Diplomasi Vaksin


Kemandirian kita sebagai sebuah bangsa sedang diuji. Dalam perang melawan Covid-19, Indonesia belum bisa memproduksi vaksin sendiri sampai saat ini. Vaksin merah putih yang menjadi pertanda digdaya baru bisa meluncur pada Juli 2022.

Kebutuhan Indonesia terhadap vaksin memang tinggi. Ada target yang mesti dipenuhi di pengujung 2021 untuk mencapai kekebalan kelompok, yaitu 70% penduduk Indonesia harus sudah divaksin.


Oleh karena itu, strategi diplomasi vaksin dijalankan sejak tahun lalu, mengutip Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi, dengan berusaha membuka jalan dan akses terhadap komitmen penyediaan vaksin melalui jalur bilateral dan multilateral.

Terakhir, diplomasi vaksin membuat Indonesia mendapatkan 796.800 dosis vaksin AstraZeneca dari Italia pada 30 September 2021. Dengan kedatangan vaksin tahap ke-80 ini berarti Indonesia sudah mendapatkan vaksin sebanyak 274.400.590 dosis melalui berbagai skema. Tidak bisa lain skema itu dalam bentuk membeli atau mendapatkan hibah vaksin.

Diplomasi vaksin diperlukan di tengah nasionalisme vaksin yang diterapkan negara produsen vaksin. Nasionalisme vaksin ini berupa pembatasan pemberian vaksin ke negara lain untuk memenuhi kebutuhan negara produsen vaksin itu sendiri.

Diplomasi vaksin juga dihadapkan pada “tidak ada makan siang gratis” dari negara produsen besar seperti Tiongkok, India, Rusia, ataupun Amerika Serikat. Vaksin menjadi komoditas untuk menanamkan pengaruh atau budi baik yang ditagih nanti di lain waktu.

Dengan sedikit terperanjat kita membenarkan topik “tidak ada makan siang gratis” yang dipopulerkan oleh Milton Friedman—pemenang hadiah nobel dan mantan profesor ekonomi di University of Chicago—dalam dunia ekonomi. Saya mengutipnya dari buku yang ditulis Chris Anderson berjudul Gratis, Harga Radikal yang Mengubah Masa Depan.

“Sekalipun sesuatu itu terlihat gratis, akuntansi keseluruhan terhadap semua biaya akan menunjukkan bahwa sebenarnya ada harga yang harus dibayar, baik oleh orang tersebut atau oleh masyarakat secara keseluruhan. Biaya tersembunyi atau biaya terdistribusi tidaklah sama dengan tidak ada biaya sama sekali,” demikian Anderson menulis ulang topik itu.  Sederhananya selalu akan ada biaya tersembunyi atas ketidakmandirian.

Selain itu, diplomasi vaksin dijalankan agar kita tidak menjadi Afrika. Pada pertengahan September 2021 saja ada kabar bahwa sampai tahun ini hanya 17% warga di benua hitam itu yang tervaksinasi. Meleset jauh dari target 40% yang ditetapkan WHO.

Hal ini terjadi karena negara kaya enggan mengirim vaksin kepada Afrika, adanya penundaan dan kelambatan pengiriman, ataupun sekadar mengandalkan vaksin gratis. Padahal jika kondisi ini dibiarkan akan mengakibatkan krisis kesehatan dan hak asasi manusia serta berkembangnya varian baru Covid-19 yang lebih ganas.

CEO Dewan Perawat Internasional Howard Catton mengatakan kepada Reuters, “Anda tahu, kita baru saja melihat seorang miliarder mengirim petugas kesehatan ke luar angkasa, namun, di bumi ini, kita memiliki jutaan petugas kesehatan yang masih menunggu untuk divaksinasi.” Dunia memang dipenuhi ironi sejak lama.

Para pemuka pemerintahan Afrika berteriak lantang menyikapi ketidakadilan yang terjadi. Ada sebuah kesadaran karena 54 negara Afrika itu—10 diantaranya paling miskin di dunia—adalah negara yang jauh dari kemakmuran. Stigma yang melekat di benua itu adalah pelanggaran ham, pemerintahan korup, tingkat melek huruf yang rendah, konflik suku, kudeta militer, atau kurangnya akses terhadap modal.

Jika saja Nelson Mandela masih hidup pada saat sekarang, ia akan menggaungkan ketidakadilan ini ke seluruh penjuru dunia dengan menyeru, “Ini adalah perjuangan orang-orang Afrika, yang bertolak dari pengalaman dan penderitaan mereka sendiri. Ini adalah perjuangan menuntut hak untuk hidup.” Sayang, suaranya diserap sempurna oleh sunyi bumi dan lembaran-lembaran kertas buku biografi.

Diplomasi vaksin juga dijalankan untuk menentang diskriminasi vaksin yang terjadi dalam bentuk liyan. Beberapa negara melarang pelintas batas masuk ke negaranya jika tidak divaksin dengan vaksin yang diakui oleh otoritas tersebut. Padahal para pelintas batas itu sudah mendapatkan vaksin lain yang telah mendapatkan persetujuan penggunaan darurat dari WHO. Mereka boleh masuk jika sudah mendapatkan vaksin booster atau penguat yang diakui negara itu.

Dari itu semua, kemandirian memang harus tetap tegak. Kita harus memastikan diplomasi vaksin tetap jalan karena kita tidak tahu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir, memastikan jajaran kementerian luar negeri di seluruh dunia tetap menunaikan misi mulia ini, membeli vaksin dengan bebas, mempercepat pengadaan vaksin merah putih, menciptakan lingkungan riset yang mendukung, memperbanyak orang-orang yang ahli di bidang virus dan vaksin, tetap mengedukasi masyarakat tentang bahayanya Covid-19, mengurangi dampak ekonomi akibat pandemi, menggerakkan roda perekonomian, mengisi pundi-pundi APBN agar negara bisa menjalankan apa yang telah disebut sebelumnya.

Di sinilah seharusnya kita sadar, jika kita ingin mandiri, pundi-pundi APBN harus penuh dengan satu hal yang kita enggan mengatakannya atau cukup sekali dalam setahun kita pikirkan: pajak!

***
Riza Almanfaluthi
Artikel ini ditulis untuk dan telah dimuat pertama kali di majalah internal Direktorat Jenderal Pajak INTAX Edisi Kelima Tahun 2021.

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.