Cerita Lari MILOJI10K: Seperti Keluar dari Gua Tham Luang


 

Sepagi-paginya saya berangkat dari Citayam ke Jakarta tetap saja waktunya terlalu mepet dengan waktu start. Kali ini untuk mengikuti MILO Jakarta International 10 K pada Minggu 15 Juli 2018 lalu saya tak menginap di ibu kota.

Oleh karena itu saya harus bangun lebih pagi daripada matahari dan berangkat dengan kereta rel listrik paling awal. Jam setengah tiga pagi saya sudah bangun. Dari Stasiun Citayam saya menuju Stasiun Tebet.

Azan Subuh sudah lewat beberapa menit sebelumnya ketika saya sampai di stasiun tujuan. Lokasi stasiun ini lebih dekat dengan garis start yang berada di Kawasan Epicentrum Utama.

Banyak pelari sudah memenuhi stasiun itu dan beberapa saat lagi musala akan dipenuhi mereka.  Karena saya masih dalam kondisi berwudu saya tak perlu antre untuk masuk musala yang sempit itu.

Usai salat saya bergegas memesan ojek daring di tempat biasa mereka mangkal. Di pagi yang masih gulita itu abang ojek masih jarang sedangkan pemesannya sudah banyak. Bahkan saya mendapatkannya di seberang rel dan abang ojeknya tak mau datang ke tempat saya. Daripada terlambat start saya yang mengalah untuk menuju ke tempatnya.

Singkat cerita saya sudah berada di tempat para pelari berkumpul. Waktu start tinggal setengah jam lagi. Karena saya membawa tas lari, maka saya tidak menitipkan tas. Sebenarnya lari akan nyaman kalau tanpa membawa apa-apa.

Padahal kenapa saya bawa tas lari? Itu juga karena saya salah baca informasi di email yang saya terima. Di sana disebutkan bahwa yang boleh menitipkan tas itu para pelari yang sudah mendaftar pada saat pengambilan race pack collection. Perasaan saya pada waktu itu saya tak mendaftar.

Ini sebuah anggapan yang keliru karena saya sejatinya diperbolehkan menitipkan tas. Di BIB saya sudah tertulis angka counter tempat saya bisa menitipkan tas.  Saya kurang jeli membaca segala informasi yang ada di BIB.  Sayangnya ketidakjelian ini akan terulang lagi.

 

Janganlah Kau Tahan

Ketika saya sedang berkumpul dengan para pelari itu saya melihat neon sign terang dan besar dengan huruf D.

Saya bertanya kepada salah seorang pelari.  “Itu tanda apa?” tanya saya. “Itu buat posisi start. Bapak di C,” katanya sambil menunjuk BIB saya. “Di depan, Pak,” katanya lagi.

Oh saya baru tahu ternyata posisi saya di C. Saya baru ingat, dalam lomba lari ini panitia telah membagi posisi start untuk masing-masing pelari berdasarkan waktu finis terbaik yang pernah dicatat masing-masing pelari. Pembagian ini penting agar para pelari yang lebih lambat tidak menghalangi pelari-pelari cepat itu. Personal Best saya untuk lari sejauh 10 kilometer adalah 55 menit.

Saya segera menuju posisi C yang sudah penuh dengan para peserta lari. Milo Jakarta International 10 K ini terdiri tiga kategori: 10 kilometer, 5 kilometer, dan 1,7 kilometer untuk Family Run. Dua kategori pertama ini akan start di waktu yang sama.

Yang perlu saya khawatirkan ini adalah saya sedang menahan sesuatu. Saya kebelet berkemih sedangkan antrean di toilet sudah mengular. Saya pikir satu jam menahan pipis masih bisa. Ini juga enggak kepengenkepengen banget. Sebuah pemikiran yang salah besar.

Terompet berbunyi. Pelari elit sudah melesat duluan. Posisi saya masih 100 meter di belakang garis start. Saya berlari semampu saya bisa lari. 10 kilometer itu tidak jauh, pikir saya. Ketika para pelari berbelok ke arah kiri untuk menyusuri Jalan H.R. Rasuna Said ada yang terjatuh saat melewati pembatas jalan. Gedubrak! Ia tidak memperhitungkan ketinggian pot yang berada di tengah jalan itu. Untung tidak ada apa-apa.

Di saat berlari itulah saya baru merasakan kalau tas lari yang tidak dikancing itu mengganggu gerak lari. Ya bagaimana tidak? Kalaupun saya kancing, itu akan menutupi BIB. Harusnya dikancing dulu baru pasang BIB-nya. Ini terbalik.

Di titik tertentu, para pelari diarahkan ke jalan yang berbeda. Untuk pelari 10 K terus berjalan di sisi kiri, sedangkan pelari 5 K di sisi kanan jalan. Mereka harus melewati terowongan dan berputar di bawah underpass Mampang.

Setelah libur lari pada saat Ramadan, lalu jarang lari pada minggu-minggu setelahnya, barulah terasa kalau lari 10 K begitu beratnya. Lima kilometer pertama waktu tempuh lari saya masih di bawah 30 menit. Saya masih bisa mengikuti pacer yang membawa balon kuning bertuliskan angka 60:00. Ini artinya kalau mau finis dalam jangka waktu satu jam maka ikuti pacer itu.

