Cerita Lari Pocari Sweat Run Bandung 2019: Kuntilanak Kesiangan


Di tengah kepedihan yang kaubuat, aku memilih tersenyum dan melanjutkan perjalanan menuju manzil. Menyusuri Jalan Braga.

Menjadi orang yang tertinggal di belakang itu tidak enak. Seperti kuceritakan kepadamu pada kisah yang lalu, aku tertinggal start 5 menit 23 detik dari gun time di Pocari Sweat Run Bandung (PSRB) 2019.

Rombongan besar para pelari jauh di depan. Aku menyusul satu per satu para pelari yang berlari sendirian. Sudah kuduga pace-nya melonjak jadi 6:00 menit/km di KM-1. Aku terlalu cepat berlari.

Aku memang tidak mau cepat berlari di kilometer-kilometer awal. Aku punya target pace sendiri.  Aku merogoh kantung saku celana. Tidak ada kertas kecil yang kucari. Sepertinya kertas itu ketinggalan di kamar penginapan. Isi kertas itu adalah daftar pace setiap kilometer yang harus kukejar. Sepuluh kilometer pertama aku hanya ditarget 06:55 menit/km.

Kau tahu? Ini Full Marathon (FM) ketiga yang aku ikuti. Sebelumnya adalah FM pertamaku di Mandiri Jogjakarta Marathon 2018 dengan waktu lari 6:20:52 jam. Setelah itu Borobudur Marathon 2018 yang kutempuh dalam waktu 06:02:01 jam. Lalu target apa yang ingin kuraih pada PSRB 2019 ini?

Awalnya aku punya target sekadar finis sehat. Supaya tidak kejadian lagi di Borobudur Marathon 2018 saat aku tepar di garis finis gara-gara anyang-anyangan. Aku juga muntah-muntah pada saat naik ojek. Untung pengemudi ojeknya mau menghentikan motornya dan memberikan kesempatan untuk mengeluarkan isi perutku yang isinya air semua.

Untuk itu aku sudah menyiapkan tiga bulan sebelum hari H. Bulan puasa aku tetap berlari walau sekali dalam seminggu. Waktu larinya menjelang berbuka puasa. Lepas Ramadan aku menambah frekuensi lari menjadi 3 kali dalam seminggu, termasuk di dalamnya adalah lari jauh pada setiap Minggu pagi. Bukankah aku sudah menceritakan persiapanku ini kepadamu di sini?

Jadi, targetnya apalagi? Pelari DJP Runners Mas Arif, tempat biasa aku berkonsultasi mengenai training plan, memberi target kepadaku untuk finis dalam waktu 5:25:40 jam. Itu setelah ia melihat hasil latihanku selama dua bulan penuh. Wow, sekadar mimpi. Apakah aku mampu?

 

Sepuluh Kilometer Pertama

Aku masih menahan diri untuk tidak kencang-kencang berlari. Lima kilometer pertama aku lewati dalam waktu 35:02 menit. Di rentang itu aku melewati rombongan Pacer 05:30. Pacer itu adalah para pelari khusus yang disediakan panitia dan bertugas memandu peserta lomba untuk bisa finis dalam patokan waktu tertentu. Pacer 5:30 berarti mereka akan memandu pelari agar finis FM dalam waktu 5 jam 30 menit.

Rencananya aku ingin menuruti kehendak hati berlari bersama mereka sampai finis, tetapi urung. Barangkali aku bisa mengikuti mereka di kilometer-kilometer awal, lalu bagaimana kalau aku sudah lelah di kilometer-kilometer akhir? Aku pasti ditinggal. Makanya selagi kaki ini masih kuat, aku susul saja mereka.

Dalam rentang jarak itu aku juga bertemu dengan DJP Runners Deny Hastomo yang sudah pengalaman berkali-kali dengan FM. Asyik. Ia akan jadi pacer-ku. Bertemu dengannya membuatku tidak ugal-ugalan. Aku melambatkan pace dan terus mengimbanginya.

“Kalau pace dijaga segini kita bisa finis di bawah sub-6. Bisa juga 5 jam 30 menit,” kata Deny.

“Serius?” tanyaku.

“Iya,” katanya. Ia sudah pernah finis PSRB dalam waktu 5 jam 45 menit. Wow. Mendengar itu, membuatku semangat dan mengubah target menjadi finis dalam waktu 5 jam 30 menit. Apalagi elevasi di PSRB ini jauh berbeda dengan Borobudur Marathon yang banyak tanjakannya itu. Tinggal aku konsisten mengikutinya.

