisten.
Jangka waktu penerbitan (bulanan, triwulanan, empat bulanan, atau semesteran) mesti diukur dengan ketersediaan sumber daya dan kemampuan pengelolaannya. Yang terakhir ini termasuk di dalamnya adalah keahlian menulis, menyunting, dan mendesain majalah. Ini semua soal teknis yang bisa dipelajari. Namun, tidak ada artinya kalau tidak diawali dengan komitmen seluruh redaktur dan dukungan kepala kantor.
Redaktur mesti menyiapkan skenario terburuk apabila para kru majalah kemudian dimutasi ke kantor lain. Sumber daya manusia mesti diperbanyak dan dilatih terus menerus supaya keberlanjutan majalah terus terjaga. Di berbagai kantor, permasalahan ini mengemuka dan membuat majalah kemudian terhenti penerbitannya. Sedangkan pada soal desain dan layout, redaktur bisa mencontoh majalah internal yang telah terbit lama seperti Intax ini atau majalah eksternal yang masih bertahan dalam format cetaknya.
Setalah itu semua teratasi dan ajek, maka di lain kesempatan, redaktur mesti membuat survei untuk mendapatkan masukan berharga dari pembaca. Sampai sekarang, survei itu masih dilakukan oleh majalah-majalah arus utama. Mereka menyeriusi soal survei ini sampai-sampai dalam pengisiannya mereka mengiming-imingi hadiah kepada para responden survei. Waktu yang dimiliki pembaca itu sangatlah berharga dan layak diapresiasi dengan berbagai hadiah. Pembaca menjadi alter ego yang tak terelakkan.
Semua tantangan di atas nyata adanya dan mesti diakui sebagai sesuatu yang harus diatasi untuk mendukung literasi bangsa. Sebenarnya, perpustakaan mini yang sudah ada di berbagai KPP menunjukkan isyarat dukungan organisasi terhadap literasi itu. Apatah lagi ditambah dengan penerbitan majalah internal. Upaya mengembangkannya menjadi bagian progresif kelancaran komunikasi organisasi.
Pada akhirnya muncul pertanyaan lain: “Sudahkan majalah internal yang selama ini terbit menjadi majalah yang senantiasa dinanti-nanti oleh pembacanya?” Pertanyaan semacam ini pantas menjadi pertanyaan pemungkas kepada para redaktur dalam mengelola majalan internal. Tabik.
Baca satu bab gratis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
Baca Kata Pengantar buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.
***
Riza Almanfaluthi
21 November 2024
Pemesanan buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi
Artikel ini ditulis untuk dan pertama kali dipublikasikan di Intax Edisi V Tahun 2024