Saya bisa mengikuti mereka hanya sampai di Kilometer 5, setelah itu benar-benar keteteran. Di Kilometer 6, di jalan menaik, pace saya langsung turun drastis menjadi 6:27 menit/kilometer.

Itu belum seberapa. Di Kilometer 7 para pelari harus melewati jembatan layang. Pace saya turun lagi menjadi 6:48 menit/kilometer.

Di sana saya bertemu dengan Mas Novizal. Saya yang sudah ngos-ngosan dan tak sanggup berkata-kata menyilakan ia duluan. Saya sudah tak bisa mengejarnya. Sepertinya tenaganya masih utuh begitu. Tak tampak raut kelelahan di wajahnya. Barangkali kelinci baterai Eveready akan kalah tenaga juga.

Di suatu titik, saya melihat ada yang pipis di belakang halte busway, di bawah suatu pohon. Melihat itu saya jadi terpikirkan dengan beban saya. Tetapi saya coba kembali tahan. Tak ada musala, masjid, atau SPBU di jalanan yang saya lewati.

Di Kilometer 8 saya kembali menaiki jalan layang yang membelah Kali Ciliwung. Tinggal dua kilometer lagi. Saya masih berharap semoga saya masih bisa menjadi bagian dari orang-orang yang mendapatkan keberuntungan. Yaitu orang-orang yang menjadi 2000 penamat pertama memasuki garis finis. Karena mereka kelak akan mendapatkan medali yang berbeda.

Di Kilometer 9 pace saya berada di 6:20 menit/kilometer. Tinggal satu kilometer lagi dan saya sudah mendengar banyak pelari yang mendengus keras atau semacam teriakan kelelahan. Teriakan Huh!! Hah!! begitu.

Kemudian Kedutaan Besar Australia saya lewati. Tinggal 500 meter lagi. Insya Allah bisalah.

 

Sekapok-kapoknya

Menjelang 300 meter sudah banyak kerumunan orang menyemangati para pelari untuk segera finis. Saya berbelok ke kiri memasuki area Epicentrum. Jalan menuju garis finis penuh dan ramai dengan para pelari. Akhirnya saya finis dan masih kebagian medali khusus untuk 2000 penamat pertama.

Catatan waktu yang ada di jam lari saya adalah 1 jam 3 menit 2 detik dengan peringkat 926 di kategori 10K Indonesian Male. Jauh dari Personal Best saya. Waktunya tiada berbeda dengan yang dicatat pada race result di situs web Milo.

Selain medali saya mendapatkan pisang dan air minum. Juga ada pembagian Milo gratis dalam gelas kecil buat para pelari. Letak stannya berada diujung dan dijaga satpam berbaju biru. Para pelari hanya mendapatkan satu gelas saja. Tetapi kalau mau berkali-kali minum juga silakan asal antre lagi. Pas saya datang antreannya masih sedikit.

Selepas antre mengambil segelas Milo saya pergi menyisihkan diri menuju kesepian. Ternyata di luar dugaan saya, tempat itu berada di dekat mobil toilet milik Pemerintah Provinsi DKI yang banyak berjejer dan masih sepi, wangi, dan bersih.

Ah, sekeluarnya dari sana, saya seperti keluar dari Gua Tham Luang tempat 13 anggota tim sepak bola Wild Boards Thailand terperangkap selama dua minggu. Tapi saya benar-benar kapok sekapok-kapoknya. Insyaallah tak akan mengulanginya lagi. Berat membawa beban seperti itu.

Dari berbagai kegiatan lari yang diadakan di Jakarta, Milo Jakarta International 10 K ini adalah yang paling steril. Jelaslah karena jalanan sepanjang Jalan H.R. Rasuna Said ditutup. Enak sih, kita jadi nyaman. Tidak seperti di CFD Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin yang campur baur dengan ribuan pejalan kaki dan busway.

Untuk kegiatan ini saya cuma membatin bahwa latihan dan kerja keras itu tak pernah ingkar janji. Dan untuk kali ini saya “lempoh”. Susah payah. Karena latihannya masih sedikit padahal Mandalika dan Borobudur sudah di depan mata.

Setelah ini apalagi? 

 

Bersama DJP Runners.

Bersama anak saleh dan hensem.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
26 Juli 2018

4 thoughts on “Cerita Lari MILOJI10K: Seperti Keluar dari Gua Tham Luang

  1. loh dapat milo to? jalan ke ujung jadinya mas? saya malah nggak tau dan nggak ada arahan.. medali pun nggak dapet yang emas karena daftar di PEN D dan menginjak garis start 7 menit setelah aba-aba.. alhasil chip time di 1:06 an dan gun time di 1:13 an.. gagal deh niatan ngejar pacer 65.. startnya ruame banget.. pas menuju finish juga susah untuk sprint karena memang rame..
    mungkin nanti sore saya terbitkan artikel saya tentang MiloJI10K ini.. 😀

    Like

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.