Kami tetap berlari berdua. “Kita tetap harus di depan Pacer 05:30 agar bisa finis di bawah 5 jam 30 menit,” kata Mas Deny lagi.

Di rute sepuluh kilometer pertama, kami melewati Jembatan Layang Pasupati yang ikonis itu. Kemudian menuju Jalan Dr. Djunjunan dan di titik KM-6 kami balik lagi menuju Jembatan Layang Pasupati. “Setelah ini enggak ada lagi tanjakan lagi,” kata Mas Deny. Sebuah harapan yang kudamba sekali. Dan ternyata salah.

Aku melewati 10 km pertama dengan tidak terasa. Barangkali itu juga karena kami lari sambil mengobrol.

Kami juga menjumpai dua pelari yang memakai kaus Free Athlete. Aku pastikan mereka dari Freeletics Tangerang. Uniknya, setiap menyelesaikan satu kilometer mereka akan berhenti untuk melakukan push-up beberapa kali.

Wow, sebagai sesama Free Athlete, aku salut dengan perjuangan mereka. Tak ada capeknya. Hebat. Menarik sekali upaya mereka, tetapi fokusku tidak sampai ke sana. Aku masih berupaya untuk menghemat tenaga.

“Kita pastikan lari dengan HR (Hearth Rate) di zona hijau. Supaya tidak kehabisan tenaga,” kata Mas Deny. Definisi HR dalam bahasa yang sederhana itu membuatku lebih memahami fungsi HR.

Bersama DJP Runners Mas Deny Hastomo di Jembatan Layang Pasupati.

20 Kilometer Selanjutnya

Di KM-11 kami bertemu dengan pasangan pelari dari DJP Runners dan Banteng Runners yang juga sepasang pengantin baru yaitu Mas Ipin dan Mbak turus. Mereka akan finis FM bareng.

Aku sampai di KM-15 dalam waktu 1:46:25 jam. Masih beda tipis dengan target waktu 1:44:10 jam. Tidak mengapa. Di sinilah aku merasakan kalau berlari bareng itu memang bikin kita kuat. Mas Deny masih konsisten dengan lari dalam zona aerobik.

Water Station (WS) tersedia di setiap 2,5 km. Aku tidak pernah melewatkannya. Aku tetap konsisten seperti di BNI UI HM 2019 kemarin, aku hanya mengambil air mineral dan meninggalkan isotonik. Sebagai penggantinya aku membawa pil garam untuk kutelan di KM-15 dan KM-30. Di KM-7 yang telah aku lewati itu, aku sudah memakan Gu Gel pertama dengan rasa espresso.

WS yang berada di antara KM-15 dan KM-16 menyediakan pisang. Aku mengambil setengah potong pisang itu. Engkau tahu, kan? Kalau aku tidak doyan buah apalagi pisang. Tetapi untuk kali ini aku benar-benar membutuhkannya. Aku memakannya sedikit demi sedikit. Di suapan kedua itu aku ingin muntah, namun aku paksa menelannya. Berhasil. Sungguh, ternyata pisang ini berefek sekali buatku. Minimal, aku tidak merasa lapar dan memiliki tenaga tambahan. Selain pisang, di KM ini aku juga memakan Gu Gel keduaku.

Lepas KM-18 kami bertemu dengan Bang Patar Marlon Siregar bersama temannya yang akan virgin FM. Kali ini dia lebih memilih menjadi pacer temannya itu daripada memperbaiki Personal Best-nya.

Di KM-19 itu aku berkemih di toko eceran yang menjadi salah satu sponsor lomba ini. Usai itu rasanya plong. Sudah empat kali berkemih sejak bangun dini hari tadi. Aku benar-benar enggak main-main dengan masalah ini. Dengan itu juga aku tidak membatasi minum. Pokoknya minum banyak dan jangan menahan berkemih. Supaya tidak anyang-anyangan. Setelah menuntaskan semuanya itu, dengan susah payah aku mengejar Mas Deny yang sudah duluan berlari. HR-ku naik lagi.

Di titik KM-20 kami menemukan WS lagi. Mas Deny berhenti lama di sana. Aku masih berlari dengan tetap menunggu Mas Deny menyusul. Ternyata sampai lama, Mas Deny tidak menyusuliku. Akhirnya aku berlari sendirian.

