Jangan Main di Luar Sistem Ojek Online


Ada peristiwa menarik yang saya alami pada sepekan terakhir ini. Ini terkait pada saat saya memesan mobil daring melalui aplikasi. Dini hari menjelang Subuh itu, saya harus berangkat ke suatu tempat.

Pada pemesanan pertama, pesanan saya dibatalkan oleh pengandar. Saya tidak tahu kenapa. Saya mengulangi pemesanan untuk kedua kalinya dan berhasil. Saya mendapatkan harga Rp90.000,00 yang didiskon menjadi Rp60.000,00.

Sepuluh menit kemudian mobil itu sudah di depan rumah. Saya segera naik. Belum juga supir itu melajukan mobilnya, ia meminta saya untuk membatalkan pesanan.

“Loh, mengapa, Bang?” tanya saya.

“Iya, Pak. Nanti saya kena potongan. Potongannya gede sekali,” kata si Abang.

Otak saya kemudian penuh simbol-simbol matematika. Wah, kasihan sekali yah si Abang ini kalau kena potong lagi dari harga Rp60.000,00 itu. Tanpa berpikir panjang dan sekadar berniat membantu, saya mengiyakannya. Saya memencet tombol batal dan mobil itu pun melaju ke tempat tujuan.

Di sepanjang perjalanan itu, kami mengobrol. Dari logatnya, saya pikir ia dari tanah seberang. Dan benar dugaan saya, ia mengaku berasal dari Sumatera Barat. Saya menceritakan kepadanya kalau saya dulu pernah tinggal di Tapaktuan, Aceh Selatan, selama bertahun-tahun. Logat si Abang sama dengan logat orang Tapaktuan. Wajar, ini karena bahasa yang digunakan oleh mayoritas penduduk Tapaktuan bukan bahasa Aceh, melainkan bahasa Aneuk Jamee yang mirip dengan bahasa minang.

Baca: Sinopsis Buku Sindrom Kursi Belakang

Ia juga bercerita kalau ia memiliki teman karib yang istrinya berasal dari Tapaktuan. Ia sering datang ke rumah temannya pada saat tidak punya uang. Temannya itu pun ringan tangan, selalu membantu kesusahannya.

Mobil terus membelah gulita dan jalanan yang sepi. Singkat cerita, azan berkumandang dan saya sampai di tempat tujuan. Di sini bagian yang mengejutkannya. Saat saya mau menyerahkan uang, ia bilang, “Pak dari aplikasinya itu saya lihat ongkosnya Rp90.000,00.” Kilat tanpa guntur hinggap di kepala. What??!!

“Bagaimana, Bang? Di aplikasinya harganya Rp90.000,00?” tanya saya menegaskan.

“Iya, Pak,” jawabnya.

“Loh, kok beda? Di aplikasi saya malah Rp60 ribu. Beneran,” kata saya.

Wah ini pangkal masalahnya. Saya pikir di aplikasi saya dan si Abang jumlah yang tertera sama-sama Rp60.000,00. Ternyata tidak. Di aplikasi saya jumlah yang sudah dipotong diskon jadi Rp60.000,00, sedangkan di aplikasinya masih tetap dengan Rp90.000,00 yang nantinya akan dipotong dengan potongan tertentu.

Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang

Salahnya saya adalah saya tidak menanyakan dan menegaskan sedari awal jumlah yang seharusnya saya bayar. “Lalu bagaimana nih, Bang?” tanya saya.
“Ya, gimana ya, Pak?” Dia bingung atau tidak mau memaksa.

Akhirnya saya kasih solusi. Saya naik setengah dan dia turun setengah. Dia setuju. Saya menyerahkan Rp75 ribu kepadanya. Saya turun dari mobil dan mobil itu pun pergi menuju Stasiun Gambir sebagaimana ia ceritakan di dalam mobil tadi.

Dari peristiwa membayar lebih mahal itu, saya bisa mengambil pelajaran. Sebaiknya saya bertanya dulu harga yang yang harus saya bayar itu berapa supaya saya bisa memutuskan memencet tombol batal atau tidak.

Pun, tidak begitu juga, seharusnya saya tak perlu bertransaksi di luar sistem. Karena kalau di luar sistem, saya tidak mendapatkan perlindungan keamanan kalau terjadi apa-apa. Kalau niat bantu, ya tetap bertransaksi di dalam sistem, tetapi dengan memberikan tip yang banyak.

Saya jadi teringat dengan transaksi di pasarloka seperti Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya. Aplikasi itu senantiasa mengingatkan pembeli dengan penjual untuk tidak bertransaksi di luar sistem mereka.

Kita bertransaksi dan menyetorkan uang ke rekening penyedia aplikasi pasarloka karena kita percaya kepada mereka. Di sana sudah terbentuk ekosistem keuangan yang memberikan perlindungan kepada konsumen. Pada lima belas tahunan yang lampau, ekosistem ini belum terbentuk, sehingga ada juga penjual nakal atau pemilik rekening bersama yang membawa kabur uang konsumen dan barang tidak pernah sampai ke tangan konsumen.

Juga bayar pajak. Jangan bayar pajak ke kantor pajak atau petugas pajak. Kantor pajak itu tempat lapor pajak. Itu pun sekarang bisa daring. Kalau bayar pajak ya ke bank, kantor pos, atau lembaga persepsi lainnya yang telah ditentukan. Jangan bayar pajak di luar sistem.

Apa pun itu, pagi itu saya mendapatkan pelajaran dan memang belajar itu tidak mengenal usia. Siapa pun kita, selama masih ada napas, tetap menjadi manusia yang harus belajar terus-menerus supaya bisa selamat dunia dan akhirat. Jangan sampai kita ditegur dulu supaya ingat dan selamat.

Baca: Kata Pengantar Buku Sindrom Kursi Belakang, Buah dari Surga Kecil

Berbagai pelajaran hidup, sebagiannya saya rangkum dalam buku baru berjudul Sindrom Kursi Belakang yang bisa dilihat dalam tautan di https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

Anda pernah mengalami kejadian begini? Anda pernah dikasih pelajaran hidup berharga lainnya? Seperti apa?

Selamat menjadi pemelajar.

*
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
13 Agustus 2023
Pemesanan Buku Sindrom Kursi Belakang silakan klik tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.