Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong: Kedegilan yang Serba Tanggung


Buku Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong sampai di rumah kurang dari enam jam sejak dipesan di lokapasar. Di luar ekspektasi saya.

Sepulang dari kantor dan menjumpai buku itu, saya langsung membacanya di ruang tamu. Buku “radikal” dan di luar kebiasaan sepanjang pergaulan saya di dunia perbukuan. Tanpa kata pengantar, tanpa daftar isi, tanpa judul bab, tanpa prolog, tanpa epilog, tanpa ilustrasi. Tanpa basa-basi. Hanya ada isi dan lembar tentang penulis.

Bahkan judulnya pun saya rasa tidak merujuk kepada tema utama buku itu. Sekadar bungkus. Saya menertawakan diri sendiri. Saya merasa dejavu dan teringat kepada buku terbaru saya berjudul Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang. Yang sudah membaca buku itu, pasti memahami apa yang saya maksud. Apalagi terkait dengan Medusa.

Soal bungkus, saya salut dengan buku Eka Kurniawan ini. Penerbitnya mengemasnya dengan ciamik. Selimut sampul, sampul keras, dan kertas buku premium menebalkan buku yang jumlah halamannya sekadar mencapai 133 halaman cerita. Namun, warna kovernya sangat menarik. Gradasi warna antara merah dan jingga. Entah, dunia digital menyebut warna itu dengan sebutan warna apa lagi. Lebih spesifik, saat ini dunia menyebutnya dengan kode warna.

Lihat Daftar isi buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Sinopsis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Soal isi, begitulah Eka. Seperti ia menulis Cantik Itu Luka (2016), Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), O (2016), atau dalam antologinya Kumpulan Budak Setan (2016). Vulgar dan tampak sinis dengan kesalehan. “Berbuatlah sedikit dosa, Jamal. Pahalamu sudah banyak. Bertumpuk-tumpuk. Tak akan habis dikurangi timbangan dosamu,” kata tokoh utama buku ini.

Dalam Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, Eka menokohkan satu karakter yang ia deskripsikan sangat dalam. Namanya Sato Reang. Buat orang Indramayu, dua kata itu sudah langsung bisa dimengerti. Sato, satoan yang berarti hewan. Reang yang berarti saya, aku. Sato Reang yang memiliki pemaknaan “aku ini binatang”. Mendadak sampai di sini kita langsung teringat Chairil Anwar.

Sato Reang, anak saleh yang kemudian jadi brutal ketika ayahnya meninggal, meninggalkan salat, minum anggur cap orang tua, membakar bioskop, mengencingi apel satu mobil sebagai pembalasan dendam, dan mengajak anak kiai untuk bersama-sama bermaksiat. Balas dendam kepada sang ayah yang setiap menjelang Subuh menggedor-gedor pintu kamar supaya Sato Reang bangun dan ikut ke Masjid Awu-Awu Langit untuk sembahyang.

Saya juga pernah mengalami itu selama tiga tahun ketika indekos di rumah paman yang seorang kiai kampung. Ia menggedor-gedor pintu untuk membangunkan saya untuk segera pergi ke musala. Setelah salat itu, saya diminta pergi ke warung, membeli tempe dengan menggunakan sepeda jengki menyusuri kegelapan. Tempe itu jadi bahan gorengan yang dijual setiap pagi oleh istrinya paman. Saya tak setraumatis seperti Sato Reang. Namun, sampai sekarang gedoran itu masih saya ingat betul.

Barangkali karena Eka semasa dengan saya, penggambaran Eka terhadap kondisi zaman dulu dalam novel ini mampu membuat pikiran saya terbang ke era lawas. Ke masa-masa sekolah, ke masa-masa internet, ponsel cerdas, dan kuota belum ada, ke masa-masa bermain bola sampai azan Magrib berkumandang, atau ke masa-masa menonton film di bioskop berbangku kayu panjang dengan penjual permen kacang kuacinya, melihat Jet Lee dan Rosamund Kwan beradu peran melawan antagonis Dinasti Qing.

Anda yang membaca buku ini hanya akan menjumpai puncak konflik di delapan halaman terakhir. Setelah itu selesai. Episode kedegilan Sato Reang tidak seperti perkiraan saya ketika pertama kali membaca buku ini. Saya pikir buku Eka akan bercerita Sato Reang yang beranjak dewasa dan menjadi bramacorah. Tanggung amat.

Dalam soal kemasan, saya menilai buku ini bagus sekali. Sumpah. Soal isi, saya cuma bisa berdeham. Namun, tak memupus anggapan kalau Eka memang pencerita ulung seperti Aesop, fabelis Yunani kuna, yang setiap buku barunya saya tunggu-tunggu.

Baca satu bab gratis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Kata Pengantar buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

***

Riza Almanfaluthi
15 September 2024
https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.