Di Jalan Ibrahim Adjie aku melewati titik KM-21. Wah, sudah setengah saja perjuangan ini telah kulalui dalam waktu 2:30:46 jam. Jauh dari waktu di BNI UI HM 2019 yang bisa sampai 2:26:18. Di setengah jalan ini kaki dan nafasku masih kuat. Mentalku juga sama.

Dalam pikiranku, aku membuang kata “baru” dan memakai kata “tinggal” untuk lebih menyemangatiku. Aku lebih memilih frasa “tinggal 21 km lagi” daripada menggunakan frasa “baru 21 km”.

Aku tiba di KM-23. Saat ini, aku masih merasa tidak kelelahan. Berbeda dengan dua minggu sebelumnya, saat aku berniat berlatih lari jauh sepanjang 35 km, ternyata aku menyerah lari terus menerus dan berhenti di KM-23. Lalu lari jalan lari jalan dan menyerah di KM-27.

Di KM-24 aku bertemu dengan dua pelari DJP Runners Mas Athos dan Mas Sys dan sekarang aku sudah tiba di KM-25 di Jalan Gatot Subroto dalam waktu 3:00:59 jam. Ini hanya lebih lama 9 detik daripada target. Angka jarak di jam lariku lebih tinggi daripada titik KM sebenarnya. Selisihnya sampai 250 meteran.

Aku masih kuat melalui KM-27 hingga KM-30. Akhirnya aku bisa berlari tanpa henti—kecuali di setiap titik WS—sampai KM-30. Ini menakjubkan buatku sendiri. Aku sudah berlari sepanjang 3:38:52 jam. Dan kau tahu? Aku mampu menghemat waktu sampai 5 menit dari target. Tinggal 15 kilometer lagi. Dan kata orang sih, KM-30 sampai dengan KM-35 adalah kilometer-kilometer yang bikin halu. Aku menguatkan diri, insya Allah aku bisa lari sampai finis tanpa jalan. Sampai di sini kakiku masih kuat.

 

Kuntilanak Kesiangan

Aku melalui KM-30 dan KM-31 di Jalan Lodaya dan Jalan Asia Afrika. Aku baru menyadari kalau di PSBR ini sambutan masyarakat dalam bentuk pertunjukan hiburan sangatlah minim.Berbeda sekali sewaktu lari di Borobudur Marathon yang semarak. Kecuali kami para pelari disuguhkan cosplay kuntilanak kesiangan yang sedang duduk dengan mengangkat salah satu kakinya di bangku di pinggir Jalan Asia Afrika. Ia sedang melihat cermin dan menatap wajahnya yang jelek itu.

Para pelari di PSBR 2019 juga harus berjibaku dengan keramaian kendaraan dan kerumitan rute lari. Para pelari harus berlari di sebelah kiri jalan lalu dipindah ke jalur sebelah kanan lalu balik lagi ke sebelah kiri. Bolak-balik begitu.

Aku sampai di Jalan Banceuy, Jalan Braga, Jalan Kebon Kawung, dan akhirnya sampai juga di KM-35 di Jalan Pajajaran dalam waktu 4:17:04 jam. Aku menghemat 10 menit. Aku masih berlari dengan kuat dan tidak merasa “Ayo mana garis finisnya. Ayo mana?”. Ini rekor buatku. Lari terus menerus sampai KM-35 tanpa kram, tanpa lapar, tanpa haus, tanpa tepar, tanpa ada drama juga. Syukurlah.

Melewati Jalan Braga.

Lepas KM-35 ada WS dan aku mengambil pisang yang disediakan. Aku masih memakannya sedikit demi sedikit. Aku berlari seraya mulutku berucap, “Tujuh kilo lagi. Tujuh kilo lagi. Tujuh kilo lagi.”

Dan ada apa dengan tujuh kilometer lagi, kau tahu? Aku tak menyangka saja.

Cerita lari ini masih bersambung.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Kuta, 31 Juli 2019

Baca juga:

    1. Cerita Lari Pocari Sweat Run Bandung 2019 (1): Terlambat Lima Menit
    2. Cerita Lari Pocari Sweat Run Bandung 2019 (Terakhir): Dibanjur Air dan Endorfin
    3. Freeletics Buat Pemula: Freeletics Routine for Beginner
    4. Cerita-cerita lari
    5. Transformasi Before After

 

Advertisement

7 thoughts on “Cerita Lari Pocari Sweat Run Bandung 2019: Kuntilanak Kesiangan

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.